Sumber Energi Tidak Saja dari Fosil

Sumber Energi Tidak Saja dari Fosil
MigasReview, Jakarta – Masih banyak pandangan bahwa sumber energi hanya berasal dari fosil,
seperti minyak bumi, gas bumi dan batubara, karena penemuan awalnya sangat mudah
didapatkan. Namun, seiring dengan waktu, peningkatan kebutuhan penggunaan energi kian tak
terbendung hingga ketersediaannya tidak mencukupi. Bahkan, (alm.) Widjajono Partowidagdo,
sewaktu menjabat Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengatakan bahwa
Indonesia adalah negara yang tidak kaya minyak.
Pandangan yang sama diungkapkan Presiden Direktur PT Ametis Energi Nusantara Ismail
Zulkarnain. Dikatakannya, negara ini terletak di iklim tropis dan memiliki lahan yang luas,
sehingga memiliki sumber energi lain selain berasal dari fosil, seperti energi panas bumi, energi
sinar matahari dan bioenergi. Energi-energi tersebut bisa menjadi solusi untuk menciptakan suatu
ketahanan atau keamanan energi di Indonesia.
Berikut penuturannya kepada MigasReview.com saat ditemui di kantornya bilangan Kawasan
Mega Kuningan, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Mengapa PT Ametis Energi Nusantara memfokuskan pengembangan energi baru dan
terbarukan?
Visinya adalah bagaimana kita bisa menciptakan dan membantu pemerintah dan masyarakat
dalam hal energi industri, sehingga kita bertujuan ingin membangun paradigma baru bahwa
sumber energi tidak hanya berasal dari fosil. Karena pada umumnya, orang berpikir kalau yang
namanya energi adalah minyak, gas dan batubara, padahal tidak seperti itu. Kenapa kita ingin
menciptakan paradigma tersebut, sebab untuk energy security (keamanan/ketahanan energi)

membutuhkan distribusi sumber energi. Contohnya, di Indonesia, bila kita berbicara cadangan
minyak, hanya memiliki di bawah 1 persen dari cadangan minyak dunia, cadangan gas di bawah
2,5 persen dari cadangan gas dunia.
Sementara, Arab Saudi dan Venezuela memiliki lebih dari 10-20 persen dari cadangan migas
dunia. Dibandingkan dengan kebutuhan dalam negeri mereka sangat secured. Artinya, bila
mereka membicarakan mengenai minyak dan gas adalah hal yang wajar, tapi tidak mesti
Indonesia membicarakan hal yang sama seperti mereka. Karena ternyata, berdasarkan data yang
kita punya dan di-publish secara global, Indonesia memiliki 40 persen cadangan energi panas
bumi di dunia dan energi lain, seperti bioenergi, seperti energi matahari, karena Indonesia berada
di iklim tropis. Sehingga, kenapa tidak melakukan bauran sumber energi selain energi fosil.
Makanya, diperlukan investasi pengembangan dan komitmen agar dapat menyumbangkan
ketahanan/keamanan energi Indonesia.

Pengembangan energi non fosil ini tentunya banyak tantangan. Dukungan seperti apa
yang diperlukan?
Secara fundamental dibutuhkan tata kelola, yang dasarnya dengan adanya satu regulasi dan
kebijakan, kemudian rencana trategis. Sebenarnya, pemerintah sudah memiliki suatu tatanan
bauran energi melalui ESDM dan dibantu oleh Dewan Energi Nasional. Memang harus dibantu
dengan peraturan-peraturan yang lebih mengarah level teknis. Seperti, bagaimana jika bioenergi
diciptakan, siapa yang akan membelinya, market-nya seperti apa. Salah satu contoh, energi panas

bumi, untuk pengembangan berada di daerah konservasi hutan, apakah daerah tersebut 100
persen haram untuk pengembangan geothermal? Ini diperlukan suatu kerjasama berbagai pihak.
Di samping juga dibutuhkan suatu organization capability, bagaimana kita bisa mengolah
sumber energi ini yang sustainable serta dibutuhkan teknologi, yang mana akan tercipta jika ada
komitmen dan kerja terus menerus berdasarkan pengalaman dan penelitian, karena tidak
mungkin teknologi serta-merta langsung jadi atau instant.
Berapa rata-rata investasi yang dibutuhkan untuk energi non fosil tersebut?
Data yang saya miliki, untuk pengembangan energi sinar matahari, rata-rata kapasitas 1 MW
perlu US$1-2 juta. Kemudian untuk energi panas bumi kapasitas 1 MW kurang lebih US$2,5-4
juta. Sumber energi lain, seperti bioenergi, kisarannya US$1-5 juta per MW tergantung risiko
yang ada. Misalnya, investasi semakin tinggi, pasti sustainable harga juga fluktuatif.
Masing-masing energi ada kelebihan dan kekurangannya. Bagaimana bisa dapat saling
menutupinya agar berjalan bersamaan?
Tentunya tata kelola yang komprehentif, dan blueprint di mana fungsi forecast atau outlook kita
terhadap supply dan demand. Kalau kita memang bersama-sama pada satu sinergi kerja, saya
rasa akan bisa mengatasinya dengan mengatur interaksi bersama alam yang kita miliki.
Benarkah return of investment dari energi baru dan terbarukan membutuhkan waktu yang
sangat lama?
Perhitungan ekonomis sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi, mungkin pada waktu sebelumsebelumnya seperti itu. Tapi pada saat ini, semua mulai ada perubahan, karena harga minyak
yang cenderung semakin naik, kemudian kebutuhan energi yang tidak bisa dipertahankan

mengakibatkan pemerintah menanggung beban subsidi yang semakin berat. Nah, dengan kondisi
tersebut, pemerintah mulai melakukan suatu perubahan, seperti harga beli listrik mulai dinaikkan
yang berasal dari geothermal, lalu situasi perekonomian yang berubah dari skema ekonomi
proyek-proyek tersebut. Saya rasa, kondisi sekarang sudah tidak separah yang lalu. Artinya, yang
dibutuhkan sekarang adalah bagaimana berbagai pihak, termasuk swasta dan pemerintah,

menciptakan suatu situasi dan kondisi. Jadi kita harus punya pandangan yang pro aktif, jika suatu
keputusan akan benar bila situasi dan kondisinya tercipta. Tetapi, kalau kondisi itu tidak ada,
maka lantas kita menunggu, mestinya kita harus berusaha untuk menciptakan situasi dan kondisi
tersebut.
Sering terjadi pro dan kontra dalam menciptakan situasi dan kondisi itu, bagaimana
menghadapinya?
Paling mendasar adalah komunikasi dan edukasi yang harus digalakkan antara pemerintah,
swasta, masyarakat dan berbagai pelaku industri ini. Artinya, diperlukan kesamaan visi dan
sinergi. Pada suatu sisi pemerintah ingin mendorong suatu investasi, tapi swasta tujuannya
adalah keuntungan, sehingga dibutuhkan suatu keuntungan yangfair dan pemerintah juga perlu
meletakkan suatu regulasi dengan suasana yang fair juga. Artinya, memikirkan suatu risiko
investasi yang akan dihadapi, maka diperlukan partnership dari berbagai pemangku kepentingan
dalam industri energi dengan suasana fairness.
Menurut pandangan Anda, adakah kemampuan sumber daya manusia kita untuk

menciptakan konten lokal dalam industri energi?
Saya untuk menjawab mampu atau tidak, lebih menekankan terhadap kemauan. Apakah kita
punya kemauan untuk menjadi mampu atau tidak? Tentunya, apabila kita mempunyai suatu
kemauan untuk memiliki suatu kemampuan, saya yakin dibutuhkan suatu proses dan pada
saatnya kita akan memiliki kemampuan tersebut. Fokus yang diperlukan adalah bagaimana kita
bekerja, karena dengan kita terus menerus bekerja akan mencapai pada situasi dan kondisi yang
mendukung, daripada mengharapkan hujan turun dari langit, kemudian komplain atau mengeluh
atas kebijakan dan regulasi. Karena, meskipun pemerintah melakukan suatu perubahan namun
industri tidak merespon, maka situasi dan kondisi yang diinginkan tidak akan tercipta. Artinya,
butuh kerjasama yang sinergis, dimana pemerintah, swasta, tenaga ahli dan masyarakat berperan
pada perannya masing-masing. (anovianti muharti)