Teori Teori Pembangunan Negara Dunia K (1)

TEORI PEMBANGUNAN NEGARA-NEGARA
DUNIA KETIGA
( ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah teori-teori pembangunan )
Dosen Pengampu:
Drs. Agung Purwanto, M.Si
Nama:
Fikry Zuledy Pamungkas
140910101036

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
JEMBER
2015

PENDAHULUAN
Dewasa ini hampir semua negara di Dunia tengah bekerja keras untuk melaksanakan
pembangunan Negaranya. Menurut Seers, 1977. Pembangunan adalah istilah teknis untuk
membangkitkan kualitas hidup warga negara berkembang dari kemiskinan, tingkat melek
huruf ( literacy rate ) yang rendah, pengangguran, dan ketidakadilan sosial. Konsep sebuah
frase “negara dunia ke-tiga” sebenarnya sudah mengalami pergeseran makna yang cukup

signifikan jika mengamati dari awal kalahirannya sebagai sebuah sikap negara-negara yang
tidak memihak pada salah satu blok ketika terjadi perang dingin antara Uni Soviet dengan
Amerika Serikat. Saat ini pemaknaan yang terjadi terhadap frase kata tersebut adalah sebuah
atau pun kelompok negara-negara yang dinilai tertinggal, miskin, belum maju teknologinya,
dan tergantung pada negara-negara yang sudah maju. Pemaknaan secara ekonomi inilah yang
kemudian menimbulkan perdebatan anatar negara-negara berkembang dengan negara-negara
maju terkait hubungan bilateral maupun multilateral.
Dengan demikian, teori-teori pembangunan untuk dunia ke-tiga tentunya memiliki
perbedaan (meskipun ada juga persamaannya) dengan teori-teori pembangunan bagi negaranegara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berbeda. Bagi negara-negara dunia
ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup, atau bagaimana meletakan dasardasar ekonominya supaya bisa besaing di pasar internasional, sementara bagi negara-negara
adikuasa persoalanya adalah bagaimana melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan
ekonominya yang sudah mapan. Ada tiga kelompok teori pembangunan negara-negara dunia
ke-tiga yang akan diulas dalam tulisan ini, yaitu Teori Modernisasi, Teori Ketergantungan dan
Teori Sistem Dunia.
TEORI MODERNISASI
Teori modernisasi memusatkan perhatian pada faktor-faktor yang menyebabkan
ketergantungan negara Dunia Ketiga dengan negara maju. Dimana faktor-faktor tersebut
dilihat sebagai faktor internal negara Dunia Ketiga. Berikut pendapat yang akan dijelaskan
oleh para teoritikus terkait masalah yang dihadapi oleh negara Dunia Ketiga. Teori
modernisasi lahir sebagai tanggapan ilmuwan sosial Barat terhadap apa yang terjadi di Dunia

Ketiga setelah Perang Dunia II. Teori ini muncul sebagai upaya Amerika untuk
memenangkan perang ideologi melawan sosialisme yang pada waktu itu sedang populer.
Bersamaan dengan itu, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika

Latin bekas jajahan Eropa melatarbelakangi perkembangan teori ini. Negara adidaya melihat
hal ini sebagai peluang untuk membantu Negara Dunia Ketiga sebagai upaya stabilitas
ekonomi dan politik. Pengaruh ideologi developmentalis yang mencoba mengkaji bagaimana
Negara Dunia Ketiga dapat membangun seperti Negara Dunia Pertama tanpa mengacu pada
komunisme juga mendasari teori ini.
Di awal perumusannya tahun 1950-an, aliran modernisasi mencari bentuk teori dan
mewarisi pemikiran-pemikiran dari teori evolusi dan fungsionalisme. Teori evolusi dan
fungsionalisme pada waktu itu dianggap mampu menjelaskan proses peralihan masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern di Eropa Barat, selain juga didukung oleh para pakar
yang

terdidik

dalam

alam


pemikiran

struktural-fungsionalisme.

Teori

evolusi

menggambarkan perkembangan masyarakat sebagai gerakan searah seperti garis lurus. Kita
dapat melihatnya dalam karya-karya Spencer dan Comte. Teori fungsionalisme dari Talcott
Parsons beranggapan bahwa masyarakat tidak ubahnya seperti organ tubuh manusia yang
memiliki berbagai bagian yang saling bergantung.
Selain itu, teori modernisasi pun didukung oleh tokoh-tokoh seperti Neil Smelser
dengan teori diferensiasi strukturalnya. Smelser beranggapan dengan proses modernisasi,
ketidakteraturan struktur masyarakat yang menjalankan berbagai berbagai fungsi sekaligus
akan dibagi dalam substruktur untuk menjalankan satu fungsi yang lebih khusus. Pun dengan
Rostow yang menyatakan bahwa ada lima tahapan pembangunan ekonomi. Ia
merumuskannya ke dalam teori tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu tahap masyarakat
tradisional, prakondisi lepas landas, lepas landas, bergerak ke kedewasaan, dan berakhir

dengan tahap konsumsi massal yang tinggi. Di samping itu, ada beberapa varian teori
modernisasi lain seperti Coleman dengan diferensiasi dan modernisasi politik-nya, HarrodDomar yang menekankan penyediaan modal untuk investasi pembangunan, McClelland
dengan teori need for Achievement (n-Ach)-nya, Weber dengan “Etika Protestan”-nya,
Hoselitz yang membahas faktor-faktor nonekonomi yang ditinggalkan Rostow yang disebut
faktor “kondisi lingkungan”, dan Inkeles yang mengemukakan ciri-ciri manusia modern.
Satu hal yang menonjol dari teori ini adalah modernisasi seolah-olah tidak
memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber kegagalan,
namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri. Alhasil faktor
eksternal menjadi terabaikan. Teori modernisasi memberikan solusi, bahwa untuk membantu
Dunia Ketiga termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara

maju, tetapi negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional
dan kemudian melembagakan demokrasi politik (Garna, 1999: 9).
Karena berpatokan dengan perkembangan di Barat, modernisasi diidentikkan dengan
westernisasi. Teori ini pun kurang mampu menjawab kegagalan penerapannya di Amerika
Latin, tidak memperhatikan kondisi obyektif masyarakat, sejarah dan tradisi lama yang masih
berkembang di Negara Dunia Ketiga. Untuk menjawabnya, muncullah teori modernisasi
baru. Bila dalam teori modernisasi klasik, tradisi dianggap sebagai penghalang pembangunan,
dalam teori modernisasi baru, tradisi dipandang sebagai faktor positif pembangunan. Namun,
tetap saja baik teori modernisasi klasik, maupun baru, melihat permasalahan pembangunan

lebih banyak dari sudut kepentingan Amerika Serikat dan negara maju lainnya.
2.

Teori Ketergantungan (Teori Dependensi)
Teori dependensi lahir sebagai hasil “revolusi intelektual” secara umum pada

pertengahan tahun 60-an sebagai tantangan para ilmuwan Amerika Latin terhadap pandangan
Barat mengenai pembangunan. Teori ini merupakan kritik terhadap teori modernisasi. Dasar
pemikiran teori ini adalah pandangan Marx tentang masyarakat sebagai satu kesatuan sistem
atas dua struktur utama: struktur atas dan bawah dimana struktur atas yang berupa sistem
budaya, ideologi, politik dan sosial digerakkan oleh struktur bawah yang merupakan sistem
ekonomi. Teori ini melihat ketidakseimbangan dalam hubungan antara Negara Dunia Ketiga
dengan Negara Dunia Pertama karena mereka akan selalu berusaha menjaga aliran surplus
ekonomi dari negara pinggiran ke negara sentral. Sebagai hasilnya, Negara Dunia Ketiga
menjadi miskin, terbelakang, dan kondisi politik ekonominya tidak stabil. Hal ini adalah
pemikirannya Paul Baran, salah satu tokoh teori dependensi. Ia mengelompokkan ‘dua dunia’
tersebut sebagai negara kapitalis (negara pusat) dan pra-kapitalis (kapitalis pinggiran)—yang
tidak akan pernah bisa menjadi besar. Sedangkan Andre Gunder Frank membagi negaranegara di dunia ini atas dua kelompok yaitu negara metropolis maju dan negara-negara satelit
yang terbelakang. Hubungan ketergantungan seperti ini disebut Frank sebagai metropolissatelite relationship. Menurutnya, suatu pembangunan di negara satelit dipengaruhi oleh 3
komponen utama, yaitu modal asing, pemerintah lokal negara satelit, dan kaum borjuis lokal.

Hasil pembangunan hanya terjadi di tiga kalangan tersebut, sedangkan rakyat kecil hanya
sebagai buruh. Baran dan Frank menyarankan agar Negara Dunia Ketiga harus melakukan
industrialisasi sendiri, tidak mengimpor teknologi, meninjau hutang dan perdagangan dengan
negara pusat. Dos Santos juga menyatakan, mirip dengan Prebisch, bahwa hubungan antara

negara dominan dengan negara tergantung merupakan hubungan yang tidak sederajat, karena
pembangunan di negara dominan terjadi atas biaya yang dibebankan pada negara bergantung.
Melalui kegiatan pasar yang monopolistik dalam hubungan perdagangan internasional,
hubungan utang-piutang dan ekspor modal dalam hubungan perdagangan modal, surplus
ekonomi yang dihasilkan di negara tergantung mengalir dan berpindah ke negara dominan.
Menurut Santos, dua bentuk ketergantungan pertama, adalah ketergantungan kolonial dan
ketergantungan industri keuangan, selain itu ia pun menyebutkan jenis ketergantungan yang
lain yaitu ketergantungan teknologis-industrial.
Packenham menyebutkan kekuatan teori dependensi yakni menekankan pada aspek
internasional, mengaitkan perubahan internal negara pinggiran dengan politik luar negeri
negara maju, menekankan pada kegiatan sektor swasta dalam hubungannya dengan kegiatan
perusahaan-perusahaan multinasional, membahas hubungan antar kelas yang ada di dalam
negeri dan hubungan kelas antarnegara dalam konteks internasional, memberikan definisi
yang berbeda tentang pembangunan ekonomi (tentang kelas-kelas sosial, antardaerah, dan
antarnegara). Namun, kelemahannya antara lain: hanya menyalahkan kapitalisme sebagai

penyebab dari ketergantungan, konsep kunci—termasuk konsep ketergantungan itu sendiri—
kurang didefinisikan secara jelas hanya didefinisikan sebagai konsep dikotomi, tidak ada
kemungkinan lepas dari ketergantungan, selalu dianggap sebagai sesuatu yang negatif,
kurang membahas aspek psikologi, terlalu jauh beranggapan bahwa ada kepentingan yang
berbeda antara negara-negara pusat dan negara-negara pinggiran, ketidakjelasan konsep yang
membatasi teori tersebut, menganggap aktor politik sebagai boneka kepentingan modal asing,
kurang dikaji secara rinci dan tajam dan dalam konteks Timur, teori ini tidak mampu melihat
fenomena bangkitnya negara-negara “Macan Asia” dan runtuhnya sosialisme.
Bila teori dependensi Klasik melihat situasi ketergantungan sebagai suatu fenomena
global dan memiliki karakteristik serupa tanpa megenal batas ruang dan waktu, teori
dependensi Baru melihat melihat situasi ketergantungan tidak lagi semata disebabkan faktor
eksternal, atau sebagai persoalan ekonomi yang akan mengakibatkan adanya polarisasi
regional dan keterbelakangan. Ketergantungan merupakan situasi yang memiliki kesejarahan
spesifik dan juga merupakan persoalan sosial politik.
3.

Teori Sistem Dunia (Teori Sistem Ekonomi Kapitalis Dunia)

Menurut teori sistem dunia, dunia dipandang hanya sebagai satu sistem ekonomi saja,
yaitu sistem ekonomi kapitalis. Motivasi teori modernisasi untuk mengubah cara produksi

masyarakat negara dunia ketiga sesungguhnya adalah usaha mengubah cara produksi
prakapitalis menuju kapitalis, yang sudah diterapkan di negara-negara maju, untuk ditiru
negara Dunia Ketiga.
Menurut hubungannya dengan berbagai negara di dunia, maka ada tiga bentuk negara
dalam teori sistem dunia yaitu negara sentral, semipinggiran, dan pinggiran. Negara sentral
diposisikan sebagai negara yang melakukan eksploitasi terhadap negara semipinggiran dan
pinggiran, Negara semipinggiran disebut sebagai salah satu model kesuksesan ekonomi yang
faktanya masih bergantung pada negara sentral, sedangkan negara pinggiran menaikkan
statusnya menjadi negara semipinggiran akibat keberhasilan perekonomiannya.
Ketiga bentuk negara tersebut semua berorientasi sama untuk dapat mencapai menjadi
negara sentral. Perubahan status negara pinggiran menuju semipinggiran ditentukan oleh
keberhasilan negara pinggiran strategi pembangunan dengan memanfaatkan peluangn (berdiri
di atas kaki sendiri), dan perubahan status negara semipinggiran dengan perluasan pasar dan
penggunaan teknologi. Bahkan negara semipinggiran dibutuhkan dalam mengatasi
disentegrasi sistem dunia (antara negara pinggiran dengan negara sentral)