Jiwa Patriotisme Dan Peran Sosial Kaum M

JIWA PATRIOTISME DAN PERAN SOSIAL KAUM MUDA DALAM
PENYELESAIAN ANEKA PERSOALAN BANGSA1
Oleh: Manunggal K. Wardaya2
manunggal.wardaya@gmail.com

Pada waktu muda mudi yang lain menemukan kekasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das
Capital (Soekarno, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, Presiden Republik Indonesia Ke-1)
Saya jadi aktivis itu terpaksa. Jika saat itu Indonesia sudah demokratis dan setara, saya lebih memilih jadi
dosen menikmati buku-buku di Menara gading. (Budiman Sudjatmiko, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, mantan tahanan politik Orde Baru)

1. Pendahuluan
Kaum muda adalah suatu golongan dalam masyarakat yang selalu memainkan peran penting dalam
perubahan sosial. Tak terkecuali di Indonesia, berbagai peristiwa politik besar yang terjadi di negeri ini
bahkan sebelum kemerdekaan selalu melibatkan peran kaum muda dan pelajar.3 Para pemuda tampil
mempertanyakan kemapanan, mendobrak struktur sosial yang mengekang dan membelenggu diri dan
masyarakatnya. Perintis Pers Nasional Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), merintis karir di dunia
kewartawanan di usia belasan dan mendirikan Medan Prijaji, penerbitan pers pribumi yang kritis
terhadap kekuasaan kolonial. Pada tahun 1925, para pemuda pelajar di Negeri Belanda mencetuskan
Manifesto Politik yang terang mencitakan terwujudnya suatu republik bernama Indonesia.4 Seorang guru
muda lulusan Haarlem bernama Tan Malaka (1897-1948) bergerak menggalang solidaritas internasional

guna membebaskan Hindia dari imperialisme Belanda. Seorang remaja bernama Soekarno bergabung
dalam Tri Koro Dharmo di usia belia dan kemudian menuliskan Nasionalisme, Islamisme, dan
Marxisme sebuah tulisan yang menjadi salah satu blueprint negara Indonesia. Sumpah Pemuda pada
1928 dicetuskan kaum muda berbagai suku di tanah air, menegaskan tekad para pemuda untuk bersatu
dalam wadah kebangsaan Indonesia di saat kekuasaan kolonial begitu hegemonik. Manakala kaum tua
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional de ga te a Patriotis e Pe uda Masa Ki i yang
diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) pada 10
November 2016 di Purwokerto.
2
Dosen Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto,
pendiri dan koordinator Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM) Indonesia (2010-2014).
3
Ginandjar Kartasasmita and Joseph J Stern, Reinventing Indonesia (World Scientific Publishing 2015) 76.
4
Manifesto Politik terdiri dari tiga hal . Pertama, Bangsa Indonesia harus diperintah oleh pemimpin mereka
sendiri yang dipilih dari antara mereka. Kedua, agar dapat menentukan nasibnya sendiri, rakyat harus
mengandalkan kekuatan dan kemampuan sendiri. Ketiga, agar perjuangan berhasil maka etnis yang beragam di
Indonesia harus bersatu, karena jika tidak maka keseluruhan proses akan gagal. Sebelum pernyataan politik
nan penting ini, para pelajar di Negeri Belanda dengan sadar mengganti nama perkumpulan mereka yang
sebelumnya adalah Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) menjadi Indonesische Vereeniging

Perhi pu a I do esia . Dala politik ahasa kolo ial, I dis he
e iliki ko otasi ya se agai kolo i,
jajaha . Digu aka ya istilah I do esia erko otasi suatu entitas bangsa/negara yang merdeka. Lihat
Sartono Kartodirjo, Fro Eth o-Natio alis to the I do esia Merdeka Move e t
i “ri Kuh t
Saptodewo, Volker Grabowsky and Martin Grossheim (eds), Nationalism and Cultural Revival in Southeast Asia:
Perspectives from the Center of the Region (Harrasowitz Verlag 1997) 78.

1

dilanda kebimbangan paska menyerahnya Jepang pada sekutu, para pemuda berhasil memaksa elit
pergerakan nasional untuk mendeklarasikan kemerdekaan, suatu epos yang dikenal sebagai Peristiwa
Rengasdengklok. Reformasi yang memaksa Soeharto berhenti dari kepresidenan (dan membuahkan
antaranya perubahan konstitusi) pula merupakan hasil keringat, darah dan air mata kaum muda yang
menginginkan kehidupan bernegara yang demokratis.
Jalur perjuangan yang dipilih para pemuda dalam mewujudkan keyakinan dan cita-citanya bukannya
tanpa risiko dan pengorbanan, terlebih jika mengingat apa yang mereka hadapi adalah bangunan
kekuasaan yang seakan mustahil diruntuhkan. Pada 1928 Hatta diadili di muka pengadilan di Den Haag
karena tuduhan memprovokasi perlawanan bersenjata di Hindia Belanda.5 Soekarno bersama Gatot
Mangkupraja, Maskun, dan Supriadinata dijebloskan ke penjara Banceuy dengan dakwaan hendak

menggulingkan kekuasaan pemerintah kolonial. Buku Patjar Merah Indonesia karya Matu Mona
mengisahkan betapa Tan Malaka selalu berada dalam kejaran dinas rahasia asing karena upayanya
menentang imperialisme. Di era Orde Baru, pemuda dan mahasiswa ditangkapi dan dijebloskan ke
penjara karena menolak tunduk pada rejim.6 Terhadap para pemuda maupun mahasiswa dikenakan
antara lain pasal subversi warisan era kolonial yang dipertahankan guna mengamankan kekuasaannya
dari kritik dan oposisi. Sepanjang revolusi fisik dari 1945 hingga 1949, tak terhitung pemuda gugur
sebagai pahlawan tak dikenal tatkala bertempur melawan pasukan sekutu mempertahankan
kemerdekaan. Mereka mengorbankan jiwa untuk pertiwi Indonesia dengan bayaran teramat mahal;
nyawa mereka sendiri. Mereka semua para pemuda itu stigma negative sebagai pemberontak,
penghasut, dan bahkan ekstrimis.
2. Permasalahan
Tulisan ini membincangkan semangat cinta tanah air (patriotism) di kalangan pemuda di tengah
berbagai persoalan social politik baik di arasnya yang local maupun global. Menjadi inti tulisan ini adalah
bagaimana patriotisme sebagaimana pernah ditunjukkan oleh para pendahulu bangsa dapat mengilhami
pemuda masa kini untuk berbuat sesuatu untuk bangsa dan negaranya. Sekilas ringkas kisah perjuangan
dan sepak terjang angkatan muda dan pelajar berbagai masa dipaparkan guna mengantarkan pada
pertanyaan besar; bagaimana jiwa dan semangat pengabdian kepada bangsa sebagaimana pernah
ditunjukkan para pendahulu dapat dalam konteksnya yang kekinian. Tulisan ini pada akhirnya akan
ditutup dengan kesimpulan mengenai kekuatan dan kesempatan yang dimiliki oleh generasi muda masa
kini sekaligus tantangan yang dihadapi dalam menjalani perannya sebagai manusia warga negara.

3. Pembahasan

3.1. Pemuda
Sebelum masuk lebih dalam ke hal yang diperbincangkan, perlulah kiranya mengetahui mengenai apa
yang dimaksud dengan ‘pemuda’ itu. Wikipedia menyebutkan pemuda ‘youth’ sebagai “the time of life
when one is young, but often means the time between childhood and adulthood (maturity). Sementara
itu, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mendefinisi pemuda
(youth) sebagai “…a period of transition from the dependence of childhood to adulthood’s

5

MC Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (3rd edn, Stanford University Press 2001) 220.
Tokoh mahasiswa/mahasiswa seperti Fadjroel Rahman dan Budiman Sudjatmiko misalnya, ditangkap dan
dijebloskan ke penjara karena menentang kepemimpinan Presiden Soeharto. Di Yogyakarta, Bonar Tigor
Naipospos, Bambang Subono dan Bambang Isti Nugroho (ketiganya pegiat Palagan Study Club) ditangkap dan
kemudian dipenjarakan hanya karena memiliki dan mengedarkan literatur/bacaan yang dianggap menghina
rejim Orde Baru/terlarang seperti buku-buku karangan Pramoedya Ananta Toer.

6


7

independence and awareness of our interdependence of members of a community.” Dinyatakan oleh
UNESCO bahwa definisi pemuda di atas memang kategori yang lebih cair (fluid) daripada
mengkategorikan pemuda ke dalam kelompok usia tertentu. Namun begitu, diakui bahwa usia memang
cara yang termudah untuk mengkategori kelompok ini. Oleh karenanya, UNESCO pula menyatakan
‘youth’ sebagai “a person between the age where he/she may leave compulsory education, and the age at
which he/she finds his/her first employment.” Sementara itu, untuk keperluan statistik, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan ‘youth’ sebagai kelompok usia antara 15 hingga 24 tahun.
Definisi ‘youth’ dalam kategorisasi usia di atas digunakan oleh Sekretaris Jenderal PBB sejak tahun 1981
sebagaimana tertuang dalam laporan pada Majelis Umum PBB tentang International Youth Year
(A/36/215, para.8 lampiran) dan dikuatkan dalam laporan berikutnya (A/40/256, para. 19 lampiran).
Berbagai definisi pemuda dalam paragraph di atas mungkin tak selalu memuaskan atau mengundang
perdebatan.8 Namun demikian, berbagai batasan di atas setidaknya dapat digunakan untuk memberi
gambaran secara kurang lebihnya mengenai apa yang dimaksud dengan ‘pemuda’ yang menjadi fokus
tulisan ini. Mengacu pada berbagai batasan yang diberikan di atas, bolehlah disimpulkan bahwa pemuda
adalah mereka yang tak lagi terbilang sebagai kanak namun belum memasuki fase dewasa. Menggunakan
usia pendidikan sebagai kriteria, maka pemuda adalah mereka yang telah meninggalkan masa
pendidikan dasar hingga usia ketika mendapatkan pekerjaannya yang pertama. Dalam konteks
Indonesia dimana pendidikan dasar wajib adalah sembilan tahun maka dapat disimpulkan bahwa

pemuda adalah mereka yang telah menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Dengan kata lain, pemuda adalah mereka yang mereka yang berada di kategori usia bangku Sekolah
Menengah Umum (SMU) maupun kejuruan (SMK) dan lain-lain yang sederajat serta bangku
pendidikan tinggi. Mahasiswa, oleh karenanya pula terbilang sebagai sebagai bagian dari kaum muda.

3.2. Patriotisme Pemuda: Panggilan Jaman
Pergerakan pemuda yang terjadi di masa pra kemerdekaan dilatarbelakangi oleh keprihatinan sebagai
warga bangsa menyaksikan penderitaan masyarakat sebagai akibat dari penjajahan. Para pemuda
meenginsyafi bahwa system politik kolonial yang menghisap dan menindas itulah yang menjadi sumber
petaka; perampasan sumber daya alam serta pengingkaran harkat dan martabat sebagai manusia. Para
pemuda melihat penghisapan bangsa asing tersebut sebagai suatu ketidakadilan yang tak boleh terus
berlanjut. Perjuangan membebaskan bangsa dan membentuk negara dan berpemerintahan sendiri
ditempuh sebagai pilihan sadar karena kecintaan pada tanah air lebih dari kecintaan pada hal lain.
Dikatakan demikian karena sebenarnyalah dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki, tak
sukar bagi mereka untuk menikmati kehidupan yang mapan. Namun demikian para pemuda lebih
memilih mendarmabaktikan ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki untuk masyarakatnya.
Semangat dan kerelaan berkoban demi tanah air sebagaimana ditunjukkan oleh para pemuda perintis
kemerdekaan diwarisi oleh kaum muda di masa Orde Baru. Kaum muda menyaksikan berbagai praktik
kehidupan bernegara amat jauh dari maksud didirikannya pemerintah Indonesia sebagaimana dicitakan
oleh Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Konstitusi tertulis UUD 1945 yang sebenarnyalah

merupakan konstitusi darurat disakralkan karena menguntungkan kekuasaan. Dalam hal ini, para
pemuda menyadari betapa kehidupan bernegara yang tak berlandaskan pada paham supremasi hukum
UNE“CO,
Lear i g
To
Live
Together:
What
Do
We
Mea
y
Youth ?
accessed 7
November 2016.
8
Berbagai organisasi kepemudaan di Indonesia, setidaknya manakala tulisan ini dibuat dalam kenyataannya
banyak beranggotakan dan dipimpin mereka yang secara usia jauh dari definisi pemuda sebagaimana diberikan
oleh UNESCO maupun PBB.
7


dan konstitusi mengakibatkan terjadinya korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) dan bahkan pelanggaran
HAM berat. Menolak untuk hidup dalam atmosfir politik yang menindas, kaum muda menceburkan
diri ke dalam arena perjuangan politik; memberhentikan penguasa yang tiranik yang memungkinkan
ditatanya kehidupan bernegara yang lebih demokratis. Bangunan kekuasaan Orde Baru terus digempur
oleh estafet aktivisme pemuda-mahasiswa yang pada akhirnya berbuah Reformasi 1998. Jika bangsa
Indonesia kini telah memiliki konstitusi yang lebih demokratis yang membatasi kekuasaan
penyelenggara negara, maka hal itu tak lain hasil dari perjuangan pemuda.

3.3. Pemuda 2016: Apa Yang Dapat/Telah Dilakukan?
Aneka persoalan politik dan kemasyarakatan sebagaimana secara ringkas didiskusikan di atas sudah
barang tentu bukan lagi persoalan yang dihadapi oleh mereka para pemuda di masa sekarang. Kaum
muda kini tak sedang berhadapan dengan pemimpin yang diktatorial yang menjalankan kekuasannya
secara tak terbatas apalagi kekuasaan asing yang menjajah. Atmosfir politik di masa kini jauh berbeda
dengan di masa Orde Baru, maupun periode sebelumnya di bawah kepemimpinan Demokrasi
Terpimpin. Walaupun masih terdapat kekurangan disana sini, kehidupan bernegara di masa kini relatif
jauh lebih demokratis dengan aneka pranata demokrasi yang tersedia guna mewujudkan prinsiip
supremasi hukum dan kedaulatan rakyat. Kalaupun ada penyimpangan kuasa, korupsi kekuasaan dan
lain-lain penyimpangan hukum, telah tersedia mekanisme penyelesaian menurut hukum dan konstitusi.
Menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah berarti tak ada lagi yang bisa dikerjakan oleh pemuda

untuk masyarakatnya? Benarkah perjuangan pemuda telah selesai and kini saatnya untuk bersenangsenang?
Tulisan ini meyakini bahwa masih banyak persoalan kebangsaan yang teramat mendesak untuk
diselesaikan. Dewasa ini kita menyaksikan betapa ikatan kebangsaan kita semakin mengendur dengan
berbagai tindak kekerasan dan intioleransi. Isu SARA begitu mudah membakar, membuat masyarakat
terbelah dalam perkubuan yang seakan tak terdamaikan. Elit politik berlomba merebut simpati dan
dukungan politik dengan segala cara. Sektarianisme dan eksklusifisme berdasarkan suku dan agama
mengemuka yang membuat bangsa semakin jauh dari cita persatuan Indonesia yang berdasar Bhinneka
Tunggal Ika. Sementara itu negara kerapkali tak hadir dalam memenuhi hak dan kebebasan dasar
warga. Kelompok minoritas mendapat kekerasan, penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu tak
kunjung diselesaikan membuat bangsa terus berada dalam situasi saling curiga. Pertanyaannya adalah;
sudahkah pemuda mengambil bagian dalam penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan di atas sebagai
wujud rasa kasih dan cintanya kepada tanah air? Apa yang dapat atau telah dilakukan oleh pemuda
untuk menyelesaikan aneka persoalan kebangsaan tersebut? Jawaban atas peranyaan di atas
sebenarnyalah dan bagaimanapun terpulang kepada kaum muda sendiri. Apapun yang tengah atau akan
dilakukan oleh kaum muda, kontribusi dan sumbangsih tersebut mestilah dilakukan dalam jalurnya yang
konstitusional sebagai bagian dari cara hidup berdemokrasi yang menjadi pilihan bangsa Indonesia.
Kaum muda masa kini adalah mereka yang hidup dan diuntungkan dengan kemajuan dan
perkembangan teknologi informasi yang luar biasa. Kaum muda kini hidup di masa dimana informasi
bisa diperoleh dari mana saja, diproduksi dan disebarluaskan dengan cepat. Pengetahuan menjadi hal
yang secara virtual berada di mana-mana senyampang terhubung di dunia maya. Bagi pemuda yang

tengah mencari ilmu (baca: pelajar, mahasiswa) hal ini sudah barang tentu teramat menguntungkan dan
memudahkan. Menemukan berbagai sumber ilmu pengetahuan maupun aneka pemikiran dari segala
penjuru arah bukan sesuatu yang sulit dan heroik sebagaimana pada masa lalu yang harus dilakukan
secara fisik. Pertukaran pikiran bisa dilakukan kaum dimana saja, tanpa harus berjumpa fisik. Aneka
pemikiran/gagasan dapat dengan segera diviralkan tanpa harus terhalang kendala-kendala konvensional
seperti jarak, waktu dan biaya. Kemajuan teknologi sebagaimana diungkap diatas hanyalah salah satu

aspek saja yang membawa pada asumsi bahwa pemuda di masa kini semestinyalah dapat menunjukkan
performa yang berlipat kali lebih baik dibandingkan pemuda di masa lalu dalam menyumbangkan
tenaga dan pikirannya untuk bangsanya.
4. Penutup
Pertanyaan besar berkenaan dengan peran kemasyarakatan yang dapat dilakukan pemuda dalam
menjawab dan menyelesaikan persoalan kebangsaan yang melingkupi bangsa hanya bisa dijawab oleh
para pemuda sendiri. Ada harapan besar bahwa dengan segala kemajuan zaman yang dinikmatinya, para
pemuda dapat berperan jauh lebih aktif dalam kehidupan berkebangsaan dibandingkan dengan para
pemuda yang hidup di masa sebelumnya. Jika kaum muda mampu mengidentifikasi aneka persoalan
kebangsaan sekaligus mampu memanfaatkan segala potensi yang ada untuk bangsa, maka akan menjadi
tidak berlebihan untuk percaya bahwa aneka persoalan kebangsaan yang kini tengah melanda, sooner or
later, dapat terselesaikan.


Referensi
Kartasasmita G and Stern JJ, Reinventing Indonesia (World Scientific Publishing 2015)
Kartodirjo S, ‘From Ethno-Nationalism to the “Indonesia Merdeka” Movement 1908-1928’ in Sri Kuhnt
Saptodewo, Volker Grabowsky and Martin Grossheim (eds), Nationalism and Cultural Revival in
Southeast Asia: Perspectives from the Center of the Region (Harrasowitz Verlag 1997)
Ricklefs MC, A History of Modern Indonesia Since C. 1200 (3rd edn, Stanford University Press 2001)
UNESCO, ‘Learning To Live Together: What Do We Mean by “Youth”?’
accessed 7
November 2016