Inilah Awal Kontroversi Indonesia dan Malaysia.docx
Inilah Awal Kontroversi Indonesia dan Malaysia
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau
yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi
saja adalah sebuah perang mengenai
masa depan pulau Kalimantan, antara
Malaysia dan Indonesia pada tahun
1962-1966.
Awal Kontroversi antara Indonesia dan Malaysia
Perang ini terjadi pada tahun 1962 sampai 1966
Pihak yang terlibat adalah:
1.Indonesia
2.Inggris (SAS ikut dan mereka ngelawan
Kopassus)
3.Australia
4.Selandia Baru
5.Malaysia (mereka gak berani nyerang Indonesia
sendirian)
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan
Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang
oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania.
LATAR BELAKANG
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi
di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua
koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah.
Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba
menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk
membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat
bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan
menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan
Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki
hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember
1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang
Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan
Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far
Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi,
dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan
berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila
mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi
oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia
melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk
turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian
yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu
gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda
Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
PERANG
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan
Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah
untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3
Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno
mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
* Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
* Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk
menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada
16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh
gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan
diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung
dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para
kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut
kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen
Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan
Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan
tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di
bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang
terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando
Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai
Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu
(Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk
tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya
Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I.
Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan
terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini
dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando
Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi
dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia
ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata
Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut
DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk
mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit
saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos
perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama
mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan
Indonesia ke Malaysia.
Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan
Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat
sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus
Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan.
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan
mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung
didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di
perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan
Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan
Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia
dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan
Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of
the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22
November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika,
Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah
menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen
Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas
ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi,
pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan
Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk
secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28
Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau,
Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North
Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak
pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus
dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak
penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan
"Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
AKHIR DARI KONFRONTASI
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah
berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk
meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah
Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan
perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari
kemudian.
Read more: http://www.forumkami.net/sejarah/31008-awal-kontroversi-indonesiamalaysia.html#ixzz1lD4lHYw3
Konfrontasi Indonesia-Malaysia atau
yang lebih dikenal sebagai Konfrontasi
saja adalah sebuah perang mengenai
masa depan pulau Kalimantan, antara
Malaysia dan Indonesia pada tahun
1962-1966.
Awal Kontroversi antara Indonesia dan Malaysia
Perang ini terjadi pada tahun 1962 sampai 1966
Pihak yang terlibat adalah:
1.Indonesia
2.Inggris (SAS ikut dan mereka ngelawan
Kopassus)
3.Australia
4.Selandia Baru
5.Malaysia (mereka gak berani nyerang Indonesia
sendirian)
Perang ini berawal dari keinginan Malaysia untuk menggabungkan Brunei, Sabah dan
Sarawak dengan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1961. Keinginan itu ditentang
oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai "boneka" Britania.
LATAR BELAKANG
Pada 1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah provinsi
di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua
koloni Inggris; Sarawak dan Britania Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah.
Sebagai bagian dari penarikannya dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba
menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk
membentuk Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat
bahwa Malaysia hanya sebuah boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan
menambah kontrol Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan
Indonesia. Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu memiliki
hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) memberontak pada 8 Desember
1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan sandera orang
Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia menerima pasukan Inggris dan
Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember, Komando Timur Jauh Inggris (British Far
Eastern Command) mengklaim bahwa seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi,
dan pada 17 April 1963, pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan
berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju untuk menerima pembentukan Malaysia apabila
mayoritas di daerah yang ribut memilihnya dalam sebuah referendum yang diorganisasi
oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil dari pemilihan dilaporkan. Malaysia
melihat pembentukan federasi ini sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk
turut campur orang luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai perjanjian
yang dilanggar dan sebagai bukti imperialisme Inggris.
“ Sejak demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu
gedung KBRI, merobek-robek foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda
Pancasila ke hadapan Tunku Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan
memaksanya untuk menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun
meledak. ”
Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan
gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia.
PERANG
Pada 20 Januari 1963, Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio mengumumkan bahwa
Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap Malaysia. Pada 12 April, sukarelawan
Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki Sarawak dan Sabah
untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan dan sabotase. Tanggal 3
Mei 1963 di sebuah rapat raksasa yang digelar di Jakarta, Presiden Sukarno
mengumumkan perintah Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang isinya:
* Pertinggi ketahanan revolusi Indonesia
* Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak dan Sabah, untuk
menghancurkan Malaysia
Pada 27 Juli, Sukarno mengumumkan bahwa dia akan meng-"ganyang Malaysia". Pada
16 Agustus, pasukan dari Rejimen Askar Melayu DiRaja berhadapan dengan lima puluh
gerilyawan Indonesia.
Meskipun Filipina tidak turut serta dalam perang, mereka memutuskan hubungan
diplomatik dengan Malaysia.
Federasi Malaysia resmi dibentuk pada 16 September 1963. Brunei menolak bergabung
dan Singapura keluar di kemudian hari.
Ketegangan berkembang di kedua belah pihak Selat Malaka. Dua hari kemudian para
kerusuhan membakar kedutaan Britania di Jakarta. Beberapa ratus perusuh merebut
kedutaan Singapura di Jakarta dan juga rumah diplomat Singapura. Di Malaysia, agen
Indonesia ditangkap dan massa menyerang kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur.
Di sepanjang perbatasan di Kalimantan, terjadi peperangan perbatasan; pasukan
Indonesia dan pasukan tak resminya mencoba menduduki Sarawak dan Sabah, dengan
tanpa hasil.
Pada 1964 pasukan Indonesia mulai menyerang wilayah di Semenanjung Malaya. Di
bulan Mei dibentuk Komando Siaga yang bertugas untuk mengkoordinir kegiatan perang
terhadap Malaysia (Operasi Dwikora). Komando ini kemudian berubah menjadi Komando
Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksdya Udara Omar Dani sebagai
Pangkolaga. Kolaga sendiri terdiri dari tiga Komando, yaitu Komando Tempur Satu
(Kopurtu) berkedudukan di Sumatera yang terdiri dari 12 Batalyon TNI-AD, termasuk
tiga Batalyon Para dan satu batalyon KKO. Komando ini sasaran operasinya
Semenanjung Malaya dan dipimpin oleh Brigjen Kemal Idris sebaga Pangkopur-I.
Komando Tempur Dua (Kopurda) berkedudukan di Bengkayang, Kalimantan Barat dan
terdiri dari 13 Batalyon yang berasal dari unsur KKO, AURI, dan RPKAD. Komando ini
dipimpin Brigjen Soepardjo sebagai Pangkopur-II. Komando ketiga adalah Komando
Armada Siaga yang terdiri dari unsur TNI-AL dan juga KKO. Komando ini dilengkapi
dengan Brigade Pendarat dan beroperasi di perbatasan Riau dan Kalimantan Timur.
Di bulan Agustus, enam belas agen bersenjata Indonesia
ditangkap di Johor. Aktivitas Angkatan Bersenjata
Indonesia di perbatasan juga meningkat. Tentera Laut
DiRaja Malaysia mengerahkan pasukannya untuk
mempertahankan Malaysia. Tentera Malaysia hanya sedikit
saja yang diturunkan dan harus bergantung pada pos
perbatasan dan pengawasan unit komando. Misi utama
mereka adalah untuk mencegah masuknya pasukan
Indonesia ke Malaysia.
Sebagian besar pihak yang terlibat konflik senjata dengan Indonesia adalah Inggris dan
Australia, terutama pasukan khusus mereka yaitu Special Air Service(SAS). Tercatat
sekitar 2000 pasukan khusus Indonesia (Kopassus) tewas dan 200 pasukan khusus
Inggris/Australia (SAS) juga tewas setelah bertempur di belantara kalimantan.
Pada 17 Agustus pasukan terjun payung mendarat di pantai barat daya Johor dan
mencoba membentuk pasukan gerilya. Pada 2 September 1964 pasukan terjun payung
didaratkan di Labis, Johor. Pada 29 Oktober, 52 tentara mendarat di Pontian di
perbatasan Johor-Malaka dan ditangkap oleh pasukan Resimen Askar Melayu DiRaja dan
Selandia Baru dan bakinya ditangkap oleh Pasukan Gerak Umum Kepolisian Kerajaan
Malaysia di Batu 20, Muar, Johor.
Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Sukarno menarik Indonesia
dari PBB pada tanggal 20 Januari 1965 dan mencoba membentuk Konferensi Kekuatan
Baru (Conference of New Emerging Forces, Conefo) sebagai alternatif.
Sebagai tandingan Olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of
the New Emerging Forces) yang diselenggarakan di Senayan, Jakarta pada 10-22
November 1963. Pesta olahraga ini diikuti oleh 2.250 atlet dari 48 negara di Asia, Afrika,
Eropa dan Amerika Selatan, serta diliput sekitar 500 wartawan asing.
Pada Januari 1965, Australia setuju untuk mengirimkan pasukan ke Kalimantan setelah
menerima banyak permintaan dari Malaysia. Pasukan Australia menurunkan 3 Resimen
Kerajaan Australia dan Resimen Australian Special Air Service. Ada sekitar empat belas
ribu pasukan Inggris dan Persemakmuran di Australia pada saat itu. Secara resmi,
pasukan Inggris dan Australia tidak dapat mengikuti penyerang melalu perbatasan
Indonesia. Tetapi, unit seperti Special Air Service, baik Inggris maupun Australia, masuk
secara rahasia (lihat Operasi Claret). Australia mengakui penerobosan ini pada 1996.
Pada pertengahan 1965, Indonesia mulai menggunakan pasukan resminya. Pada 28
Juni, mereka menyeberangi perbatasan masuk ke timur Pulau Sebatik dekat Tawau,
Sabah dan berhadapan dengan Resimen Askar Melayu Di Raja dan Kepolisian North
Borneo Armed Constabulary.
Pada 1 Juli 1965, militer Indonesia yang berkekuatan kurang lebih 5000 orang melabrak
pangkalan Angkatan Laut Malaysia di Sampurna. Serangan dan pengepungan terus
dilakukan hingga 8 September namun gagal. Pasukan Indonesia mundur dan tidak
penah menginjakkan kaki lagi di bumi Malaysia. Peristiwa ini dikenal dengan
"Pengepungan 68 Hari" oleh warga Malaysia.
AKHIR DARI KONFRONTASI
Menjelang akhir 1965, Jendral Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia setelah
berlangsungnya G30S/PKI. Oleh karena konflik domestik ini, keinginan Indonesia untuk
meneruskan perang dengan Malaysia menjadi berkurang dan peperangan pun mereda.
Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Kerajaan Malaysia dan pemerintah
Indonesia mengumumkan penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan
perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari
kemudian.
Read more: http://www.forumkami.net/sejarah/31008-awal-kontroversi-indonesiamalaysia.html#ixzz1lD4lHYw3