MENGAPA POLITIK DINASTI HARUS DICEGAH

MENGAPA POLITIK DINASTI HARUS DICEGAH
Walaupun dalam status di facebook dan twitter saya selalu menyerukan untuk tidak
menerima proses regenerasi kekuasaan melalui garis turunan sedarah atau yang populer disebut
politik dinasti, sebenarnya saya tidak alergi dengan politik dinasti, asalkan saja terbentuknya
dinasti politik dari proses tersebut, dilalui melalui tahapan yang jujur dan adil. Karena adalah hak
konstitusional setiap anak bangsa, apakah istri, anak, mertua, menantu, adik atau adik ipar, di
negara yang menganut demokrasi seperti Indonesia, untuk memperoleh posisi atau kekuasaan
apapun dan dimanapun di negara ini. Tetapi masalahnya, munginkah dalam proses regenerasi
kekuasaan yang mengadopsi politik dinasti dapat tercipta suatu proses yang adil dan jujur?
Khususnya dalam masyarakat Indonesia, yang masih kental dengan kultur feodalisme dan tingkat
pendidikan yang relatif rendah! Inilah yang akan saya coba ulas dalam tulisan ini.
Pengertian Politik Dinasti
Kekuasaan adalah anak kandung politik. Sama dengan salah satu tujuan pernikahan untuk
memperoleh keturunan, maka tujuan berpolitik ujung-ujungnya adalah memperoleh kekuasaan
yang merupakan kepentingan abadi dari politik. Politik dinasti didefinisikan sebagai suatu proses
berpolitik dimana untuk memperoleh, mempertahankan atau melanggengkan kekuasaan,
dilakukan berdasarkan regenerasi melalui garis keturunan atau melalui hubungan kekerabatan.
Jadi politik dinasti adalah suatu usaha dari pemegang kekuasaan untuk melanggengkan
cengkraman atas kekuasaan. Kelompok pemegang kekuasan atau rezim politik yang
menjalankan kekuasaan secara turun-temurun dalam garis hubungan kekerabatan/kekeluargaan
disebut dengan dinasti politik. Berdasarkan ilmu politik, politik dinasti sering juga disebut

dengan demokrasi oligarkis, dimana penentuan orang2 yang akan memegang kekuasaan, baik
dalam partai maupun dalam pemerintahan, di tentukan oleh sekelompok orang tertentu yang
memiliki pengaruh.
Di negara yang kaya dan sangat demokratis pun keberadaan dinasti politik jamak terjadi.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikembangkan oleh Gaetano Mosca, filsuf Italia dalam
bukunya The Ruling Class, sebagaimana yang telah banyak dikutip (Maulanusantara: Politik
Dinasti dan Demokrasi, dalam blog MAULA, Masyarakat Universal Lintas Agama, 14 Maret
2011 dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Konstelasi, Edisi ke-30, Maret 2011), yang
menyatakan bahwa: "setiap kelas pada faktanya, menunjukan kecenderungan untuk membangun
tradisi yang turun temurun atau untuk menjadi sekumpulan orang seketurunan, jika tidak bisa
dalam aturan hukum". Hal ini dapat kita lihat bahkan dalam suatu organisasi yang demokratis
pun, jika sebuah kepemimpinan terpilih, maka ia akan membuat kekuasaannya sedemikian
mapan, sehingga sulit untuk digeser, walaupun hal itu menggerus prinsip-prinsip demokrasi.
Atau seperti kata Ernesto Dal Bo et al, dalam paper mereka, Political Dynasty: "when a person
holds more power it becomes more likely that this person will start, or continue, a political
dynasty" (The Review of Economic Study 76, 2009). Dan kalau ini terjadi dan dibiarkan maka
kita tinggal tunggu saja terealisasinya adagium terkenal dari Lord Acton: "power tend to corrupt,
absolut power corrupt absolutely".
Kalau melihat terbentuknya dinasti politik di negara2 maju dengan tingkat pendidikan
dan pendapatan tinggi, AS (Kennedy, Bush, dll) atau Singapore (Lee), proses pembentukannya


tampak terjadi dengan wajar dan dengan tetap memperhatikan prinsip meritokrasi. Keluarganya
dipersiapkan sedemikian rupa, untuk memperoleh keunggulan, baik dalam bidang pendidikan,
yang umumnya jebolan dari Universitas ternama, maupun dalam kepemimpinan, dimana mereka
mengikuti proses rekrutmen secara berjenjang, tidak secara tiba2 langsung jadi pemimpin.
Mereka dipersiapkan secara hati2 untuk selalu berada dalam jalur yang "benar dan baik", karena
masyarakat disana sangat anti (tidak permisif) terhadap penyimpangan yang dilakukan calon
pemimpin mereka. Barangkali ada yang masih ingat, bagaimana si bungsu Ted Kennedy tidak
pernah berhasil maju menjadi presiden AS, dan menjadi Senator abadi, karena pernah terlibat
skandal etika (skandal Chappaquiddick), ketika ia meninggalkan Sekertarisnya begitu saja, yang
kemudian meninggal, dalam kecelakaan mobil yang mereka berdua naiki, saat tengah malam
kecebur ke sungai, selepas pulang dari suatu pesta (party). Secara legal Ted dianggap tidak
bersalah, tetapi masyarakat menganggapnya melanggar "etika". Politik dinasti di negara2 maju,
tidak dipersoalkan benar, karena rakyat tetap bisa memilih pemimpin yang memang layak
menjadi pemimpin, bukan karena bapaknya atau suaminya. Lain halnya di negara2 dengan
tingkat pendidikan dan pendapatan masih rendah, misalnya Indonesia, bisa terjadi seorang
Bupati yang masuk penjara karena korupsi digantikan oleh istri atau bisa terjadi konon seorang
anak wanita Bupati yang pernah merekam adegan sexnya dan sempat beredar luas, kemudian
bisa menjadi Bupati menggantikan bapaknya yang masuk penjara karena korupsi pula atau suatu
jabatan Bupati (di Jawa Timur) diperebutkan oleh istri tua dan istri muda mantan Bupati yang

diberhentikan karena korupsi (waduh, opo ora hebat?).
Dinasti politik memang akan tumbuh subur di negara dimana rata-rata tingkatan
pendidikan rendah dan turunannya yaitu tingkat pendapatan, juga rendah (miskin), apalagi bila
distribusi pendapatan disertai dengan tingkat ketimpangan (inequality) yang tinggi. Budaya
feodalisme yang kental serta lemahnya kelembagaan parpol, yang merupakan pilar demokrasi,
juga merupakan faktor tumbuh suburnya dinasti politik. Dalam negara demokrasi dengan tingkat
pendidikan rendah dan kemiskinan tinggi, rakyat tidak mengerti dan atau tidak menjadi soal
siapa dan bagaimana pemimpin mereka terpilih, mereka sudah cukup senang bila dalam proses
regenerasi melalui pesta demokrasi yang diadakan, mereka dapat memperoleh sedikit manfaat
ekonomi. Mereka tidak menyadari bahwa manfaat ekonomi yang diperoleh mereka adalah hanya
sesaat dan bahkan tidak sebesar ujung kuku dari pemimpin yanag mereka pilih, sementara
pemimpin yang mereka pilih memperoleh manfaat ekonomi selama masa jabatan mereka dengan
memperhitungkan semua biaya dan "pembagian" yang telah mereka keluarkan beserta imbal
baliknya. Situasi ini sejalan dengan temuan Mendoza, ibid, bahwa politik dinasti biasa terjadi di
daerah (negara) yang berpenduduk miskin. Hasil penelitian yang dilakukan oleh AIMPC (The
Asian Institute Of Management Policy Centre) memperkuat temuan, yang menunjukan bahwa
legislator yang berasal dari politik dinasti, ternyata mewakili daerah dengan pendapatan per
kapita yang rendah dan atau tingkat kemiskinan yang tinggi.
Dalam budaya feodalisme yang kental, dari sisi penguasa terlihat adanya kecenderungan
berprilaku untuk selalu ingin dihormati, sementara dari sisi masyarakat terdapat kecenderungan

untuk menganggap tinggi mereka yang memiliki status jabatan dan kekayaan. Masyarakat
dengan kultur feodal yang kental berpedapat bahwa para pemimpin atau pejabat memang sudah
merupakan suratan sebagai pemimpin atau pejabat, dan karena jabatannya beliau-beliau itu harus
dihormati dan dituruti. Masyarakat pada umumnya kurang memahami bahwa dalam negara yang
menganut paham demokrasi, setiap orang (rakyat) bisa menjadi pejabat dan bisa punya

kekayaan, asalkan memiliki ilmu pengetahuan. Dengan demikian keturunan pejabat itu bisa saja
menjadi pemimpin atau pejabat, tetapi bukan karena mereka anak pemimpin/pejabat, tetapi
karena memang memiliki pengetahuan dan layak untuk menjadi pemimpin. Bahwa para
keturunan pejabat itu memiliki pengetahuan karena mereka lebih banyak memiliki dan diberi
kesempatan, dan bahkan bahwa kadang-kadang kesempatan itu hanya untuk mereka, diterima
saja oleh rakyat dengan pasrah dan tanpa protes, karena dianggap itu sudah hak mereka sebagai
anak pejabat, padahal rakyat memiliki hak yang sama. Atau bisa juga kepasrahan itu juga karena
ketidak berdayaan, dalam pemikiran mereka, walaupun protes, nasib mereka tetap saja sama,
bahkan bisa2 ada "biaya" yang harus dibayar untuk itu.
Selain kedua hal diatas, faktor lain yang mendukung tumbuh suburnya politik dinasti,
adalah lemahnya fungsi kelembagaan parpol sebagai pilar demokrasi. Walaupun partai-partai
sudah banyak memiliki sistem dan mekanisme dalam manajemen kepartaian yang cukup
modern, tetapi karena kurangnya dana untuk menjalankan roda organisasi partai, dan masih
kentalnya kultur feodalisme seperti yang diuraikan diatas, maka partai-partai ini segera merapat

dan merekrut pejabat atau mereka yang memiliki dana besar. (namprel.go.ph)
Politik Dinasti di Indonesia. Bagaimana di Indonesia? Sebagai negara yang penduduknya
memiliki rata-rata tingkat pendidikan rendah dan kemiskinan tinggi dan kelembagaan parpol
yang masih lemah, tak pelak lagi sebagaimana terjadi di negara yang mengadopsi demokrasi
dalam keadaan kualitas penduduk yang rendah, Indonesia akan merupakan lahan subur bagi
tumbuhnya dinasti politik. Kita lihat, belum juga penerapan demokrasi bebas berusia seumur
jagung, dimulai dengan Banten dimana pembentukan dinasti disini sangat mencolok,
terbentuknya dinasti politik telah merebak ke berbagai daerah. Karena masih baru, belum banyak
penilitian yang berkaitan dengan masalah dinasti politik di Indonesia, baru terbatas kepada data
tentang para dinasti dan berbagai langkah yang mereka tempuh untuk membentuk dinasti.
Fenomena Banten, meminjam istilah Andrie Herlina, telah menyebar ke; Bali dimana anak
Bupati Tabanan menggantikan ayahnya, ke Lampung; anak Gubernur Lampung, Ricky Mendoza,
menjadi Bupati Lampung Selatan, di Way Kanan dan Tulang Bawang, anak Bupati mencalonkan
diri dan atau menggantikan ayahnya. Ke Kalimantan; Rita Widysari, menggantikan ayahnya
Syaukani, yang sekarang menjadi terpidana korupsi, menjadi Bupati Kukar, Neni Moernaeni istri
Walikota Bontang, maju menggantikan suami, Sofyan Hasdam. Ke Jawa Tengah; di Sukohardjo,
Sragen, dan Semarang serta Bantul di Jogyakarta, para istri maju menggantikan suami. Ke Riau;
dimana istri Gubernur Riau Rusli Zainal, yang sekarang jadi tersangka korupsi di KPK, pada
tahun 2011, bersaing dengan istri Walikota Pekanbaru, untuk merebut kedudukan Walikota
Pekanbaru. Di Jawa Barat, tetangga Banten, Ana Sophanah, istri Cagub Jabar Jance,

menggantikan Jance sebagai Bupati Indramayu, dan baru2 ini kalau tidak salah istri Walikota
Cimahi menggantikan suaminya di Cimahi. Sebenarnya karena luput dari pemberitaan pers dan
tidak sempat kita ikuti, dinasti politik juga telah terbentuk seperti di Sulawesi, keluarga Yasin
Limpo, yang sekarang Gubernur Sulsel, di Lombok dan banyak lagi.
Selain kualitas SDM dan kelembagaan parpol yang masih lemah banyak alasan mengapa
di Idonesia politik dinasti tumbuh subur, sebagaimana berikut ini yang saya kutip dari:
Konstelasi, Edisi ke-30 Maret 2011: "Indonesia Rawan Politik Dinasti" yang dimuat dalam blog
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi:"Ada banyak alasan untuk menyimpulkan politik dinasti
dan dinasti politik bisa tumbuh subur di Indonesia, baik dilihat dari faktor budaya, kognitif-

emosional, maupun sosial-ekonomi. Kecenderungan pengkultusan tokoh yang dikeliling
sejumlah mitos, jejak-jejak feodalisme yang masih tampak jelas, struktur dan interaksi sosial
yang masih tak egaliter, dan kesenjangan antarwarga dalam ekonomi dan pendidikan, bisa jadi
alasan itu. Kecenderungan mengkultusan tokoh mengindikasikan adanya kecenderungan
memandang kekuatan dan keutamaan tokoh sebagai sifat-sifat yang secara alamiah terberi
khusus pada orang tertentu. Lalu disusul anggapan, tokoh itu dilindungi dan dijaga martabatnya
secara kodrati, termasuk martabat keluarganya. Keturunannya pun ikut dihormati dan
diunggulkan. Jika tokoh itu pernah berkuasa maka keturunannya atau keluarganya dianggap
pantas juga berkuasa. Naturalisasi keunggulan tokoh tertentu beserta keluarganya merupakan
modal bagi dinasti politik. Indikasi feodalisme tampil dominan di masyarakat Indonesia.

Penghormatan yang berlebihan terhadap pejabat tinggi pemerintah, pelayanan yang berlebihan
oleh bawahan terhadap atasan, memperlakukan istri dan anak pejabat sebagai orang-orang yang
juga perlu dilayani dan diberi fasilitas khusus, “perburuan” gelar bangsawan, kebiasaan
menghubung-hubungkan tokoh yang sedang berkuasa dengan kerajaan di masa lalu merupakan
sebagian dari contoh gejala yang kental muatan feodalismenya".
Politik Dinasti dan Dinasti Politik Banten
Untuk lebih memahami politik dinasti di Indonesia ada baiknya kita mengamati kasus
dinasti politik dan politik dinasti di Banten. Pembentukan dinasti politik di Banten sangat
mencolok. Dari 8 Dati II di Banten, semua dikuasaai dinasti politik. 4 daerah dikuasai keluarga
Chasan Sohib atau Dinasti Atut (Wabup Serang: Tatu Chasanah, Anak/adik Atut; Walkot Serang:
Chaerul Jaman, anak/adik Atut; Wabup Pandeglang: Heryani, istri/ibu tiri Atut; sementara ibu tiri
Atut yang lain, Ratna Komalasari menjadi anggota DPRD Serang, dan Walkot Tangsel: Airin
Rahmi D, menantu/adik ipar Atut), dan puncaknya Propinsi Banten oleh sang Gubernur Atut,
putri mahkota, sementara 4 daerah lagi dikuasai oleh dinasti2 daerah setempat. Pola terbentuknya
dinasti politik di Banten tampaknya menjadi steriotip pembentukan dinasti politik daerah di
Indonesia. Pada tahap awal seorang Kepala Daerah terpilih, langkah pertama yang dilakukan
biasanya adalah memutasi atau mengganti pejabat lama dengan pendukung dan pengikutnya.
Kemudian pada suatu ketika pada masa jabatannya ia akan membuat berbagai prosedur dan
langkah yang memungkinkan ia dan pengikutnya (keluarganya) lebih mudah terekspos kepada
masyarakat. Misalnya istri yang otomatis sebagai Ketua PKK dan atau mendorong anak, adik

dan lain2 sebagai Ketua Kelompok Pemuda, pengurus organisasi2 poleksosbud atau bahkan
menjadi pimpinan cabang suatu parpol tertentu dimana dengan bantuan fasilitas dan dana dari
APBD mereka melakukan berbagai manuver (maneuvre) untuk meningkatkan citra sang Kepala
Daerah dan keluarganya.
Pembentukan dinasti Atut dimulai saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, untuk
Propinsi Banten yang baru berdiri, Tb Chasan Sohib, mengajukan anaknya Ratu Atut Chosiah,
melalui Golkar mendampingi Joko Munandar, dari PPP sebagai Gubernur, dan memenangkan
pemilihan yang waktu itu masih melalui DPRD. Ketika di tengah perjalanan Joko tersangkut
korupsi dan dipenjara, maka Ratu Atut, otomatis menjadi Plt Gubernur Banten. Sesuai dengan
pernyataan Ernesto Dal Bo, bahwa saat seorang pejabat memperoleh lebih banyak kekuasaan,
segera ia akan mulai membangun suatu politik dinasti, maka mulailah cengkeraman Atut
kedalam berbagai kekuasaan dan kegiatan poleksosbud di daerah Banten. Sesuai dengan teori
Dal Bo tersebut dan pola pembentukan suatu dinasti yang diuraikan sebelumnya, segera dia

mengganti para pejabat di Banten dengan para pendukungnya, dan secara agresif menempatkan
kerabatnya untuk memegang pimpinan berbagai organisasi poleksosbud. Untuk masalah
keuangan, sudah menjadi rahasia umum, Tb Chasan Sohib, sang ayah, yang sejak Orde Baru
sudah dikenal kegiatannya sebagai rent seeker, dan dalam blog Goresan Pena, Rizal Muhammad,
menyebutnya sebagai old predator, adalah penentu dari pelaksana proyek2 pembangunan di
Banten, sehingga kemudian tidak aneh bila dia kemudian dijuluki atau bahka menyebut dirinya

sebagai "Gubernur Jendral" Banten. Dengan dukungan keuangan yang kuat dan fasilitas
birokrasi, segera saja jaringan dinasti Atut menggurita di Banten. Dibawah ini adalah gambaran
jaringan dinasti Atut yang saya kutip dari blog Perhimpunan Pendidikan Demokrasi; Konstelasi,
Edisi ke-31, April 2011
Raja-raja kecil lain di Banten adalah mereka yang saat ini menjadi penguasa di
Kabupatan2; Tanggerang (Iskandar) dan Lebak (Jayabaya), Kota2; Cilegon (Safaat) dan
Tenggerang (Wahidin Halim). Wahidin Halim, telah menjabat Walkot Tanggerang selama 2
periode, pastilah juga berusaha mencengkramkan kukunya disana, walau belum kelihatan. Tetapi
dalam pilkada Tangsel ia mengorbitkan adiknya Suwandi untuk maju sebagai calon Walkot
Tangsel, tetapi dikalahkan oleh Airin dari dinasti Atut. Sedangkan Walkot Cilegon Iman Aryadi,
adalah anak Aat Safaat, Walkot lama, yang kemudian menjadi tersangka korupsi. Iman juga
dipersiapkan melalui kedudukannya sebagai pengurus partai Golkar Cilegon dan berbagai
organisasi sosial lainnya.
Di Kabupaten Tanggerang dan Lebak, yang kedua Bupatinya saya kenal baik, telah
menyiapkan dinasti mereka secara sistematis sesuai dengan pola umum yang berlaku. Salah satu
jastifikasi mereka yang sampai ke saya adalah bahwa pembentukan dinasti ini dalam rangka
memotong gurita Atut untuk menguasai seluruh Banten (tapi melahirkan gurita kecil yang
menunggu waktu untuk menjadi besar, pen.). Ismet Iskandar, Bupati Tanggerang, melalui Golkar,
menyiapkan putrinya Intan Nurul Hikmah, menjadi Wakil Ketua DPRD Tanggerang, dan anak
laki2nya Zaki Iskandar Zulkarnaen, menjadi anggota DPR dan kemudian menggantikan Ismet

menjadi Bupati Tanggerang, memang telah sukses menghadang adik Atut yang turut tersaing
untuk menguasai Tanggerang dalam Pilkada tahun lalu.
Mulyadi Jayabaya, dari Lebak juga telah menyiapkan putrinya Iti Oktavia sebagai
suksesor dengan sistematis. Ia penyandang S-2 dari Universitas yang cukup baik. menjadi Ketua
DPC Partai Demokrat Kab. Lebak, bahkan kemudian menjadi salah satu anggota DPP
(sementara sang ayah adalah dari PDIP), dan berhasil menjadi anggota DPR RI. Dengan
demikian 2 kekuatan politik di Lebak telah di kuasai dinasti Jayabaya. Dalam pilkada Lebak
yang akan digelar beberapa bulan lagi di tahun 2013 ini, Iti, dengan dihadiri oleh Ketum
Demokrat Anas Urbaningrum, baru2 ini telah mendeklarasikan diri untuk maju menggantikan
ayahnya dan akan berhadapan dengan Ade Rossi Chaerunisa (mantu Atut, istri Andika, anggota
DPD-RI) dari Serang, yang tampaknya juga bersiap-siap maju dan diusung Partai Golkar. Kita
lihat saja apakah Iti benar mampu memotong gurita Atut, seperti yang dikemukakan. Selain Iti,
Jayabaya telah menempatkan adiknya Mulyanah, sebagai anggota DPRD Lebak, dan sang suami,
ipar Jayabaya, menjadi anggota DPRD Banten. Dalam hal ini Jayabaya cukup lihai dan patut
mendapat acungan jempol, untuk mengurangi dampak dan kesan negatif dari pembentukan
dinasti yang dia lakukan, Kab. Lebak mendahului Kabupaten2 lain bahkan Propinsi Banten, telah

mengeluarkan Perda Transparansi, yang memberikan akses luas kepada masyarakat kepada
semua informasi pemerintahan Kab. Lebak.
Ketidakadilan dan Penyimpangan Yang Biasa Terjadi Dalam Politik Dinasti

Dengan mengamati apa yang terjadi di Filipina dan terutama Banten, saya coba mengulas
ketidak adilan dan penyimpangan yang sering terjadi dalam politik dinasti. Sebenarnya dengan
membaca bagaimana terbentuknya dinasti2 tersebut diatas dan melihat gambar gurita Atut, sudah
bisa di duga dimana ketidak adilan dan kecurangan akan terjadi. Untuk membiayai kegiatan
keluarga dan kerabat dalam memimpin berbagai organisasi, sudah tentu diperlukan berbagai
fasilitas dan dana yang besar. Pembiayaan ini tentu saja sulit untuk dikeluarkan dari koceknya
sendiri yang sudah terkuras saat mereka maju di pilkada untuk memperoleh posisi yang
diduduki, dan yang harus diprioritaskan pengembaliannya, tetapi juga mereka berpikir:
"bukankah aktifitas saya untuk kepentingan masyarakat juga, mengapa dananya harus dari
kantong saya"? Maka mulailah terjadi kebocoran dalam penggunaaan anggaran pembangunan
dan belanja daerah (APBD), terutama dalam anggaran pembiayaan pembangunan infra struktur
dan anggaran yang sebenarnya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, misalnya bantuan sosial
(bansos), pembangunan fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan yang dialokasikan cukup
besar.
Cara yang biasa adalah dengan menunjuk mereka yang melaksanakan pembangunan dan
pengadaan barang dan jasa, dari perusahaan "plat merah" atau "cv aku", yaitu perusahaan milik
mereka sendiri atau yang berafiliasi dengan mereka (Chasan Sohib dan Jayabaya, asal muasalnya
adalah kontrarktor). Atau dengan menjadi "penentu" dari pemenang tender dalam pelaksanaan
pembangunan dan pengadaan, dengan cara memberi informasi tentang hal yang berkaitan dengan
proses tender, dimana sebagai kerabat yang dekat dengan kekuasaan tentu punya akses terhadap
informasi tersebut, dan kemudian memperoleh "fee" untuk itu. Mungkin saja tidak terjadi "mark
up" dalam penetapan HPS (Harga Perkiraan Sendiri, OE; owner estimate), karena pada
umumnya mengikuti standar yang telah ditetapkan, tetapi karena harus membayar fee dan juga
memperoleh keuntungan, maka yang terjadi adalah penurunan spec dari sarana dan peralatan
yang dibangun dan diadakan. Jadi tidak aneh kalau bangunan dan jalan2 yang dibangun menjadi
cepat rusak, dan ini justru yang diinginkan karena berarti akan kembali ada proyek yang bisa
digarap.
Dalam kasus pengadaan, seorang junior saya bercerita, bagaimana dia pada tahun 2011,
diminta menjadi saksi ahli di Kejati Banten, soal pengadaan tanah untuk proyek pemerintah
Banten dan diduga telah terjadi "mark up" yang melibatkan kerabat dari sang dinasti. Permainan
ini begitu licin, dimana sang kerabat yang tahu lokasi dan perkiraan biayanya, tidak muncul,
tetapi menggunakan orang lain untuk membeli lebih dulu. Kemudian mengarahkan Lurah agar
menetapkan NJOP lebih tinggi untuk tanah tersebut dan "mengatur" 1 atau 2 pemilik tanah
sekitar untuk memasang "plang" seolah akan dijual. Kemudian saat Tim Pengadaan Tanah
mencari informasi harga pasar di daerah tersebut, sudah diatur pula untuk dijawab dengan harga
berapa akan dijual, yang tentunya jauh lebih tinggi dari harga yang sebenarnya. Maka ketika
terjadi jual beli, dinyatakan bahwa Pemda Banten, dalam pengadaan tersebut telah sesuai dengan
prosedur dan membeli dengan harga pasar (walau sebenarnya telah mengeluarkan biaya yang
jauh lebih tinggi dari yang seharusnya).

Sebagaimana hasil investigasi di Filipina, dimana di daerah yang dikuasai dinasti politik,
kebocoran pembangunan infra struktur mencapai 12.5 - 25% dan pengadaan untuk keperluan
yang berkaitan dengan IPM mencapai 50%, tampaknya di Banten, walaupun belum ada
investigasi khusus untuk itu dan tidak yakin juga bisa sebesar itu, kebocoran anggaran disektor
belanja publik tersebut yakin terjadi. Indikasinya adalah akumulasi perkembangan aset milik
dinasti yang secara kasat mata bisa dilihat begitu cepat (yang sudah menjadi rahasia umum),
sementara pencapaian peningkatan IPM penduduk Banten sangat rendah. Berdasarkan data dari
BPS, pada tahun 2002, diawal berdirinya, IPM Propinsi Banten adalah 66,6, lebih tinggi dari
Jawa Timur 64,1 dan Jawa Tengah 64,6 serta Propinsi Gorontalo sebesar 64.1 yang juga baru
terbentuk. Pada tahun 2011, IPM Banten meningkat menjadi 70,9, Jatim 72,2, Jateng 72, 9
sementara Gorontalo menjadi 70, 8 (dari 64.1). Tingkat IPM Banten adalah terendah di pulau
Jawa, secara nasional peringkat 23, tetapi tingkat pertumbuhan IPM Propinsi Banten, dalam
kurun waktu 8 tahun adalah no.2 terendah diseluruh Indonesia, yaitu dibawah angka 5, kalah
bahkan oleh Papua, yang dalam kurun waktu sama tingkat pertumbuhannya 5.36 atau Irjabar,
dalam jangka waktu 7 tahun dengan tingkat pertumbuhan 6 (yang terendah adalah tingkat
pertumbuhan IPM DKI, tetapi sejak 2002, memang sudah mencapai tingkat IPM tertinggi di
Indonesia).
Wilayah lain dimana terjadi penyimpangan dan ketidak adilan untuk daerah yang
dikuasai dinasti politik adalah dalam rekrutmen jabatan publik, khususnya rekrutmen penerus
dari posisi sang petahana, yang tentunya merupakan keluarga petahana. Langsung kita simak
kasus dinasti Atut sebagai contoh. Dia telah menempatkan Andika Hazrumi, anak, sebagai
Bendahara Karang Taruna Banten dan Ketua Taruna Tanggap Bencana dan juga di besut oleh
Ansor untuk menjadi Wakil Ketua GP Ansor. Masih jamak bila yang dilakukan saat terjadi
bencana, tetapi yang terjadi ketika menghadapi Pemilu 2009, saat ia maju menjadi anggota DPDRI, membuat kandidat lain meradang. Ia berkeliling seperti sinterklas membantu memberi
"pembekalan" berbagai kelompok pemuda dan bermuara kepada, baik terucap maupun tersirat
suatu "pengarahan" untuk dirinya. Seorang Lurah pernah bercerita bahwa mereka beserta dengan
Camat telah dikumpulkan oleh Gubernur di Hotel Jayakarta, Jakarta, untuk menerima
"pembekalan" dan "pengarahan". Tentu saja sang Camat/Lurah akan berusaha untuk
mensukseskan apa yang diarahkan, karena kalau tidak sukses apalagi "jeblok", maka ada risiko
bagi posisinya.
Dalam kasus Airin Rachmi Diani, ipar Atut, waktu mengikuti pilkada walkot Tangsel,
MK telah menetapkan bahwa pilkada Tangsel secara keseluruhan harus diulang, karena terjadi
banyak penyimpangan dan kecurangan. Machfud MD, Ketua MK, menyatakan bahwa pilkada
yang dinyatakan harus diulang adalah bila terbukti terjadi kecurangan secara sistematis,
terstruktur dan masif, dan berdasarkan fakta persidangan, ternyata Airin telah melakukan
kecurangan seperti itu. Kriteria sistematis, terstruktur dan masif, berarti kecurangan itu dilakukan
secara terencana (dan tentunya ada pengaruh birokrasi) dan besar2an. Kita "maklum" bila rakyat
yang masih rendah tingkat pendidikannya dan tinggi tingkat kemiskinannya, menerima saja apa
yang terjadi, disamping memang tak berdaya, juga yang penting bagi mereka adalah ada
kesempatan untuk menyaksikan keramaian dan hiburan, kesempatan untuk berdagang sesaat
waktu ada keramaian, kesempatan memperoleh sembako dan kaos atau kesempatan memperoleh

sedikit uang. Oleh karena itu populer sekali kalimat "amplopnya mana?" pada saat kampanye
pemilu/pilkada di Banten.
Tetapi bagi yang masih memiliki hati nurani dan nalar hal itu cukup membuat miris dan
ber-tanya2: a) kalau terbukti ada kecurangan yang besar2an seperti itu, kok sangsinya hanya
diulang? bukankah harusnya didiskualifikasi? (tetapi tentu ini berkaitan dengan perUUngan
yang berlaku), b) Apa yang kita harapkan akan dilakukan oleh pemimpin yang meraih kekuasaan
dengan kecurangan seperti itu? Jawabannya hanya menimbulkan kekhawatiran bahwa pilkada,
apalagi dengan dua putaran, pasti telah menghabiskan dana puluhan miliar, dan tentulah yang
terpikir oleh sang pemenang adalah bagaimana memburu rente untuk mengembalikan uang yang
telah dikeluarkan, dengan imbal baliknya. Muara dari semuanya adalah rendahnya tingkat
pencapaian IPM, tidak proporsional dengan alokasi belanja publik yang dikeluarkan,
sebagaimana fakta di Filipina dan Banten. Banyak lagi wilayah2 dimana mungkin terjadi
penyimpangan dan ketidak adilan dalam suatu pemerintahan yang dikuasai suatu dinasti politik.
Tetapi saya anggap 2 contoh itu sudah cukup menggambarkan bahwa politik dinasti adalah
politik parasit, dimana calon2 pemimpin turunan ini memanfaatkan berbagai kemudahan dan
numpang popularitas petahana. Juga tampak jelas bagaimana dekatnya politik dinasti dengan
KKN.
Penyebarannya Harus Segera DicegahFenomena Banten ini harus dicegah jangan sampai
menjalar lebih luas lagi ke daerah2 lain di Indonesia. Karena bukan saja kita tidak akan diperoleh
pimpinan terbaik, tetapi juga akan banyak menimbulkan ketidak adilan yang akan berdampak
kepada rendahnya partisipassi rakyat dan bermuara kepada rendahnya pencapaian tingkat
kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan pembangunan kita yang diukur dari tingkat indeks
pembangunan manusia. Kalau sudah merebak keberbagai daerah di Indonesia, akan sulit untuk
melakukan perubahan seperti yang dialami Filipina. Berdasarkan Konstitusi Filipina 1986,
politik dinasti disana sebenarnya dilarang, tetapi ada fasal yang menyatakan bahwa
pelaksanaannya harus didefinisikan dan diatur dalam undang-undang. Sampai sekarang hampir
30 tahun, Senat Filipina belum berhasil mengeluarkan undang-undang dimaksud, karena sudah
terlanjur bercokol para legislator yang berasal dari para dinasti politik di daerah2 yang dengan
berbagai alasan berusaha menjegal keluarnya UU anti dinasti.
Kondisi Indonesia dengan tingkat pendidikan rendah, kemiskinan tinggi dan kultur feodal
yang kental, belum memungkinkan untuk mengadopsi terbentuknya politik dinasti yang bebas,
harus dibatasi. Mengacu kepada pengalaman Filipina, kondisi Indonesia dan banyaknya ketidak
adilan yang terjadi dalam politik dinasti, Pemerintah telah berinisiatif untuk mengajukan
rancangan revisi UU Pilkada (UU No.32/2004) yang akan membatasi terjadinya politik dinasti.
Dalam rancangan revisi ini, maka istri, keluarga secara vertikal (ayah, anak) dan horizontal
(kakak, adik) tidak boleh mengajukan diri sebagai calon pengganti petahana, kecuali telah
meliwati jeda selama 1 periode. Menurut saya, ini tidak mengurangi hak konstitusi, hanya
mengatur, karena mereka boleh saja maju di daerah lain dimana sang petahana bukan merupakan
keluarga mereka atau kalau untuk daerah yang sama menuggu sampai liwat satu periode setelah
sang petahana kerabat menjabat.
Demokrasi dengan hak konstitusional yang kuat bagi rakyat untuk dipilih, bukan tujuan
tetapi alat untuk mencapai kemakmuran rakyat yang adil dan sejahtera. Kalau dalam

pelaksanaannya mengingat kondisi bangsa kita, masih melekat kemungkinan adanya ketidak
adilan dan penyelewengan, mengapa kita tidak bisa atur agar terwujud suatu demokrasi yang
berkeadilan. Saya tidak mengerti dengan politikus muda PDIP, Ganjar Pranowo, yang menolak
pembatasan politik dinasti dengan alasan tingkatannnya masik kecil baru sekitar 5% (mudah2an
ini hanya sekedar siasat agar pencalonannya menjadi Gubernur Jateng, tidak diveto oleh Puan
putri mahkota dinasti di PDIP). Bukankah justru lebih baik mencegahnya menjadi besar daripada
membiarkan besar dulu, baru dicegah. Bukankah pengalaman Filipina membuktikan, selama 30
tahun, berusaha membatasi dinasti politik, tetapi selalu batal, karena para legislator terlanjur
berasal dari para dinasti politik.