Kesejahteraan Rakyat atas Papan, Akselerasi Pemenuhan Kebutuhan Papan bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat - repository civitas UGM
2012
Kerja sama antara Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Kesejahteraan Rakyat
atas Papan Akselerasi Pemenuhan Kebutuhan PapanTIM BUKU
Pengarah
Indroyono Soesilo, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
Adang Setiana, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat
Panut Mulyono, Dekan Fakultas Teknik UGM ♦
Penanggung Jawab
Nyoman Shuida, Asisten Deputi Urusan Perumahan dan Permukiman Bakti Setiawan, Ketua Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan UGM
♦
Penulis
Budi Prayitno Alfredo Sani Fenat Mahditia Paramita
♦
Penyunting
Endang Sri Rahayu Erlia Rahmawati
Endah Dwi Fardhani Galih Prasetyo
Hellatsani Widya Ramadhani Pratiwi Utami
♦
Tata Grafis
Lailia Rachmani Yuhendra
♦
ISBN :
978-602-9476-23-1
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
2012
KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN SEKRETARIS KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh, Salam sejahtera untuk semua,
Kondisi pembangunan perumahan di Indonesia berada pada tataran krisis sehingga perlu mendapat perhatian serius dari seluruh pemangku kewa- jiban. Hal ini tergambar dari terdapatnya jumlah kekurangan rumah (back- log) yang terus meningkat sekitar 700.000 rumah setiap tahunnya. Demiki- an pula dengan luasan kawasan kumuh yang terus meningkat dari sekitar 54.000 ha pada tahun 2004, telah mencapai 57.000 ha pada tahun 2009.
Menurut prediksi UN Habitat (2007), seiring dengan kenaikan urban- isasi, diperkirakan sekitar 2 juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030. Data dan proyeksi tersebut memicu pesimisme terhadap misi pemerintah yang menargetkan bahwa pada ta- hun 2020 seluruh kota di Indonesia bebas kumuh.
Meskipun krisis tersebut terjadi dan diketahui banyak pihak, namun pembangunan perumahan terkesan berjalan seadanya tanpa diiringi de- ngan sense of crisis. Ini karena sektor perumahan selama ini mungkin belum mendapat prioritas pembangunan sehingga anggaran yang dialokasikan untuk sektor ini relatif rendah dan para pemangku kewajiban kurang mem- berikan fokus dan perhatian yang memadai terhadap sektor ini.
Karena rumah merupakan kebutuhan pokok, maka sudah selayaknya rumah diletakkan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus dinikmati oleh semua warganegara tanpa kecuali, terutama bagi Masyara- kat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang selama ini kesulitan mengakses rumah. Pendekatan berbasis hak (right-based paradigm) inilah yang selama ini absen dalam setiap upaya intervensi di bidang perumahan. Rumah selayaknya dijadikan sebagai satu dari prioritas utama pembangu- nan karena mampu memberikan multiplier effect, baik bagi penghuni rumah maupun pembangunan nasional secara keseluruhan. Dari perspektif ekonomi misalnya, sektor perumahan mampu menggerakkan tidak kurang dari 120 in- dustri yang terkait dengan perumahan. Selain itu, mengingat rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, maka ketiadaan penanganan yang serius terhadap krisis perumahan akan menjadi ancaman bagi pembangunan dan ke- tahanan nasional, yang pada akhirnya akan memicu ketidakstabilan nasional.
Buku ini berusaha memaparkan secara komprehensif tantangan dan pelu- ang yang dihadapi dalam mewujudkan pembangunan perumahan berbasis hak, juga langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya. Langkah- langkah tersebut dipertimbangkan dengan terukur melalui rangkaian tahapan peta jalan (roadmap), yang setiap tahapan mengeksplorasi dimensi-dimensi krusial dari sektor perumahan, baik dalam tataran regulasi, kelembagaan, pen- danaan, dan sebagainya. Peta jalan yang ditawarkan tersebut bukanlah rumusan tunggal yang dipreskripsikan untuk seluruh wilayah Indonesia. Mengingat luas- nya wilayah Indonesia serta beragamnya karakter penduduk dan permasalahan perumahan yang dihadapi oleh setiap daerah, maka peta jalan sengaja didesain dalam suatu kerangka dasar yang fleksibel dan memberikan ruang bagi beberapa opsi housing system.
Apabila rekomendasi dan pertimbangan yang dimuat dalam buku ini dija- dikan sebagai pegangan bagi para pembuat kebijakan dan pemangku kepenting- an lainnya secara konsekuen, maka kita dapat optimis bahwa krisis yang melanda sektor perumahan saat ini akan segera teratasi. Rumusan di dalamnya bersifat visioner, sehingga melampaui keprihatinan akan krisis dalam tataran kuantitatif melainkan bergerak menuju pembangunan perumahan yang lebih substantif berupa peningkatan kualitas dan keragaman mode rumah.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Jakarta, Oktober 2012 Sekretaris Kemenko Kesra
Indroyono Soesilo
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk semua, Rumah adalah objek yang dibutuhkan oleh semua warga sebagai tempat berlin- dung dan berkeluarga. Namun lebih daripada kebutuhan yang sifatnya pragmatis fungsional tersebut, rumah sesungguhnya juga merupakan objek yang memiliki makna simbolis yang tinggi. Rumah adalah tempat di mana manusia berakar dan menambatkan identitasnya. Ini menunjukkan, bahwa rumah memiliki makna eksistensial yang sangat dalam; rumah menjadi simbol dari sumber rasa keda- maian, ketentraman, dan kebahagiaan.
Ironisnya, banyak pihak yang seolah lupa dengan manfaat rumah yang kaya bagi kehidupan nasional tersebut. Kelupaan dan pengabaian ini terjadi bah- kan ketika pembangunan perumahan di Indonesia mengalami krisis berupa ba- nyaknya jumlah backlog dan permukiman kumuh.
Selain akibat tidak diberikannya prioritas, energi, dan fokus yang cukup bagi sektor perumahan, ketersendatan dalam pembangunan perumahan juga diakibatkan oleh karena belum adanya tata kelola yang mapan dan efektif dalam delivery kebijakan. Ini ditandai dengan kurangnya koordinasi antar kementerian/ lembaga (K/L), dimana masing-masing K/L seolah berjalan sendiri-sendiri. Selain itu, belum ada pula pembagian tugas (role sharing) yang jelas dan tegas di anta- ranya. Dengan kata lain, belum tersedia sistem kebijakan perumahan yang ter- padu, integratif, dan koheren.
Dalam kondisi demikian, kita patut bersyukur dengan diluncurkannya buku ini. Semoga buku ini hadir sebagai jawaban atas apa yang dibutuhkan selama ini, yaitu pegangan dan panduan yang jelas dan komprehensif tentang percepatan dan peningkatan kinerja pembangunan perumahan. Memang, buku tersebut bukan panacea atau obat yang mujarab untuk mengatasi segala masalah. Na- mun demikian, buku tersebut setidaknya mampu menjadi panduan dasar yang mengerangkai kebijakan perumahan di masa depan agar lebih efektif dan ber- hasil.
Kami mengapresiasi tim penyusun buku beserta pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunannya, di antaranya seluruh peserta dari rangkaian diskusi, kare- na kami menyadari bahwa penyusunan buku tersebut bukanlah hal yang seder- hana. Membuat analisis kebijakan tentang perumahan merupakan kerja yang multidimensi karena melibatkan lintas aktor, lintas disiplin, dan lintas sektor juga membutuhkan usaha, energi, dan dana yang tidak sedikit. Selamat atas diluncur- kannya buku ini. Kami harapkan para pemangku kepentingan dapat menjadikan buku yang ada sebagai acuan dalam bertindak dan melakukan evaluasi dalam pembangunan perumahan.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Jakarta, November 2012 Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat
Adang Setiana
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN___8
PROLOG ___11
BAB I PARADIGMA DAN AKSELERASI KEBIJAKAN PERUMAHAN__13 A. Paradigma Kebijakan Perumahan Berbasis Hak___14 B. Periodisasi Pemenuhan Hak atas Papan___18 C. Kebijakan Perumahan di Luar Negeri ___35 D. Benchmark Kebijakan Perumahan di Indonesia___52 E. Akselerasi Pembangunan Perumahan___54 BAB II SISTEM PERUMAHAN BERPARADIGMA NEGARA KESEJAHTERAAN___57 A. Negara Kesejahteraan dan Kebijakan Sosial___58 B. Dampak Ekonomi Negara Kesejahteraan___63 C. Tiga Model Negara Kesejahteraan___64 D. Prinsip Pemberian Subsidi___68 E. Desain Sistem Perumahan___71 BAB III PEMBIAYAAN PERUMAHAN___75 A. Pembiayaan bagi Kebijakan Sosial ___76 B. Tipe-tipe Subsidi dan Inovasi Pembiayaan Perumahan___80 C. Pembiayaan Perumahan di Indonesia___82 D. Pembiayaan Berbasis Komunitas ___84 E. Desain Pembiayaan Perumahan ___88 BAB IV PENYEDIAAN TANAH UNTUK PERUMAHAN___91 A. Tanah dan Rumah ___92 B. Fungsi Sosial Tanah dan Land Reform___94 C. Tantangan Pembangunan Perumahan di Perkotaan ___95 D. Bank Tanah dan Community Land Trust___98 E. Desain Penyediaan Tanah untuk Perumahan ___109 BAB V PETA JALAN KEBIJAKAN PERUMAHAN DI INDONESIA___115 A. Peta Jalan Kebijakan Perumahan ___116 B. Kerangka Sistem Kebijakan Perumahan ___130 C. Strategi Implementasi Kebijakan Perumahan ___135 EPILOG ___138 DAFTAR PUSTAKA ___140
DAFTAR SINGKATAN
ADB Asian Development Bank APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Apersi Asosiasi Pengembang Permukiman Seluruh Indonesia AS Amerika Serikat Bapertarum Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil BIC Building Information Centre BKPN Badan Kebijakan Perumahan Nasional BKP4N Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Peruma-
han dan Permukiman Nasional
BLU Badan Layanan Umum BMN/D Barang Milik Negara/Daerah BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial BPN Badan Pertahanan Nasional BPS Badan Pusat Statistik BTN Bank Tabungan Negara BUMN Badan Usaha Milik Negara CODI Community Organizations Development Institute CLT Community Land Trust CPF Central Provident Fund CSR Corporate Social Responsibility
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DUHAM Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia FLPP Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan GBHN Garis Besar Haluan Negara GHLC Government Housing Loan Corporation GNPPS Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat GNPSR Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah GTZ Gesellschaft fur Technische Zusammenarbeit HAM Hak Asasi Manusia
DAFTAR SINGKATAN
HDB Housing Development Board HPF Housing Provident Fund
ILO International Labor Organization
IUIDP Integrated Urban Infrastructure Development Programme Jamsostek Jaminan Sosial Tenaga Kerja JIEP Jakarta Industrial Estate Pulogadung Kemenpera Kementerian Perumahan Rakyat Kepres Keputusan Presiden KIP Kampung Improvement Programme KNHC Korea National Housing Corporation KPR Kredit Perumahan Rakyat KSB Kapling Siap Bangun KTP Konsolidasi Tanah Perkotaan LPMB Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan LSM Lembaga Swadaya Masyarakat MBM Masyarakat Berpenghasilan Menengah MBR Masyarakat Berpenghasilan Rendah MBT Masyarakat Berpenghasilan Tinggi MCK Mandi Cuci Kakus MDGs Millennium Development Goals MK Mahkamah Konstitusi ODA Official Development Assistance PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa Perda Peraturan Daerah PHA Public Housing Authorities PKRLT Program Konstruksi Rumah Lima Tahunan PNS Pegawai Negeri Sipil PPN Pajak Pertambahan Nilai
PSU Pusat Sarana Umum PTKU Pengadaan Tanah Pembangunan Kepentingan Umum REI Real Estate Indonesia Rusun Rumah Susun RTRW Rencana Tata Ruang Wilayah RPJPN Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional SDA Sumber Daya Alam SDM Sumber Daya Manusia SIER Surabaya Industrial Estate Rungkut SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah
SVO Stadsvormings Ordonantie SVV Stadsvorming Verordening
Tapera Tabungan Perumahan Rakyat TWP Tabungan Wajib Perumahan UCDO Urban Community Development Office UDC Urban Design Center
UNEP United Nations Environment Programme UNICEF United Nations Children’s Fund
UNESCAP United Nations Economic and Social Commission for Asia and the
Pacific UNRHC United Nations Regional Housing Centre
UNRISD United Nations Research Institute for Social Development UPDF Urban Poor Development Fund UU Undang-Undang UUPA Undang-Undang Pokok Agraria UURS Undang-Undang Rumah Susun
VOC Vereenigde Oostindische Compagnie WNI Warga Negara Indonesia YKP Yayasan Kas Pembangunan YKPP Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan
PROLOG Kondisi pembangunan perumahan di Indonesia berada pada tataran krisis.
Permasalahan ini perlu mendapat perhatian serius dari seluruh pemangku ke- pentingan. Tanpa ada penanganan yang serius akan membahayakan, mengingat rumah merupakan kebutuhan primer bagi semua manusia. Jika krisis melanda sektor perumahan, ketahanan nasional akan rapuh sehingga memicu munculnya ketidakstabilan nasional.
Mengapa masalah tersebut dapat terjadi? Jawaban tegas yang bisa di- berikan adalah fakta bahwa selama ini kebijakan perumahan didekati secara par- sial dan jangka pendek, paradigma yang digunakan masih saja tentang suplai, bukan hak masyarakat untuk memiliki tempat tinggal. Tidak ada tahapan yang jelas dalam perencanaan kebijakan perumahan, tidak pula dinaungi suatu desain penciptaan sistem perumahan yang jelas dan terukur. Praktik selama ini, berba- gai kementerian dan lembaga terkait mempunyai program perumahan masing- masing sehingga mengakibatkan tumpang tindih, disharmoni, dan mencuatnya ego sektoral.
Perubahan atas kondisi tersebut mutlak dilakukan, situasi krisis tidak dapat diatasi hanya menggunakan pendekatan normatif business as usual, apalagi pendekatan berorientasi proyek dan penghabisan anggaran.
Pemerintah menemui jalan buntu dalam menangani masalah perumahan, usaha-usaha yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan belum mampu men- jawab permasalahan tersebut. Dalam kondisi krisis seperti yang telah diuraikan, maka kehadiran buku ini menjadi penting karena dapat berkontribusi dalam menghadapi permasalahan tersebut. Ide-ide dalam buku ini dijabarkan dalam lima bab yang berkesinambungan.
Bab I akan membahas paradigma kebijakan perumahan dan menjabar- kan periodisasi masa pemerintahan dalam usahanya menangani perumahan. Dilanjutkan bab II yang membahas tataran paradigmatis yang disebut negara kesejahteraan (welfare state). Dalam paradigma kesejahteraan, kebutuhan rakyat akan perumahan dipandang sebagai bagian dari hak, melekat pada setiap war- ga negara. Oleh karenanya, paradigma negara kesejahteraan juga akan disebut paradigma berbasis hak (rights-based paradigm). Negara kesejahteraan ditandai oleh kebijakan sosial, negara memberlakukan pajak progresif dan memberi jaminan sosial pada orang miskin. Jaminan diberikan karena negara ingin memenuhi hak-hak dasar rakyatnya.
Berbekal paradigma ini, akan disusun suatu penciptaan sistem kebijakan perumahan yang integratif, merentang dari hulu ke hilir, sehingga seluruh tahap- an dan elemen dari sistem perumahan (prinsip, norma, regulasi, institusi, me- kanisme, pendanaan, pengadaan, dan lain-lain) dapat dilakukan dengan efektif dan harmonis, yang akan dibedah pada bab III dan IV.
Untuk mendukung agar sistem tersebut dapat berjalan baik, dibutuhkan pembagian peran (role sharing) yang jelas. Berbagai kementerian dan lembaga terkait perumahan harus bekerja sama dalam semangat sinergitas sektoral, tidak ada lagi kerancuan langkah karena masing-masing memiliki orientasi yang jelas dan spesifik dalam tugas, fungsi, dan wewenang. Dengan demikian, tidak ter- jadi lagi tumpang tindih dan langkah disharmoni dalam pelaksanaan kebijakan. Maka, pada bab terakhir buku ini akan membahas peta jalan sistem kebijakan perumahan yang pada masing-masing tahapannya merefleksikan proyeksi dan kondisi masa depan pembangunan perumahan di Indonesia, sehingga diharap- kan berbagai skema pemicu (trigger) untuk mendorong dilakukannya percepat- an pembangunan rumah, khususnya bagi MBR, dapat dilakukan. Kata-kata kunci dalam keseluruhan langkah ini adalah koordinasi, kooperasi, dan konsultasi.
PARADIGMA DAN AKSELERASI KEBIJAKAN PERUMAHAN
1 Peran rumah sangat penting dalam menopang kehidupan individu dan ke-
luarga, hingga lembaga seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun menobat- kan hak akan rumah sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), sebagaimana dicantumkan dalam Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diumumkan oleh Majelis Umum PBB tanggal 10 Desember 1948, melalui Resolusi 217 A, Pasal 25 Ayat (1). Indonesia, sebagai bangsa beradab memiliki kewajiban untuk menjamin hak asasi seluruh warga negaranya, termasuk hak akan rumah.
Perlu dilakukan strategi alternatif untuk menggerakkan pemerintah agar bertindak strategis untuk memenuhi kebutuhan akan
Sudahkah
papan bagi seluruh warga negara, caranya adalah dengan
seluruh
memberikan data empiris untuk menunjukkan kondisi ob- jektif dan tingkat kekritisan dari suatu sektor. Tujuannya,
warga negara
memberikan kesadaran akan krisis (sense of crisis) yang se-
mendapat
cara impulsif akan memaksa pemerintah untuk melakukan
jaminan
tindakan progresif. Untuk itu, perlu dilakukan perbandingan
akan papan
antara ketentuan dengan praktik, antara yang legal dan yang empiris. Lalu bagaimanakah realitas dari perumahan di Indo-
sebagaimana
nesia? Sudahkah seluruh warga negara mendapat jaminan
diamanatkan
akan papan sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan
oleh konstitusi
berbagai produk hukum?
dan berbagai
Bab ini akan membahas tentang paradigma kebijakan
produk hukum?
perumahan yang memungkinkan untuk diaplikasikan di Indo- nesia, konsep paradigma kesejahteraan bisa menjadi angin segar, prinsip negara kesejahteraan yaitu solidaritas dan per- lindungan hak asasi dianggap mampu mengatasi segala masalah perumahan yang terjadi selama ini. Negara kesejahteraan memberikan perhatian serius pada isu perumahan karena salah satu kebutuhan dasar selain pangan dan sandang adalah rumah.
Maka dari itu, untuk melihat keseriusan pemerintah Indonesia dalam men- jawab masalah perumahan, bab ini akan menjabarkan periodisasi hak akan pa- pan yang selama ini telah dijalankan.
A. Paradigma Kebijakan Perumahan Berbasis Hak
Sebagai bagian dari bangsa beradab dan negara anggota PBB, Indonesia mempunyai tanggung jawab moral untuk menjamin hak akan rumah bagi warga negaranya, hal ini juga untuk memberi daya afirmatif yang lebih kuat. Negara telah mengundangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dalam konsiderannya menyebut bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota PBB, mengemban tanggung jawab moral dan hukum, untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan DUHAM, serta berbagai instrumen internasional lainnya menge- nai HAM yang telah diterima oleh Republik Indonesia. Dalam kaitannya dengan perumahan, Pasal 40 dari UU tersebut bahkan jelas mengatakan: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.”
Pada dasarnya, seruan untuk memberikan hak akan perumahan bagi se- luruh rakyat tidak hanya diderivasikan dari konsensus universal akan HAM, yang kemudian secara unilateral dituntutkan kepada seluruh negara di dunia. Para pendiri negara pun sesungguhnya telah memiliki visi serupa, dirumuskan secara mandiri dan berkesadaran, bahkan sebelum dideklarasikannya DUHAM. Terbukti jika menengok pada konstitusi negara, yaitu UUD 1945, dalam Pembukaan UUD 1945 alinea 4, disebutkan bahwa, “Pemerintah Negara Indonesia dibentuk untuk memajukan kesejahteraan umum…”
Meski tidak dinyatakan secara eksplisit, namun jelas bahwa yang dise- but sebagai kesejahteraan umum salah satu elemennya adalah rumah. Semen- tara dalam Batang Tubuh, tepatnya Pasal 28 H amandemen ke-4 UUD 1945, di- nyatakan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Sayangnya, pelaksanaan di lapangan selama ini acap kali berbeda dengan tuntutan dan kewajiban yang telah tertuang secara normatif dan legal.
Sebagai norma fundamental (grundsnorm), dokumen-dokumen induk semacam itu wajar untuk dikutip dan dirujuk sebagai legitimasi dan justi- fikasi, sebagai penyokong hampir semua isu. Akibatnya, karena rumusan normatif yang termuat dalam dokumen-dokumen tersebut terlalu sering di- wacanakan tanpa adanya tindak lanjut, maka tidak mampu menggerakkan pemangku kepentingan, terutama pemerintah, untuk melakukan tindakan serius.
Kinerja pembangunan perumahan di Indonesia selama ini masih be- lum memuaskan, baik dari sisi kebutuhan maupun pasokan. Berdasarkan data BPS tahun 2012, dari sisi kebutuhan, data menunjukkan bahwa jumlah kekurangan rumah (backlog) setiap tahun semakin meningkat, yaitu dari 5,8 juta unit pada 2004 menjadi 7,4 juta unit tahun 2009, dan mencapai 13,6 juta unit pada 2010. Setiap tahun, jumlah permintaan rumah meningkat se- banyak 900.000 dengan kemampuan membangun yang hanya 200.000 se- hingga dapat disimpulkan bahwa setiap tahun jumlah backlog meningkat sebanyak 700.000, maka tahun ini diperkirakan jumlah tersebut telah men- capai 15 juta.
Selain itu, data lain yang menunjukkan buruknya kondisi perumahan di Indonesia, yakni jumlah luasan kawasan kumuh yang terus meningkat. Pada ta- hun 2004, luas kawasan kumuh sekitar 54.000 ha dan tahun 2009 telah mencapai 57.000 ha. Tren kenaikan ini terus akan terjadi ke depannya, sesuai prediksi BPS bahwa urbanisasi akan mencapai 68% pada tahun 2025. UN Habitat (2007) pun memperkirakan, tidak kurang dari dua juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh pada 2030.
Masih banyaknya jumlah backlog dan kawasan kumuh adalah kon- sekuensi nyata dari problem pembangunan yang lebih luas, yakni urbani sasi dan gagalnya redistribusi pendapatan. Urbanisasi muncul karena pemerin- tah belum maksimal untuk melakukan pemerataan pembangunan antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Sayangnya, kecenderungan ini diper- kirakan akan semakin mencolok di masa depan. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), urbanisasi akan mencapai 68% pada 2025.
Sementara itu, gagalnya redistribusi pendapatan adalah efek dari ke- bijakan ekonomi yang tidak berpihak pada sektor riil ekonomi rakyat dan penciptaan struktur ekonomi, sehingga memicu lebarnya kesenjangan an- tarkelas. Pada gilirannya, ini membuat daya beli Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) stagnan, mereka tetap tidak mampu membeli rumah meski- pun butuh, sehingga tinggal di kawasan kumuh menjadi satu-satunya solu- si. Senada dengan perkiraan UN Habitat (2007) bahwa pada tahun 2030, dua juta masyarakat perkotaan di Indonesia akan tinggal di kawasan kumuh.
Sedangkan pada sisi pasokan, problem yang dihadapi adalah pemerintah kurang mengembangkan jenis-jenis kebijakan yang bervariasi dan progresif. Jika itu dilakukan, maka dapat merangsang perbaikan kinerja aktor di sisi suplai seperti pengembang, misalnya melalui pemberian kredit konstruksi yang lebih besar atau insentif perizinan dan perpajakan.
Dengan melihat data dan fakta yang terjadi pada bidang perumahan tersebut, dapat dikatakan bahwa perumahan adalah sektor pembangunan yang tingkat kekritisannya sudah masuk level sangat kritis. Untuk itu, tidak ada cara lain selain pemerintah harus melakukan langkah-langkah inovatif secara cepat namun tetap terencana. Apabila pendekatan dan sikap dalam menyikapi perumahan yang ada selama ini tidak diubah maka keadaan akan bertambah parah, pada titik yang paling ekstrem akan menimbulkan kere- sahan sosial dalam skala masif, yang mampu mencip-
Untuk mewujudkan takan ketidakstabilan nasional. pembangunan
Sebagai langkah awal untuk meretas pendeka-
sistem perumahan
tan baru dalam menangani masalah perumahan, perlu dilakukan pemahaman persepsi dan kesadaran ber-
yang terintegrasi
sama bahwa isu perumahan sejatinya merupakan isu
dan berjangka
besar yang kompleks. Terdapat keterkaitan antarsektor
panjang,
yang seringkali memberikan pengaruh secara tak ter-
langkah pertama
duga pada sektor perumahan. Dengan pemahaman ini di tangan, maka sudah seharusnya apabila pemerintah
yang harus
mendekati problem perumahan dalam cara pandang
diambil adalah
yang holistik dan komprehensif. Artinya, kebijakan pe-
menentukan
rumahan hendaknya tidak didekati secara parsial dan
paradigma yang
isolatif, melainkan perlu memperhatikan kondisi kom- pleks yang berada di luar sistem perumahan. Untuk itu,
tepat.
dibutuhkan koordinasi lintas kementerian dan kerja sama lintas aktor yang dilakukan secara terpadu.
Untuk melakukan hal tersebut, dibutuhkan peningkatan dalam hal koor- dinasi, sinkronisasi, pengendalian, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi. Dalam sektor perumahan, persis hal-hal itulah yang paling dibutuhkan saat ini. Hal ini mengingat bahwa pembangunan perumahan selama ini tidak dilakukan secara sistemik, terencana, terkoordinir, dan terkontrol. Penyebab utama dari hal tersebut adalah cara pandang yang kurang komprehensif atas perumahan, di mana perumahan dipandang sebagai subsektor pembangunan yang dapat ditangani secara parsial. Hal ini perlu diubah karena pandangan demikian me- nimbulkan berbagai ekses dalam pembangunan perumahan, seperti terjadinya tumpang tindih dan kurang fokusnya masing-masing pihak yang mengurusi pe- rumahan. Konsekuensi lebih lanjutnya, masalah-masalah yang lebih urgen pada sektor perumahan menjadi kurang cepat tertangani.
Untuk mewujudkan pembangunan sistem perumahan yang terintegrasi dan berjangka panjang, langkah pertama yang harus diambil adalah menen- tukan paradigma yang tepat. Ini karena penciptaan sistem kebijakan yang kom- prehensif dalam bidang apapun harus dipandu oleh suatu paradigma tertentu. Para- digma akan memberikan suatu sistem kebijakan pendasaran filosofis dan konseptual yang jelas. Dengan mengadaptasi pengertian paradigma Thomas Kuhn (1962), para- digma dapat dipahami sebagai kerangka dari konsep-konsep dan prosedur-prosedur tertentu di mana suatu sistem tertentu terstrukturkan secara sistemis.
Suatu paradigma tidak memaksakan pendekatan yang rigid dan teknis, me- lainkan dapat diadopsi secara fleksibel dan kreatif. Dalam konteks kebijakan publik, paradigma kebijakan adalah seperangkat pandangan dan prinsip fundamental yang menjadi acuan dan perspektif dasar dari seluruh elemen, program, dan strategi yang dilakukan untuk menjalankan suatu kebijakan tetentu.
Dalam sistem kebijakan perumahan, paradigma tersebut akan digunakan sebagai prinsip pemandu dalam mengoordinasikan, mengarahkan, dan me- ngontrol seluruh kementerian dan lembaga yang terkait dengan perumahan demi menjamin agar seluruh langkah yang dilakukan bersifat koheren dan ber- jalan sesuai dengan jalur paradigma yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, kon- sep negara kesejahteraan (welfare state) adalah paradigma yang paling tepat untuk memandu penciptaan sistem kebijakan perumahan yang berjangka pan- jang.
Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, konsep negara kesejahteraan adalah konsep yang paling reliabel dan meyakinkan dalam meresepkan peran-peran apa yang paling tepat dilakukan oleh negara dalam rangka menjamin kesejahteraan seluruh warganya. Hal ini telah dibuktikan tidak hanya dalam tataran teoretis, me- lainkan juga dalam tataran historis. Secara historis, negara yang menganut sistem ke- sejahteraan rakyat adalah negara yang memiliki indikator-indikator kesejahteraan yang memuaskan, dengan distribusi kesejahteraan tersebar secara merata pada seluruh penduduk. Dalam kebangkrutan sistem sosialis dan delegitimasi besar- besaran sistem pasar bebas kapitalisme di era kontemporer, negara kesejahte- raan diakui sebagai pilihan yang paling rasional dan prospektif dewasa ini kare- na mampu menghindari ekses-ekses negatif dari sistem sosialis dan kapitalis tanpa mengorbankan hasrat masyarakat untuk berkembang dan beraktualisasi.
Kedua, negara kesejahteraan adalah visi dan ide besar yang selama ini se- sungguhnya telah dicitakan dengan jelas dan artikulatif oleh para pendiri bang- sa. Konstitusi UUD 1945, baik dalam bagian Mukadimah maupun Batang Tubuh, adalah bukti tertulis yang tak tersangkal dari hal tersebut. Sayangnya, seiring dengan perjalanan sejarah bangsa, visi akan negara kesejahteraan tersebut mulai dilupakan. Dalam hal ini, penciptaan sistem kebijakan perumahan dalam paradigma kesejahteraan adalah salah satu langkah inisiasi untuk menggali dan menghidupkan kembali warisan bangsa yang terlupakan tersebut.
Negara kesejahteraan selama ini kerap disalahpahami. Sebagian orang me- nyatakan bahwa penyelenggaraan negara dengan berdasar pada model negara ke- sejahteraan akan berpotensi membawa kepada pelemahan ekonomi negara terse- but karena negara harus memberikan subsidi yang besar kepada seluruh rakyatnya dalam rentang pelayanan yang luas: kesehatan, pensiun, kecelakaan kerja, jaminan pengangguran, dan lain-lain. Bagi kalangan tersebut, Indonesia yang masih giat membangun dan mengejar pertumbuhan ekonomi tidak selayaknya dibebani de- ngan kewajiban tambahan untuk menggelontorkan dana besar bagi penyeleng- garaan negara kesejahteraan yang komprehensif. Fenomena terkini di mana negara- negara dengan tradisi kesejahteraan yang lama menyurutkan komitmennya pada prinsip-prinsip negara kesejahteraan akibat krisis ekonomi akut karena banyaknya utang yang dideritanya, misalnya Yunani, menjadi amunisi kuat yang seringkali dikemukakan pihak yang menentang negara kesejahteraan.
Sesungguhnya, hal tersebut merupakan asumsi yang keliru dan tak ber- dasar. Negara kesejahteraan bukanlah negara yang rentan untuk bangkrut atau mengalami krisis ekonomi. Kebangkrutan atau krisis ekonomi yang dialami oleh suatu negara tidak disebabkan karena negara tersebut menganut model penye- lenggaraan pemerintahan tertentu, melainkan karena adanya salah kelola dalam penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, negara kesejahteraan justru merupak- an model yang lebih andal untuk menghalau krisis ekonomi, bahkan dipercaya mampu memperkuat fondasi kesejahteraan ekonomi di suatu negara. Negara kesejahteraan sejatinya merupakan sebentuk program investasi manusia secara nasional. Dengan meningkatnya kesejahteraan dan rasa aman warga, maka geliat dan keberhasilan ekonomi suatu negara di masa depan akan terjamin.
Buku ini menempatkan diskusi tentang negara kesejahteraan dengan menggunakan alat bantu teoretis berupa tiga model negara kesejahteraan se- bagaimana dirumuskan sosiolog Gosta Esping-Andersen. Teori tersebut digu- nakan karena melaluinya, dapat diperoleh seperangkat kriteria yang padat untuk mengevaluasi seberapa besar komitmen dari suatu negara untuk mengimple- mentasikan prinsip-prinsip negara kesejahteraan. Evaluasi tersebut dapat dilaku- kan tidak hanya terbatas kepada negara-negara yang telah mengaku sebagai negara kesejahteraan, namun juga pada negara-negara yang selama ini tidak dipandang sebagai negara kesejahteraan dan negara yang belum mengimple- mentasikan paradigma negara kesejahteraan meskipun secara normatif-konstitu- sional telah diamanatkan untuk menjalankan negara berdasar paradigma negara kesejahteraan, suatu kondisi yang terjadi di Indonesia.
B. Periodisasi Pemenuhan Hak atas Papan
Semua manusia membutuhkan rumah. Memiliki rumah berarti aspirasi manusia untuk mendapatkan tempat tinggal yang aman dan nyaman dapat di- penuhi. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah berfungsi terlebih sebagai basis dari kehidupan manusia itu sendiri. Pemenuhan hak atas papan adalah tanggung jawab pemerintah. Mulai dari periode kolonial, orde lama, orde baru, hingga periode reformasi kini, terdapat banyak sekali produk kebijakan terkait perumahan. Berikut akan dibicarakan periodisasi tersebut.
a. Periode Kolonial/Pra Kemerdekaan
Pada periode kolonial, lebih daripada yang mungkin diperkirakan, orientasi kesejahteraan dalam bidang perumahan ternyata telah mulai dirintis. Mulanya, pada abad ke-15, yaitu pada masa awal kolonialisme memang komitmen peme- rintah kolonial untuk menjamin hak rakyat akan rumah dapat dikatakan rendah. Terlihat melalui statuta tahun 1642 yang menyebutkan bahwa pemerintah hanya bertanggung jawab atas prasarana umum, sedangkan pembangunan peruma- han diserahkan sepenuhnya pada swasta. Akan tetapi, kemudian terlihat bahwa pemerintah kolonial mulai memikirkan masalah perumahan rakyat dengan seri- us. Namun pada tahun 1926, didirikan Perusahaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V. Volkshuis-vesting) yang bertugas untuk mengadakan rumah sewa bagi masyarakat.
Sumber: www.unpad.ac.id
Gambar 1.1. Kondisi perumahan di era kolonial/prakemerdekaanBerikut peristiwa-peristiwa penting dalam periode kolonial.
Tahun 1642 Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mengeluarkan sta-
tuta yang menetapkan bahwa Dewan Kota Batavia bertanggung jawab atas prasarana umum, baik jalan maupun saluran. Sedang pembangunan pe- rumahan diserahkan kepada pengusaha swasta, terutama bagi kelompok masyarakat mampu.
Regeringsreglement 1845 menetapkan bahwa kampung kota boleh bertahan
namun berada di luar wewenang pemerintah kota. Kampung selanjutnya diatur oleh pemerintah pusat dengan perantara para bupati. Gedenkboek van Nederlandsch Indie 1889-1923. Pada periode ini pemerintah
membangun perumahan untuk rakyat banyak, pemerintah pusat (Batavia) juga memikirkan keadaan kampung kota yang dianggap amat menyedi h- kan. Sasaran kebijakan ini adalah kampung yang dibangun oleh penghuni- nya sendiri.
Sistem pengadaan perumahan kota sampai Perang Dunia II dibagi dalam
tiga pola:a) Pertama, perumahan yang dibangun oleh swasta; bermutu baik, mahal, dan diperuntukkan bagi penduduk berpenghasilan menengah ke atas, utamanya bagi orang Eropa dan Timur asing. Sebagian dijual untuk dimiliki, sedang sisanya disewakan; besar sewa diatur oleh pemerintah. Rumah ini memiliki bentuk dasarnya sama dan mencolok, rumah-rumah ini mudah dikenal.
b) Kedua, pengadaan untuk dipakai sendiri; baik pribadi maupun oleh sebuah badan usaha. Termasuk di dalam pola ini adalah perumahan dinas untuk pegawai negeri maupun perusahaan swasta. Pola ini dianjurkan pemerintah untuk meringankan kekurangan rumah yang
ada tiap tahun. Bentuk dari perumahan pola ini lebih bervariasi.
c) Ketiga, pola perumahan di kampung; jumlahnya mencapai dua pertiga rumah yang ada, ditinjau dari jumlah penghuninya. Umumnya perumahan ini dibangun penghuninya sendiri, menurut pola dan bentuk yang berkembang secara inkremental (sedikit demi sedikit), oleh karenanya selalu berubah secara dinamis.
Sejak pembentukan pemerintahan kota (1904), pemerintah pusat mengi-
ngatkan dewan kota untuk memperhatikan kesehatan masyarakat kampung dan mengusahakan perbaikannya di kota masing-masing. Surat pertama (tertanggal 30/5/1917) tentang hal ini ditujukan ke Dewan Kota Semarang dan Surabaya yang mengusulkan agar dilakukan perbaikan keadaan perkam- pungannya (Kampoeng Verbetering). Tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda memprakarsai pendirian Perusahaan Pembangunan Perumahan Rakyat (N.V. Volkshuisvesting). Perusahaan ini
merupakan perusahaan campuran antara Pemerintah Pusat (Hindia Belan-
da) dan Pemerintah Daerah (Gementee) dengan perbandingan saham 75% : 25%. Tugas dari N.V Volkshuisvesting tersebut adalah mengadakan rumah sewa bagi masyarakat. Daerah yang telah mendirikan N.V Volkshuisvestingadalah Jakarta, Bogor, Sukabumi, Cirebon, Semarang, Madiun, Surabaya, Pa-
suruan, Mojokerto, Jember, Padang, Ujung Pandang, dan Manado.
Tanggal 20 Maret 1934 Burgelijke Woning Regeling/BWR ditetapkan untuk
mengatur pembangunan perumahan bagi pegawai pemerintah oleh peme-
rintah Hindia Belanda, yang disebut sebagai Rumah Negeri. Rumah-rumah negeri tersebut dibagi dalam sebelas kelas berdasarkan tingkat penghasilan dan disewakan kepada pegawai negeri sipil yang menempatinya. Besarnyasewa adalah 9% sampai 15% dari gaji pegawai negeri yang bersangkutan.
Stadsvormings Ordonantie (SVO) 1948 dan Stadsvorming Verordening (SVV)
1949. Kedua peraturan ini hendak menanggapi perkembangan kota yangmendesak, yaitu mengatasi kerusakan akibat perang; termasuk pembangu-
nan perumahan yang masih terus diperhatikan pemerintah. SVO dan SVV hanya berlaku bagi lima belas dari lima puluh kotapraja yang ada. Pada pelaksanaannya juga sebatas pemeliharaan kota, bukan pembangunan.Pada periode ini, kebijakan perumahan berparadigma universal, yakni mem-
berikan hak rumah bagi seluruh penduduk tentu tidak dilakukan. Sebagai penjajah, wajar apabila perkara kesejahteraan dan hak dari rakyat selaludikebawahkan oleh kepentingan kaum kolonial sendiri. Kebijakan peruma-
han untuk rakyat, yang dikeluarkan selama periode kolonial lebih bersifat parsial dan dilatarbelakangi oleh kemurahan hati semata.b. Orde Lama
Pembangunan perumahan di Orde Lama (Orla) ditandai dengan pemben- tukan institusi-institusi negara yang terkait dengan bidang perumahan, di antaranya adalah Jawatan Perumahan Rakyat, Badan Pembantu Perumahan
Rakyat, Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan, Yayasan Kas Pembangu-
nan, dan Bank Pembangunan. Sebagai Negara yang baru merdeka, ini meru-
pakan langkah rasional. Pembangunan institusi yang mempunyai kapasitasuntuk mengimplementasikan kebijakan merupakan fondasi dari penciptaan
sistem kebijakan yang solid di bidang perumahan.
Selain itu, periode ini juga ditandai dengan bermunculannya rancangan dan rencana pembangunan perumahan secara strategis, yakni desain kebijakan
perumahan yang diproyeksikan untuk jangka panjang, seperti yang termuat dalam Garis-garis Besar Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956–1960 dan Rancangan Dasar Undang-Undang dan Pembangunan Nasional Semesta Berencana oleh Dewan Perancang Nasional. Berikut merupakan peristiwa- peristiwa penting yang terjadi pada Orde Lama. Kongres Perumahan Rakyat Sehat (25-30 Agustus 1950) di Bandung.
Tahun 1951 tepatnya tanggal 1 Januari dibentuk Jawatan Perumahan Rakyat
dalam lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga. Instansi ini ke- mudian diresmikan melalui Keppres No. 65 Tahun 1952. Tugas pokok Jawatan Perumahan Rakyat meliputi empat bidang: melakukan penelitian teknis- tekonologis, membuat konsep-konsep pemikiran kebijaksanaan peruma- han, mengadakan penyuluhan dan bimbingan teknis kepada masyarakat,dan mengatur penyelenggaraan pembiayaan pembangunan perumahan.
Tanggal 22 Maret 1951 dibentuk Badan Pembantu Perumahan Rakyat. Badan
ini merupakan badan penasihat yang bertugas memberikan pertimbangan- pertimbangan yang diperlukan oleh Jawatan Perumahan Rakyat. Tahun 1952 pemerintah pusat menerbitkan Peraturan Pembiayaan Peruma-
han Rakyat yang mencantumkan konsep:a) Dasar-dasar pembentukan Yayasan Kas Pembangunan (YKP) di Daerah- daerah Otonom Tingkat II, yang mempunyai ciri-ciri Koperasi Rakyat.
- Tugas YKP sebagai badan nonprofit adalah membangun rumah yang harganya lebih rendah dari harga pasaran dan menyewabelikannya kepada para anggota penabung selama 20 tahun.
- Sebagai modal kerja, YKP menerima kredit 25 tahun tanpa bunga dari pemerintah, dengan jaminan dari DPRD.
- Periode sekitar dua tahun terbentuk lebih kurang 200 YKP di seluruh Indonesia.
d) Pembentukan suatu Bank Pembangunan yang kegiatannya antara lain mengeluarkan pinjaman obligasi, yang pembayarannya dijamin oleh pemerintah.
Tahun 1953 melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1953, Pemerintah
Pusat menyerahkan sebagian urusan mengenai pekerjaan umum kepada pemerintah provinsi. Tanggal 1 Maret 1955 dibentuk Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan
(LPMB) di Bandung yang juga menjalankan fungsi sebagai pelaksana UnitedNations Regional Housing Centre (UNRHC) untuk kawasan Asia Tenggara.
Sumber: Dok. HRC, 2006
Gambar 1.2. Kondisi Perumahan Nasional
Tahun 1956 Biro Perancang Negara merumuskan Garis-garis Besar Rencana
Pembangunan Lima Tahun 1956 – 1960. Program pemerintah di bidang pe-
rumahan meliputi : • Penyelidikan-penyelidikan mengenai teknik pembuatan rumah.Penyuluhan kepada rakyat mengenai hasil penyelidikan tersebut.
- Penyederhanaan prosedur-prosedur administrasi serta pemberian fasilitas mengenai pembuatan rumah.
- Dorongan untuk memperbesar produksi bahan bangunan.
• Pengumpulan bahan-bahan keterangan mengenai hal perumahan.
Tahun 1957 pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 72 Tahun 1957
tentang Penjualan Rumah-rumah Negeri kepada Pegawai Negeri, menga- tur penyelenggaraan penjualan rumah negeri golongan III kepada pegawai negeri.
Tahun 1958 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
1958 tentang Penyerahan Urusan Perumahan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Peraturan tersebut berisi tentang :- Sebagian urusan perumahan diserahkan kepada Pemerintah Daerah Tingkat I.
- Pada setiap daerah dibentuk panitia perumahan yang anggotanya terdiri dari para ahli yang diangkat oleh Kepala Daerah yang dikepalai oleh Kepala Kantor Urusan Perumahan (Kepala KUP). Dalam Lembaran Negara dari bagian peraturan pemerintah ini lebih ditekankan pada ketentuan sewa menyewa perumahan bagi perumahan.
Tahun 1960 Dewan Perancang Nasional menyusun Rancangan Dasar Un-
dang-Undang Pembangunan Nasional Semesta Berencana yang antara lain memasukkan pemikiran Bank Perumahan. Tahun 1962 pemerintah menerbitkan Perppu No. 6 Tahun 1962 tentang Po-
kok-pokok Perumahan. Tahun 1964 pemerintah menerbitkan UU No. 1 Tahun 1964 tentang Peneta-
pan Perppu No. 6 Tahun 1962 tentang Pokok-pokok Perumahan menjadi UU. Dalam Pasal 3 UU tersebut, menyebutkan bahwa pemerintah memberikan bimbingan, berbagai fasilitas, bantuan dan perangsang lainnya, baik dalam pembangunan maupun pembiayaannya, tanpa meninggalkan semangat go- tong royong yang hidup di dalam masyarakat. Kebijaksanaan umum peme- rintah dalam urusan perumahan pada saat UU ini diterbitkan dijalankan oleh menteri sosial.Dalam perspektif paradigma kesejahteraan, dapat dikatakan bahwa corak kebijakan perumahan di era Orde Lama telah mengadopsi sebagian prinsip-prin- sip negara kesejahteraan, meskipun hal itu belum dapat dilakukan secara penuh dan paripurna. Hal ini wajar karena negara waktu itu masih memiliki keterbatasan dana, pengalaman, dan kapasitas. Untuk mengantisipasi keterbatasan tersebut, pemerintah menyerukan bahwa rakyat juga harus terlibat aktif untuk menye- diakan kebutuhan perumahannya secara gotong-royong.
c. Orde Baru
Pembangunan kebijakan perumahan di Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto dapat dibagi ke dalam dua sub-tahap: era rehabilitasi (1966-1980) dan era pembangunan (1981-1997). Era rehabilitasi menandai suatu tahap di mana kebijakan perumahan difokuskan untuk menangani gagalnya penanganan ma- salah-masalah perumahan dasar yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya. Se- mentara itu, era pembangunan menandai arah baru kebijakan perumahan di te- ngah iklim percepatan pembangunan ekonomi nasional.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru sesungguh- nya memiliki orientasi dan komitmen yang cukup kuat terhadap perumahan rakyat. Salah satu faktor yang turut melatarbelakanginya adalah ideologi pem- bangunan yang dianut oleh pemerintahan Orde Baru. Pembangunan ekonomi besar-besaran memberikan perhatian yang besar bagi pemenuhan kesejahte- raan dasar rakyat, salah satunya perumahan.
Berikut merupakan peristiwa-peristiwa penting terkait perumahan di Orde Baru.
Dalam rencana pembangunan nasional lima tahunan Pelita I yang berlaku
dari1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, perumahan rakyat (papan) dinya-
takan sebagai salah satu sektor dari 17 sektor pengendalian operasional pembangunan lima tahun.
Tahun 1970 pemerintah membentuk empat Building Information Centre (BIC)
di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Denpasar. Tanggal 6 Mei 1972 pemerintah mengadakan Lokakarya Nasional Peruma-han dan Permukiman I. Lokakarya tersebut menghasilkan tiga keputusan po-
kok tentang: sistem pembiayaan perumahan, sistem kelembagaan peruma-
han, dan sistem penunjang perumahan. Tanggal 11 Februari 1972 lahir asosiasi Real Estate Indonesia (REI).
Pemerintah membentuk Badan Kebijaksanaan Nasional Perumahan melalui
Keputusan Presiden No. 35 Tahun 1974.
Tahun 1974 pemerintah membentuk Perum Perumnas melalui Peraturan
Pemerintah No.29 Tahun 1974. Peran Perumnas saat itu adalah: pertama,
melayani kebutuhan perumahan rakyat sebagai kebutuhan publik. Kedua,mengembangkan aset publik untuk menunjang perannya. Ketiga, menye-
lenggarakan kegiatan-kegiatan produktif dengan mengacu pada prinsip-
prinsip ekonomi dan prinsip menjamin keamanan dan pemanfaatan aset-
aset negara. Keempat, menerapkan kebijakan perumahan sesuai arahan kebijakan dan program pemerintah.
Tahun 1974 melalui Surat Menkeu, Bank Tabungan Negara (BTN) ditugas-