PENDEKATAN SEMANTIK KAJIAN ATAS KARYA TO
PENDEKATAN SEMANTIK
KAJIAN ATAS KARYA
TOSHIHIKO IZUTSU
(Etico-Religious Concept in the Qur’an
dan
God and Man in the Koran: Semantic of
the Koranic Weltanschaung)
Dosen Pengampu:
Dr. M. Samsul Hady, M.Ag.
Presentator:
Umi Fatimatur R. (16770050)
BIOGRAFI TOSHIHIKO IZUTSU
KONSEP PEMIKIRAN
TOSHIHIKO IZUTSU
METODE ANALISIS
SEMANTIK TOSHIHIKO
DARI ATURAN KESUKUAN
KE ETIKA ISLAMIK
CONTOH
RELASI TUHAN DAN
MANUSIA
KRITIK DAN APRESIASI
TERHADAP TOSHIHIKO
IZUTSU
BIOGRAFI
TASHIHIKO IZUTSU
RIWAYAT HIDUP
TASHIHIKO:
Lahir pada 4 mei 19141993 M, JEPANG.
berasal dari
keluarga kaya &
taat, ia telah
mengamalkan Zen
Buddhismwwwe
Penemuan pengalaman
mistikal sebagai sumber
pemikiran filsafat menjadi
titik permulaan untuk
seluruh filsafat Izutsu
selanjutnya
bukan hanya dalam ruang filsafat
Yunani, tetapi juga menjadi asal-usul
pemikiran ketika beliau
mengembangkan ruang lingkup
aktivitas penelitiannya pada filsafat
Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India,
filsafat Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan
Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Karya-karya beliau yang ditulis dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut:
A History of Arabic Philosophy (Tokyo, 1941)
1. Islamic Jurisprudence in East India (Tokyo, 1942)
2. Mystical Aspect in Greek Philosophy (Tokyo, 1949)
3. An Introduction to the Arabic (1950)
4. Russian Literature (Tokyo, 1951)
5. Muhammad (1950)
6. The Concept of Man in the Nineteeth Century Russia (1953)
7. The Structure of the ethical Terms in the Koran (1972)
8. History of Islamic Thoughts (1975)
9. Birth of Islam (Kyoto, 1971)
10. A Fointainhead of Islamic Philosophy (1980)
11. Islamic Culture: That Which Lies at Its Basis (1981)
12. Consciousness and Essence: Searching for a Structural Coincidence of Oriental
Philosophies (1983)
13. Reading the Qur’an (1983)
14. To the Depth of Meaning: Fathoming Oriental Philosophies (1985)
15. Bezels of Wisdom (1986)
16. Cosmos and Anti-cosmos: for a Philosophy of the Orient (1989)
17. Scope of Transendental Words: God and Man in Judeo-Islamic Philosophy (1991)
18. Metaphysics of Consciousness: Philosophy of ‚the Awakening of Faith in the
Mahayana‛ (1993)
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Selain karya yang ditulis sendiri, beliau juga menerjemahkan
beberapa karya yang menjadi keahliannya ke dalam bahasa
Jepang. Di dalam terjemahan ini, beliau berupaya untuk
menghasilkan sebuah pengalihbahasaan ke dalam gaya,
perasaan dan makna dalam bahasa Jepang. Karya yang
dimaksud adalah:
1. M.C D’Arcy, The Mind and Heart of Love bersama dengan
Fumiko Sanbe (1957)
2. al-Qur’an 3 jilid (1957-1958)
3. Edisi Revisi terjemahan al-Qur’an (1964)
4. Mulla Shadra, Mashair (1964)
5. Jalaluddin, Fīhi ma Fīhi (1978).
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Sebagai intelektual yang sering berkecimpung dalam berbagai isu, beliau juga menulis
banyak jurnal dalam bahasa Jepang, yang meliputi berbagai disiplin ilmu seperti linguistik,
filsafat Islam, filsafat Barat, filsafat Timur, etika, dan tasawuf, di antaranya:
1. Contemporary Development in Arabic Linguistics di dalam Gengo Kenkyû, no. 3,
Tokyo 1939, hlm. 110-116
2. On the Accadian particle –ma di dalam Gengo Kenkyû, No. 4, Tokyo 1939, hlm. 2768.
3. Ethical Theory of Zamakhshari di dalam Kaikyôken, Vol. 4 No. 8, Tokyo 1940, hlm. 11-18
4. A Characteristic Feature of Arabic Culture di dalam Shin Ajia, Vol. 2 No. 10, Tokyo
1940, hlm. 82-94.
5. Introduction to the Turkish di dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo, Tokyo
1943, hlm. 109-113
6. Introduction to the Arabic dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo, Tokyo 1943,
hlm. 121-128
7. Introduction to the Hindi dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo, Tokyo 1943,
hlm. 129-131
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Lanjutan...
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Introduction to the Tamil, dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo,
Tokyo 1943, hlm. 173-177
Revelation and Reason in Islam dalam Nippon shogaku kenkyû Hôkoku, No.
12, Tokyo 1944, hlm. 53-67
Ontology of Ibn al-‘Arabi dalam Mita Tetsugakukai, Tetsugaku, no. 25 & 26
Tokyo 1944, hlm. 332-357
History of Islamic Thought dalam Yasaka Asatarô, seia sekaisi, Tokyo 1944,
hlm. 73-110
Muhammad dalam Yasaka Asatarô, seia sekaisi, Tokyo 1944, hlm. 249-265
Arabic Science and Technology dalam Asatarô, seia sekaisi, Tokyo 1944,
hlm. 289-300
Arabic Philosophy dalam Sekai Tetsugaku Kôza, Vol. 5, Tokyo 1948, hlm. 149305
The Mysticism of St. Bernard dalam Mita Tetsugakukai, Tetsugaku, No. 27,
Tokyo 1952, hlm. 33-64
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Dalam penelitiannya, Izutsu ingin melakukan dialog dengan berbagai kebudayaan
di dunia. Oleh karena itu, beliau menulis buku dalam bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar antarabangsa. Terbukti bahwa banyak para sarjana yang
memberi ulasan atau kritik terhadap hasil pemikiran beliau berdasarkan karyanya
dalam bahasa ini. Di antara bukunya yang ditulis dengan bahasa Inggris adalah:
1. Language and Magic: Studies in the Magical Function of Speech. Tokyo:
Keio University, 1956
2. The Structure of the Ethical Terms in the Koran: A Study in Semantics.
Tokyo: Keio University, 1959.
3. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung.
Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964.
4. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of Iman
and Islam. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1965.
5. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Montreal: McGill University Press,
1966
6. A Comparative Study of the Key Philosophical Concepts in Sufism and
Taoism: Ibn ‘Arabi and Lao-tzû, Chuang-tzû. Tokyo: Keio Universiti Press,
1966-1967
7. The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio I nstitute of Cultural and
Social Relations, 1971
8. Toward a Philosophy of Zen Buddhism. Tehran: Iranian Academy of
Philosophy, 1974.
9. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts.
Tokyo: Iwanami Shoten Publisher, 1983. Berkeley: University of California
Press, 1984
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Keterlibatan beliau dalam pertukaran ilmiah antarabangsa juga ditunjukkan di dalam
berbagai jurnal, ensiklopedia dan bagian buku sejak tahun 1960an hingga tahun
1990an yang berkisar pada persoalan linguistik, filsafat, dan mistisisme. Inilah karyakarya yang dimaksud:
1. Revelation as a Linguistic Concept in Islam di dalam Japanese Society of Medieval
Philosophy, Studies in Medieval Thought, vol. 5, Tokyo 1962, hlm. 122-1967.
2. The Absolute and the Perfect Man in Taoism di dalam Eranos-Jahrbuch, Vo. 36,
Zürich 1968, hlm. 379-440
3. The Fundamental Structure of Sabzawî’s Metaphysics di dalam Shar-I Ghurar alFarâid atau Sharh-I Manzûmah. Pt. I, Tehran 1969, hlm. 1-152.
4. Mysticism and the Linguistic Problem of Equivocation in the Thought of ‘Ain alQudât al-Hamadani dalam Studia Islamica, vol. 31, Paris 1970, hlm. 153-170.
5. The Archetipal Image of Chaos in Chuang Tzu: The Problem of the Mythopoeic
Level of Discourse. Dalam: Joshep P. Strelka, Anagogic Qualities of Literature:
Yearbook of Comparative Criticism, Vol. 4, Pennsylvania State University Press:
University Park 1971, hlm. 269-287.
6. The Paradox of Light and Darkness in the Garden of Mystery of Shabastarî. Dalam:
Joshep P. Strelka, Anagogic Qualities of Literature: Yearbook of Comparative
Criticism, Vol. 4, Pennsylvania State University Press: University Park 1971, hlm. 288307.
7. The Basic Structure of Methaphysical Thinking in Islam. Dalam: M. Mohaghegh & H.
8.
Landolt, Collected Papers on Islamic Philosophy and Mysticism,
Tehran 1971, hlm. 39-72.
9. The Philosophy of Zen dalam R. Klibansky, Contemporary
Philosophy: A Survey, Firenze 1971, hlm. 500-522.
10. Poetry and Philosophy in Japan dengan Toyoko Izutsu dalam R.
Klibansky, Contemporary Philosophy: a Survey, Firenze 1971,
hlm. 523-548.
11. The Structure of Selfhood in Zen Buddhism dalam EranosJahrbuch, Vol. 38, Zürich 1971, hlm. 95-150.
Pengertian SEmantik
Semantik berasal dari bahasa
Yunani semantikos berarti
“bermakna”. Adalah suatu studi
tentang makna suatu simbolsimbol linguistik, melaui “kata”,
“ekspresi”, dan “kalimat”. Dalam
arti, semantik adalah suatu ilmu
yang menelaah lambanglambang yang menyatakan
makna, hubungan makna yang
satu dengan yang lain dari katakata yang digunakan, atau
ekspresi yang terbentuk, bisa juga
dari kalimat-kalimat. Untuk
melakukan telaah ini, maka
dibuthkan pengetahuan
mengenai makna kata,
perkembangan dan
perubahannya.
Eastman, Carol M, Semantics
(Microsoft® Student 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2008)
Lebih luas lagi, semantik tidak hanya
ilmu yang berbicara tentang makna
saja, melainkan dibicarakan pula di
dalamnya bagaimana mula adanya
makna sesuatu (mis., sejarah kata,
dalam arti bagaimana kata itu
muncul), bagaimana
perkembangannya, dan mengapa
terjadi perubahan makna dalam
sejarah bahasa. Berdasarkan pada
kenyataan ini, maka bisa dipahami
bahwa semantik bukanlah ilmu yang
hanya melihat makna sebuah kata
dari sisi terluarnya, dalam arti makna
sekedar memberi makna suatu kata
secara pragmatis, melainkan juga
melacak sejarah kata tersebut,
kemudian perkembangan maknanya
dan juga melacak sebab terjadinya
perubahan makna. Fatimah
Metode Semantik
Toshihiko
Pemaknaan yang salah terhadap
kata-kata tersebut dapat berakibat
pada salahnya pemaknaan katakata lainnya. Toshihiko Izutsu, menulis
dalam sebuah bukunya, bahwa perlu
adanya cara pandang yang baru
dalam menyikapi masalah-masalah
lama yang dihadapi oleh umat Islam.
Pendekatan baru ini adalah dengan
melakukan analisis semantik
terhadap al-Qur’an, dalam rangka
memahami dan menentukan
Weltanschauung al-Qur’an. Ia
menyatakan bahwa tujuan dari
analisis ini adalah untuk
memunculkan tipe ontology hidup
yang dinamik dari al-Qur’an dengan
penelaahan analitis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok, yaitu
konsep-konsep yang tampaknya
memainkan peran menentukan
dalam pembentukan visi Qur’ani
terhadap alam semesta.
1. ia memposisikan al-qur’an
sebagai sebagai sebuah teks atau
catatan otentik berbahasa Arab,
dan mengesampingkannya
sebagai wahyu Illahi.
2. Selanjutnya Izutsu mulai
menganalisa struktur kata atau
kalimat yang sedang dikaji.
3. mencari makna dasar dan
makna relasional dari suatu kata.
4. menjelaskan pandangan
keduniaan yang dimiliki Al-Qur’an.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Konsepsi Pesimistis Kehidupan Duniawi
Islam mengajarkan bahwa dunia ini adalah fana dan sia-sia, dan oleh
karena itu kamu jangan sekali-kali terpedaya olehnya; jika kamu benarbenar ingin mendapatkan kehidupan yang kekal dan menikmati
kebahagiaan yang abadi kamu mesti menganut suatu prinsip tentang
kehidupan dunia lain dengan cara yang sangat mendasar dalam
kehidupan kamu. Jahiliyah mengajarkan bahwa segalanya sia-sia dalam
dunia ini dan tidak ada sesuatupun yang bisa dijumpai disebaliknya, maka
kamu harus menikmati kehidupan yang sementara ini dengan mereguk
kenikmatan sejauh yang dapat dilakukan. Upaya mencari kenikmatan
semata-matalah yang merupakan tujuan akhir yang mungkin dicapai bagi
orang-orang yang mencintai dunia di zaman Jahiliyah.
Sikap mendasar manusia masa sekarang, dari sudut pandang al Qur’an,
bukanlah hidup yang mengutamakan kesenangan duniawi seperti pada
orang Arab masa pra-Islam, tetapi kesungguhan dalam mendekatkan diri
dengan Hari Akhir.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Lanjutan...
Semangat Solidaritas Kesukuan
Struktur sosial Arab sebelum Islam pada dasarnya bersifat kesukuan. Sebuah suku,
atau sub-kelasnya, suatu marga, bagi orang-orang Arab sebelum Islam bukan
hanya suatu unit atau basis kehidupan sosial yang tunggal, tetapi yang pertama
dan terpenting adalah lambang sebuah prinsip perilaku paling tinggi, yang
menyusun suatu pola yang komprehensif bagi keseluruhan kehidupan, baik dalam
konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Semangat kesukuan tak
disangsikan lagi merupakan sumber pokok semua cita-cita moral yang atasnya
masyarakat Arab dibina. Menghormati jalinan hubungan kekeluargaan yang
berdasarkan ikatan darah melebihi segala apapun lainnya di dunia, dan bertindak
demi kemuliaan suku, yang merupakan perjanjian suci yang harus dipatuhi oleh
semua orang, yakni setiap individu yang menjadi anggota kelompok yang
bersangkutan.
Kenyataan yang aktual, kaidah solidaritas kesukuan ini, sebagaimana setiap kaidah
perilaku, kadang-kadang juga dilanggar, sekalipun para tokoh masyarakat padang
pasir berkepribadian begitu kuat dan menentukan dalam memelihara loyalitas
kepada ajaran-ajaran kesukuan.
Kebajikan mesti mengarahkan prinsip dari semua hubungan manusia dalam
masyarakat dan juga dalam keluarga. Maka orang mesti bersikap hormat dan
lembut kepada orang tuanya dan senantiasa merawat mereka dengan baik.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Lanjutan...
Islamisasi Nilai-nilai Kebajikan Arab Lama
1. Kemurahan Hati. Dalam kehidupan masyarakat padang pasir, kemurahan hati
menempati kedudukan yang sangat tinggi di antara sifat-sifat mulia. Tetapi di sana ada
sesuatu yang lebih dari itu. Kemurahan hati menurut orang-orang Arab penyembah berhala
erat sekali kaitannya dengan konsepsi orang Jahiliyah tentang “kehormatan”. Dalam etika
islamik, Orang pemurah yang sebenarnya adalah yang “membelanjakan hartanya di jalan
Allah”, yaitu karena dorongan keimanan, dan dilakukan pada dasar kesalehan, yang dapat
menjadi pengendali dengan baik.
2. Keberanian. Nilai-nilai kegagahan dan keberanian pada orang Arab penyembah berhala
sering tak lebih baik daripada kekejaman dan kebuasan yang tidak berperikemanusiaan
yang terjadi dalam permusuhan antar suku. Islam sebagaimana di kalangan penyembah
berhala, juga memberi penghormatan tertinggi kepada orang-orang yang tak pernah
gentar menghadapi bahaya, yang dengan gagah dan berani menghadapi musuh pada
setiap arena pertempuran.
3. Kesetiaan. Kesetiaan dan kepercayaan merupakan suatu ciri nilai yang paling tinggi dan
paling nyata di padang pasir, nilai kesetiaan orang Jahiliyah umumnya secara kekerabatan
karena hubungan darah. Penyanjungan demikian tinggi terhadap kepercayaan dan
kesetiaan diwarisi Islam dari orang Jahiliyah, dalam sosok budaya pengembaraannya yang
asli.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Lanjutan...
Islamisasi Nilai-nilai Kebajikan Arab Lama (Lanjutan...)
4. Islam Sebagai Suatu Kebenaran. Jika wahyu yang diturunkan dengan perantaraan
Muhammad merupakan suatu kebenaran, maka selanjutnya tentu saja bahwa Islam,
agama yang didasarkan pada wahyu itu, adalah juga suatu Kebenaran.
5. Kesabaran. Sabr, “kesabaran”, “ketabahan”, atau “daya tahan”, merupakan suatu nilai
yang menonjol dalam lingkungan hidup padang pasir di zaman Jahiliyyah. Kata ini adalah
bagian dari shaja’ah, “berani”. Nilai budaya suku pengembara lama ini, juga
ditransformasikan oleh Islam ke dalam salah satu nilai utamanya, dengan melengkapinya
dengan tuntutan keagamaan yang pasti: “Sabar di jalan Allah”.
6. Dikotomi Dasar Moral. Standar penilaian terakhir yang dengannya pembagian ini
dilaksanakan adalah kepercayaan yang semata-mata tertuju kepada Tuhan Yang Maha
Esa, pencipta semua makhluk. Pada dasarnya, hampir seluruh lembaran al Qur’an
mengajukan garis pokok dualisme mengenai nilai-nilai moral manusia; dasar dualisme
tersebut menyangkut orang beriman dan orang yang tidak beriman.
Contoh
Untuk mengenal lebih jauh tentang metode penafsiran dengan menggunakan analisis
semantik, penulis mencoba menjelaskan sebuah contoh penafsiran. Dalam hal ini penulis
mencoba untuk menerangkan konsep syaithan ( )شيطانdalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an
kata syaithan disebutkan sebanyak 70 kali dalam dua bentuk, yaitu syaithan dan syayathin
()شياطين.
Makna Dasar dan Makna Relasional:
Secara bahasa kata syaithan berasal dari kata syathana ( )شطنyang berarti tali, dikatakan
sebagai tali yang panjang dan kuat. Selain itu syaithan juga dimaknai dengan sikap
pemberontakan dari golongan jin dan manusia, menjauh, pribadi yang tugasnya
melancarkan tipu daya, sebagai musuh. Dalam tradisi Kristen, syaithan dimaknai dengan
kekuatan kejahatan yang sangat dahsyat. Sedangkan dalam tradisi Israel, setan memiliki
makna musuh atau musuh besar. Dalam Al-Qur’an syaithan digambarkan sebagai sosok
yang licik dan pandai menggoda, Syaithan juga digambarkan sebagai sosok makhluk yang
tunduk kepada manusia, syaithan itu adalah golongan yang menyesatkan, dll. Dari sini
penulis menyimpulkan bahwa syaithan lebih kepada unsur kepribadian dan sifat yang
terdapat dalam diri seseorang baik dari golongan jin dan manusia yang selalu mengarah
pada kejahatan dan kerusakan serta permusuhan.
Contoh (Lanjutan...)
Struktur Batin:
Dalam menjelaskan pembahasan ini, penulis membagi pada beberapa bagian,
yaitu:
1. Syaithan sebagai sumber kejahatan,
2. Syaithan adalah makhluk yang terkutuk,
3. Syaithan adalah musuh manusia,
Bidang Semantik
Makna sebuah kata dalam Al-Qur’an dipengaruhi oleh kata-kata yang muncul sebelum dan
sesudahnya. Kata-kata tersebut membentuk jaringan konseptual yang bisa merubah makna
dasar sebuah kata menuju kepada sebuah makna baru yang sesuai dengan isi kalimat
tersebut atau disebut juga sebagai makna relasional. Jaringan konseptual yang
mempengaruhi makna kata disebut bidang semantik. Pembahasan ini merupakan
pembahasan yang paling rumit dalam metode semantik, karena setiap kata yang berada
dalam bidang tersebut harus dijelaskan makna dan pengaruhnya.
Contoh (Lanjutan...)
Bidang Semantik (Lanjutan...)
Kata syaithan menjadi kata fokus yang melingkupi kata kunci lainnya seperti kata rajim, waliy,
‘aduw, dan fahsya’. Sedangkan bulatan yang mengelilingi semua kata disamping adalah bidang
semantik dari kata syaithan.
1. Rajim. Secara bahasa rajim berasal dari kata rajama yang berarti bebatuan. Kata rajam
diartikan sebagai hukuman dengan dilempar dengan batu. Ketika kata ini dikaitkan
dengan kata syaithan, makna kedua kata ini menjadi sesuatu atau seseorang yang
tertolak dari kebaikan dan diturunkan dari kedudukan malaikat yang ada di langit
(diturunkan ke bumi atau diasingkan).
2. Waliy. Secara bahasa kata waliy bermakna melindungi atau menolong. Kata ini biasa
digunakan dalam bentuk fa’ilnya dengan makna pelindung atau penolong. Kata ini
memiliki bentuk jamak auliya’ ()أولياء. Dalam Al-Qur’an kata ini seringkali disandingkan
dengan kata syaithan ketika menjelaskan tentang orang-orang kafir dan munafik. Dalam
hal ini kata syaithan memiliki makna sosok figur yang dianggap memiliki kekuasan dalam
menolong orang lain baik dari golongan jin maupun manusia dan seringkali dianggap
tandingan dari Allah sebagai Tuhan.
Contoh (Lanjutan...)
Bidang Semantik (Lanjutan...)
3. ‘Aduw. Secara bahasa kata ‘aduw memiliki makna musuh atau lawan. Menurut alAshfahaniy kata ini memiliki dua makna, yaitu dua kelompok yang saling bertentangan
dan dua orang atau kelompok yang saling mengganggu satu sama lain. Ketika kata
‘aduw disandingkan dengan kata syaithan, maka makna ayat selalu merujuk pada
permusuhan dan pertentangan yang terjadi antara syaithan dan manusia, baik itu
syaithan dalam makna makhluk jahat maupun sifat yang tercela atau bisikan yang
mengajak pada kejahatan.
4. Fahsya’. Secara bahasa kata ini memiliki makna perbuatan jahat atau keji. Al-Ashfahaniy
memaknai kata ini sebagai perbuatan dan perkataan yang sangat teramat
keburukannya. Kata ini dipahami dengan dosa yang luar biasa tingkat kerusakannya
dalam berbagai hal. Ketika disandingkan dengan kata syaithan, kata ini menjadi ciri
khas dari seseorang. Kata syaithan sendiri berubah makna menjadi sumber segala
kerusakan dan kebencian yang dilakukan oleh manusia.
Contoh (Lanjutan...)
Bidang Semantik (Lanjutan...)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
makna kata syaithan yang awalnya adalah sesuatu
yang menjauh atau terasing bisa berubah menjadi
beragam makna sesuai dengan konteks saat kata itu
digunakan dan struktur bahasa yang
mempengaruhinya.
Relasi Tuhan dan Manusia
Semantik dan Al-Qur’an
Semantik Sebagai Metode Analisis al-Quran
kajian Izutsu didasarkan pada sejarah nyata kesadaran qur’ani melalui analisa lingkup
bahasa Arab untuk memaparkan bagaimana filologi, akustik, psikologi, sosiologi, sejarah
yang mendasari terbentuknya sutau jaringan arti yang tak terpisah secara timbal balik.
Dengan cara ini, naskah al-Qur‟an secara utuh merupakan sistem dari berbagai hubungan
internal, bukan pada tingkat hubungan berbagai satuan artifisial yang terpisah. Analisis
semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkat kongkret
sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Quran. Tujuannya adalah memunculkan tipe
ontologi hidup yang dinamik dari al-Quran dengan penelaah analisis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok.
Keterpaduan konsep-konsep individual
Keterpaduan konsep individual tampak mudah dengan membuka seluruh kata al-Qur’ān,
semua kata penting yang mewakili konsep-konsep penting seperti Allāh, Islām, nabī, īmān,
kāfir dan sebagainya. Selanjutnya konsep individual ini ditarik menjadi kata kunci. Namun
kenyataannya adalah tidak mudah. kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang
beragam, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, sangat
kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Semantik dan Al-Qur’an (Lanjutan...)
Makna dasar dan relational
Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di
manapun kata itu diletakkan, sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang bersifat
konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan
meletakkan kata itu pada posisi khusus dan dalam bidang khusus, berada pada hubungan
yang berbeda dengan semua kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Weltanschauung
setiap kosa kata mewakili dan mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas
(Weltanschauung) yang mengubah bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam
dunia yang penuh makna ‘tertafsirkan’. Dengan kata lain, kosa kata dalam pengertian ini
bukanlah merupakan susunan berlapisan tunggal.
Menghubungkan satu kata dengan kata lain adalah salah satu cara dalam semantik untuk
memahami dengan menyeluruh makna sejati dari sebuah perkataan yang disebut bidang
semantik.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Sejarah Istila-Istilah
Kunci Al-Qur’an
Semantik Sinkronik dan Diakronik
Diakronik menurut pengertian etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada
prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara diakronik kosakata
adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas
dengan caranya sendiri yang khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti
tumbuh dalam pengertian berhenti penggunaanya oleh masyarakat dalam jangka waktu
tertentu. Sedangkan kata-kata lainya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang
lama.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Ontologis antara Tuhan
Dan Manusia
secara ontologis, relasi antara
Allah dan manusia adalah
relasi antara sang pencipta
(khâliq) dan yang diciptakan
(makhlûq).
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Komunikatif antara Tuhan
dan Manusia (I) Komunikasi NonLinguistik
Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat
langsung dan bertimbal balik. Komunikasi melalui penggunaan bahasa yang dapat
dipahami oleh kedua belah pihak, bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe
kedua bersifat non linguistik atau non verbal. Tipe komunikasi verbal dari atas kebawah
adalah wahyu menurut pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan bentuk dari bawah
ke atas mengambil bentuk sembahyang/ du’a. Tipe komunikasi dari non-verbal dari atas
adalah tindakan ilahiah menurunkan (tanzil) “tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke atas
komunikasi dalam bentuk ibadah ritual (shalat) atau yang lebih umum lagi praktek-praktek
penyembahan. Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk
pengiriman wahyu dari Tuhan.
Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Komunikatif antara
Tuhan dan Manusia (I)
Komunikasi Non-Linguistik
Relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuhan (rabb), semua konsep yang
berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain
sebagainya. Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba (‘abd) seluruh konsep yang
menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup
di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah.
Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan yang
berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba
(‘abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan
diri di hadapan-Nya tanpa syarat.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Etik antara Tuhan
dan Manusia
Relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda,
yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri. Tuhan yang kebaikanya tak
terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka dan
kejam serta sangat keras hukumanya di sisi yang lain. Demikian pula, dari sisi manusia
terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak (syukr), dan takut kepada tuhan
(takwa) bersama-sama membentuk satu kategori iman, dan ini akhirnya membentuk
perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian tidak bersyukur maupun ingkar.
Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan
dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap
makhluk-Nya.
Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di
dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama, kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan;
kedua, kategori yang menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia
terhadap Tuhan; dan ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan
tingkah laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.
Kritik Dan Apresiasi Terhadap
Toshihiko Izutsu
1. Berdasarkan syarat-syarat mufassir, menurut hemat penulis bahwa Thosihiko Izutsu
tidak termasuk seorang mufassir atau dengan kata lain beliau tidak memiliki
otoritas untuk menafsiri Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an tanpa dikaji dengan pendekatan sejarah akan sulit berlaku adil dalam
evolusi konsep, terutama kensep tentang Allah. Selain itu Thosihiko Izutsu dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak memperhatikan peranan sejarah(Asbabun
nuzul).
3. Metode semantik hanya menafsirkan atau mendefinisakan suatu kata yang
bertujuan membentuk pandangan dunia tentang makna dari kata tersebut,
padahal dalam penafsiran tidak hanya menjelaskan definisi atau konsep suatu
kata, namun lebih dari itu.
Kritik Dan Apresiasi Terhadap
Toshihiko Izutsu
Meskipun demikian, pemikiran Thosihiko Izutsu layak dapat
apresiasi yang positif. Kebanyakan orientalis barat dalam
mengkaji Al-Qur’an didasari rasa kedengkian kefrustasian dan
kedendaman. Akan tetapi menurut hemat penulis Thosihiko Izutsu
di luar orang-orang di atas, sebab dalam menafsirkan beliau
menggunakan argument-argument yang sangat meyakinkan
dalam melawan klaim bahwa kebenaran kitab suci hanya bisa
dicapai melalui Insider tradisi suci tersebut. Walaupun
pemikirannya sedikit banyak masih ditopangi gaya penafsiran
orentalis, beliau tetap fair dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
tanpa menitikberatkan antara penafsiran muslim dan non-muslim,
keduannya dipandang beliau hal yang tidak perlu dicondongi
salah satunya. Selain itu menurut penulis beliau adalah orang yang
mumpuni dalam membuka cakrawala dunia penafsiran Al-Qur’an
semakin lebar, ilmu filsafatnya sangat mumpuni, karya-karyanya
paling tidak bisa dijadikan refrensi bagi dunia penafsiran Al-Qur’an
modern.Agar Al-Qur’an bisa mengikuti perkembangan zaman.
Saran
Di era kontemporer saat ini, ada banyak hal baru yang
berbeda dengan sebagian besar tradisi Islam tradisional.
Seperti tradisi tafsir yang beraliran semantik misalnya. Sebagai
kaum intelek, sudah sepatutnya bagi kita untuk memperluas
keilmuan. Perbedaan merupakan khasanah keilmuan. Tafsir
dengan metode semantik memang cukup menarik. Tapi
untuk memenuhi kesenjangan yang ada, perlu kiranya kita
menyempurnakan dari segi metode maupun menyiapkan diri
memenuhi syarat mufassir dalam Islam, sebagai pemenuhan
dari kekurangan yang adal dalam Semantik tashihiko Izutsu.
KAJIAN ATAS KARYA
TOSHIHIKO IZUTSU
(Etico-Religious Concept in the Qur’an
dan
God and Man in the Koran: Semantic of
the Koranic Weltanschaung)
Dosen Pengampu:
Dr. M. Samsul Hady, M.Ag.
Presentator:
Umi Fatimatur R. (16770050)
BIOGRAFI TOSHIHIKO IZUTSU
KONSEP PEMIKIRAN
TOSHIHIKO IZUTSU
METODE ANALISIS
SEMANTIK TOSHIHIKO
DARI ATURAN KESUKUAN
KE ETIKA ISLAMIK
CONTOH
RELASI TUHAN DAN
MANUSIA
KRITIK DAN APRESIASI
TERHADAP TOSHIHIKO
IZUTSU
BIOGRAFI
TASHIHIKO IZUTSU
RIWAYAT HIDUP
TASHIHIKO:
Lahir pada 4 mei 19141993 M, JEPANG.
berasal dari
keluarga kaya &
taat, ia telah
mengamalkan Zen
Buddhismwwwe
Penemuan pengalaman
mistikal sebagai sumber
pemikiran filsafat menjadi
titik permulaan untuk
seluruh filsafat Izutsu
selanjutnya
bukan hanya dalam ruang filsafat
Yunani, tetapi juga menjadi asal-usul
pemikiran ketika beliau
mengembangkan ruang lingkup
aktivitas penelitiannya pada filsafat
Islam, pemikiran Yahudi, filsafat India,
filsafat Lao-Tsu Cina, filsafat Yuishiki dan
Buddhisme Kegon dan filsafat Zen.
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Karya-karya beliau yang ditulis dalam bahasa Jepang adalah sebagai berikut:
A History of Arabic Philosophy (Tokyo, 1941)
1. Islamic Jurisprudence in East India (Tokyo, 1942)
2. Mystical Aspect in Greek Philosophy (Tokyo, 1949)
3. An Introduction to the Arabic (1950)
4. Russian Literature (Tokyo, 1951)
5. Muhammad (1950)
6. The Concept of Man in the Nineteeth Century Russia (1953)
7. The Structure of the ethical Terms in the Koran (1972)
8. History of Islamic Thoughts (1975)
9. Birth of Islam (Kyoto, 1971)
10. A Fointainhead of Islamic Philosophy (1980)
11. Islamic Culture: That Which Lies at Its Basis (1981)
12. Consciousness and Essence: Searching for a Structural Coincidence of Oriental
Philosophies (1983)
13. Reading the Qur’an (1983)
14. To the Depth of Meaning: Fathoming Oriental Philosophies (1985)
15. Bezels of Wisdom (1986)
16. Cosmos and Anti-cosmos: for a Philosophy of the Orient (1989)
17. Scope of Transendental Words: God and Man in Judeo-Islamic Philosophy (1991)
18. Metaphysics of Consciousness: Philosophy of ‚the Awakening of Faith in the
Mahayana‛ (1993)
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Selain karya yang ditulis sendiri, beliau juga menerjemahkan
beberapa karya yang menjadi keahliannya ke dalam bahasa
Jepang. Di dalam terjemahan ini, beliau berupaya untuk
menghasilkan sebuah pengalihbahasaan ke dalam gaya,
perasaan dan makna dalam bahasa Jepang. Karya yang
dimaksud adalah:
1. M.C D’Arcy, The Mind and Heart of Love bersama dengan
Fumiko Sanbe (1957)
2. al-Qur’an 3 jilid (1957-1958)
3. Edisi Revisi terjemahan al-Qur’an (1964)
4. Mulla Shadra, Mashair (1964)
5. Jalaluddin, Fīhi ma Fīhi (1978).
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Sebagai intelektual yang sering berkecimpung dalam berbagai isu, beliau juga menulis
banyak jurnal dalam bahasa Jepang, yang meliputi berbagai disiplin ilmu seperti linguistik,
filsafat Islam, filsafat Barat, filsafat Timur, etika, dan tasawuf, di antaranya:
1. Contemporary Development in Arabic Linguistics di dalam Gengo Kenkyû, no. 3,
Tokyo 1939, hlm. 110-116
2. On the Accadian particle –ma di dalam Gengo Kenkyû, No. 4, Tokyo 1939, hlm. 2768.
3. Ethical Theory of Zamakhshari di dalam Kaikyôken, Vol. 4 No. 8, Tokyo 1940, hlm. 11-18
4. A Characteristic Feature of Arabic Culture di dalam Shin Ajia, Vol. 2 No. 10, Tokyo
1940, hlm. 82-94.
5. Introduction to the Turkish di dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo, Tokyo
1943, hlm. 109-113
6. Introduction to the Arabic dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo, Tokyo 1943,
hlm. 121-128
7. Introduction to the Hindi dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo, Tokyo 1943,
hlm. 129-131
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Lanjutan...
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
Introduction to the Tamil, dalam Keio Gijuku Daigaku Gogaku kenkyûjo,
Tokyo 1943, hlm. 173-177
Revelation and Reason in Islam dalam Nippon shogaku kenkyû Hôkoku, No.
12, Tokyo 1944, hlm. 53-67
Ontology of Ibn al-‘Arabi dalam Mita Tetsugakukai, Tetsugaku, no. 25 & 26
Tokyo 1944, hlm. 332-357
History of Islamic Thought dalam Yasaka Asatarô, seia sekaisi, Tokyo 1944,
hlm. 73-110
Muhammad dalam Yasaka Asatarô, seia sekaisi, Tokyo 1944, hlm. 249-265
Arabic Science and Technology dalam Asatarô, seia sekaisi, Tokyo 1944,
hlm. 289-300
Arabic Philosophy dalam Sekai Tetsugaku Kôza, Vol. 5, Tokyo 1948, hlm. 149305
The Mysticism of St. Bernard dalam Mita Tetsugakukai, Tetsugaku, No. 27,
Tokyo 1952, hlm. 33-64
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Dalam penelitiannya, Izutsu ingin melakukan dialog dengan berbagai kebudayaan
di dunia. Oleh karena itu, beliau menulis buku dalam bahasa Inggris sebagai
bahasa pengantar antarabangsa. Terbukti bahwa banyak para sarjana yang
memberi ulasan atau kritik terhadap hasil pemikiran beliau berdasarkan karyanya
dalam bahasa ini. Di antara bukunya yang ditulis dengan bahasa Inggris adalah:
1. Language and Magic: Studies in the Magical Function of Speech. Tokyo:
Keio University, 1956
2. The Structure of the Ethical Terms in the Koran: A Study in Semantics.
Tokyo: Keio University, 1959.
3. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung.
Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1964.
4. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantic Analysis of Iman
and Islam. Tokyo: Keio Institute of Cultural and Linguistic Studies, 1965.
5. Ethico-Religious Concepts in the Qur’an, Montreal: McGill University Press,
1966
6. A Comparative Study of the Key Philosophical Concepts in Sufism and
Taoism: Ibn ‘Arabi and Lao-tzû, Chuang-tzû. Tokyo: Keio Universiti Press,
1966-1967
7. The Concept and Reality of Existence. Tokyo: Keio I nstitute of Cultural and
Social Relations, 1971
8. Toward a Philosophy of Zen Buddhism. Tehran: Iranian Academy of
Philosophy, 1974.
9. Sufism and Taoism: A Comparative Study of Key Philosophical Concepts.
Tokyo: Iwanami Shoten Publisher, 1983. Berkeley: University of California
Press, 1984
Karya-karya Toshihiko Izutsu
Lanjutan...
Keterlibatan beliau dalam pertukaran ilmiah antarabangsa juga ditunjukkan di dalam
berbagai jurnal, ensiklopedia dan bagian buku sejak tahun 1960an hingga tahun
1990an yang berkisar pada persoalan linguistik, filsafat, dan mistisisme. Inilah karyakarya yang dimaksud:
1. Revelation as a Linguistic Concept in Islam di dalam Japanese Society of Medieval
Philosophy, Studies in Medieval Thought, vol. 5, Tokyo 1962, hlm. 122-1967.
2. The Absolute and the Perfect Man in Taoism di dalam Eranos-Jahrbuch, Vo. 36,
Zürich 1968, hlm. 379-440
3. The Fundamental Structure of Sabzawî’s Metaphysics di dalam Shar-I Ghurar alFarâid atau Sharh-I Manzûmah. Pt. I, Tehran 1969, hlm. 1-152.
4. Mysticism and the Linguistic Problem of Equivocation in the Thought of ‘Ain alQudât al-Hamadani dalam Studia Islamica, vol. 31, Paris 1970, hlm. 153-170.
5. The Archetipal Image of Chaos in Chuang Tzu: The Problem of the Mythopoeic
Level of Discourse. Dalam: Joshep P. Strelka, Anagogic Qualities of Literature:
Yearbook of Comparative Criticism, Vol. 4, Pennsylvania State University Press:
University Park 1971, hlm. 269-287.
6. The Paradox of Light and Darkness in the Garden of Mystery of Shabastarî. Dalam:
Joshep P. Strelka, Anagogic Qualities of Literature: Yearbook of Comparative
Criticism, Vol. 4, Pennsylvania State University Press: University Park 1971, hlm. 288307.
7. The Basic Structure of Methaphysical Thinking in Islam. Dalam: M. Mohaghegh & H.
8.
Landolt, Collected Papers on Islamic Philosophy and Mysticism,
Tehran 1971, hlm. 39-72.
9. The Philosophy of Zen dalam R. Klibansky, Contemporary
Philosophy: A Survey, Firenze 1971, hlm. 500-522.
10. Poetry and Philosophy in Japan dengan Toyoko Izutsu dalam R.
Klibansky, Contemporary Philosophy: a Survey, Firenze 1971,
hlm. 523-548.
11. The Structure of Selfhood in Zen Buddhism dalam EranosJahrbuch, Vol. 38, Zürich 1971, hlm. 95-150.
Pengertian SEmantik
Semantik berasal dari bahasa
Yunani semantikos berarti
“bermakna”. Adalah suatu studi
tentang makna suatu simbolsimbol linguistik, melaui “kata”,
“ekspresi”, dan “kalimat”. Dalam
arti, semantik adalah suatu ilmu
yang menelaah lambanglambang yang menyatakan
makna, hubungan makna yang
satu dengan yang lain dari katakata yang digunakan, atau
ekspresi yang terbentuk, bisa juga
dari kalimat-kalimat. Untuk
melakukan telaah ini, maka
dibuthkan pengetahuan
mengenai makna kata,
perkembangan dan
perubahannya.
Eastman, Carol M, Semantics
(Microsoft® Student 2009 [DVD].
Redmond, WA: Microsoft
Corporation, 2008)
Lebih luas lagi, semantik tidak hanya
ilmu yang berbicara tentang makna
saja, melainkan dibicarakan pula di
dalamnya bagaimana mula adanya
makna sesuatu (mis., sejarah kata,
dalam arti bagaimana kata itu
muncul), bagaimana
perkembangannya, dan mengapa
terjadi perubahan makna dalam
sejarah bahasa. Berdasarkan pada
kenyataan ini, maka bisa dipahami
bahwa semantik bukanlah ilmu yang
hanya melihat makna sebuah kata
dari sisi terluarnya, dalam arti makna
sekedar memberi makna suatu kata
secara pragmatis, melainkan juga
melacak sejarah kata tersebut,
kemudian perkembangan maknanya
dan juga melacak sebab terjadinya
perubahan makna. Fatimah
Metode Semantik
Toshihiko
Pemaknaan yang salah terhadap
kata-kata tersebut dapat berakibat
pada salahnya pemaknaan katakata lainnya. Toshihiko Izutsu, menulis
dalam sebuah bukunya, bahwa perlu
adanya cara pandang yang baru
dalam menyikapi masalah-masalah
lama yang dihadapi oleh umat Islam.
Pendekatan baru ini adalah dengan
melakukan analisis semantik
terhadap al-Qur’an, dalam rangka
memahami dan menentukan
Weltanschauung al-Qur’an. Ia
menyatakan bahwa tujuan dari
analisis ini adalah untuk
memunculkan tipe ontology hidup
yang dinamik dari al-Qur’an dengan
penelaahan analitis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok, yaitu
konsep-konsep yang tampaknya
memainkan peran menentukan
dalam pembentukan visi Qur’ani
terhadap alam semesta.
1. ia memposisikan al-qur’an
sebagai sebagai sebuah teks atau
catatan otentik berbahasa Arab,
dan mengesampingkannya
sebagai wahyu Illahi.
2. Selanjutnya Izutsu mulai
menganalisa struktur kata atau
kalimat yang sedang dikaji.
3. mencari makna dasar dan
makna relasional dari suatu kata.
4. menjelaskan pandangan
keduniaan yang dimiliki Al-Qur’an.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Konsepsi Pesimistis Kehidupan Duniawi
Islam mengajarkan bahwa dunia ini adalah fana dan sia-sia, dan oleh
karena itu kamu jangan sekali-kali terpedaya olehnya; jika kamu benarbenar ingin mendapatkan kehidupan yang kekal dan menikmati
kebahagiaan yang abadi kamu mesti menganut suatu prinsip tentang
kehidupan dunia lain dengan cara yang sangat mendasar dalam
kehidupan kamu. Jahiliyah mengajarkan bahwa segalanya sia-sia dalam
dunia ini dan tidak ada sesuatupun yang bisa dijumpai disebaliknya, maka
kamu harus menikmati kehidupan yang sementara ini dengan mereguk
kenikmatan sejauh yang dapat dilakukan. Upaya mencari kenikmatan
semata-matalah yang merupakan tujuan akhir yang mungkin dicapai bagi
orang-orang yang mencintai dunia di zaman Jahiliyah.
Sikap mendasar manusia masa sekarang, dari sudut pandang al Qur’an,
bukanlah hidup yang mengutamakan kesenangan duniawi seperti pada
orang Arab masa pra-Islam, tetapi kesungguhan dalam mendekatkan diri
dengan Hari Akhir.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Lanjutan...
Semangat Solidaritas Kesukuan
Struktur sosial Arab sebelum Islam pada dasarnya bersifat kesukuan. Sebuah suku,
atau sub-kelasnya, suatu marga, bagi orang-orang Arab sebelum Islam bukan
hanya suatu unit atau basis kehidupan sosial yang tunggal, tetapi yang pertama
dan terpenting adalah lambang sebuah prinsip perilaku paling tinggi, yang
menyusun suatu pola yang komprehensif bagi keseluruhan kehidupan, baik dalam
konteks kehidupan individu maupun masyarakat. Semangat kesukuan tak
disangsikan lagi merupakan sumber pokok semua cita-cita moral yang atasnya
masyarakat Arab dibina. Menghormati jalinan hubungan kekeluargaan yang
berdasarkan ikatan darah melebihi segala apapun lainnya di dunia, dan bertindak
demi kemuliaan suku, yang merupakan perjanjian suci yang harus dipatuhi oleh
semua orang, yakni setiap individu yang menjadi anggota kelompok yang
bersangkutan.
Kenyataan yang aktual, kaidah solidaritas kesukuan ini, sebagaimana setiap kaidah
perilaku, kadang-kadang juga dilanggar, sekalipun para tokoh masyarakat padang
pasir berkepribadian begitu kuat dan menentukan dalam memelihara loyalitas
kepada ajaran-ajaran kesukuan.
Kebajikan mesti mengarahkan prinsip dari semua hubungan manusia dalam
masyarakat dan juga dalam keluarga. Maka orang mesti bersikap hormat dan
lembut kepada orang tuanya dan senantiasa merawat mereka dengan baik.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Lanjutan...
Islamisasi Nilai-nilai Kebajikan Arab Lama
1. Kemurahan Hati. Dalam kehidupan masyarakat padang pasir, kemurahan hati
menempati kedudukan yang sangat tinggi di antara sifat-sifat mulia. Tetapi di sana ada
sesuatu yang lebih dari itu. Kemurahan hati menurut orang-orang Arab penyembah berhala
erat sekali kaitannya dengan konsepsi orang Jahiliyah tentang “kehormatan”. Dalam etika
islamik, Orang pemurah yang sebenarnya adalah yang “membelanjakan hartanya di jalan
Allah”, yaitu karena dorongan keimanan, dan dilakukan pada dasar kesalehan, yang dapat
menjadi pengendali dengan baik.
2. Keberanian. Nilai-nilai kegagahan dan keberanian pada orang Arab penyembah berhala
sering tak lebih baik daripada kekejaman dan kebuasan yang tidak berperikemanusiaan
yang terjadi dalam permusuhan antar suku. Islam sebagaimana di kalangan penyembah
berhala, juga memberi penghormatan tertinggi kepada orang-orang yang tak pernah
gentar menghadapi bahaya, yang dengan gagah dan berani menghadapi musuh pada
setiap arena pertempuran.
3. Kesetiaan. Kesetiaan dan kepercayaan merupakan suatu ciri nilai yang paling tinggi dan
paling nyata di padang pasir, nilai kesetiaan orang Jahiliyah umumnya secara kekerabatan
karena hubungan darah. Penyanjungan demikian tinggi terhadap kepercayaan dan
kesetiaan diwarisi Islam dari orang Jahiliyah, dalam sosok budaya pengembaraannya yang
asli.
Dari Aturan Kesukuan Ke Etika Islamik
Lanjutan...
Islamisasi Nilai-nilai Kebajikan Arab Lama (Lanjutan...)
4. Islam Sebagai Suatu Kebenaran. Jika wahyu yang diturunkan dengan perantaraan
Muhammad merupakan suatu kebenaran, maka selanjutnya tentu saja bahwa Islam,
agama yang didasarkan pada wahyu itu, adalah juga suatu Kebenaran.
5. Kesabaran. Sabr, “kesabaran”, “ketabahan”, atau “daya tahan”, merupakan suatu nilai
yang menonjol dalam lingkungan hidup padang pasir di zaman Jahiliyyah. Kata ini adalah
bagian dari shaja’ah, “berani”. Nilai budaya suku pengembara lama ini, juga
ditransformasikan oleh Islam ke dalam salah satu nilai utamanya, dengan melengkapinya
dengan tuntutan keagamaan yang pasti: “Sabar di jalan Allah”.
6. Dikotomi Dasar Moral. Standar penilaian terakhir yang dengannya pembagian ini
dilaksanakan adalah kepercayaan yang semata-mata tertuju kepada Tuhan Yang Maha
Esa, pencipta semua makhluk. Pada dasarnya, hampir seluruh lembaran al Qur’an
mengajukan garis pokok dualisme mengenai nilai-nilai moral manusia; dasar dualisme
tersebut menyangkut orang beriman dan orang yang tidak beriman.
Contoh
Untuk mengenal lebih jauh tentang metode penafsiran dengan menggunakan analisis
semantik, penulis mencoba menjelaskan sebuah contoh penafsiran. Dalam hal ini penulis
mencoba untuk menerangkan konsep syaithan ( )شيطانdalam Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an
kata syaithan disebutkan sebanyak 70 kali dalam dua bentuk, yaitu syaithan dan syayathin
()شياطين.
Makna Dasar dan Makna Relasional:
Secara bahasa kata syaithan berasal dari kata syathana ( )شطنyang berarti tali, dikatakan
sebagai tali yang panjang dan kuat. Selain itu syaithan juga dimaknai dengan sikap
pemberontakan dari golongan jin dan manusia, menjauh, pribadi yang tugasnya
melancarkan tipu daya, sebagai musuh. Dalam tradisi Kristen, syaithan dimaknai dengan
kekuatan kejahatan yang sangat dahsyat. Sedangkan dalam tradisi Israel, setan memiliki
makna musuh atau musuh besar. Dalam Al-Qur’an syaithan digambarkan sebagai sosok
yang licik dan pandai menggoda, Syaithan juga digambarkan sebagai sosok makhluk yang
tunduk kepada manusia, syaithan itu adalah golongan yang menyesatkan, dll. Dari sini
penulis menyimpulkan bahwa syaithan lebih kepada unsur kepribadian dan sifat yang
terdapat dalam diri seseorang baik dari golongan jin dan manusia yang selalu mengarah
pada kejahatan dan kerusakan serta permusuhan.
Contoh (Lanjutan...)
Struktur Batin:
Dalam menjelaskan pembahasan ini, penulis membagi pada beberapa bagian,
yaitu:
1. Syaithan sebagai sumber kejahatan,
2. Syaithan adalah makhluk yang terkutuk,
3. Syaithan adalah musuh manusia,
Bidang Semantik
Makna sebuah kata dalam Al-Qur’an dipengaruhi oleh kata-kata yang muncul sebelum dan
sesudahnya. Kata-kata tersebut membentuk jaringan konseptual yang bisa merubah makna
dasar sebuah kata menuju kepada sebuah makna baru yang sesuai dengan isi kalimat
tersebut atau disebut juga sebagai makna relasional. Jaringan konseptual yang
mempengaruhi makna kata disebut bidang semantik. Pembahasan ini merupakan
pembahasan yang paling rumit dalam metode semantik, karena setiap kata yang berada
dalam bidang tersebut harus dijelaskan makna dan pengaruhnya.
Contoh (Lanjutan...)
Bidang Semantik (Lanjutan...)
Kata syaithan menjadi kata fokus yang melingkupi kata kunci lainnya seperti kata rajim, waliy,
‘aduw, dan fahsya’. Sedangkan bulatan yang mengelilingi semua kata disamping adalah bidang
semantik dari kata syaithan.
1. Rajim. Secara bahasa rajim berasal dari kata rajama yang berarti bebatuan. Kata rajam
diartikan sebagai hukuman dengan dilempar dengan batu. Ketika kata ini dikaitkan
dengan kata syaithan, makna kedua kata ini menjadi sesuatu atau seseorang yang
tertolak dari kebaikan dan diturunkan dari kedudukan malaikat yang ada di langit
(diturunkan ke bumi atau diasingkan).
2. Waliy. Secara bahasa kata waliy bermakna melindungi atau menolong. Kata ini biasa
digunakan dalam bentuk fa’ilnya dengan makna pelindung atau penolong. Kata ini
memiliki bentuk jamak auliya’ ()أولياء. Dalam Al-Qur’an kata ini seringkali disandingkan
dengan kata syaithan ketika menjelaskan tentang orang-orang kafir dan munafik. Dalam
hal ini kata syaithan memiliki makna sosok figur yang dianggap memiliki kekuasan dalam
menolong orang lain baik dari golongan jin maupun manusia dan seringkali dianggap
tandingan dari Allah sebagai Tuhan.
Contoh (Lanjutan...)
Bidang Semantik (Lanjutan...)
3. ‘Aduw. Secara bahasa kata ‘aduw memiliki makna musuh atau lawan. Menurut alAshfahaniy kata ini memiliki dua makna, yaitu dua kelompok yang saling bertentangan
dan dua orang atau kelompok yang saling mengganggu satu sama lain. Ketika kata
‘aduw disandingkan dengan kata syaithan, maka makna ayat selalu merujuk pada
permusuhan dan pertentangan yang terjadi antara syaithan dan manusia, baik itu
syaithan dalam makna makhluk jahat maupun sifat yang tercela atau bisikan yang
mengajak pada kejahatan.
4. Fahsya’. Secara bahasa kata ini memiliki makna perbuatan jahat atau keji. Al-Ashfahaniy
memaknai kata ini sebagai perbuatan dan perkataan yang sangat teramat
keburukannya. Kata ini dipahami dengan dosa yang luar biasa tingkat kerusakannya
dalam berbagai hal. Ketika disandingkan dengan kata syaithan, kata ini menjadi ciri
khas dari seseorang. Kata syaithan sendiri berubah makna menjadi sumber segala
kerusakan dan kebencian yang dilakukan oleh manusia.
Contoh (Lanjutan...)
Bidang Semantik (Lanjutan...)
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
makna kata syaithan yang awalnya adalah sesuatu
yang menjauh atau terasing bisa berubah menjadi
beragam makna sesuai dengan konteks saat kata itu
digunakan dan struktur bahasa yang
mempengaruhinya.
Relasi Tuhan dan Manusia
Semantik dan Al-Qur’an
Semantik Sebagai Metode Analisis al-Quran
kajian Izutsu didasarkan pada sejarah nyata kesadaran qur’ani melalui analisa lingkup
bahasa Arab untuk memaparkan bagaimana filologi, akustik, psikologi, sosiologi, sejarah
yang mendasari terbentuknya sutau jaringan arti yang tak terpisah secara timbal balik.
Dengan cara ini, naskah al-Qur‟an secara utuh merupakan sistem dari berbagai hubungan
internal, bukan pada tingkat hubungan berbagai satuan artifisial yang terpisah. Analisis
semantik ini akan membentuk ontologi wujud dan eksistensi pada tingkat kongkret
sebagaimana tercermin pada ayat-ayat al-Quran. Tujuannya adalah memunculkan tipe
ontologi hidup yang dinamik dari al-Quran dengan penelaah analisis dan metodologis
terhadap konsep-konsep pokok.
Keterpaduan konsep-konsep individual
Keterpaduan konsep individual tampak mudah dengan membuka seluruh kata al-Qur’ān,
semua kata penting yang mewakili konsep-konsep penting seperti Allāh, Islām, nabī, īmān,
kāfir dan sebagainya. Selanjutnya konsep individual ini ditarik menjadi kata kunci. Namun
kenyataannya adalah tidak mudah. kata-kata itu membentuk kelompok-kelompok yang
beragam, besar dan kecil, dan berhubungan satu sama lain dengan berbagai cara, sangat
kompleks dan rumit sebagai kerangka kerja gabungan konseptual.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Semantik dan Al-Qur’an (Lanjutan...)
Makna dasar dan relational
Makna dasar adalah sesuatu yang melekat pada kata itu sendiri, yang selalu terbawa di
manapun kata itu diletakkan, sedangkan makna relasional adalah sesuatu yang bersifat
konotatif yang diberikan dan ditambahkan pada makna yang sudah ada dengan
meletakkan kata itu pada posisi khusus dan dalam bidang khusus, berada pada hubungan
yang berbeda dengan semua kata penting lainnya dalam sistem tersebut.
Weltanschauung
setiap kosa kata mewakili dan mewujudkan sebuah pandangan dunia yang khas
(Weltanschauung) yang mengubah bahan pengalaman yang masih mentah ke dalam
dunia yang penuh makna ‘tertafsirkan’. Dengan kata lain, kosa kata dalam pengertian ini
bukanlah merupakan susunan berlapisan tunggal.
Menghubungkan satu kata dengan kata lain adalah salah satu cara dalam semantik untuk
memahami dengan menyeluruh makna sejati dari sebuah perkataan yang disebut bidang
semantik.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Sejarah Istila-Istilah
Kunci Al-Qur’an
Semantik Sinkronik dan Diakronik
Diakronik menurut pengertian etimologi adalah pandangan terhadap bahasa, yang pada
prinsipnya menitikberatkan pada unsur waktu. Dengan demikian, secara diakronik kosakata
adalah sekumpulan kata yang masing-masingnya tumbuh dan berubah secara bebas
dengan caranya sendiri yang khas. Beberapa kata dalam kelompok itu dapat berhenti
tumbuh dalam pengertian berhenti penggunaanya oleh masyarakat dalam jangka waktu
tertentu. Sedangkan kata-kata lainya dapat terus digunakan dalam jangka waktu yang
lama.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Ontologis antara Tuhan
Dan Manusia
secara ontologis, relasi antara
Allah dan manusia adalah
relasi antara sang pencipta
(khâliq) dan yang diciptakan
(makhlûq).
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Komunikatif antara Tuhan
dan Manusia (I) Komunikasi NonLinguistik
Antara pencipta dan yang diciptakan terdapat hubungan komunikatif yang bersifat
langsung dan bertimbal balik. Komunikasi melalui penggunaan bahasa yang dapat
dipahami oleh kedua belah pihak, bersifat linguistik atau verbal, sedang komunikasi tipe
kedua bersifat non linguistik atau non verbal. Tipe komunikasi verbal dari atas kebawah
adalah wahyu menurut pengertian yang sempit dan teknis, sedangkan bentuk dari bawah
ke atas mengambil bentuk sembahyang/ du’a. Tipe komunikasi dari non-verbal dari atas
adalah tindakan ilahiah menurunkan (tanzil) “tanda-tanda” (ayat). Dari bawah ke atas
komunikasi dalam bentuk ibadah ritual (shalat) atau yang lebih umum lagi praktek-praktek
penyembahan. Komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia terjadi dalam bentuk
pengiriman wahyu dari Tuhan.
Problem eksistensi antara keduanya juga berdampak pada sistem bahasa yang digunakan
dalam berkomunikasi.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Komunikatif antara
Tuhan dan Manusia (I)
Komunikasi Non-Linguistik
Relasi ini melibatkan di pihak Tuhan sebagai Tuhan (rabb), semua konsep yang
berhubungan dengan keagungan-Nya, kekuasaan-Nya, kekuatan mutlak-nya dan lain
sebagainya. Sedangkan di pihak manusia sebagai hamba (‘abd) seluruh konsep yang
menunjukkan kerendahan, kepatuhan mutlak, dan sifat-sifat serupa lainya yang tercakup
di dalam dan terkait dengan kata jahiliyyah.
Dalam sistem al-Qur‘an, Allah adalah penguasa mutlak; satu-satunya Tuhan yang
berkuasa di seluruh dunia, sementara manusia adalah hamba (‘abd). Sebagai hamba
(‘abd), manusia harus bersikap berserah diri sepenuhnya, merendah, dan menghinakan
diri di hadapan-Nya tanpa syarat.
Relasi Tuhan dan Manusia
Lanjutan...
Relasi Etik antara Tuhan
dan Manusia
Relasi ini didasarkan pada perbedaan yang paling dasar antara dua aspek yang berbeda,
yang dapat dibedakan dengan konsep Tuhan itu sendiri. Tuhan yang kebaikanya tak
terbatas, maha pengasih, pengampun dan penyayang di satu sisi. Tuhan yang murka dan
kejam serta sangat keras hukumanya di sisi yang lain. Demikian pula, dari sisi manusia
terdapat perbedaan dasar antara rasa syukur di satu pihak (syukr), dan takut kepada tuhan
(takwa) bersama-sama membentuk satu kategori iman, dan ini akhirnya membentuk
perbedaan yang tajam dengan kufr baik dalam pengertian tidak bersyukur maupun ingkar.
Etika berkaitan dengan apa yang harus dilakukan oleh manusia terhadap Tuhan berkaitan
dengan perintah dan larangan Tuhan, maupun bagaimana Tuhan berkehendak terhadap
makhluk-Nya.
Menurut Toshihiko Izutsu, terdapat tiga kategori yang berbeda mengenai konsep etik di
dalam al-Qur‘an, yaitu: pertama, kategori yang menunjukkan dan menguraikan sifat Tuhan;
kedua, kategori yang menjelaskan berbagai macam aspek sifat fundamental manusia
terhadap Tuhan; dan ketiga, kategori yang menunjukkan tentang prinsip-prinsip dan aturan
tingkah laku yang menjadi milik dan hidup di dalam masyarakat Islam.
Kritik Dan Apresiasi Terhadap
Toshihiko Izutsu
1. Berdasarkan syarat-syarat mufassir, menurut hemat penulis bahwa Thosihiko Izutsu
tidak termasuk seorang mufassir atau dengan kata lain beliau tidak memiliki
otoritas untuk menafsiri Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an tanpa dikaji dengan pendekatan sejarah akan sulit berlaku adil dalam
evolusi konsep, terutama kensep tentang Allah. Selain itu Thosihiko Izutsu dalam
menafsirkan ayat Al-Qur’an tidak memperhatikan peranan sejarah(Asbabun
nuzul).
3. Metode semantik hanya menafsirkan atau mendefinisakan suatu kata yang
bertujuan membentuk pandangan dunia tentang makna dari kata tersebut,
padahal dalam penafsiran tidak hanya menjelaskan definisi atau konsep suatu
kata, namun lebih dari itu.
Kritik Dan Apresiasi Terhadap
Toshihiko Izutsu
Meskipun demikian, pemikiran Thosihiko Izutsu layak dapat
apresiasi yang positif. Kebanyakan orientalis barat dalam
mengkaji Al-Qur’an didasari rasa kedengkian kefrustasian dan
kedendaman. Akan tetapi menurut hemat penulis Thosihiko Izutsu
di luar orang-orang di atas, sebab dalam menafsirkan beliau
menggunakan argument-argument yang sangat meyakinkan
dalam melawan klaim bahwa kebenaran kitab suci hanya bisa
dicapai melalui Insider tradisi suci tersebut. Walaupun
pemikirannya sedikit banyak masih ditopangi gaya penafsiran
orentalis, beliau tetap fair dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an
tanpa menitikberatkan antara penafsiran muslim dan non-muslim,
keduannya dipandang beliau hal yang tidak perlu dicondongi
salah satunya. Selain itu menurut penulis beliau adalah orang yang
mumpuni dalam membuka cakrawala dunia penafsiran Al-Qur’an
semakin lebar, ilmu filsafatnya sangat mumpuni, karya-karyanya
paling tidak bisa dijadikan refrensi bagi dunia penafsiran Al-Qur’an
modern.Agar Al-Qur’an bisa mengikuti perkembangan zaman.
Saran
Di era kontemporer saat ini, ada banyak hal baru yang
berbeda dengan sebagian besar tradisi Islam tradisional.
Seperti tradisi tafsir yang beraliran semantik misalnya. Sebagai
kaum intelek, sudah sepatutnya bagi kita untuk memperluas
keilmuan. Perbedaan merupakan khasanah keilmuan. Tafsir
dengan metode semantik memang cukup menarik. Tapi
untuk memenuhi kesenjangan yang ada, perlu kiranya kita
menyempurnakan dari segi metode maupun menyiapkan diri
memenuhi syarat mufassir dalam Islam, sebagai pemenuhan
dari kekurangan yang adal dalam Semantik tashihiko Izutsu.