Dialektika Budaya Dayak Inkulturasi Agam

Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Jurnal Studi Kultural (2017) Volume II No.2: 87-93

Jurnal Studi Kultural
https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Dialektika Budaya Dayak:
Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan
Kristianus*
Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak

Info Artikel

Abstrak

Sejarah artikel:


Orang Dayak Kayaan mengikuti liturgi misa dalam Bahasa Kayaan sudah selama tiga dekade. Penulis
mengkaji pengaruh inkulturasi ini terhadap Budaya Dayak Kayaan dalam hal sistem kepercayaannya.
Penelitian ini menggunakan metode ethnografi, data diambil melalui wawancara yang mendalam dan
tinggal bersama responden. Temuan penelitian ini adalah bahwa terjadinya enkulturasi pada Budaya
Dayak Kayaan telah mengubah Ritual Adat Kayaan. Ritual Adat Kayaan saat ini menyerupai ritual
dalam Agama Katolik. Studi ini juga memperlihatkan bahwa proses enkulturasi ini telah menghilangkan
Agama Kayaan (agama asli), yang tersisa hanyalah sebutan Tanangaan untuk sebutan tuhan dalam bahasa
asli.

Dikirim 14 Mei 2017
Direvisi 9 Juni 2017
Diterima 22 Juni 2017
Kata Kunci
Budaya
Dayak
Kayaan
Agama
Katolik
Enkulturasi


Penggunaan Bahasa Kayaan yang sebelumnya terbatas pada acara-acara tertentu saja sekarang mewarnai
proses liturgi . Yang paling menarik dari proses enkulturasi ini adalah adat dan sastranya menggunakan
padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa di Katolik. Pesta Budaya Dange walaupun menyajikan
sesajian ala Dayak Kayaan tetapi doa-doa yang disampaikan bermuatan ajaran agama yaitu Katolik. Jadi
dialektika enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Kayaan, Ibarat kontestasi yang tidak seimbang,
kemenangan berada dalam Gereja Katolik.
Reproduksi nilai dasar Katolisisme dalam bidang pendidikan dan pembangunan sosial, sudah merembet ke
bidang yang sangat mendasar yakni agama tradisional. Bahkan Agama Kayaan sudah hilang. Penelitian
ini perlu dilanjutkan mengingat aspek enkulturasi itu luas dan telah menampilkan Orang Kayaan yang
baru.
© 2017 Komunitas Studi Kultural Indonesia. Diterbitkan oleh An1mage. All rights reserved.

Kabupaten Kapuas Hulu merupakan kabupaten terjauh dari
Ibukota Provinsi Kalimantan Barat tersebut. Secara
geografis terletak di antara 0008’ LU sampai 1036’LU dan
111032’ sampai 114009’ BT.

1. Pendahuluan
Suku Dayak Kayaan merupakan salah satu subsuku bangsa

di Dayak yang bermukim di Kabupaten Kapuas Hulu. Dayak
Kayaan sering kali menggunakan identifikasi yang lebih
spesifik yaitu Dayak Kayaan Mendalam, karena mereka
bermukim di daerah aliran sungai Mendalam[3].

Orang Kayaan di Kalimantan Barat sebagian besar
mendiami daerah sekitar aliran di Sungai Mendalam.
Sedangkan di Sarawak mendiami Daerah Aliran Sungai
(DAS) Rajang Telaang Usaan, Tubau dan Baram.

Identifikasi tersebut digunakan untuk menyatukan tiga
kelompok sub-subsuku bangsa yaitu Umaa’ Pagung, Umaa’
Suling, Umaa’ Aging. Orang Dayak Kayaan mengaku
berbeda dengan Dayak Apo Kayan[4].

Daerah asal mereka sebelumnya adalah hulu di Sungai
Kayan di Kalimantan Timur. Karena suatu sebab mereka
berimigrasi ke arah Barat sampai di Kapuas Hulu bagian
Timur sekarang. Suku ini cukup besar. Dalam grupnya ada
berbagai sub-Kayaan, antara lain Punan, Kenyah dan

Kayaan sendiri.

Kabupaten Kapuas Hulu merupakan salah satu daerah
otonom yang ada di Provinsi Kalimantan Barat. Terletak di
ujung paling Timur dengan jarak dari Pontianak sejauh ±
657 km jalan darat atau ± 842 km melalui Sungai Kapuas.


Peneliti koresponden: Sekolah Tinggi Agama Katolik
Mobile:+6281345309051 | E-mail: kristianusatok@gmail.com

Negeri

Jurnal Studi Kultural Volume II No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Pontianak

|

Daerah Aliran Sungai (DAS) Mendalam berada di posisi

pertengahan Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK)
87

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Kristianus

tepatnya di Kabupaten Kapuas Hulu yang terletak pada titik
kordinat 1110 32’ sampai 1140 09’ BT- 00 08’ sampai
dengan 10 36’ LU dengan luasanya 29,842 KM2 (20,33%
dari luas Provinsi Kalimantan Barat)[14].
Di sepanjang DAS ini berdiam empat kelompok subetnis
yaitu Etnis Melayu Sambus yang berdiam bagian hilir,
Sungai Mendalam, kemudian Etnis Taman Semangkok
(Ariung Mandalam) dilanjutkan oleh Etnis Kayaan yang
relatif lebih banyak penduduknya kemudian sebagai Etnis
yang paling jauh perkampungannya adalah Etnis Bukat
dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit.
Sebagaimana catatan sejarah seperti yang dituturkan oleh
beberapa orang tokoh adat di DAS Mendalam bahwa suku

tertua yang mendiami DAS Mendalam adalah Suku Taman
dan dapat dibuktikan dengan masih adanya sisa peninggalan
nenek moyang mereka di dekat Kampung Suku Bukat juga
di daerah Suku Kayaan seperti tiang besar dengan corak
Suku Taman namun pada saat ini kita berfokus pada Suku
Kayaan Mendalam .

Tanjung Kuda, Uma Suling, Uma Belua, dan Pagung yang
tergabung dalam Ketemengungan Kayan Mendalam dengan
sebutan Hengkung Kayaan Mendalam dan kesemuanya itu
terbagi dalam 2 desa yaitu Desa Padua Mendalam dan Desa
Datah Diaan Kecamatan Putussibau Utara dengan jumlah
penduduk 1622 jiwa (BPS/Data Kecamatan 2015) dengan
luas wilayah 4.122.00 km2.
Adapun infrastruktur yang dimiliki berupa Gedung SD,
Gereja, Gedung SMP dan Puskesmas Pembantu dengan
tenaga mantri 1 orang. Dalam kehidupan sehari-hari
kegiatan hari-hari Masyarakat Kayaan berladang, menoreh
getah, berkebun kopi, berkebun coklat (Desa Padua),
memungut hasil hutan, berburu, mengambil kayu di hutan,

beternak (sapi, ayam dan babi), menjala dan memancing
ikan. Masyarakat Kayaan masih kental dengan Adat atau
tradisi ”Dange” ini selalu dilakukan Suku Kayaan dan
menjadi kalender tahunan.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mensyukuri kepada Yang
Maha Kuasa atas hasil panen. Dalam kegiatan ini akan
terlihat representasi kebudayaan mereka dalam bentuk khas
seperti: tarian, khasanah sastra lisan, keindahan motif
perisai/karawit dan tato, aksesoris pakaian adat, keunikan
motif topeng ”Hudo” dan prosesi upacara adat yang sarat
dengan makna kehidupan .
Perbincangan antara agama dan budaya, khususnya proses
enkulturasi agama dan budaya selalu saja menarik [5].
Fenomena ini akan “dibaca” (dipersepsikan) seolah-olah
proses enkulturasi antara agama dan budaya adalah sesuatu
yang mudah dan harus terjadi [6].

Citra 1. Lokasi penelitian.

Menurut sejarah Suku Kayaan merupakan suku yang berasal

dari keturunan Indochina yang menetap di Apo Kayaan di
Hulu Sungai Kayaan provinsi Kalimantan Timur kemudian
sekitar 500 tahun yang lalu terjadi perpecahan antar mereka
sehingga sebagian melakukan perpindahan keberbagai
tempat, ada yang di Batang Rajang Serawak Malaysia,
sebagian lagi di Beram Malaysia Timur, ada juga yang di
Sungai Mahakam Kalimantan Timur dan sebagian di Sungai
Mendalam Kalimantan Barat (citra 1).
Yang kita kenal sekarang dengan sebutan Kayaan Mendalam
dengan bahasa yang digunakan yaitu Kayaan yang terbagi
dalam dua bahasa sebelah hulu tepatnya di Desa Datah Dian
Dusun Pagung menggunakan Bahasa Pagung dan sedangkan
sebelah hilir tepatnya Dusun Uma Suling, Tanjung Kuda,
Padua, Teluk Telaga, Sui Ting, dan Tanjung Karang
mengunakan bahasa yang disebut Bahasa Uma Aging.

Hal demikian, terdapat pada Komunitas Dayak Kayaan di
Kapuas Hulu. Informasi awal yang diperoleh peneliti, bahwa
enkulturasi dimulai oleh pastor A.J. Ding Ngo, SMM yang
pernah bertugas di tengah komunitas Dayak Kayaan hingga

beliau meninggal dan dimakamkan di perkampungan
tersebut. Semasa hidupnya, beliau melakukan enkulturasi
Agama Katolik dan budaya serta dianggap berhasil.
Berhasil sebagaimana yang dikatakan Geertz [7]. Kini,
keberhasilan tersebut dipersepsikan sebagai salah satu
identitas bagi Komunitas Dayak Kayaan di Kecamatan
Putussibau Selatan, Kota Putussibau, Kapuas Hulu
Kalimantan Barat. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang dialektika budaya: enkulturasi
Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan.
Asumsi peneliti, proses enkulturasi agama dalam budaya
yang dilakukan oleh suatu komunitas, bertujuan
mempertegas identitas komunitas tersebut. Tetapi hal ini
diingatkan oleh Mayang Sari [8] bahwa masalah enkulturasi
merupakan masalah luas dan besar. Proses enkulturasi
memang tidak mudah dilaksanakan, tetapi hal itu bukan
tidak mungkin.

Kayan mendalam ini memiliki delapan kampung meliputi
dari Hilir Sui Ting, Tanjung Karang, Padua, Teluk Telaga,

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

88

Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Itulah sebabnya diperlukan terus menerus diskusi yang
sifatnya luas, mendalam dan interdisipliner untuk semakin
menemukan arahnya yang jelas. Sehingga, meneliti
enkulturasi agama ke dalam budaya lokal (Budaya Dayak) di
Kabupaten Kapuas Hulu terjauh dari wilayah Provinsi
Kalimantan Barat ini, menjadi sangat menarik untuk diteliti.
Enkulturasi tersebut, bahkan telah mempertegas identitas
Budaya Dayak Kayaan Mendalam.
Penelitian ini berangkat dari fakta empiris bahwa selama ini
ada beberapa pandangan umum tentang enkulturasi budaya
dan agama, antara lain:
(1) Orang sering memikirkan enkulturasi hanya dalam

konteks entah soal pakaian, musik, tata ruang saja.
Padahal masalah enkulturasi itu juga bisa menyangkut
berbagai ranah kehidupan bersama dalam kehidupan
beragama.
(2) Masalah makna enkulturasi itu sendiri. Kebanyakan
orang menggambarkan enkulturasi sebatas pada
“kulitnya” saja. Bila orang sudah menggunakan musik
tradisional dalam beribadah, memakai pakaian adat,
orang sudah menganggap: “Inilah enkulturasi”. Padahal
enkulturasi bermakna lebih luas dan lebih dalam lagi.
Enkulturasi itu meliputi seluruh pengungkapan,
penghayatan dan perwujudan iman itu sendiri dalam
seluruh kehidupan kita.
(3) Banyak orang yang mengharapkan agar segala unsur
budaya setempat bisa dimasukkan ke dalam khazanah
kehidupan iman gereja.
Pandangan-pandangan umum itu tentu saja bias dalam artian
mengabaikan pandangan warga masyarakat setempat
(native’s point of view), fakta-fakta empiris lapangan dan
sejarah lokalitas. Berdasarkan kesadaran di atas, maka
masalah utama dalam penelitian ini adalah mengenai proses
enkulturasi agama dan budaya untuk eksis dan dinamikanya
sebagai satu entitas agama, dan sosial-budaya. Sehubungan
dengan itu, maka rumusan permasalahan penelitian adalah:
Bagaimana perubahan budaya masyarakat sebagai dampak
dari enkulturasi yang sudah terjadi sejak 30 tahun lalu pada
Budaya Dayak Kayaan di Paroki Padua Mendalam.
Rumusan ini diperinci ke dalam beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut: Bagaimana dialektika enkulturasi
Agama Katolik pada Budaya Dayak Kayaan di Padua
Mendalam.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana
perubahan Budaya Dayak Kayaan sebagai dampak dari
enkulturasi dengan Agama Katolik. Secara khusus penelitian
ini ingin mengetahui bagaimana perubahan ritual Budaya
Dayak Kayaan.
Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk mengisi
kelangkaan kajian tentang Agama Suku Dayak yang dikenal
Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

dengan Agama Kaharingan namun tidak bisa eksis dengan
kehadiran agama global.
2. Telaah Pustaka

Budaya dalam pemahaman sederhana merupakan kebiasaan
turun temurun yang menjadi suatu tradisi dalam suatu
peradaban, kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang di dalamnya terkandung kepercayaan, adat
istiadat, hukum, pengetahuan, kesenian, moral dan
kemampuan lainnya yang diperoleh seseorang sebagai
anggota masyarakat [9].
Dari pemahaman di atas dapat disimpulkan bahwa seni
merupakan bagian dari kebudayaan yang sampai saat ini
tetap dipertahankan sebagai cara untuk memperkenalkan
atau menunjukan suatu golongan suku, agama, ras dan
lainya yang tergolong dalam identifikasi budaya pada
umumnya.
3. Metode
Penelitian ini melingkupi penelitian pustaka dan penelitian
lapangan. Penelitian dimulai dengan pengumpulan data-data
sekunder yaitu dengan melakukan penelitian pustaka yang
dilakukan di perpustakaan, pusat-pusat penelitian atau
tempat-tempat yang menyimpan buku-buku, artikel-artikel,
tulisan-tulisan akademik, laporan-laporan penelitian dan
sebagainya., yang relevan dengan penelitian [10].
Sebagai penelitian kualitatif, instrumen utama dalam
penelitian ini adalah diri penulis sendiri.
Hal
ini
mengandung makna bahwa sebagai seorang peneliti
kualitatif penulis harus melakukan kerja lapangan secara
langsung untuk mengumpulkan data dengan metode
pengamatan dan wawancara [11].
Dengan melakukan pengamatan terlibat (Participant
observation, atau ethnographic fieldwork) yang adalah
fondasi dari antropologi budaya, berarti menggunakan
teknik pengumpulan data yang menjadi sentral dari proses
etnografi [12].
Bahwa mendefinisikan pengamatan terlibat sebagai “a
research “strategy that simultaneously combines document
analysis, interviewing of respondents and informants, direct
participation and observation, and introspection”. Dalam
proses ini dikenal istilah “pembenaman diri” (immerson)
dalam rangka mendapatkan data emic si peneliti masuk ke
dalam cara hidup, cara bicara, cara berlaku, dan cara berfikir
masyarakat yang ditelitinya [13].
Wawancara mendalam (in-depth interview) pertama-tama
ditujukan secara khusus kepada “informan kunci” dari para
tokoh dan petugas gereja saat ini. Dengan cara ini,
pemikiran mereka, fokus perhatian, dan aktivitas-aktivitas
mereka dapat dieksplorasi secara mendetail.

89

Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Teknik life history akan dipergunakan untuk melacak balik
sejarah dan pengalaman pribadi para anggota dan elite
komunitas Dayak Kayaan.

Yang mampu untuk melaksanakan tugas perantara itu adalah
nenek moyang yang memiliki kata-kata yang berkenan pada
tuhan.

Wawancara mendalam juga ditujukan kepada informan
kedua yang mungkin tidak mengalami langsung namun
mendapat cerita dari para tokoh terdahulu.

Keenam, dalam Agama Katolik, struktur doa seperti ini juga
ada. Dibedakan dengan tegas liturgi ekaristi dan bukan
ekaristi. Dalam liturgi ekaristi, Kristuslah satu-satunya
perantara kepada Allah Bapa. Tetapi dalam devosi khusus
kepada Bunda Maria (Ibu Yesus) dan para kudus yang
diakui Gereja Katolik, mereka juga dilihat sebagai perantara.

Pengamatan dilakukan untuk mengamati peralatan yang
digunakan untuk melaksanakan upacara dalam Tradisi
Kayaan Mendalam.
Wawancara dilakukan untuk
memperoleh data yang berkaitan dengan unsur-unsur
enkulturasi.
4. Diskusi
Unsur Katolisisme dalam Sistem Kepercayaan Dayak
Kayaan (SKDK): analisis struktur doa dalam Liturgi. Kalau
memerhatikan doa SKDK memohon keturunan yang
banyak, maka struktur doanya mirip dengan apa yang
dilakukan dalam Agama Katolik. Hubungan antara manusia
dan Allah bersifat tidak langsung.
Pertama, hubungan antara orang hidup dan orang mati (roh)
digambar dalam struktur horizontal, untuk memerlihatkan
sistem kepercayaan pada Orang Kayaan yang menganggap
bahwa ada dua dunia kehidupan dengan komunitasnya
sendiri-sendiri yakni komunitas orang hidup dan komunitas
orang mati yang tinggal di seberang sana (Telaangjulaan).
Kedua, dalam struktur itu, Tanangaan tidak dapat didekati
secara langsung, kecuali melalui perantara yakni nenek
moyang orang yang bersangkutan. Terjemahannya: supaya
kalian nenek moyanglah yang menjembatani kami dengan
Allah Bapa. Kalianlah yang mewakili kami menghadap
Allah Bapa Pencipta, supaya kami tinggalkan kesendirian
(tidak punya keturunan), dan mengharapkan banyak
keturunan.
Ketiga, Tanangaan itu adalah Allah Bapa seperti yang
terdapat dalam Agama Katolik yang dianutnya, dengan
karakteristiknya sebagai pencipta. Menurut penulis, doa ini
mempunyai struktur SKDK tetapi isinya Katolik.
Keempat, yang tidak sesuai dengan Agama Katolik adalah
fungsi korban binatang. Dalam pandangan SKDK,
permohonannya dikabulkan lewat tanda yang diberikan
tuhan pada organ binatang yang disembelih. Hingga saat ini,
Gereja Katolik Paroki Padua Mendalam membiarkan
praktek SKDK berjalan tanpa suatu penjelasan resmi.
Kelima, untuk interaksi sosial yang menyangkut urusanurusan penting, Orang Kayaan selalu menggunakan
perantara yang disebut dayung (penyambung lidah). Atau
orang yang berkepentingan dalam doa itu menilai dirinya
tidak mampu untuk berbicara langsung dengan Allah Bapa.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Bunda Maria dipercayai sebagai perantara antara pendoa dan
Yesus. Sedangkan para kudus dipercayai karena doa mereka
di surga didengar oleh Allah Bapa. Orang Katolik percaya
bahwa perantaraan Bunda Maria dan para orang kudus
kepada Allah dapat meningkatkan keyakinan orang akan
terkabulnya permohonan. Nampaknya dalam konteks inilah
peran nenek moyang itu ditempatkan.
Unsur Katolisisme dalam SKDK: analisis struktur
doa Dayung
Struktur doa SKDK seperti yang dilakukan oleh dayung
Umaa Aging untuk Upacara Dange. Doa mereka
ditujukan kepada nenek moyang, sedangkan Tuhan
Maha Kuasa (Tanangaan) disebut belakangan. Namun
demikian, penulis tidak berani untuk mengatakan bahwa
Tuhan tidak utama dalam struktur doa ini. Penjelasan
penulis sebagai berikut:
Pertama, awal doa dimulai dengan seruan minta
perhatian dan perkenanan “................. Terjemahan
bebasnya: dengarkanlah kami, hai nenek moyang
sekalian. Setelah itu baru dikemukakan alasan mengapa
mereka melakukan upacara kurban ini.
Kedua, sengaja ne’.... tidak diterjemahkan. Menurut
Umaa Aging Ne’ itu adalah mata air, yang dianggap
sebagai sumber kehidupan. Dia mengatakan bahwa
manusia itu dikandung dalam air, seperti yang terlihat
dalam mimpi menimba air.
Tidak ada penjelasan yang menghubungkan Ne’....
dengan Tuhan Maha Kuasa itu. Tetapi jelas dalam doa
itu, Ne’.... adalah sesuatu yang mengatur rejeki dalam
kehidupan. Kegagalan usaha bertani disebabkan karena
Ne’.... tidak dihormati.
Ketiga, kegagalan memperoleh hasil tani juga
disebabkan oleh kelalaian manusia untuk memuji dan
mensyukuri Tuhan Maha Kuasa (Tanangaan). Dalam
rumusan ini jelas Ne’... bukan Tuhan. Tetapi bagaimana
hubungannya belum jelas. Intinya kedua mahluk ini
pengaruh terhadap usaha tani.
Keempat, Apiu juga menjelaskan bahwa Ne’... adalah
nenek moyang asal yang memberikan kita kehidupan.
90

Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Kalau penjelasannya seperti itu, maka ada kemungkinan
bahwa struktur doa menurut Apiu sama dengan struktur
doa Katolik.
Struktur doa untuk keselamatan dapat digambarkan
sebagai berikut: Pertama, semua arwah disebut,
diundang untuk datang berpesta bersama mereka yang
masih hidup. Keluarga masing-masing mengundang
juga para leluhurnya, dan secara bersama dalam
kampung semua leluhur yang ada di kubur dan juga di
mata air datang menikmati hidangan pesta.

Struktur doa Upacara Dange, dapat digambarkan
sebagai berikut:
Pertama,
kesuksesan
acara
tergantung
pada
perlindungan nenek moyang, tuhan maha kuasa, mata
air, kampung halaman, rumah, dan tikar dan tentu saja
orang yang bertanggungjawab pada acara ini sendiri.
Kedua, tidak dijelaskan secara sistematis oleh informan,
tempat tuhan dalam struktur doa itu. Sangatlah sulit
dibayangkan kalau tuhan itu disamakan begitu saja
dengan pelindung-pelindung lainnya.

Kedua, bagan itu digambar dalam bentuk horizontal
hanya untuk menggambarkan adanya dunia sini
(komunitas yang masih hidup) dan dunia sana
(Telaangjulaan). Melalui korban kedua komunitas itu
disatukan.

Dampak Enkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan
Proses enkulturasi seperti pada paparan terdahulu telah
berdampak pada kehidupan masyarakat yang berkaitan
dengan ritual kehidupan. Penulis menggambarkannya
sebagai berikut:

Dalam upacara tolak bala (menolak bala kebakaran total
rumah dalam satu kampung), struktur doa sama dengan
struktur doa tahun baru, tetapi di dalamnya ditambah
dengan tuhan. Dengan tambahan ini strukturnya
menjadi lain. Struktur doa untuk keselamatan dan
penolakan mara bahaya dapat digambarkan sebagai
berikut:

Sikap Ritual SKDK
Kemampuan untuk membacakan dan membawakan doa
SKDK pada suatu upacara ritual, tidak dapat dilakukan
oleh sembarang orang. Orang yang mampu
membawakan acara ritual seperti ini disebut
panyangahatn (harafiah: orang yang mampu
membawakan doa SKDK). Pada umumnya setiap
kampung memiliki satu atau lebih pelalu iman ini.

Pertama, doa tetap dialamatkan ke nenek moyang,
sesudah itu baru mereka menyapa tuhan. Begini doanya:
Dengarkanlah kami sekalian nenek moyang.
Dengarkanlah kami tuhan yang maha kuasa, yang
menciptakan langit dan bumi. Kami sudah memperoleh
biaya untuk pelaksanaan upacara menolak bala
kebakaran.
Kedua, strukturnya digambar dalam bentuk horizontal,
karena sebelum babi dipotong, ada upacara khusus
untuk mengundang semua arwah dari kubur komunitas
dan penjaga mata air (tetap tidak jelas, apakah nenek
moyang atau ada mahluk/roh khusus). Malah dalam
upacara itu ada dialog antara orang hidup dan orang
mati (yang diwakili oleh kelompok tertentu.
Unsur Katolisisme dalam SKDK: analisis struktur
doa dalam pesta dange
Struktur doa menurut Umaa Aging sedikit lain. Dalam
Upacara Dange, alamat doa atau seruannya ditujukan
secara berturut-turut ke nenek moyang, mula-mula
seruan awalnya dialamatkan ke nenek moyang, tuhan,
mata air, kampung, rumah, keluarga, dan tikar.
Begini doanya. Terjemahan bebas: Datanglah hai
sekalian nenek moyang... Dengarkanlah pula tuhan
pencipta alam semesta, begitu pula mata air, kampung
halaman, rumah, keluarga, dan tikar.

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

Sebelum upacara dilangsungkan harus melakukan
persiapan batin/hati dengan baik. Inti dari persiapan itu
adalah supaya dia tidak berkata salah, tidak bersikap
salah, memohon bimbingan dari roh nenek moyang
yang dalam hal ini secara khusus roh semangat, supaya
mampu melaksanakan tugas itu dengan baik. Pada saat
membawakan doa, tidak boleh ada kata-kata yang
ketinggalan.
Urutan harus jelas, dan harus berakhir dengan
penutupan yang standar. Sehubungan dengan ini, si
pelaksana sering meminum alkohol (brem) terlebih
dahulu untuk menghilangkan rasa canggung, malu dan
meningkatkan percaya diri saat melantunkan alunan
kata-kata doa itu. Pada saat upacara ritual dilaksanakan
semua orang-orang penting dalam kampung itu harus
duduk bersila di sekelilingnya. Mereka harus diam, dan
pada saat tertentu dapat berpartisipasi sejauh
menyangkut dirinya.
Pengaruh Katolisisme dalam SKDK
Pertama, proses mengubah struktur SKDK menjadi
lebih akomodatif terhadap Ajaran-ajaran Katolik masuk
akal dan tidak dapat dihindari lagi.
Dalam doa yang dikemukakan narasumber, hampir
seluruhnya sudah disesuaikan dengan Ajaran Katolik.
Dalam kasus yang dikemukakan seperti Upacara Dange

91

Kristianus

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

penyesuaian itu tidak terlalu banyak. Malah ada yang
tidak menyebut tuhan sama sekali.
Kedua, tuhan yang dimaksudkan pasti menunjuk pada
tuhan yang diajarkan dalam Agama Katolik. Pastor
Ding menyebutnya dengan konsep eksplisit sebagai
Allah Bapa, namun di balik konsep tuhan itu, pribadi
Yesus sebagai bagian dari Allah Tritunggal masuk
dalam kategori berpikir mereka.
Ketiga, walaupun penyesuaian itu sudah terjadi pada
SKDK untuk hal yang sangat mendasar, kedua sistem
religi itu tetap otonom. Hingga saat ini sebagian besar
Orang Kayaan masih menggunakan doa-doa SKDK itu,
terutama untuk keselamatan orang mati, walaupun
sesudah itu diadakan perayaan ekaristi untuk
peristirahatan jiwa (misa requiem).
Keempat, dalam proses penyesuaian itu tetap ada unsurunsur asli yang masih kelihatan yakni hubungan antara
manusia dan nenek moyangnya yang selalu menjadi
awal suatu doa: dengarkanlah hai kalian nenek moyang.
Unsur ini tetap mengganggu pikiran penulis tentang
adanya Agama Asli Kayaan sebagai agama nenek
moyang.
Kecenderungan Umum Pengaruh SKDK dalam
Agama Katolik
Pertama, yang paling menonjol adalah penggunaan
Bahasa Kayaan yang terbatas pada acara-acara tertentu
saja. Yang paling menarik bagi Orang Kayaan yang
mengenal adat dan sastranya adalah penggunaan
padanan kata yang berbunyi mirip dalam doa-doa. Para
ahli liturgi melihat hal ini sebagai variasi belaka yang
membuat doa dan liturgi itu menjadi lebih menarik.
Kedua, penulis tidak melihat adanya enkulturasi dalam
pengembangan doa-doa dalam Bahasa Kayaan. Malah
sebaliknya, pengaruh Agama Katolik begitu besar
sehingga semua peristiwa penting dalam Tradisi Kayaan
di-Katolikkan.

Tentang hewan korban ini nampaknya Gereja Katolik
Kayaan tidak bisa tawar menawar, tetapi juga tidak
mencegah berjalannya upacara SKDK yang campur
aduk tidak karuan dengan unsur-unsur penting (seperti
Tipang Tanangaan) dalam Agama Katolik.
5. Konklusi
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
terjadinya enkulturasi pada Budaya Dayak Kayaan telah
mengubah jantung di Budaya Dayak Kayaan yaitu ritual
Adat Kayaan. Ritual Adat Kayaan saat ini menyerupai ritual
dalam Agama Katolik.
Studi ini juga memerlihatkan bahwa proses enkulturasi ini
telah menghilangkan Agama Kayaan (agama asli), yang
tersisa hanyalah sebutan Tanangaan untuk sebutan untuk
tuhan dalam bahasa asli . Penggunaan Bahasa Kayaan yang
sebelumnya terbatas pada acara-acara tertentu saja sekarang
mewarnai proses liturgi .
Yang paling menarik dari proses enkulturasi ini adalah adat
dan sastranya menggunakan padanan kata yang berbunyi
mirip dalam doa-doa di Agama Katolik. Pesta Budaya Dange
walaupun menyajikan sesajian Dayak Kayaan tetapi doadoa yang disampaikan bermuatan ajaan Agama Katolik.
Jadi dialektika enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya
Kayaan, Ibarat kontestasi yang tidak seimbang, kemenangan
berada dalam Gereja Katolik. Reproduksi nilai dasar
Katolisisme dalam bidang pendidikan dan pembangunan
sosial, sudah merembet ke bidang yang sangat mendasar
yakni agama tradisional. Bahkan Agama Kayaan sudah
hilang
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Bimas
Katolik Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah
mendanai penelitian ini pada tahun anggaran 2015 melalui
Sekolah Tinggi Pastoral Santo Agustinus Keuskupan Agung
Pontianak.
Referensi

Ketiga, doa-doa dalam SKDK yang berhubungan
dengan tahun baru, pesta dan tolak bala, karena sudah
sangat Katolik, lebih utuh dalam pengungkapannya
sehingga mungkin lebih kena dalam perasaan beragama
Katolik Orang Kayaan.
Saling Terima Yang Tidak Seimbang
Kalau A adalah SKDK dan B adalah Agama Katolik
maka yang terjadi sekarang setelah keduanya bertemu
menghasilkan B yang semakin hidup dan mendominasi
A, walaupun keduanya tetap mandiri. Jadi dalam
formulanya A + B tetap menjadi A + B. Salah satu inti
perbedaan keduanya adalah korban persembahan
binatang (babi, ayam).
Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

[1]

S. B. Bevans. 1996. “Inculturation of Theology in Asia (The
Federation of Asian Bishops’ Conferences, 1970-1995),”
Stud. Mission. Stud. Mission., vol. 45, pp. 1–23.

[2]

M. I. (Universitas T. Jumarang, M. (Universitas
Tanjungpura), N. S. (Institut T. B. Ningsih, and S. (Institut
T. B. Hadi. 2012. “Perubahan Dasar Perairan Estuari Sungai
Kapuas Kalimantan Barat (Studi Kasus: Bulan Januari s.d.
April),” SIMETRI, vol. 1, no. D, pp. 42–46.

[3]

R. L. Wadley and M. Eilenberg. 2005. “Autonomy, Identity,
and ‘Illegal’ Logging in the Borderland of West
Kalimantan, Indonesia,” Asia Pacific J. Anthropol., vol. 6,
no. 1, pp. 19–34.

[4]

J. Rousseau.1979. “Kayan stratification,” Man, vol. 14, no.
2, pp. 215–236.
92

Dialektika Budaya Dayak: Enkulturasi Agama Katolik dengan Budaya Dayak Kayaan

Kristianus

[5]

C. F. Starkloff. 1994. “Inculturation and cultural systems
(Part 2),” Theol. Stud., vol. 55, no. 2, p. 274.

[6]

M. Poplawska. 2008. “Christian music and inculturation in
Indonesia,”.

[7]

C. Geertz.1993. "Religion as a cultural system" vol.
6862608, no. 6.

[8]

Sriti Mayang Sari. 2007. “Wujud Budaya Jawa Sebagai
Unsur Enkulturasi Interior Gereja Katolik,” Dimens. Inter.,
vol. 5, no. 1, p. pp.44-53.

[9]

M. A. Luardini.2016. “Socio-Cultural Values of Traditional
Communities: A Case Study of the Dayak in Kalimantan,”
Asian Cult. Hist., vol. 8, no. 2, p. 1.

[10]

Sugiyono. 2011. “Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif
dan R & D,” Bandung Alf., p. 90.

[11]

L. Moleong.2006.
Sasial, pp. 31–44.

[12]

M. McMullen. 1998. “The Religious Construction of a
Global Identity : An Ethnographic Look at the Atlanta
Bahai Community,” in Contemporary American Religion :
An Ethnographic Reader, pp. 221–243.

[13]

A. Belanger-Vincent. 2011. “Multisited Ethnography.
Theory, Praxis, and Locality in Contemporary Research,”
Anthropologica, vol. 53, no. 1, pp. 181–182.

[14]

B. Shantiko, E. Fripp, T. Taufiqoh, T. Heri, and Y.
Laumonier. 2013. “Socio-economic considerations for landuse planning; The case of Kapuas Hulu, West Kalimantan,”
CIFOR Work. Pap. 120, p. 63.

“Metodologi penelitian,” Kualitalif

Jurnal Studi Kultural Volume 2 No. 2 Juli 2017 www.an1mage.org

93