SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL Diktat docx 1

DR. C. Marpaung
SPIRITUALITAS FUNDAMENTAL
INTRODUKSI1
Spiritualitas sebagai ilmu merupakan yang baru, yang lahir pada abad 20. Dalam pembahasannya sebagai
ilmu, bidang ini dapat dibagi dalam tiga bagian:
I.
Teologi Spiritual (Spiritualitas)
II.
Promosi (Pastoral) Spiritualitas
III.
Spiritualitas dalam Sejarah (Sejarah Spiritualitas) 2
Sebagai ilmu baru, Spiritualitas disebut juga Teologi Spiritual, yang dulu dianggap sebagai bagian integral
dari Teologi Dogmatik dan Teologi Moral. Setelah Spiritualitas diakui sebagai ilmu yang otonom,
terutama kalau dilihat kaitan eratnya dengan Teologi Dogmatik dan Teologi Moral, maka bermunculan
tulisan-tulisan mengenai ilmu baru ini.
Dalam diktat ini, Spiritualitas akan dibahas dari segi teologi. Untuk itu, pembahasan ini akan dibagi dalam
dua bagian, yaitu:
- bagian Introduksi Umum
- bagian Inti atau bagian Sistematik
Dalam bagian Introduksi Umum itu akan dibicarakan apa itu Spiritualitas atau Teologi Spiritual yang
menyangkut: peristilahan, munculnya bidang ini sebagai ilmu, percabangannya, dan pokok bahasannya,

yaitu pengalaman rohani. Dalam bagian inti atau bagian Sistematik akan dibicarakan muatan atau bagian
inti Teologi itu, yaitu hubungan Allah dan manusia dalam pengalaman rohani manusia itu, yang
menyangkut hubungan timbal balik antara Allah dan manusia: Allah mewahyukan diri-Nya dan manusia
menjawab.
A. PERISTILAHAN
I. ARTI ISTILAH SPIRITUALITAS DALAM SEJARAH
Istilah Spiritualitas sudah muncul pada zaman patristik dalam tulisan Pelagius (yang meninggal kira-kira
tahun 423-429): Age, ut in spiritualitate proficias (berbuatlah sedemikian agar berkembang dalam
spiritualitas). Ungkapan ini menunjukkan konsep spiritualitas sebagai hidup seturut Roh Allah dan sebagai
langkah maju yang terbuka pada realisasi yang lebih lanjut, seturut rahmat baptisan. Satu abad kemudian,
Dionisius si Kecil menterjemahkan kata Yunani pneumatike menjadi spiritualitas dalam bahasa Latin yang
diartikan sebagai "berada dalam kesempurnaan hidup seturut Allah". Sejak saat ini muncul ungkapan yang
berkaitan dengan istilah itu: doa murni, kemurnian hati, teori, kontemplasi, mistik, dll. Mungkin, dari
traktat klasik yang paling lama bertahan dan berpengaruh ialah Teologia Mistik dari pseudo-Dionisius
Areopagita pada abad ke V3.
Sejak abad IX hingga XI, istilah spiritualitas selalu memaksudkan realitas dan aktivitas yang tidak berasal
dari kodrat, tapi dari rahmat Roh Kudus, yang hadir dalam diri manusia; dengan ini dimaksud dalam
istilah sekarang "hidup adikodrati" (supernatural). Sejak abad XII, arti istilah ini menjadi homogen: di satu
pihak tetap berarti "adikodrati", seperti hidup dalam terang iman yang bertentangan dengan keberadaan
(existensi) tanpa rahmat; dan di pihak lain menunjukkan hal yang "non material" (immaterial) yang kontra

dengan realitas material, obyektif dan dapat disentuh. Santo Thomas Aquinas (meninggal tahun 1274)

1Sumber utama untuk diktat ini ialah A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza. Introduzione metodologica allo
studio della vita spirituale cristiana, Milano 1990; CH. A. BERNARD, Teologia spirituale, Roma 1983; Corso di spiritualita,
esperienza - sistematica - proiezioni (Kursus Spiritualitas, Pengalaman-Sistematik-Proyeksi) (yang diterbitkan oleh B.
SECONDIN - T. GOFFI), Brescia 1989; The Study of Spirituality (Edited by C. JONES, G. WAINWRIGHT, E. YARNOLD),
Cambridge 1992; J. AUMANN, Spiritual Theology, London 1991; A. BENIGAR, Theologia spiritualis, Roma 1964; La
spiritualita come teologia. Simposio organizzato dall'Istituto di Spiritualita dell'Universita Gregoriana, Roma 25-28 aprile 1991
(diterbitkan oleh Ch. A. Bernard), Milano 1993.
Sumber lain yang dikonsultir ialah beberapa Kamus atau Dictioner Spiritualitas: Dizionario degli Istituti di Perfezione
(Kamus mengenai Institut-Institut Religius) (diterbitkan oleh G. PELLICCIA dan G.C. ROCCA; 8 Volume), Roma 1974 - ...);
Dizionario enciclopedico di spiritualita (Kamus Ensiklopedis Spiritualitas) (diterbitkan oleh E. ANCILLI dan PONTIFICIO
ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM; 3 Volume), Roma 1990; Nuovo dizionario di spiritualita (Kamus Baru
Spiritualitas) (diterbitkan oleh S. DE FIORES dan T. GOFFI), Milano 1985; Dizionario di spiritualita dei laici (Kamus
Spiritualitas Awam) (diterbitkan oleh E. ANCILLI; 2 Volume), Milano 1981; The New Dictionary of Catholic Spirituality (Editor:
M. DOWNEY), Minnesota 1993; A Dictionary of Christian Spirituality (Edited by G. S. WAKEFIELD), London 1989.
2Demikian misalnya buku-buku Manual Spiritualitas dan Ensiklopedi-Ensiklopedi, seperti, antara lain: The Study of
Spirituality (edited by C. JONES, G. WAINWRIGHT, E. YARNOLD), Cambridge, 1992; Dizionario enciclopedico di
spiritualita, Vol 3 (diterbitkan oleh E. ANCILLI dan PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL TERESIANUM), Roma
1990, 2707-2722.

3B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale dalam Corso di spiritualita, esperienza - sistematica - proiezione
(diterbitkah oleh B. SECONDIN - T. GOFFI), Brescia 1989, 9.

DR. C. Marpaung
memakai istilah spiritualitas untuk menunjukkan baik realitas Ordo Religius maupun hal yang kontrast
dengan materi. Pada Abad Pertengahan, istilah ini dipakai juga dalam gereja dalam arti yuridis untuk
menunjukkan hal-hal yang kontrast dengan materialitas dalam gereja, yaitu harta benda umum gereja
yang harus selalu diinventarisasi. Para filsuf juga memakai istilah ini untuk menunjukkan apa yang
bertentangan dengan corporeitas / corporalitas; jadi dengan istilah spiritualitas dimaksudkan qualitas
(filosofis) esse. Kalau istilah ini dikaitkan dengan pengertian hidup devotis dan hidup batin, maka yang
dimaksud ialah "hidup affektif" dan hidup batin4.
Dalam bahasa vulgar juga dipergunakan istilah spiritualitas: dalam bahasa Perancis sejak abad XII; dalam
bahasa Italia pada permulaan tahun 1500, khususnya dalam karya Marianus dari Firenze (meninggal tahun
1523) yang berjudul La vita spirituale: dalam karya ini istilah spiritualitas memaksudkan pengorientasian
manusia yang ingin menjadi manusia rohani (spiritualis), yakni menjadi serupa (mirip) dengan Allah,
sumber "spiritualitas". Dalam waktu yang sama muncul juga istilah ini di Spanyol dalam arti "doktrin
spiritual"5.
Mulai abad XVII istilah ini dipakai terutama untuk mengungkapkan hubungan affektif dengan Allah
(misalnya dalam Fransiskus dari Sales). Tetapi krisis "quietisme" 6 pada akhir abad XVII telah
mengacaubalaukan pengertian istilah itu dan terutama mengacaukan seluruh sektor mistik. Baru pada abad

ke XX kemudian muncul istilah itu yang memaksudkan "hidup rohani" sejauh merupakan pengalaman
yang dihidupi yang menyangkut hidup batin, askese, mistik, pengembangan anugerah Roh, bimbingan
rohani, dlsb, dan juga menyangkut disiplin akademis spiritualitas 7.
II. ARTI SPIRITUALITAS DALAM DIRINYA SENDIRI
Dalam Kitab Suci sulit ditemukan suatu "teori" mengenai "spiritualitas". Tapi isinya dapat ditemukan,
khususnya dalam Paulus, di mana sering dapat ditemukan undangan untuk hidup sebagai "orang rohani"
(1Kor 2:13; Gal 6:1; Rom 8:9), untuk hidup dalam "pengudusan hingga kesempurnaan: roh, jiwa dan
badan" (1Tes 5:23). Dengan exhortasi ini Paulus hendak merangkum apa itu gaya hidup kristen. Hidup
yang dimaksud ialah hidup yang didominir oleh Roh Tuhan yang bangkit, hidup sebagai anggota Gereja,
sebagai keterbukaan existensial kepada seluruh kemanusiaan, sebagai penantian akan kepenuhan yang
akan datang bagi manusia dan bagi seluruh kosmos (Rom 8) 8.
Hidup sedemikian merupakan status essensiil keberadaan orang beriman. Karena itu, berbicara mengenai
spiritualitas - atau mengenai pengalaman rohani, hidup rohani, perjalanan hidup seturut Roh, perjalanan
menuju kekudusan dan kesempurnaan, asketik dan mistik - berarti berbicara mengenai hidup kristen yang
berkembang, bergerak menuju kematangan, baik seturut hukum perkembangan antropologis dan
psikologis, maupun seturut ritme misteri rahmat9.
Tapi aliran Gnostik10 segera menekankan dominasi "roh" atas aspek material, dan oleh karena itu, menurut
aliran ini, "berada sebagai orang rohani" berarti pelepasan diri dari segala sesuatu yang material dan

4B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 9-10.

5B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 10.
6Aliran "quietisme" adalah aliran kontemplatif yang muncul pada abad 17 di Italia dan Perancis. Aliran ini mengatakan
bahwa usaha manusia, khususnya askese aktif dan praktis, adalah haram. Usaha itu harus dihapus agar dapat sampai pada
kontemplasi sempurna. Kesempurnaan hanya dapat dicapai melalui keheningan batin tanpa berbuat apa-apa. Segala bentuk doa
dan spiritualitas praktis, termasuk meditasi atas kemanusiaan Kristus, dan juga kebajikan-kebajikan lain, seperti adorasi dan
devosi, merupakan gangguan utuk kontemplasi. Aliran ini ditokohi oleh Miguel de Molinos. Dan ini sudah dihukum sebagai
heretik oleh Paus Innocentius XI tahun 1687. Keterangan lebih lengkap akan aliran ini dapat dilihat dalam K. R. BARRON,
"Quietism" dalam The New Dictionary of Catholic Spirituality (diterbitkan oleh M. DOWNEY), Minnesota 1993, 803; E.
PACHO, "Quietismo" dalam Dizionario enciclopedico di spiritualita (a cura di E. ANCILLI e PONTIFICIO ISTITUTO DI
SPIRITUALITA DEL TERESIANUM), Roma 1990, 2111-2115; M.M. SALUTINI, "Quietismo" dalam Dizionario degli Istituti
di Perfezione (diretto da G. PELLICIA [1962-1968] e da G. ROCCA [1969-], Vol. 7, Roma 1983, 1160-1174.
7B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 10.

8B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11; bdk W.H. PRINCIPE, "Spirituality, Christian" dalam The New
Dictionary of Catholic Spirituality, Minnesota 1993, 931; bdk R. MORETTI, "Spiritualita" dalam Dizionario di spiritualita dei
Laici, (Vol II), Milano 1981, 292-293.
9B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11.
10Gnostik berasal dari kata Yunani "gnosis" yang berarti ilmu atau pengetahuan. Kata ini dipakai untuk memaksudkan
segala jenis ilmu. Dalam konteks hidup rohani, aliran gnostik memaksudkan orang yang mempunyai pengetahuan khusus
mengenai Allah atau mengenai keillahian, yang diperoleh atau diterima melalui revelasi, illuminasi atau inisiasi. Keterangan

selanjutnya dan yang lebih lengkap lihat dalam A. LOUTH, "Gnosticism" dalam A Dictionary of Christian Spirituality (Edited by
G.S. WAKEFIELD), London 1989, 178; D.G. HUNTER, "Gnosis, Gnosticism", dalam The New Dictionary of Catholic
Spirituality (Editor: M. DOWNEY), Minnesota 1993, 440; M. DI SANTA MARIA - L. DATTRINO, "Gnosticismo" dalam
Dizionario enciclopedico di spiritualita (a cura di E. ANCILLI e del PONTIFICIO ISTITUTO DI SPIRITUALITA DEL
TERESIANUM), Roma 1990, Vol 2, 1193-1195.
2

DR. C. Marpaung
psikis. Untuk menentang pandangan yang salah ini, Ireneus dari Lion (meninggal tahun 200) segera
menyebarkan ajaran bahwa seluruh diri manusia, badan dan jiwa, masuk dalam hidup yang baru: "Semua
orang yang takut akan Allah dan percaya akan segala peristiwa yang dialami oleh Putera, dan bahwa
mereka, dalam iman, memberi ruang bagi Roh Allah dalam hati, patut disebut murni, rohani dan hidup
bagi Allah"11.
Menurut Clemens dari Alexandria (meninggal tahun 215), memiliki Roh terutama berarti tahu "membaca"
Kitab Suci dan mengerti akan pesan profetis akan hidup yang disodorkan oleh Kitab itu. Sementara
Basilius dari Kaisarea (meninggal tahun 379) mengatakan bahwa orang "rohani" yang benar bukanlah
mereka yang menggunakan inteligensinya untuk berspekulasi akan Allah (yaitu yang mengkontemplasikan
Allah), tapi yang dibimbing oleh Roh dan yang menyesuaikan hidupnya pada "gerakan" Roh itu: dan
gerakan prinsipil Roh ialah kasih, yang lebih berharga dari pengetahuan, lebih mulia dari kenabian, dan
mengatasi segala kharisma yang lain. Santo Thomas juga (meninggal tahun 1274) menyepakati

superioritas cinta dalam spiritualitas: kesempurnaan cinta adalah pusat segala kesempurnaan lain; semua
mengarah pada kesempurnaan cinta ini dengan berbagai jalan dan cara 12.
B. SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU
I. LAHIRNYA SPIRITUALITAS SEBAGAI ILMU
Sekitar tahun 1920-an, muncul diskusi hangat mengenai hakekat, metode dan sumber-sumber Spiritualitas,
terutama kalau dilihat hubungannya dengan Teologi Moral. Dari tahun 1920 hingga tahun 1930 masih
hangat diskusi mengenai pembedaan dan pemisahan Spiritualitas atau Teologi Spiritual dari Teologi
Dogmatik dan terutama dari Teologi Moral, yang kemudian juga pembedaan dan pemisahan dari Teologi
Pastoral dan Pedagogi Religius13. Ini berarti bahwa munculnya atau lahirnya Spiritualitas sebagai ilmu
sudah pada tahun sebelum 1920-an. Dan sejak tahun 1920-an ini sudah mulai muncul tulisan-tulisan
mengenai Spiritualitas, seperti artikel-artikel dalam majallah-majallah 14, majallah-majallah khusus
mengenai spiritualitas15, buku pegangan16, dll.
Sekitar tahun 1940-an, Spiritualitas diakui sebagai ilmu yang otonom. Dan dalam tahun ini hampir secara
umum diajarkan bahwa Teologi Hidup Rohani adalah suatu ilmu teologis yang berbeda tidak hanya dari
Teologi Dogmatik tetapi juga dari Teologi Moral. Teologi Dogmatik mengajarkan apa yang harus diimani.
Teologi Moral mengajarkan apa yang harus dilaksanakan agar tidak jatuh dalam dosa yang bertentangan
dengan perintah-perintah atau aturan-aturan. Sedangkan Teologi Hidup Rohani atau Teologi Spiritual
mengajarkan apa yang harus dilakukan agar orang dapat mencapai kesempurnaan. Dalam Teologi Hidup
Rohani ini terkandung pula askese dan mistik. Askese mengetengahkan latihan-latihan yang perlu untuk
mencapai kesempurnaan, sedangkan mistik berbicara mengenai fakta-fakta, keadaan atau peristiwaperistiwa luar biasa yang terkait dengan hidup mistik.

Rumusan di atas menimbulkan banyak diskusi, dan oleh karena itu tidak dapat diterima begitu saja.
Beberapa poin perlu dilihat mengenai rumusan ini:
1) Perbedaan antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual atau Teologi Hidup Rohani mengandaikan
adanya perbedaan antara kesempurnaan moral dan kesempurnaan spiritual. Teologi Moral yang
menghantar orang pada kesempurnaan moral terkait dengan perintah-perintah serta aturan-aturan,
sedangkan Teologi Spiritual yang membimbing orang pada kesempurnaan spiritual terkait dengan nasihatnasihat. Teologi Moral berkaitan dengan kehidupan orang-orang awam atau orang-orang beriman biasa,
sedangkan Teologi Spiritual berkaitan dengan kehidupan para religius. Kalau diterima kesatuan antara
kesempurnaan dan hidup kristiani (dan mistik), sebagaimana secara umum diterima sekarang ini, maka
perbedaan material antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual tidak dapat dipertahankan, dan dengan
demikian juga perbedaan antara askese dan mistik. Kalau perbedaan materi kedua bidang ini
dipertahankan, maka dapat dipertanyakan kembali mengenai otonomi ilmiah spiritualitas di hadapan
Teologi Moral.

11B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11.
12B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 11-12.
13A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, Introduzione metodologica allo studio della vita spirituale cristiana,
Milano 1990, 17-18. 117-118.
14MENESSIER, Notes de theologie spirituelle in "Vie Spirituelle", 1935; REGAMEY, Reflexions sur la theologie
spirituelle in "Vie spirituelle", 1938.
15Tahun 1920 sudah ada majallah khusus mengenai spiritualitas yang bernama Revue d'ascetique et de mystique.

Sejak tahun 1964, majallah ini sudah memuat bibliografi Spiritualitas yang masih dalam bahasa Perancis.
16Seperti H. HEERINCK, Introduction in Theologiam spiritualem asceticam et mysticam, Roma 1931; R.
GARRIGOU-LAGRANGE, Perfezione cristiana e contemplazione, Torino 1933; J. DE GUIBERT, Theologia spiritualis ascetica
et mystica, Roma 1939.

3

DR. C. Marpaung
2) Studi mengenai mistik (fakta, keadaan dan peristiwa-peristiwa yang secara demonstratif luar biasa dan
yang tidak jarang mengiringi kesempurnaan) telah memodifikasi obyek material Teologi Spiritual. Berkat
studi ini pula kemudian disadari mutlak perlunya penyelidikan mengenai kejiwaan manusia (Psikologi),
dan kemudian tentang sejarah hidup manusia-manusia rohani. Sejarah hidup orang rohani ini tidak bisa
diabaikan, karena studi rispektif Psikologis maupun penilaian tepat dan definitif mengenai orang-orang
rohani tersebut sangat tergantung dari kepastian historis (bukti-bukti kritis yang dihasilkan dalam studi
mengenai sejarah).
3) Problematik pengalaman dalam studi mengenai Teologi Spiritual. Pengalaman, sebagai buah-buah
praktek dan sekaligus mengarah kepada praktek, semakin dirasakan dan berpengaruh terhadap realitas.
Pengalaman itu diwujudkan baik oleh Teologi Spiritual maupun oleh seni, sejauh tergantung dari dan
terarah kepada praktek: ars artium regimen animarum.
Ketiga poin ini muncul dari relasi antara Teologi Moral dan Teologi Spiritual. Kedua ilmu ini - sekalipun

obyek materialnya sama atau hampir sama yaitu: hidup, kesempurnaan atau kekudusan kristiani - memiliki
obyek formal, metode dan sumber-sumber yang berbeda. Teologi Moral lebih bersifat ontologis, teologis,
spekulatif atau deduktif (analisis), sedangkan Teologi Spiritual lebih bersifat fenomenologis atau induktif
dan praktis. Di sini, dikatakan lebih karena Teologi Moral juga menaruh perhatian pada sejarah,
pengalaman dan praktek. Di sisi lain, Teologi Spiritual juga tidak mengabaikan Teologi Spekulatif.
Perbedaan antara kedua ilmu itu justru terletak pada perbandingan proporsional antara deduksi dan
induksi, antara spekulasi dan pengalaman, antara elemen-elemen yang khas teologis dan elemen-elemen
yang khas human (sejarah manusia) dari masing-masing.
Berdasarkan keterangan ini semakin diperjelas hubungan antara Teologi dan Sejarah, serta antara teori dan
pengalaman hidup rohani. Dengan demikian, semakin kuat pula alasan untuk lebih mempergunakan istilah
Spiritualitas dari pada Teologi Spiritual atau Teologi Mistik dan Asketik. Sebab penjelasan teologis
mengenai hidup sesuai dengan Roh tidak bisa dipisahkan dari situasi manusia dalam sejarahnya. Di
samping itu terdapat pula hubungan erat antara fenomenologi dan ontologi hidup kristiani, antara
pengalaman-pengalaman etis-religius dan pengalaman-pengalaman non kristiani.
II. NAMA
Karena ilmu ini masih tergolong muda dalam teologi, maka hingga sekarang belum ada kesatuan kriteri
bagi para penulis untuk menentukan nama umum bagi bidang ini. Nama yang muncul hingga sekarang
bermacam-macam. Ada yang menyebut Hidup Interior (MEYNARD, MERCIER, POLLIEN); yang lain
menamainya Hidup Rohani (LE GAUDIER, SCHRIJVERS), atau Hidup Supernatural (CH. DE SMEDT);
yang lain lagi menyebut Teologi Spiritual (HEERINCK), atau Teologia Rohani Asketik dan Mistik (DE

GUIBERT); lagi, ada yang menyebut Asketik dan Mistik (CRISOGONO DE YESUS), atau Teologi
Asketik dan Mistik (NAPAL, TANQUEREY); dan ada lagi yang menyebut Kesempurnaan dan
Kontemplasi (GARRIGOU-LAGRANGE)17. Selain nama-nama ini, ada juga, akhir-akhir ini yang
menyebut Teologi Hidup Rohani dan juga Spiritualitas18.
Masing-masing nama ini punya kelemahan sendiri. Teologi Mistik dan Asketik, misalnya, meski sudah
lama nama ini muncul, tapi toh tidak begitu bersifat khas kristiani; juga Teologi Spiritual rasanya kurang
persis, karena setiap teologi bersifat spiritual; demikian pun istilah Spiritualitas meski agak umum dipakai
akhir-akhir ini, tapi kurang menunjukkan ciri khas ilmiah, melainkan lebih bersifat praktis dan
pedagogis19.
Tapi, meski demikian, nama Spiritualitas mungkin lebih tepat disebut, karena dua alasan ini: 1) istilah ini
berasal dari kata Spiritus (Roh), dan oleh karena itu terasa atau nampak lebih kristiani, dan ini cocok
dengan apa yang dikatakan oleh Paulus dalam Gal 5,25: Jikalau kita hidup oleh roh, baiklah hidup kita
juga dipimpin oleh Roh; 2) istilah ini menunjukkan obyek studi, yaitu kenyataan yang pada dasarnya
bersifat spiritual20
III. DEFINISI
Karena ilmu ini masih baru dan belum ada kesatuan kriteri untuk menentukan nama umum baginya, maka
definisinya pun masih bervariasi. Beberapa definisi yang pernah muncul ialah yang berikut ini:
1) P. GARRIGOU - LAGRANGE
Teologi Asketik dan Mistik tidak lain dari pada applikasi Teologi Moral untuk mengarahkan jiwa pada

17A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, Milano 1987, 14-15.
18A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 37.
19A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 37-38.
20A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 38-39.
4

DR. C. Marpaung
kesatuan yang semakin intim dengan Allah. Teologi ini mengandaikan semua yang diajarkan oleh doktrin
suci mengenai hakekat dan apa yang terkandung dalam kebajikan kristen dan dalam anugerah Roh
Kudus, dan mempelajari hukum-hukum dan kondisi perkembangannya dari sudut kesempurnaan.
Kemudian, disambung lagi demikian dalam tulisan yang lain:
Bagian teologi ini adalah terutama pengembangan traktat mengenai cinta Allah dan mengenai anugerah
Roh Kudus, dan tujuannya ialah untuk menunjukkan applikasinya dan membimbing jiwa-jiwa pada
kesatuan dengan yang Illahi21.
2) P. DE GUIBERT:
Teologi Spiritual dapat dirumuskan sebagai ilmu yang berasal dari prinsip-prinsip yang diwahyukan dan
menerangkan apa itu kesempurnaan hidup rohani dan bagaimana manusia mengarah ke dan mengikuti
kesempurnaan itu22.
3) A. TANQUEREY
A. Tanquerey membatasi dirinya dengan mengatakan bahwa Teologi Spiritual adalah ilmu yang
membicarakan tujuan ke mana jiwa-jiwa diarahkan, yaitu kepada kesempurnaan kristen. Tetapi kemudian,
ketika ia berusaha membedakan Askese dan Mistik, ia sampai pada rumusan bahwa Askese adalah bagian
ilmu kerohanian yang berbicara mengenai teori dan praktek kesempurnaan kristen dari awal hingga pada
puncaknya, yaitu kontemplasi. Sedangkan Mistik adalah bagian lain dari ilmu kerohanian itu yang
berbicara mengenai teori dan praktek hidup kontemplasi mulai dari "malam pertama" dan keheningan
kontemplasi itu hingga pada "perkawinan rohani"23.
4) SCHRIJVERS
Schrijvers mengatakan bahwa ilmu tentang hidup rohani mengajarkan bagaimana mengarahkan seluruh
aktivitas orang kristen kepada kesempurnaan adikodrati 24.
5) P. NAVAL
P. Naval merumuskan mistik sebagai ilmu yang berbicara mengenai kesempurnaan kristen dan bimbingan
bagi jiwa-jiwa menuju kesempurnaan itu25.
6) A. ROYO MARIN
Teologia Spiritual adalah bagian dari teologi yang berdasarkan prinsip wahyu illahi dan pengalamanpengalaman hidup orang-orang kudus, mempelajari organisme hidup adikodrati dan menerangkan
hukum-hukum perkembangan yang diikuti oleh jiwa semenjak memasuki hidup kristiani hingga mencapai
puncak kesempurnaan26.
7) G. MOIOLI
Theologia Spiritualis berkewajiban mempelajari perkembangan konkrit hidup kristiani: memperhatikan
bagaimana hidup baru itu, yang memiliki Roh Kudus sebagai dasar dalam dirinya, diwujudkan secara
konkrit dalam diri manusia di bawah terang iman27.
8) A. BENIGAR
Theologia spiritualis est illa pars theologia, quae tractat de Deo amanter et suaviter perficiente membra
corporis Christi mystici cum ardenti, studiosa ac generosa eorundem membrorum cooperatione a germine
vitae deiformis usque "in virum perfectum in mensuram aetatis plenitudinis" sui divini Capitis 28.
9) P. VANDENBROUCKE

21Rumusan ini diambil dari A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 21-22. Rumusan Lagrange ini
terdapat dalam bukunya Perfezione cristiana e contemplazione, Torino 1933, 3, dan dalam Le tre eta della vita interiore, Torino
1950, 9.
22Rumusan ini diambil dari A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 21-22. Rumusan DE GUIBERT
ini terdapat dalam bukunya Theologia spiritualis ascetica et mystica, Roma 1939, 1-38, no. 9.
23A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.
24A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.
25A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 22.
26A. ROYO MARIN, Teologia della perfezione cristiana, 23.
27G. MOIOLI, "La vita cristiana come oggetto della Teologia Spirituale" dalam La Scuola Cattolica 91 (1963) 103.
28A. BENIGAR, Theologia Spiritualis, Roma 1964, 2.
5

DR. C. Marpaung
Spiritualitas pada hakekatnya adalah ilmu tentang reaksi-reaksi kesadaran religius di hadapan obyekobyek iman dan ini merupakan aspek intelektualnya; kemudian, spiritualitas adalah juga ilmu yang
mempelajari kegiatan-kegiatan manusia dalam hubungan khususnya dengan Allah (dinamakan juga
askese dan mistik). Dengan kata lain, spiritualitas dapat disebut sebagai ilmu mengenai penerapan
(applikasi) Injil ke dalam hidup orang kristen, baik dalam batas-batas intelektual maupun mistik 29.
10) LASIC
Theologia christiana perfectidica est doctrina et scientia quaedam, quae secundum principia per
Christum revelata, naturalibus quoque pro modo subiunctis, tractat de Deo, prout secundum Christumnormam totalitatis se communicat homini viatori in hac conclusiva secum cooperatione 30.
11) CH. A. BERNARD
Teologi Spiritual adalah disiplin teologis berdasarkan prinsip-prinsip rivelasi yang mempelajari
pengalaman rohani kristen, melukiskan perkembangannya, dan menunjukkan struktur dan hukumhukumnya31.
12) B. SECONDIN dan T. GOFFI
Teologi Spiritual ialah disiplin teologis yang menyelidiki secara sistematis kehadiran dan aksi misteri
yang diwahyukan dalam hidup dan dalam kesadaran Gereja dan orang beriman, sambil melukiskan
struktur dan hukum-hukum perkembangannya hingga ke puncak, yaitu pada kekudusan, yang merupakan
kesempurnaan kasih32.
13) J. AUMANN
Teologi Spiritual adalah bagian dari teologi yang - terpancar dari kebenaran-kebenaran wahyu illahi dan
pengalaman religius setiap individu - merumuskan kodrat hidup supernatural, merumuskan arah
perkembangannya, dan menerangkan proses perkembangan itu dengan mana jiwa-jiwa bergerak maju
dari permulaan hidup rohani hingga kesempurnaannya yang penuh33.
14) A. G. MATANIC
Menurut A. G. Matanic34, untuk semua rumusan di atas masih perlu lagi ditambahkan beberapa poin
pemikiran dan konsep riil dan dasariah yang memberikan tekanan lebih umum pada aspek-aspek tertentu:
1) Spiritualitas adalah "qualitas dari segala sesuatu yang adalah spiritual". Pemikiran ini adalah umum dan
dapat ditemukan dalam kamus-kamus, dan ini merupakan salah satu dari rumusan-rumusan filosofis yang
pertama.
2) Spiritualitas dimengerti juga sebagai sinonim dengan kesalehan (pietas) atau hidup keagamaan yang
diwujudkan dan dialami, misalnya yang diwujudkan dan dialami oleh seorang santo atau santa, atau oleh
siapa saja yang mempunyai hubungan pribadi dengan Yang Illahi dalam konteks pelayanan. Karena itu,
pengalaman kesalehan dan hidup keagamaan atau religiositas ini tidak hanya terbatas pada orang-orang
kristen saja. Dan memang, kenyataannya, ada spiritualitas sebelum kekristenan, dan ada juga spiritualitas
non kristen. Tetapi, karena yang dibicarakan di sini adalah spiritualitas atau religiositas kekristenan, atau
kenyataan kekristenan yang dihidupi, maka spiritualitas di sini dimengerti sebagai bakti pelayanan
kristiani bagi Allah. Di sini, spiritualitas pada tingkatnya yang paling atas identik dengan kekudusan.
Karena itu, maka literatur yang ditulis oleh seorang penulis dalam hal ini seharusnya mengungkapkan
kekudusan si penulis itu sendiri.
3) Selain sebagai pengalaman keagamaan, spiritualitas dilihat juga sebagai ilmu yang mempelajari serta
mengajarkan prinsip-prinsip dan praktek-praktek untuk hidup saleh, data-data mengenai hidup keagamaan,
bakti kepada Allah dan hidup rohani pada umumnya. Dengan pandangan ini maka spiritualitas disamakan
dengan ajaran spiritual atau Teologi Hidup Rohani, khususnya menurut agama kristen. Karena itu, untuk
menjawab pertanyaan mengenai "Apa itu Spiritualitas?", harus dibedakan apa itu kenyataan spiritual yang
dihidupi dan apa itu ilmu atau studi tentang kenyataan yang dihidupi itu. Dengan kesadaran ini, maka
spiritualitas kiranya dapat dirumuskan sebagai berikut:

29P. VANDENBROUCKE, "Spiritualite et Spiritualites" dalam Concilium 1 (1965) 47.
30LASIC, Theologia christiana, 1967, 198.
31Ch.A. BERNARD, Teologia Spirituale, Roma 1983, 68.
32B. SECONDIN - T. GOFFI, Introduzione generale, 14.
33J. AUMANN, Spiritual Theology, London 1980, 22.
34A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 39-42.
6

DR. C. Marpaung
Spiritualitas ialah ilmu tentang hidup rohani, yang menyelidiki baik dimensi teologis-nya maupun
dimensi fenome-nologisnya.
Rumusan ini mengandung empat elemen essensiil:
a)
Spiritualitas sebagai ilmu berarti sebagai suatu studi, penyelidikan atau penelitian, tetapi tidak
terpisah dari praktek; di sini ada serangkaian prinsip dan praktek sebagai sarana untuk sampai pada
"cognito per causas"
b)
Hidup Rohani - yang adalah kesempurnaan, kekudusan (dalam pengertian kristiani) merupakan
obyek material dari Spiritualitas ini sebagai ilmu
c)
Bagaimana hidup ini dipelajari, dan bagaimana sifatnya yang teologis (bagi sumber-sumbernya
dari teologi) dan sekaligus fenomenologis (sehubungan dengan sumber-sumber human, historis dan
sosialnya) merupakan obyek formal ilmu ini
d)
Usaha untuk mencari bagaimana terciptanya kekhususan spritualitas spesifik ialah dengan
memperhatikan secara seksama dimensi fenomenologis ilmu itu.
4) Spiritualitas kadang-kadang disamakan dengan "aliran spiritualitas". Aliran ini tidak lain dari pada
kumpulan orang atau literatur yang mewujudkan atau merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip serta
praktek-praktek hidup spiritual tertentu, misalnya spiritualitas masing-masing Ordo atau Kongregasi yang
terdapat dalam Gereja. Identifikasi antara spiritualitas dan aliran spiritualitas tidak selalu tepat, karena
tidak semua spiritualitas mempunyai suatu aliran, sementara itu setiap aliran spiritualitas, kalau ada,
mengandaikan adanya data-data mengenai spiritualitas.
Dari semua keterangan ini jelas bahwa yang paling penting mengenai pengertian tentang spiritualitas ialah
bahwa spiritualitas itu adalah pertama-tama sebagai kenyataan hidup yang dialami, dan yang kedua
sebagai ilmu yang mempelajari kenyataan hidup itu. Spiritualitas sebagai ilmu mengandaikan spiritualitas
sebagai kenyataan hidup yang dialami, karena spiritualitas itu terlebih dahulu harus dihidupi dulu baru
kemudian dipelajari dan diajarkan (yang untuk selanjutnya dihidupi kembali).
IV. METODE35
1. PROBLEMATIK METODOLOGIS
Karena Spiritualitas atau Teologi Spiritual masih baru sebagai ilmu, maka metodenya juga masih baru atau
masih dalam usaha untuk semakin menyempurnakannya. Karena Teologi Spiritual ini baru disadari
sebagai ilmu yang otonom sekitar tahun 1940 yang lalu, maka para penulis mengenai bidang ini
sebelumnya belum mempersoalkan metode bidang ini sebagai ilmu, karena pada masa itu Spiritualitas
masih merupakan bagian integral dari ilmu Teologi Dogmatik dan Teologi Moral. Karena dianggap perlu
bahwa Teologi Spiritual terpisah dari Teologi Moral terutama, maka perlu juga mencari metodenya. Tentu
saja kalau Teologi Spiritual adalah bagian dari Teologi, maka metodenya pun harus bersifat teologis, dan
sumber-sumbernya pun harus diambil dari sumber-sumber teologis. Tetapi justru karena keterpisahan dari
Teologi Moral ini, maka metode dan bibliografinya pun agak problematik sebagai yang harus otonom.
Seperti sudah dikemukakan, Spiritualitas adalah ilmu tentang hidup spiritual baik dalam dimensi teologis
maupun dalam dimensi fenomenologisnya. Karena mengandung dua dimensi yang berbeda, maka obyek
materialnya sungguh-sungguh luas, yakni meliputi sumber-sumber yang bersifat antropologis (psikologis)
dan historis.
2. METODE YANG KOMPLEKS
Spiritualitas adalah suatu ilmu yang majemuk karena muatannya secara prinsipiil merupakan bagian dari
Teologi, Sejarah dan Psikologi. Masing-masing ketiga ilmu ini mengandung aspek praktis dan sumbersumbernya majemuk.
Ke-kompleks-an metode dalam studi mengenai Spiritualitas sangat ditentukan oleh kenyataan yang
disebut di atas. Alhasil, secara metodologis dikenal:
- Spiritualitas spekulatif, dengan metode khas teologis dan deduktif (analisis)
- Spiritualitas praktis, dengan metode khas psikologis, pedagogis, formatif
- Spiritualitas positif atau historis, dengan metode deskriptif dan induktif
Ke-kompleks-an ilmu ini nampak juga dari pemakaian sebutan ganda untuk ilmu ini, sebagaimana nampak
dari pelbagai daftar kepustakaan yang ada hingga sekarang:
- Teologi dan Spiritualitas
- Sejarah dan Spiritualitas
- Psikologi dan Spiritualitas
Dari sebutan ganda ini dapat disimpulkan bahwa metode deduktif saja tidak cukup dalam studi mengenai
Spiritualitas ini. Metode deduktif ini perlu dilengkapi juga dengan metode induktif, terutama kalau harus

35A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 91-94.
7

DR. C. Marpaung
menghadapi fakta-fakta historis dan pengalaman-pengalaman konkrit.
Sebutan ganda Teologi dan Spiritualitas menunjukkan bahwa Spiritualitas adalah bagian dari Teologi dan
secara organis menyatu dengannya. Oleh karena itu Spiritualitas dapat dipaparkan seperti semua ilmu
teologis dan sesuai dengan metode teologis.
Dari sebutan ganda Sejarah dan Spiritualitas dapat disimpulkan bahwa Spiritualitas, baik sebagai ilmu
maupun sebagai realitas yang dihidupi, punya sejarahnya. Karena itu, metode yang tepat untuknya ialah
metode historis-kritis.
Sedangkan ungkapan Psikologi dan Spiritualitas menunjukkan bahwa Spiritualitas juga adalah suatu ilmu
tentang manusia, yaitu subyek dari hidup dan kesempurnaan spiritual, dan bahwa studi mengenai manusia
ini menjadi bagian dari Spiritualitas. Dalam hal ini dapat dipakai suatu metode yang cocok untuk ilmu
mengenai manusia. Karena itu sifatnya adalah eksperiensial (pengalaman) dan rasional.
Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa problematik metodologis spiritualitas praktisnya menyangkut:
Penguasaan pelbagai metode terkait yang telah disebut di atas. Hal ini akan membantu tercapainya
pemahaman yang lebih baik mengenai spiritualitas itu sendiri
Kemampuan untuk memberikan nilai yang tepat kepada masing-masing metode
Kesanggupan menerapkan pelbagai metode terkait
Kemampuan merangkumkan pelbagai risultan yang diperoleh lewat masing-masing metode.
Jadi, studi mengenai spiritualitas seharusnya dilaksanakan dengan menerapkan pelbagai metode ilmiah,
walaupun di lain pihak orang hendaknya membatasi diri pada dimensi-dimensi teologis, historis dan
psikologis. Lebih lanjut kebutuhan manusia dewasa ini menuntut bahwa setiap argumen sedapat mungkin
bersifat universal. Oleh karena itu perlu mengetahui pelbagai metode dan bidang studi, sehingga wawasan
ilmu yang bersangkutan akan lebih luas dan sifatnya menyeluruh.
V. SUMBER-SUMBER SPIRITUALITAS36
Pendekatan terhadap pelbagai sumber menuntut pemahaman metode-metode yang berbeda-beda. Sejalan
dengan adanya banyak sumber, maka terdapat pula beraneka-ragam metode.
Sumber-sumber untuk spiritualitas dibagi dalam pelbagai kelompok:
1) Kelompok pertama disebut Sumber-sumber teologis umum (loca theologica), yang meliputi Wahyu
scripta et tradita, Ajaran resmi Gereja (Magisterium), dan Liturgi. Ke dalam kelompok ini harus juga
dimasukkan Anggaran Dasar, Konstitusi dan Statuta Hidup Religius sejauh disahkan oleh kuasa gerejani.
2) Kelompok kedua ialah Sumber-sumber literer atau teoretis yang disebut juga sumber-sumber teologis
khusus (partikular): sumber-sumber ini tertuang dalam pelbagai tulisan dari pelbagai pengarang (penulis)
spiritualitas paling karakteristik dan kwalitatif, khususnya bila memiliki otoritas besar, karena kekudusan
dan pengalaman si penulisnya, untuk menjadi sesuatu yang bersifat normatif. Dalam kaitannya dengan
teologi, pengarang-pengarang yang dimaksudkan dapat dimasukkan sebagai bagian dari tradisi; contoh
konkritnya ialah para Bapa Suci dan Doktor-Doktor Gereja.
Akan tetapi, sumber-sumber ini dapat juga berupa kepustakaan besar, entah mengenai Liturgi, Gereja atau
Maria, yang merupakan kesaksian dari satu periode atau tendensi tertentu.
3) Kelompok ketiga ialah Sumber-sumber faktual atau fenomenologis atau eksperiensial (documenta non
scripta): sumber-sumber ini berasal langsung dari kehidupan, praktek atau pengalaman konkrit yang
sejajar dengan fakta spiritual, historis dan sosial. Ke dalam kelompok ini dimasukkan juga cerita-cerita
mengenai orang-orang kudus dan yang sangat representatif bagi spiritualitas, fakta-fakta dan fenomena
religius dan moral yang mencirikan suatu periode, gerakan serta aliran religius, devosi dan praktek hidup,
folklore religius, fakta-fakta artistik (misalnya ikonografi), dst. Dewasa ini banyak dari sumber-sumber
tersebut dipelajari dengan bantuan ilmu-ilmu statistik, diteliti lewat angket, diskusi, interview, dan sejauh
menyangkut psikologi, diterapkan pelbagai tekhnik psikologis dan sosiologis.
Dalam studi mengenai Spiritualitas, pengalaman pribadi juga memainkan peranan penting. Pada umumnya
sebagian besar pengarang atau penulis spiritualitas adalah para akhli hidup spiritual, para bapa pengakuan,
rektor Institut dan pembimbing rohani. Mereka bisa mengajarkan "terang" karena mereka memiliki
"terang" itu. Hidup rohani praktis punya hubungan erat dengan pengetahuan teologis. Dengan kata lain,
pengalaman hidup rohani merupakan sarana atau dasar bagi perkembangan pengetahuan mengenai
spiritualitas.
Keragaman serta banyaknya sumber-sumber bagi studi Spiritualitas menimbulkan persoalan lain
sehubungan dengan proses penyelidikan, hermeneutik (hal mencari duduk perkaranya yang sebenarnya)
serta interpretasi. Setiap kelompok sumber menuntut proses penyelidikan dengan norma-norma serta
hukum interpretasi tertentu yang diketahui oleh si penyelidik. Selain itu, tidak jarang bahwa masingmasing kelompok sumber harus diinterpretasikan berdasarkan kriteria-kriteria dari kelompok lain,

36A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 95-103.
8

DR. C. Marpaung
sehingga dengan demikian bisa saling melengkapi.
Masih dalam kaitannya dengan problematik eksegetis sumber-sumber, perlu ditambahkan beberapa
catatan:
1) Sumber-sumber teologis yang berasal dari Tradisi dan Magisterium diterima bukan saja karena
memiliki kekuatan teologis, tetapi juga sebagai kesaksian historis, karena sumber-sumber ini bisa
merupakan kesaksian dari seorang Bapa atau Pujangga (penulis) Gereja, atau berupa affirmasi historis
yang dimasukkan ke dalam suatu dokumen kepausan atau suatu keputusan yuridis. Singkat kata, untuk
memahami sumber-sumber ini diperlukan prospektif historis dengan memperhatikan pula perkembangan
yang mungkin dialami oleh suatu ide yang terkandung di dalam dokumen tersebut.
2) Kitab Suci, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, adalah sumber teologis utama bagi masingmasing dan seluruh Spiritualitas kristiani. Namun sering pula dikatakan atau disebutkan Spiritualitas
Biblis, Spiritualitas Perjanjian Lama, Spiritualitas Perjanjian Baru, dst. Kalau hal ini dikatakan, ini
berarti memaksudkan Spiritualitas Khusus, sejauh terbatas untuk periode tertentu, sejajar misalnya dengan
Spiritualitas Apostolik, Spiritualitas Orang Kristen Pertama, dst. Di lain pihak, pemakaian Kitab Suci
dalam Spiritualitas mengandung persoalan yang terkait dengan arti spiritual dari setiap interpretasi.
Dengan kata lain, setiap interpretasi mengenai Kitab Suci mengandung makna spiritual tertentu, dan arti
spiritual dari setiap interpretasi ditentukan oleh kebenaran interpretasi tersebut. Karena itu bisa diajukan
pertanyaan: apa hubungan antara Kitab Suci dengan Spiritualitas?
3) Mengenai sumber-sumber yang berasal dari kuasa dan hukum Gerejani, harus dikatakan bahwa tidak
mudah membuat dokumentasi tentang kaitan obyektifnya dengan Spiritualitas yang dihidupi secara riil;
sampai kini kuasa dan hukum Gerejani mempengaruhi Spiritualitas, tetapi sampai sekarang terjadi juga
sebaliknya. Di samping itu perlu juga membedakan antara Spiritualitas hukum atau ideal dengan
Spiritualitas praktis (faktual). Sebagai contoh: Spiritualitas Imam pada abad ke-20 menurut Hukum
Gereja berbeda dari Spiritualitas Imam yang dipraktekkan pada abad yang sama. Demikian pula dengan
Spiritualitas Hidup Religius: lain berbicara mengenai Spiritualitas menurut Konstitusinya dari pada
berbicara mengenai Spiritualitas riil yang dihidupi oleh Hidup Religius tersebut.
4) Tentang sumber-sumber teologis dalam arti harafiah (literatur teologis) perlu ditekankan perbedaan
antara aspek teoretis dan aspek praktisnya, apakah literatur tersebut berbicara mengenai realitas atau
kesaksian riil. Pada kenyataannya realitas bisa sangat berbeda dari apa yang diajarkan (teori). Secara
literer harus pula dikatakan bahwa banyaknya kepustakaan mengenai Spiritualitas dalam bahasa tertentu
tidak bisa dijadikan jaminan bahwa dalam lingkungan masyarakat yang memakai bahasa tersebut terdapat
banyak akhli hidup rohani.
5) Sejauh menyangkut sumber-sumber faktual atau eksperiential (documenta non scripta) harus dikatakan
bahwa terdapat banyak kritik yang sangat kompleks berkaitan dengan keragamannya. Akan tetapi
problematiknya lebih bersifat historis: sejauh mana sumber-sumber tersebut obyektif dan bagaimana
menilainya secara obyektif pula. Misalnya mengenai hasil dari metode atau tekhnik modern tertentu,
seperti angket, interview, dst.
6) Dalam usaha memaparkan pelbagai Spiritualitas spesifik, misalnya Spiritualitas dari seorang santo atau
santa, Spiritualitas Institut Religius tertentu, periode historis tertentu, dst, harus dihindari usaha
penyempitan ke dalam suatu elemen tertentu yang mengkarakterisir pribadi, Institut atau periode yang
bersangkutan. Spiritualitas adalah realitas kompleks dan tidak mungkin dipadatkan ke dalam satu elemen
tertentu saja. Dengan kata lain, perlu berhati-hati terhadap penilaian yang bersifat sintesis dan terhadap
usaha meng-generalisasikan.
7) Harus dihindari pula interpretasi akronologis: sumber-sumber dari masa lampau tidak bisa dilihat
dengan kaca mata masa kini dan sebaliknya, terutama bila menyangkut ide-ide serta pelaksanaannya.
8) Dengan beredarnya (berputarnya) zaman akan semakin banyak kemungkinan studi perbandingan
Spiritualitas, misalnya antara Spiritualitas kristiani dan Spiritualitas non kristiani, Spiritualitas
paleokristiani dan Spiritualitas Abad Pertengahan, dst.
Pendekatan dan studi perbandingan ini sangat membantu usaha menemukan serta mengenal ciri-ciri khas
masing-masing Spiritualitas dan pengaruh timbal balik terhadap satu sama lain, dsb.
Mengingat banyaknya sumber-sumber dan kompleksnya metode bidang studi Spiritualitas, maka tidak
mungkin menampilkan suatu rangkuman (kumpulan) yang berisikan semua sumber dengan segala metode
dan introduksinya masing-masing. Kumpulan yang ada sampai sekarang pada umumnya sangat terbatas,
karena berupa buku-buku pegangan dan sering dengan teks-teks yang tidak original (terjemahan saja).
Selain itu terdapat koleksi, katalog atau inventaris dari sumber-sumber "pembantu" yang bersifat didaktisformatif untuk mempermudah menelusuri masing-masing serta pelbagai sumber yang ada.

9

DR. C. Marpaung
VI. ILMU-ILMU PENUNJANG BAGI SPIRITUALITAS37
Karena Spiritualitas sebagai ilmu membahas kehidupan spiritual konkrit, maka untuk mengembangkan
pemahaman yang lebih menyeluruh dan akurat dibutuhkan ilmu-ilmu penunjang.
Pembicaraan mengenai ilmu penunjang bagi Spiritualitas mulai muncul pada tahun 30-an. Sebelumnya
pokok ini tidak dikenal, karena masih hangat dibicarakan mengenai pemisahan Spiritualitas dari Teologi
Dogmatik, Teologi Pastoral, dan dari Pedagogi Religius. Baru sesudah munculnya Spiritualitas sebagai
ilmu otonom mulai dirasakan perlunya berbicara mengenai pelbagai ilmu lain yang terkait dan yang dapat
dipakai sebagai bantuan untuk mempelajarinya.
Sulit untuk menentukan secara pasti berapa banyak ilmu yang dianggap sebagai penunjang studi
Spiritualitas, karena masing-masing penulis punya pendapat lain. Menurut Bibliographia Internationalis
Spiritualitatis (1966 - ...) - hasil kerja para Karmelit tanpa kasut - ilmu-ilmu yang terkait dengan
Spiritualitas adalah: Teologi Dogmatik, Teologi Moral, Teologi Pastoral, Pedagogik (Umum), Psikologi
dan Psikhiatri. Kita menerima Teologi Dogmatik dan Teologi Moral sebagai ilmu yang pada kenyataannya
dan secara doktrinal diandaikan dalam studi Spiritualitas. Namun banyak pengarang melihat kedua ilmu
tersebut sebagai ilmu penunjang belaka dalam studi Spiritualitas.
Sampai sekarang masih dilihat adanya hubungan erat antara Teologi Dogmatik dan Spiritualitas. Malahan
kadang-kadang sulit membedakan apakah yang dibicarakan itu Teologia Dogmatik atau Spiritualitas.
Hubungan erat antara kedua ilmu ini dapat diterima, karena menyangkut ajaran dan kehidupan konkrit.
Selain yang disebut di atas, perlu juga diperhatikan hubungan khusus antara studi historis mengenai
Spiritualitas dan Sejarah Gereja pada umumnya. Sejarah Spiritualitas adalah bagian dari Sejarah Gereja.
Karena itu Sejarah Gereja dilihat sebagai ilmu yang diandaikan dan sekaligus sebagai bantuan bagi studi
Spiritualitas, khususnya bila harus berhadapan dengan faktor-faktor kausal dari pelbagai fenomena
spiritual. Contohnya: studi mengenai pelbagai lingkungan historis dan geografis dan pelbagai pengaruh.
Selanjutnya antara Spiritualitas dan ilmu-ilmu Biblis terdapat juga hubungan yang tidak boleh diabaikan.
Sebagaimana diketahui, Wahyu Tertulis merupakan salah satu sumber utama bagi studi Spiritualitas. Oleh
karena itu, bila orang dapat memahami atas cara lebih baik ilmu-ilmu Biblis, dia akan memperoleh
pemahaman yang baik pula tentang Spiritualitas.
Akhirnya perlu juga diingat bahwa setiap Spiritualitas khusus memiliki pula ilmu-ilmu penunjang,
misalnya yang terkait dengan Spiritualitas Hidup Religius atau dari periode historis tertentu.
Ilmu-ilmu yang termasuk pada umumnya sebagai penunjang untuk studi Spiritualitas ialah:
Ilmu-ilmu mengenai agama pada umumnya, khususnya Sejarah Agama-Agama dan Asketisme
Patrologi dan Patristik, Sejarah Teologi Kristiani dan Katolik (di sini perlu diingat bahwa banyak
pengarang Spiritualitas hidup sezaman dengan Bapak-Bapak Suci, Pujangga Gereja dan Teolog. Selain itu
ada relasi antara pengetahuan dan bahasa teologis, pengetahuan dan bahasa mistik, konsep-konsep teologis
dan mistik)
Biografi, Autobiografi, dan secara khusus Hagiografi
Sejarah berdirinya suatu Institut Religius dan Sejarah ini diikuti oleh berdirinya "aliran spiritualitas"
tertentu dari Institut yang bersangkutan
Psikologi, sebagai salah satu ilmu yang paling penting mengenai manusia, khususnya Psikologi
differensiil, Psikologi Karakterologis, Psikologi Pastoral, Psikologi Pedagogik, Psikologi Dinamis dan
Psikhiatri
Liturgi, khususnya yang bersifat historis dan teologis
Teologi Pastoral
Pedagogi Hidup Religius (salah satu spesialisasi dari Teologi Pastoral). Ilmu ini berkaitan secara khas
dengan Spiritualitas Praktis
Sosiologi Religius
Ilmu penunjang secara khusus bagi Spiritualitas ialah:
Biografi-Hagiografi
Psikologi
Sosiologi-Religius.
Biografi-Hagiografi lebih tradisional, sedangkan Psikologi dan Sosiologi-Religius lebih modern. Ketiga
ilmu penunjang ini sangat aktual, dan ini terbukti karena mendapat tekanan tertentu dalam dokumendokumen Gereja dewasa ini, termasuk dokumen Konsili Vatikan II.
1) Biografi-Hagiografi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Biografi dan cabangnya Autobiografi dan
Hagiografi punya peranan penting dalam studi praktis dan teoretis Spiritualitas. Hagiografi adalah ilmu
tentang orang-orang kudus yang berbicara mengenai sejarah hidup dan peribadatannya. Ilmu ini menelaah

37A.G. MATANIC, La spiritualita come scienza, 117-139.
10

DR. C. Marpaung
peri hidup orang-orang yang sungguh-sungguh mempraktekkan prinsip-prinsip Spiritualitas dan dilihat
sebagai model yang dapat dicontoh. Pengalaman serta praktek hidup mereka, khususnya kalau bersifat
kharismatis, mempunyai pengaruh sosial-religius. Di samping itu, studi tentang pokok ini dapat
mengkonfirmasikan kebenaran ajaran spiritual kristiani lewat kesaksian hidup serta contoh-contoh konkrit
dalam ekspressi otentik aksioma hidup spiritual. Latar belakang semuanya ialah imitatio Christi. Jadi,
usaha-usaha konkrit orang-orang kudus untuk mengikuti Kristus tidak bisa diabaikan (Bdk LG 50-51).
Dalam hal ini perlu diingat secara khusus studi teologis tentang Maria.
Orang-orang kudus yang dimaksudkan dalam studi ini tidak terbatas pada mereka yang diakui
kekudusannya secara kanonik. Di dalamnya termasuk juga semua hamba Allah yang mengembangkan
hidup spiritual atas cara khas dan karena itu pantas menjadi contoh kesempurnaan. Walaupun demikian,
perlu pula diperhatikan ajaran serta norma Gerejani bagi kanonisasi orang-orang kudus sebagai patokan
dan tolok ukur bagi kekudusan serta kesempurnaan kristiani.
2) Psikologi. Terdapat hubungan khusus antara studi Spiritualitas dan pelbagai cabang Psikologi modern,
khususnya dengan Psikologi Religius (suatu studi positif tentang religiositas manusia). Sampai sekarang
cukup banyak cabang Psikologi ini, antara lain:
Psikologi Perbandingan
Psikologi Differensiil
Psikologi Karakterologis, Psikologi Pedagogis
Psikologi Dinamis
Psikhiatri.
Studi Psikologis sangat dibutuhkan dalam kaitannya dengan:
Problematik mistik
Studi Agama-Agama dan Mistik, juga yang non kristiani, termasuk masalah bertobatnya orang kepada
Agama tertentu
Applikasi praktis-pedagogis Psikologi yang terlaksana juga dalam Hidup Religius dengan adanya
Psikologi Asketik, Psikologi Pastoral, Psikologi Karakterologis, Psikologi Vocational, Psikologi Doa, dll
Munculnya Psikologi Bawah Sadar, khususnya Psikoanalisa dan Para-Psikologi. Dalam hal ini yang
mendapat perhatian istimewa ialah hubungan antara Psikoanalisa dan Spiritualitas
Munculnya riset Antropologis yang menyentuh pelbagai problem Spiritualitas, misalnya relativitas dari
norma-norma tingkah laku tertentu, kematangan serta keseimbangan manusia, kebajikannya, dst. Cukup
banyak buku yang berbicara mengenai pokok-pokok ini.
3) Sosiologi Religius. Ilmu yang masih relatif muda ini banyak dimanfaatkan di bidang pastoral. Sebagai
ilmu, Sosiologi Religius adalah bagian dari Sosiologi Modern yang umumnya disebut positif, deskriptif
atau eksperiential, berbeda dari Sosiologi yang lebih tradisional baik yang bersifat filosofis (rasional)
maupun teologis. Ilmu ini dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah mengenai hubungan antara masyarakat
dan Agama-Agama atau antara masyarakat dengan pelbagai sikap keagamaan. Jadi, Sosiologi Religius
diterapkan khususnya pada fakta-fakta religius sejauh juga sebagai fakta-fakta sosial, entah bersifat
lahiriah maupun batiniah, kelihatan atau