Pemanfaatan Dan Validasi Conformal Cubic

PEMANFAATAN DAN VALIDASI
CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM)
UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI JAKARTA
Roni Kurniawan , Donaldi Sukma Permana
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
Jl. Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta 10720
Email: rony_354@bmg.go.id, donaldi@bmg.go.id

ABSTRAK
Pada penelitian ini dilakukan prakiraan cuaca untuk wilayah Jakarta pada bulan februari
2008 menggunakan CCAM untuk prediksi 2 hari kedepan dengan interval 3 jam. Data
keluaran CCAM kemudian dilakukan validasi dengan data sinoptik dari stasiun pengamatan
BMKG di wilayah Jakarta. Hasil validasi dan analisis data untuk parameter curah hujan
diperoleh hasil korelasi dan RMSE yang kurang baik. Akan tetapi untuk akurasi kejadian
hujan menunjukkan hasil yang baik. Untuk parameter tekanan permukaan laut diperoleh
hasil yang lebih baik dibandingkan dengan parameter yang lain, untuk prediksi 12 jam
pertama mempunyai nilai korelasi sebesar 0,5-0’8. Dari hasil luaran CCAM menunjukkan
bahwa CCAM dapat dimanfaatkan untuk prakiraan kejadian curah hujan pada skala lokal,
seperti di kota Jakarta.
Kata kunci: CCAM, downscaling, validasi, prakiraan cuaca

ABSTRACT
This research accomplished the weather forecast over Jakarta region in February 2008
using Conformal-Cubic Atmospheric Model (CCAM) to forecast weather up to 2 days with 3
hours interval. The ouput CCAM data was then compared to the synoptic data from the
BMKG’s observation station in Jakarta. Validation and data analysis showed that
correlation and Root Mean Squared Error (RMSE) of rainfall was unfavourable. However,
the occurance of the rainfall gave an accurate result. Parameter of sea surface pressure
gave better correlation than the other parameter, the prediction of the first 12 hours has 0.50.8 in correlation. The CCAM result showed that the output was applicable to forecast the
occurance of the rainfall at local scale, like in Jakarta city.
Keywords : CCAM, downscaling, validation, weather forecast

88

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Volume. 10 Nomor 2 Tahun 2009 : 88 – 97

ISSN: 1411-3082

1. PENDAHULUAN
Pada beberapa tahun ini berbagai
penelitian di bidang ilmu meteorologi

berkembang dengan sangat pesat. Hal ini
disebabkan informasi cuaca mempunyai peran
penting dalam berbagai aspek kehidupan
manusia, terutama untuk kebutuhan informasi
prakiraan cuaca harian. Berbagai metode
peramalan model global atmosfer seperti
model global atmosfer Conformal-Cubic
Atmospheric Model (CCAM) telah banyak
dikembangkan diberbagai negara untuk
memudahkan forecaster dalam melakukan
prediksi cuaca yang cepat dan tepat. CCAM
adalah salah satu model atmosfer global yang
dikembangkan secara efektif dimulai pada
tahun 1994 oleh Commonwealth Scientific
and Industrial Research Organization
(CSIRO), Australia (McGregor, 2005).
CCAM merupakan model global berresolusi
variabel berbasis conformal cubic grid,
menggunakan transformasi Schmidt untuk
prakiraan regional dan lokal dengan teknik

multiple nesting untuk downscaling serta
mempunyai data topografi dan landuse yang
telah terintegrasi di dalamnya (Thatcher,
2007).

Tabel 1. Tabel daftar sigma level dan ketinggian
rata-rata yang bersesuaian yang
digunakan CCAM (Sumber : Thatcher,
2007)

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

11
12
13
14
15
16
17
18
19

Sigma level
1,000
0,996
0,978
0,946
0,900
0,843
0,776
0,702
0,623

0,542
0,459
0,377
0,298
0,224
0,157
0,100
0,054
0,022
0,005

Ketinggian rata-rata (m)
0
40
190
470
880
1.400
2.100
2.900

3.800
4.900
6.200
7.600
9.200
11.000
13.000
16.000
20.000
26.000
35.000

Dalam
penelitian
ini,
CCAM
menggunakan conformal cubic grid yang
setiap panel memiliki 48x48 grid poin (format
C48 grid) dan 18 level vertikal sigma (jumlah
titik grid = 48x48x6x18 = 248832). Untuk

lebih jelas, perhatikan gambar 1 dan tabel 1
berikut:

Gambar 2. Uniform C48 grid pada CCAM (Jarak
rata-rata antar grid adalah 200 km)
(Sumber: Marcus Thatcher, 2007)

Gambar 1. Conformal Cubic grid pada CCAM
(Sumber : Thatcher, 2007)

Dengan digunakan sistem koordinat
conformal cubic, CCAM dapat digunakan
sebagai model prediksi global sekaligus
model regional. Hal ini merupakan kelebihan
CCAM dibandingkan model global lain pada
umumnya.
Ada beberapa keuntungan CCAM dalam
menggunakan
conformal
cubic

grid,
diantaranya:

89
PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI
JAKARTA
Roni Kurniawan dan Donaldi Sukma Permana

 Tidak ada titik-titik singular, seperti pada
kutub – kutub utara dan selatan.
 Tidak memerlukan syarat batas, karena
CCAM merupakan global model.
 Grid dapat di-stretch untuk prakiraan
resolusi tinggi (sampai 1 km).
 Grid yang di-stretch dapat di posisikan di
setiap bagian sisi bumi.
Dalam proses pemodelan, CCAM
menggunakan data topografi dan data landuse (penggunaan lahan) yang telah terintegrasi
dalam sistem CCAM. Data topografi yang
telah terintegrasi dalam sistem CCAM

menggunakan 3 skala resolusi:
 10km untuk seluruh dunia (topo2)
 1km untuk seluruh dunia (*.DEM)
 250m untuk wilayah Australia (*.ter)
Sedangkan
data
land-use
yang
terintegrasi
dalam
sistem
CCAM
menggunakan dataset berikut:
 1° resolusi global dataset dengan 12
kategori land-use (SiB).
 6 km resolusi dataset untuk Australia
dengan 33 kategori land-use (Gratez’s)
 1° resolusi global dataset tanah dengan 10
Zobler kategori
 Selain menggunakan data land-use yang

telah terintegrasi dalam sistem
Sebagai
model
global
CCAM
memerlukan data produk analisa sebagai nilai
awal untuk melakukan prediksi, diantaranya
data NCEP GFS (resolusi 0.50), NCEP GFS
(resolusi 10), BoM GASP (resolusi 10) dan
NOGAPS (resolusi 10) (Thatcher, 2007).
Diagram alur teknik prakiraan jangka pendek
dengan
menggunakan
sistem
CCAM
ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Gambaran Sistem CCAM untuk
downscaling dengan teknik multi
nesting (Sumber: Thatcher, 2007)


CCAM dapat digunakan sebagai bahan
penelitian internal dan keperluan operasional
BMKG yang merupakan hasil kerjasama
internasional antara BMKG dan CSIRO
Australia. CCAM merupakan model global
atmosfer terbaru untuk prakiraan cuaca jangka
pendek sampai pada skala lokal dan
diperkirakan dapat memberikan prospek yang
baik di Indonesia sebagai upaya dalam
meningkatkan hasil prakiraan yang lebih
akurat, namun demikian mengingat kondisi
atmosfer tropis yang lebih dinamis, maka
diperlukan validasi terlebih dahulu untuk
melihat akurasi dari hasil luaran CCAM.
Pada penelitian sebelumnya telah
dilakukan validasi secara spasial pada wilayah
tropis dan subtropis Utara antara hasil prediksi
model CCAM terhadap data observasi model
GFS, dan diperoleh hasil bahwa kedua model
di wilayah tropis dan subtropis bagian utara
menunjukkan pola yang sama dengan
observasi untuk musim SON 2008 dan
diketahui bahwa wilayah subtropis lebih
mudah diprediksi dibandingkan dengan
wilayah tropis (Permana, 2009).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
melakukan validasi hasil luaran model CCAM
untuk prediksi cuaca 2 hari ke depan terhadap
data sinoptik (observasi) stasiun pengamatan
BMKG di wilayah Jakarta. Model CCAM
dapat dimanfaatkan untuk prakiraan cuaca
sampai pada skala lokal (resolusi tinggi)
sebagai upaya dalam meningkatkan hasil
prakiraan yang lebih tepat dalam memenuhi
kebutuhan
informasi
cuaca
kepada
masyarakat.

90

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Volume. 10 Nomor 2 Tahun 2009 : 88 – 97

ISSN: 1411-3082

2. BAHAN DAN METODE
Data input yang digunakan sebagai
syarat awal untuk CCAM adalah data nilai
awal luaran model global GFS (Global
Forecast System) dengan resolusi 1x1°
tanggal 1-29 Februari 2008 pada pukul 00
UTC (Universal Time Coordinate) atau pukul
07.00 WIB yang diperoleh dari FTP server
NCEP.(ftp://tgftp.nws.noaa.gov/SL.us008001/
ST.opnl/). GFS adalah model spektral untuk
prediksi cuaca global yang merupakan model
operasional NCEP (National Center for
Environmental Prediction)-NOAA. Data
luaran model GFS tersedia dalam format
WMO - GRIB2 (World Meteorological
Organisation - Gridded Binary 2). Model ini
dijalankan 4 kali dalam sehari, yaitu untuk
inisial 00, 06, 12, dan 18 UTC, untuk
memprediksi keadaan cuaca seluruh dunia
sampai sekitar 1 minggu ke depan dengan
interval luaran tiap 3 jam. Data citra satelit
MT-SAT IR visible pada tanggal 10 Februari
2008 yang dijadikan sebagai data pembanding
hasil luaran CCAM diperoleh dari BMKG
(http://bmg.go.id/citrasatelit.bmg).
Data
sinoptik (observasi) parameter cuaca (curah
hujan, tekanan permukaan laut, suhu
permukaan, kecepatan dan arah angin)
diperoleh dari Pusat Sistem Data dan
Informasi Meteorologi BMKG mulai tanggal
1–29 Februari 2008. Adapun lokasi stasiun
yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 2.

grid. CCAM dijalankan menggunakan 29 data
nilai awal GFS yang valid pada bulan
Februari 2008 yang dibatasi pada data yang
dikeluarkan pada pukul 00 UTC (07.00 WIB).
Proses menjalankan model CCAM dilakukan
di Puslitbang BMKG dengan menggunakan
PC Cluster 6 prosesor dengan sistem operasi
CentOS Rocks Cluster 4.2.1 (Cydonia)
menggunakan MPICH2 dengan mode
distributed memory, spesifikasi tiap prosesor
adalah Intel Pentium 4 3.0 GHz dengan total
memori : 3.94 GB. Pada proses pengolahan
setiap data nilai awal diterapkan teknik multi
nesting untuk downscaling dengan resolusi 27
– 9 – 3 km untuk mendapatkan hasil dengan
resolusi lebih tinggi.
Validasi dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif. Validasi kualitatif dilakukan
dengan membandingkan pola tutupan awan
hasil keluaran model CCAM terhadap data
satelit MT-SAT IR visible. Sedangkan
validasi kuantitatif dilakukan secara statistik
dengan menghitung nilai korelasi dan RMSE
(Root Mean Squared Error) dari tiap
parameter terhadap hasil luaran CCAM,
semua parameter dianggap berada pada level
permukaan atau pada tekanan 1000 mb (0-40
meter). Formula perhitungan nilai korelasi dan
RMSE (Kyun, 2002) sebagai berikut :

Corr 

No Nama Stasiun

Stasiun

Lintang Bujur Ketinggian
o

()

o

()

(m)

1

Tanjung Priok 967410

6.10

106.87

2

2

Jakarta
Observatory
(BMG 745)

967450

6.18

106.83

8

3

Soekarno
Hatta

– 967490

6.12

106.65

8

Dalam penelitian ini, konfigurasi CCAM
menggunakan conformal cubic format C48
grid yakni setiap panelnya memiliki 48x48
grid poin dan 18 level vertikal sigma jadi
jumlah titik grid adalah 48x48x6x18 = 248832

RMSE 

n

n 1

 F
N

n 1

Tabel 2. Lokasi stasiun pengamatan di wilayah
Jakarta (Sumber : BMKG, 2008)
Kode

 F
N

1
N

 F  On  O 

 F   On  O 
2

n

(1)

2

n 1

N

 F
n 1

N

n

 On 

2

(2)

dengan F = forecast (nilai prediksi) dan O =
observation (nilai pengamatan), metode
prakiraan dikatakan baik jika memiliki nilai
korelasi yang tinggi dan nilai RMSE yang
rendah.
Metode pengukuran dengan menghitung
Threat Score (TS) khusus dilakukan untuk
parameter curah hujan, yaitu untuk mengukur
ketepatan prediksi kejadian hujan atau tidak
hujan. Terjadi hujan jika nilai parameter curah
hujan tidak sama dengan 0 (nol), tanpa
membandingkan apakah hujan yang terjadi

91
PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI
JAKARTA
Roni Kurniawan dan Donaldi Sukma Permana

termasuk kategori intensitas rendah, sedang
maupun tinggi. Pada data sinoptik terdapat
nilai TTU (Tidak Terukur) yang berarti nilai
parameter curah hujan yang sangat rendah,
nilai TTU pada data sinoptik dimasukkan
dalam perhitungan sebagai nilai intensitas
hujan dan dianggap terjadi hujan. Perhitungan
nilai TS digunakan metode Saito, et al. 2001
sebagai berikut:
Threat Score 

N hit
N hit  N pass  N false

(3)

Gambar 4. Domain pada resolusi 27 km (Domain
1), 9 km (Domain 2), dan 3 km
(Domain 3)

Nhit = jumlah hit, Npass = jumlah pass, dan
Nfalse = jumlah false alarm. Hit adalah kondisi
apabila kejadian terprediksi dan teramati
dalam waktu analisis. Pass adalah kondisi
apabila kejadian tidak terprediksi, namun
teramati dalam waktu analisis. Sedangkan
false alarm adalah kondisi apabila kejadian
terprediksi, namun tidak teramati dalam waktu
analisis.

Gambar
5
menunjukkan
hasil
downscaling dari CCAM prediksi 24 jam ke
depan dengan menggunakan data inisial
kondisi tanggal 10 Februari 2008 pukul 00
UTC untuk parameter curah hujan yang di
overlay dengan kontur tekanan permukaan
laut pada resolusi 27 – 9 – 3 km. Gambar 5a
adalah hasil luaran domain pada resolusi 27
km yang meliputi wilayah Indonesia, untuk
domain dengan resolusi 9 km areanya
meliputi Pulau Jawa (Gambar 5b) sedangkan
domain dengan resolusi 3 km meliputi
wilayah Jakarta (Gambar 5c). Data spasial
pada resolusi 3 km menunjukkan nilai
intensitas curah hujan dan tekanan permukaan
laut yang lebih detail untuk wilayah Jakarta,
dimana warna merah mempunyai intensitas
curah hujan yang tinggi, sedangkan kontur
menunjukkan nilai tekanan permukaan laut
(Gambar 5c).

Untuk menampilkan hasil luaran model
CCAM dalam bentuk gambar dan data time
series digunakan software GrADS (Grid
Analysis and Display System), hasil luaran ini
diperlukan untuk melakukan analisis terhadap
pola spasial dan validasi parameter cuaca
terhadap data observasi di 3 stasiun Jakarta.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Domain atau wilayah hasil downscaling
model CCAM dengan urutan domain terdiri
dari resolusi 27 - 9 - 3 km ditunjukkan pada
Gambar 4. Waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan prediksi cuaca sampai 48 jam ke
depan pada tiap data nilai awal sampai
diperoleh hasil resolusi 3 km membutuhkan
waktu 90 menit, dengan perincian resolusi 27
km memerlukan waktu pengolahan selama 8
menit, 9 km memerlukan 28 menit dan 3 km
memerlukan 54 menit.

(a)

92

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Volume. 10 Nomor 2 Tahun 2009 : 88 – 97

ISSN: 1411-3082

mempunyai pola yang sama pada hasil
prediksi 24 jam berikutnya.

(b)
Gambar 6. Grafik Suhu permukaan hasil prediksi
48 jam. Prediksi menggunakan data
inisial kondisi tanggal 10 Februari
2008 pukul 00 UTC

Gambar 5.

(c)
Data spasial curah hujan hasil dan
kontur tekanan permukaan laut
prediksi 24 jam untuk domain yang
bervariasi yaitu domain 27 km (a),
domain 9 km (b), dan domain 3 km
(c). Prediksi menggunakan data
inisial kondisi tanggal 10 Februari
2008 pukul 00 UTC.

Gambar 5 dan 6 adalah contoh hasil
luaran CCAM resolusi 9 km di stasiun BMG
745 yang berupa data time series hasil
prediksi 48 jam ke depan dengan data inisial
kondisi tanggal 10 Februari 2008 pukul 00
UTC. Gambar 6 menunjukkan grafik hasil
plot nilai suhu permukaan prediksi sampai 48
jam ke depan, sedangkan Gambar 7
merupakan data tabel hasil prediksi 24 jam ke
depan untuk parameter yang bervariasi. Grafik
nilai suhu permukaan menunjukkan bahwa
hasil prediksi 24 jam ke depan di stasiun
BMG 745 pada siang hari meningkat dari
pukul 00 UTC (07.00 WIB) sampai pukul 07
UTC (14.00 WIB) kemudian nilai suhu terjadi
penurunan sampai malam hari dan

Gambar 7. Tabel data time series hasil prediksi
24 jam untuk parameter yang
bervariasi (b). Prediksi menggunakan
data inisial kondisi tanggal 10 Februari
2008 pukul 00 UTC

Hasil validasi secara kuantitatif pada
masing-masing
parameter
dengan
menggunakan statistik dapat dilihat pada
Gambar 8-12. Oleh karena hasil yang
diperoleh dari model CCAM berupa data
spasial dengan resolusi 27, 9 dan 3 km, maka
pembahasan lebih ditekankan pada hasil
luaran model resolusi 3 km untuk memperoleh
selisih jarak minimum dengan lokasi titik
stasiun yang dibandingkan.
Gambar 8a menunjukkan hasil korelasi
pada 3 stasiun observasi untuk parameter
curah hujan. Stasiun Tanjung Priok
mempunyai nilai korelasi sebesar 0.3 untuk

93
PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI
JAKARTA
Roni Kurniawan dan Donaldi Sukma Permana

prediksi 6 jam dan kecenderungan menurun
sampai prediksi 48 jam, di stasiun BMG 745
mempunyai nilai korelasi 0.3 pada prediksi 6
jam pertama dan menurun sampai prediksi 48
jam sedangkan untuk stasiun Soekarno Hatta
nilai korelasi yang diperoleh secara
keseluruhan dibawah 0.2 sampai prediksi 48
jam kedepan. Hal ini menunjukkan bahwa
hasil
model
luaran
CCAM
tidak
merepresentasikan nilai intensitas curah
hujan, akan tetapi untuk peluang kejadian
hujan
pada
3
stasiun
pengamatan
menunjukkan nilai TS lebih dari 0.5 sampai
dengan prediksi 24 jam, dan kecenderungan
menurun sampai dengan prediksi 48 jam ke
depan (Gambar 8b). Kondisi ini menunjukkan
bahwa model CCAM dapat digunakan untuk
melakukan prediksi peluang kejadian hujan
sampai 24 jam ke depan.

Validasi parameter tekanan permukaan
laut pada 3 stasiun pengamatan diperoleh nilai
korelasi di atas 0.5 sampai pada prediksi 12
jam pertama (10.00-19.00 WIB), kemudian
terjadi penurunan sampai prediksi 18 jam
(19.00-01.00 WIB), dan nilai korelasi
meningkat kembali pada prediksi 24 jam, pola
ini berulang pada 24 jam berikutnya (Gambar
9). Hal ini dimungkinkan karena data kondisi
awal yang digunakan adalah data GFS pada
pukul 00 UTC (07.00 WIB) yang dijadikan
sebagai nilai awal untuk prediksi 48 jam,
sedangkan kondisi atmosfer pada pukul 07.00
WIB (siang hari) berbeda dengan kondisi pada
malam
hari,
sehingga
menyebabkan
simpangan yang besar terhadap nilai korelasi
pada hasil prediksi malam hari. Untuk itu
perlu digunakan data inisial kondisi pada
pukul 12 UTC (19.00 WIB) untuk prakiraan
malam hari.

0.4

0.8

0.3

0.7

K orelas i T ekanan P erm ukaan L aut

K orelas i C urah Hujan

0.5

0.2
0.1
0
-0.1
-0.2
-0.3
6

12

18

24

30

36

42

48

0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0

P a nja ng P rediksi (J a m)

-0.1
Tren S t. Tj. P riok

Tren S t. B MG 745

Tren S t. S oekarno Hatta

6

12

18

24

30

36

42

48

P a nja ng P rediksi (J a m)

Gambar 8(a). Hasil validasi kuantitatif

Tren S t.Tj.P riok

0.7
Nilai Akuras i K ejadian Hujan

Tren S t. S oekarno Hatta

Gambar 9. Hasil validasi kuantitatif parameter
tekanan permukaan laut resolusi 3
km. Prediksi menggunakan data
inisial kondisi tanggal 1-29 Februari
2008 pukul 00 UTC.

0.75

0.65
0.6
0.55
0.5
0.45
0.4
0.35
0.3
6

12

18

24

30

36

42

48

P a nja ng P re diksi (J a m )
Tren S t. Tj. P riok

Tren S t. B MG 745

Tren S t. S oekarno H atta

Gambar 8(b) Hasil validasi kuantitatif untuk
parameter curah hujan resolusi 3
km. Prediksi menggunakan data
inisial kondisi tanggal 1-29
Februari 2008 pukul 00 UTC.

94

Tren S t. B MG 745

Dari hasil validasi parameter suhu
permukaan pada 3 stasiun diperoleh nilai
korelasi lebih kecil dari 0.5 (Gambar 10), hal
ini mungkin disebabkan oleh fluktuasi suhu
yang tinggi pada interval waktu 3 jam,
sehingga hasil luaran model CCAM tidak
merepresentasikan kondisi sebenarnya pada 3
titik stasiun pengamatan.

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Volume. 10 Nomor 2 Tahun 2009 : 88 – 97

ISSN: 1411-3082

0.6
0.6

0.5
0.4
K orelas i Arah Ang in

K orelas i S uhu P erm ukaan

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0

0.3
0.2
0.1
0

-0.1

-0.1

-0.2

-0.2

-0.3

-0.3

-0.4

-0.4
6

12

18

24

30

36

42

48

6

12

P anjang P rediksi (J am)
Tren S t. Tj. P riok

Tren S t. B MG 745

24

30

36

42

48

P a nja ng P rediksi (J a m)
Tren S oekarno Hatta

Gambar 10. Hasil validasi kuantitatif untuk
parameter suhu permukaan resolusi
3 km. Prediksi menggunakan data
inisial kondisi tanggal 1-29
Februari 2008 pukul 00 UTC.

Nilai Korelasi parameter kecepatan dan
arah angin secara keseluruhan lebih kecil 0.5
dan masih sulit dilihat polanya karena
hasilnya bervariasi (Gambar 11 dan 12). Hal
ini mungkin disebabkan adanya perbedaan
ketinggian pada hasil luaran CCAM terhadap
ketinggian pengamatan data sinoptik, dimana
level tinggi permukaan hasil luaran CCAM
berlaku pada 0–40 m, sedangkan pada stasiun
pengamatan Tanjung Priok berada pada
ketinggian 2 m dan untuk stasiun BMG 745
dan Soekarno Hatta berada pada ketinggian
8m.
0.7
0.6
K orelas i K ec epatan A ng in

18

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1

Tren S t. Tj P riok

Tren S t. B MG 745

Tren S t. S oekarno Hatta

Gambar 12. Hasil validasi kuantitatif parameter
arah angin resolusi 3 km. Prediksi
menggunakan data inisial kondisi
tanggal 1-29 Februari 2008 pukul
00 UTC.

Gambar 13 dan 14 adalah validasi
kualitatif
yang
dilakukan
dengan
membandingkan pola tutupan awan hasil
luaran model CCAM tanggal 10 Februari
2009 pada pukul 15 UTC (Gambar 13)
dengan data pengamatan citra satelit MT-SAT
tangal 10 Februari 2009 pada pukul 15 UTC
(Gambar 14). Pada Gambar 13 atas dan bawah
adalah hasil prediksi untuk pola tutupan awan
pada domain resolusi 27, 9 dan 3 km, secara
umum pola tutupan awan hasil luaran CCAM
yang ditunjukkan warna gelap untuk prediksi
15 jam pada resolusi 27 dan 9 km mempunyai
pola yang sama dengan data citra satelit MTSAT visible (Gambar 14), sedangkan pada
domain resolusi 3 km yang ditandai kotak
(persegi empat) mempunyai pola tutupan
awan yang sama terhadap data citra satelit
MT-SAT visible (Gambar 14). Kondisi ini
menunjukkan bahwa CCAM secara kualitatif
berpotensi untuk digunakan sebagai model
prakiraan cuaca.

0
-0.1
6

12

18

24

30

36

42

48

P anjang P rediksi (J am)
Tren S t. Tj. P riok

Tren S t. B MG 745

Tren S t. S oekarno Hatta

Gambar 11. Hasil validasi kuantitatif parameter
kecepatan angin resolusi 3 km.
Prediksi menggunakan data inisial
kondisi tanggal 1-29 Februari 2008
pukul 00 UTC.

95
PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI
JAKARTA
Roni Kurniawan dan Donaldi Sukma Permana

3 km

9 km

27 km

Gambar 13. Pola tutupan awan hasil prediksi
CCAM Resolusi 27 - 9 - 3 km
pada pukul 15 UTC. Prediksi
menggunakan data inisial kondisi
tanggal 10 Februari 2008 pukul 00
UTC.

96

Gambar 14. Pola tutupan awan citra satelit
MTSAT visible sesuai batas
posisi luaran CCAM Resolusi 27
- 9 - 3 km pada pukul 15 UTC.
Prediksi menggunakan
data
inisial kondisi tanggal 10
Februari 2008 pukul 00 UTC.

JURNAL METEOROLOGI DAN GEOFISIKA Volume. 10 Nomor 2 Tahun 2009 : 88 – 97

ISSN: 1411-3082

4. KESIMPULAN
Validasi CCAM dengan data observasi
diperoleh hasil yang baik pada akurasi
kejadian hujan dan parameter tekanan
permukaan laut, untuk parameter suhu
permukaan, curah hujan, kecepatan dan arah
angin diperoleh nilai korelasi rendah. Model
CCAM dapat digunakan untuk aplikasi
prakiraan cuaca di wilayah Jakarta khususnya
pada prediksi kejadian hujan sampai pada
skala lokal. CCAM juga dapat dijadikan
sebagai referensi baru sebagai upaya dalam
meningkatkan hasil prakiraan yang tepat dan
cepat. Namun demikian untuk mencapai hasil
yang lebih akurat, masih perlu dilakukan
penyempurnaan model dan validasi secara
spasial terhadap data luaran model lain pada
resolusi tinggi dengan menggunakan metode
spatial correlation.

7. Saito, K., T. Kato, H. Eito & C. Muroi.
2001.
Documentation
of
The
Meteorological
Research
Institute/Numerical Prediction Division
Unified Nonhydrostatic Model. Technical
Reports of The Meteorological Research
Institute no. 42. Meteorological Research
Institute. Jepang.

8. Thatcher, M. 2007. Training Module
“CCAM General Introduction for New
Users”, Training Weather and Climate
Modelling based on CCAM, Jakarta
15-25 Januari 2008

5. DAFTAR PUSTAKA
1. BMKG. 2008. Database Synop. Pusat
Data dan Informasi Meteorologi. BMKG.
Jakarta.
2. BMKG. http://bmg.go.id/citrasatelit.bmg.
diakses tanggal 20 Februari 2009.
3. Kyun, R.D. 2002. Training course on
weather forecasting for operational
meteorologist:
post
processing.
Meteorological Training Division. Korea
Meteorological Administration. 217-272.
Dalam Laporan Akhir Kajian Pemodelan
Multiskala 2008. Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
4. McGregor, J.L. 2005. C-CAM: Geometric
Aspects and Dynamical Formulation.
CSIRO Atmospheric Research Technical
Paper No. 70. Australia
5. NCEP.
ftp://tgftp.nws.noaa.gov/SL.us008001/
ST.opnl/. diakses tanggal 20 Februari
2009.
6. Permana, D.S. 2009. Perbandingan
Luaran Model Global Atmosfer CCAM
dan GFS di Wilayah Indonesia dan
Sekitarnya (Kasus: Musim SON 2008).
Jakarta. (in press).

93
PEMANFAATAN DAN VALIDASI CONFORMAL-CUBIC ATMOSPHERIC MODEL (CCAM) UNTUK PRAKIRAAN CUACA DI
JAKARTA
Roni Kurniawan dan Donaldi Sukma Permana