BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja / Buruh Dari Perspektif Uu No. 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja / Serikat Buruh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagaimana hakekatnya, sebagai perorangan atau individu,

  cenderung memiliki keinginan untuk berkumpul dengan individu lainnya, atau dapat dikatakan terdapat kecenderungan untuk membentuk suatu kelompok.

  Aristoteles menamakan manusia sebagai zoon politicon (makhluk sosial). Sebagaimana makhluk sosial, manusia selalu membutuhkan kehadiran sesamanya. Tidak ada manusia yang dapat hidup sendiri karena berkumpul dengan sesamanya

   merupakan suatu kebutuhan.

  Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan

  

  lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang , telah menjadi landasan hukum bahwa setiap warga negara Indonesia bebas untuk berserikat dan berkumpul. Berserikat dan berkumpul merupakan hak dasar warga negara Indonesia sehingga negara, pemerintah, atau siapapun tidak dapat menghilangkan hak dasar ataupun menghalang-halangi orang yang ingin berserikat dan berkumpul.

  Tenaga kerja sebagai makhluk sosial pasti memiliki keinginan untuk berkumpul atau berkelompok atau berserikat dengan tenaga kerja yang lain.

  Tenaga kerja merupakan salah satu dari empat faktor produksi dalam perusahaan 4 Asri Wijayanti, Sinkronisasi Hukum Perburuhan terhadap Konvensi ILO-Analisis

  

Kebebasan Berserikat dan Penghapusan Kerja Paksa di Indonesia , Bandung: Karya Putra yang merupakan tempat terjadinya produksi. Sebagai salah satu faktor produksi, tenaga kerja atau yang lebih dikenal dengan pekerja atau buruh, memiliki hak-hak yang sudah selayaknya mereka terima dari perusahaan tempat mereka bekerja, salah satunya adalah dengan berkumpul dengan sesama pekerja/buruh atau membentuk suatu kelompok dengan pekerja/buruh.

  Kelompok tenaga kerja dibentuk karena adanya persamaan status, persamaan tempat bekerja, ataupun persamaan tujuan di antara mereka sehingga membentuk kelompok tenaga kerja akan lebih memudahkan mereka untuk berinteraksi dan menjadi wadah untuk bertukar informasi sesama tenaga kerja.

  Pekerja/buruh sebagai Warga Negara Indonesia mempunyai persamaan kedudukan dalam hukum, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak, mengeluarkan pendapat, berkumpul dalam suatu organisasi, serta

  

  mendirikan dan menjadi anggota serikat buruh. Pekerja/buruh wajib diberikan perhatian dan perlindungan hukum dalam kegiatannya, hal ini disebabkan masih lemahnya kedudukan pekerja/buruh serta untuk menghindari tidak diberikannya hak-hak pekerja/buruh oleh para pengusaha dan menghindari perlakuan semena- mena kepada para pekerja.

  Pada faktanya, masih banyak pekerja/buruh yang di abaikan hak-haknya oleh perusahaan. Seperti kasus yang terjadi pada PT. Tolutug Marindo Pratama, tidak menerapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) kepada karyawannya. PT. Tolutug Marindo Pratama hanya membayar upah karyawannya Rp 1.000.000,- per bulan, jauh dibawah UMP Provinsi Sulawesi Utara tahun 2013 sebesar Rp 6

  

  1.550.000,- . Terdapat pula kasus penahanan ijazah yang dialami oleh mantan karyawati PT. Phoster Mukakuning, Marlena (24 tahun), yang melaporkan ijazah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) miliknya yang hilang ketika ditahan oleh

  

  penyalurnya, PT. Cipta Perdana Perkasa. Dari kasus-kasus tersebut, dapat dilihat bahwa pekerja/buruh tidak memiliki kuasa atau kekuatan untuk melawan pengusaha atau aturan perusahaan yang merugikan pekerja/buruh, maka negara memiliki kewajiban untukmemperhatikan dan melindungi para pekerja/buruh dari ketidakadilan dan kesewenangan para pengusaha. Padahal pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

9 Indonesia pada umumnya.

  Pada dasarnya pekerja/buruh mempunyai kekuatan untuk menghilangkan permasalahan seperti rendahnya pengupahan, buruknya kondisi pelayanan kesehatan, keselamatan kerja dan sebagainya. Tetapi secara individual pekerja tidak mampu untuk berjuang atas hak-haknya melawan pengusaha dalam perusahaan tempatnya bekerja akibat pengaruh kekuasan yang lebih besar yang dimiliki oleh pengusaha.Maka dari itu yang dibutuhkan oleh pekerja/buruh adalah membentuk organisasi pekerja.

  Kehadiran organisasi pekerja dimaksudkan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan pekerja, sehingga tidak diperlakukan sewenang-wenang

  (diakses pada Sabtu, 10 Januari 2015)

  

  olehpihak pengusaha. Terkait pada Pasal 28 dan Pasal 28E UUD 1945 mengenai kemerdekaan dan kebebasan berkumpul dan berserikat serta melihat lemahnya kedudukan pekerja/buruh di dunia kerja, makapada akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berfungsi melindungi hak asasi pekerja/buruh dalam hal membentuk organisasi pekerja yang lebih sering disebut dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 131).

  UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh secara spesifik mengatur mengenai kebebasan berserikat buruh/pekerja, Pasal 5 dikatakan bahwa:“Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh”. Hak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak asasi pekerja/buruh yang sebelumnya telah dijamin dalam Pasal

   28 UUD 1945.

  Serikat pekerja/serikat buruh merupakan hak yang melekat bagi pekerja/buruh, mereka dapat membentuk atau masuk dalam serikat pekerja yang ada di perusahaan tempat bekerja tanpa intervensi atau pengaruh dari pihak manapun, seperti yang tertulis dalam UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa

  

  ada tekanan atau campur tangan pihak manapun. Hal tersebut juga disebutkan

  10 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014, hal. 49. 11 12 Zaeni Asyhadie, Op.cit, hal. 20. dalam Pasal 2 Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948: “Para pekerja dan pengusaha, tanpa perbedaan apapun, berhak untuk mendirikan dan menurut aturan organisasi masing-masing, bergabung dengan organisasi-organisasi lain atas pilihan mereka

  

  sendiri tanpa pengaruh pihak lain”. Hak berserikat itu ada, untuk menjamin jalannya dan berfungsinya organisasi buruh dalam membela anggotanya, berguna

   untuk pemenuhan hak pekerja/buruh.

  TURC (Trade Union Right Center, Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Serikat Buruh) pernah menangani beberapa kasus yang ditengarai sarat dengan kepentingan untuk menyingkirkan kebebasan berserikat. Hampir sebagian besar kasus yang ditangani TURC memiliki pola yang sama, yakni PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) ataupun mutasi terhadap pengurus serikat pekerja/serikat buruh.

  Seperti kasus PHK PT. Bridgestone Tyre Indonesia terhadap Machmud Permana, dkk. Machmud dan ketiga rekannya adalah pengurus serikat pekerja di perusahaan itu. Mereka dipecat setelah mempertanyakan kenaikan upah pada tahun 2002 seperti yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama. Terdapat pula perkara Bambang, wartawan harian Kompas yang dipecat karena dianggap melakukan tindakan indisipliner lantaran tidak bersedia dimutasi ke Ambon. Bambang adalah Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas yang sempat mempertanyakan

  

dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun”. 13 Konvensi ILO (International Labour Organitation) No.87 Tahun 1948 Tentang

Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Konvensi ini diratifikasi pada tanggal 9 Juni 1998. 14 Asri Wijayanti, Op.cit, hal. 104. Dalam hal ini yang dimaksud dengan “membela

anggotanya” adalah serikat pekerja/serikat buruh memiliki kekuatan sebagai suatu organisasi

dalam memperjuangkan hak-hak pekerja/buruh dengan cara ikut melakukan perundingan untuk

membuat kesepakatan yang bebas dalam hubungan kerja. Perundingan yang dimaksud adalah kepemilikan saham kolektif karyawan sebesar 20 persen, serta kasus PHK terhadap Mirisnu Viddiana, ia adalah Ketua Serikat Pegawai Bank Mandiri. Ia dipecat karena dianggap bertanggung jawab atas aksi unjuk rasa ribuan pegawai

   bank pelat merah di hari libur.

  Berdasarkan kasus tersebut maka kehadiran serikat pekerja/serikat buruh merupakan hal yang penting sebagai wadah untuk mewakili dan menyalurkan aspirasi pekerja serta dalam memperjuangkan hak-haknya, serta untuk mencapai persamaan di hadapan hukum dengan pengusaha dalam melakukan perundingan.

  Namun faktanya, tidak semua perusahaan di Indonesia menghendaki terbentuknya serikat pekerja/ buruh di perusahaannya, selain dikondisikan untuk tidak mengorganisir basis massanya, dengan berbagai dalih pengusaha bisa menjatuhkan sanksi, bahkan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), untuk menghilangkan aktivis serikat pekerja/buruh.

  Pengusaha yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menghalangi terbentuknya serikat pekerja/serikat buruh seperti yang tercantum pada Pasal 28 Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yaitu: “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara: melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh”, akan dikenakan sanksi pidana berupa pidana penjara dan/atau pidana denda. Masalah penerapan ketentuan pidana inilah yang akan menjadi fokus pembahasan dalam penulisan skripsi ini, dimana akan dianalisis 2 kasus pelanggaran kebebasan berserikat pekerja/buruh yang dilakukan oleh pengusaha, yang pada akhirnya Majelis Hakim menjatuhkan vonis berupa pidana penjara dan pidana denda kepada pengusaha tersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas masalah kebebasan berserikat pekerja/buruh sehingga tulisan ini diberi judul “PENERAPAN KETENTUAN PIDANA

  

MENGENAI KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA / BURUH DARI

PERSPEKTIF UU NO.21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA /

SERIKAT BURUH (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 2014 K/Pid.Sus/2012

dan Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pid.Sus/2009)”.

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia?

  2. Bagaimanakah penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 K/Pid.Sus/2009)?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian dirumuskan secara deklaratif dan merupakan

   pernyataan-pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dari suatu penelitian.

  Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1.

  Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang ketenagakerjaan di Indonesia.

  2. Untuk mengetahui penerapan ketentuan pidana mengenai tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

  D. Manfaat Penulisan

  Adapun manfaat penulisan yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoritis Diharapkan skripsi ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan terkhusus ilmu hukum pidana, serta dapat menjadi bahan bacaaan yang memberikan gambaran mengenai penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh menurut UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

  2. Manfaat Praktis Diharapkan skripsi ini dapat memberikan masukan kepada para penegak hukum dalam memberantas tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh serta memberikan informasi kepada para pengusaha, masyarakat (terkhusus untuk pekerja/buruh), dan mahasiswamengenai salah satu hak dasar pekerja/buruh yaitu bebas membentuk serikat pekerja/serikat buruh serta mengenai penerapan ketentuan pidana terhadap tindak pidana kebebasan berserikat pekerja/buruh.

  E. Keaslian Penulisan

  Karya ilmiah ini adalah asli karya penulis sendiri, setelah ditelusuri seluruh daftar skripsi di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan arsip yang ada di Departemen Hukum Pidana, tidak ada yang melakukan penelitian mengenai permasalahan yang sama. Dengan demikian, karya ilmiah berjudul “Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh Dari Perspektif UU No.21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Studi Putusan Mahkamah Agung No.2014 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung No.1038 K/Pid.Sus/2009” merupakan karya asli penulis dan bukan hasil ciptaan orang lain atau hasil meniru karya ilmiah orang lain. Karya ilmiah ini dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun ilmiah apabila dikemudian hari ditemukan adanya kesamaan judul dan permasalahan.

  F. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

  Istilah tindak pidana pada hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari

  

  terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Walaupun istilah ini terdapat dalam WvS Belanda, dengan demikian juga WvS Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan

  

strafbaarfeit itu. Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

  berarti “sebagian dari suatu kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkheid”, sedang “feit” berarti “dapat dihukum” hingga secara harafiah perkataan

  

“strafbaarfeit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan

   yang dapat dihukum”.

  Strafbaarfeit , terdiri dari tiga kata, yakni straf, baar, dan feit. Dari tujuh

  istilah yang digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit itu, ternyata straf diterjemahkan dengan pidana dan hukum. Perkataan baar diterjemahkan dengan dapat dan boleh. Sementara itu, untuk kata feit diterjemahkan dengan tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Secara literlijk, kata “straf” artinya

   pidana, “baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan.

  Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaarfeit oleh

   sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana.

  Sementara dalam berbagai perundang-undangan sendiri digunakan berbagai 17 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,

  Malang: UMM Press, 2009, hal. 101 18 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grarafindo Persada, 2002, hal.67 19 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997, hal.181 20 istilah untuk menunjukkan pada pengertian kata strafbaarfeit. Beberapa istilah yang digunakan dalam undang-undang tersebut antara lain:

  1. Peristiwa Pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950 khususnya dalam Pasal 14.

  2. Perbuatan Pidana, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Nomor1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

  3. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam Undang-Undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen .

  4. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang- Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

  5. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang-undang, misalnya Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, dan Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1953 tentang Kewajiban Kerja Bakti dalam rangka pemasyarakatan bagi terpidana karena melakukan tindak

  

pidana yang merupakan kejahatan.

  Mengenai definisi strafbaarfeit dapat dilihat beberapa pendapat para ahli, yakni: 22

  1. VOS, delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukum oleh undang- undang.

  2. Van Hamel, delik adalah suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak- hak orang lain.

  3. Simons, delik adalah suatu tindakan melanggar hukum telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah

   dinyatakan sebagai suatu perbuatan/tindakan yang dapat dihukum.

  Teguh Prasetyo, dalam bukunya berjudul Hukum Pidana, mengatakan bahwa biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tercantum sebagai berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak

  

  pidana.” Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana sebagai salinan kata strafbaarfeit mengatakan, bahwa untuk melihat apakah istilah perbuatan pidana dapat disamakan dengan istilah strafbaarfeit perlu diketahui apa arti

  

strafbaarfeit itu sendiri. Menurut Simons, strafbaarfeit dapat diartikan sebagai

  kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Sementaramenurut Van Hammel, strafbaarfeit adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang

   patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 23 24 Ibid , hal.37 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012,

  Menurut Moeljatno, perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana dikatakannya bahwa, “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar”. Dari sudut pandang Moeljatno, unsur pelaku dan hal-hal yang berkenaan dengannya seperti kesalahan dan mampu bertanggung jawab, tidak boleh dimasukkan ke dalam definisi perbuatan pidana; melainkan merupakan bagian dari unsur yang lain, yaitu unsur pertanggungjawaban pidana.

   Hal ini

  menurut Moeljatno, berbeda dengan istilah strafbaarfeit yang selain memuat atau mencakup pengertian perbuatan pidana sekaligus juga memuat pengertian kesalahan.

   1.

  Untuk istilah peristiwa pidana, perkataan peristiwa menggambarkan hal yang konkret (padahal strafbaarfeit sebenarnya abstrak) yang menunjukkan pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang, yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain. Moeljatno, di samping mengemukakan istilah yang tepat yakni perbuatan pidana juga menyatakan bahwa istilah peristiwa pidana dan istilah tindak pidana merupakan suatu istilah yang tidak tepat, dengan alasan sebagai berikut: 2.

  Sementara itu, pada istilah tindak pidana, perkataan “Tindak” tidak menunjukkan pada hal abstrak seperti perbuatan, tapi sama dengan perkataan peristiwa yang juga menyatakan keadaan konkret, seperti 26 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja kelakuan, gerak-gerik atau sikap jasmani, yang lebih dikenal dengan

   tindak-tanduk, tindakan, dan bertindak.

  Terkait penggunaan berbagai istilah tersebut pada hakikatnya tidak menjadi persoalan, sepanjang penggunaannya disesuaikan dengan konteksnya dan

   dipahami maknanya.

  Berdasarkan pendapat para sarjana tersebut maka secara doctrinal, dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan tentang perbuatan pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis.

1. Pandangan Monistis

  Pandangan monistis adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat

  

  dari perbuatan atau dapat disebut juga sebagai pandangan monisme, yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan

   unsur-unsur mengenai diri orangnya.

  Penganut monistis tidak secara tegas antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya pelaku. Paham monistis ini tidak membedakan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapatnya dipidana. Syarat dipidananya itu juga masuk dalam dan menjadi unsur tindak pidana. Aliran ini memandang bahwa strafbaarfeit tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa dalam 28 strafbaarfeit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh 29 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.72. 30 Tongat, Op.Cit., hal.102. karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana (pada orang) tidak dipisah

   sebagaimana paham dualisme.

2. Pandangan Dualistis

  Menurut pandangan dualistis dalam tindak pidana hanya dicakup

  criminal act (perbuatan yang dilarang), dan criminal responbility (pertanggungjawaban pidana/kesalahan) tidak menjadi unsur

  tindak pidana. Menurut pandangan ini, untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi tindak pidana, tetapi dipersyaratkan juga

   adanya kesalahan/pertanggungjawaban pidana.

  Kemampuan bertanggung jawab melekat pada orangnya, dan tidak pada perbuatannya, yang sebenarnya dari sudut pengertian abstrak yang artinya memandang tindak pidana itu tanpa menghubungkannya dengan (adanya) pembuatnya atau dapat dipidana pembuatnya. Dari pandangan demikian, kemampuan bertanggung jawab bukanlah menjadi unsur tindak pidana. Hal ini tampak secara jelas dengan dirumuskannya dua alasan

  

  tentang ketidakmampuan bertanggung jawab dalam Pasal 44 KUHP yang tidak boleh dijatuhi pidana. Dengan berpikir sebaliknya, berarti

  32 , hal.76. 33 Ibid 34 Tongat, Op.Cit., hal.106.

  Pasal 44 KUHP: (1) Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah

akal tidak boleh dihukum. (2) Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk memidana seseorang, pelaku tindak pidana disyaratkan bahwa orang itu harus mempunyai kemampuan pertanggungjawaban pidana.

   Terhadap kedua aliran tersebut maka akan timbul pertanyaan aliran mana

  yang benar dan mana yang salah. Soedarto berpendapat, sama benarnya dan tidak perlu dipertentangkan. Perbedaan itu ada karena didasarkan pada sudut pandang yang berbeda.

36 Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari

  tindak pidana itu sendiri, maka di dalam tindak pidana terdapat unsur-unsur tindak pidana. Simons menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit).

37 Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku

  atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan- keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

   1.

  Unsur Objektif Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Terdiri dari: a.

  Sifat melanggar hukum atau melawan hukum.

  b.

  Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau 35 Adami Chazawi, Op.Cit., hal 74. 36 Ibid , hal.76. 37

  “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 396 KUHP.

  c.

  Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

   dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

  Sedangkan unsur-unsur pokok dari unsur objektif terdiri dari: 1.

  Perbuatan manusia berupa: a.

  Act yakni perbuatan aktif yang juga ada pakar yang menyebut perbuatan positif.

  b.

  Omission yakni tidak aktif berbuat. Hal ini karena tidak aktif.

  Sebagian pakar menyebut dengan perbuatan negatif. Dengan perkataan lain ialah membiarkan, mendiamkan.

  2. Akibat (result) perbuatan manusia Hal ini erat hubungan dengan cousaliteit yang akan diuraikan kemudian. Akibat dimaksud adalah membahayakan atau merusak/menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya: nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, kehormatan, dan lain sebagainya.

  3. Keadaan (the circumstences) Pada umumnya keadaan-keadaan ini dibedakan antara: a.

  Keadaan pada saat perbuatan dilakukan b. Keadaan setelah perbuatan melawan hukum 4. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum ini berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan dari hukuman. Sifat melawan hukum adalah bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.

   2.

  Unsur Subjektif Unsur yang terdapat dari dalam diri si pelaku. Terdiri dari: a.

  Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

  b.

  Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

  c.

  Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain.

  d.

  Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

  e.

  Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

   Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu

  yang masuk dalam kelompok kejahatan, dan Buku III memuat pelanggaran. Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, dapat diketahui adanya 11 unsur tindak pidana, yaitu: a.

  Unsur tingkah laku; 40 Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), Jakarta: b.

  Unsur melawan hukum; c. Unsur kesalahan; d. Unsur akibat konstitutif; e. Unsur keadaan yang menyertai; f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dianut pidana; g.

  Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana; i. Unsur objek hukum tindak pidana; j. Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana; k.

  Unsur syarat tambahan untuk memperingan pidana. Dari 11 unsur itu, diantaranya dua unsur, yakni kesalahan dan melawan hukum yang termasuk unsur subjektif, sedangkan selebihnya berupa unsur

   objektif.

2. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

  Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam bahasa Hoefnagels disebut

  

Criminal Policy . Istilah ini agaknya kurang pas kalau diterjemahkan dalam

  

  bahasa Indonesia sebagai “kebijakan kriminal” Istilah “kebijakan” dalam tulisan ini diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah

  “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering 42 43 Adami Chazawi, Op.Cit., hal.81.

  Mahmud Mulyadi, Criminal Policy; Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”, “criminal law

   policy” atau “strafrechtspolitiek”.

  Politik Kriminal atau criminal policy, menurut Marc Ancel, dapat diberikan pengertian sebagai the rational organization of the control of crime by

  

society . Definisi tersebut tidak berbeda dengan pandangan G. Peter Hoefnagels

  yang menyatakan, criminal policy is the rational organization of the social

  

reaction to crime . Hal ini berarti, politik kriminal dapat dirumuskan sebagai suatu

   usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana.

  Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Sudarto, “Politik Hukum” adalah: a.

  Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat b.

  Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat

   dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.

  Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan, bahwa melaksanakan “politik hukum pidana” berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti

  

memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 44 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Konsep KUHP Baru , Jakarta: Kencana Media Grup, 2008, hal.22. 45 Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal.13. 46

  Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: a.

  Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasardari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; b.

  Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan c.

  Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jespen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

48 Menurut Solly Lubis, politik hukum adalah kebijakan politik yang

  menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

  

Dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana

  mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” dari Marc Ancel yang telah dikemukakan pada uraian pendahuluan yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik”.Usaha dan kebijakan untuk membuat hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga 48 merupakan bagian dari politik kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

  

  penanggulan kejahatan dengan hukum pidana” Kebijakan penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan penal (penerapan hukum pidana) dan pendekatan

  

  nonpenal (pendekatan di luar hukum pidana). Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana.

  Menurut G.P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan : a.

  Penerapan hukum pidana (criminal law application), b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and

   punishment/ mass media).

  Dalam pembagian G.P. Hoefnagels di atas, upaya-upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya nonpenal.

  Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis melalui

  

  sarana nonpenal karena bersifat lebih preventif sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat 50 51 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal 23 52 Mahmud Mulyadi, Op.Cit, hal.51 53 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal.40 pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Pernyataan diatas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB tentang The

   Prevention of Crime and the Treatment of Offenders .

  Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor penyebab timbulnya kejahatan, seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung oleh pendekatan non penal

   berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan masyarakat.

  Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi indentik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi berbagai aspek yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting karena disinyalir dalam berbagai Kongres PBB

   (mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders).

  Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana”. Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan

  54 55 Mahmud Mulyadi, Op.Cit., hal 55

  untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang

   menerapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan.

  Terhadap kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundang-undangan pidana yang

   merupakan bagian integral dari politik sosial.

  Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap yaitu: a.

  Tahap formulasi atau kebijakan legislatif; b. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif; c. Tahap eksekutif atau kebijakan administratif.

  Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundang-undangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap penerapan dari ketentuan peraturan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari putusan pengadilan atas

   perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

  57 58 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit, hal.18

3. Pengertian Pekerja/Buruh dan Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh

  Istilah buruh sangat populer dalam dunia perburuhan/ketenagakerjaan, selain istilah ini sudah dipergunakan sejak lama bahkan mulai dari zaman penjajahan Belanda juga karena peraturan perundang-undangan yang lama (sebelum Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) menggunakan istilah buruh. Pada zaman penjajahan Belanda yang dimaksudkan dengan buruh adalah pekerja kasar seperti kuli, tukang, mandor yang melakukan

   pekerjaan kasar, orang-orang ini disebutnya sebagai “Blue Collar”.

  Setelah bangsa Indonesia merdeka tidak lagi mengenal perbedaan antara buruh halus dan buruh kasar, semua orang yang bekerja disektor swasta baik pada orang maupun badan hukum disebut buruh. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1a) Undang-Undang No.22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni buruh adalah “barangsiapa yang bekerja pada majikan dengan menerima upah”. Dalam perkembangan hukum perburuhan di Indonesia, istilah buruh diupayakan untuk diganti dengan istilah pekerja, sebagaimana diusulkan pemerintah (Depnaker) pada kongres FBSI II Tahun 1985. Alasan pemerintah karena istilah buruh kurang sesuai dengan kepribadian bangsa, buruh lebih cenderung menunjuk pada golongan yang selalu ditekan dan berada dibawah pihak lain yakni majikan. Karena itu lebih tepat jika menyebutkannya diganti dengan istilah pekerja. Istilah pekerja juga sesuai dengan penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang menyebutkan golongan-golongan adalah badan-badan seperti

   Koperasi, Serikat Pekerja dan lain-lain badan kolektif.

  60

  Dengan diundangkannya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan istilah pekerja digandengkan dengan istilah buruh sehingga menjadi istilah pekerja/buruh. Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh adalah “Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam

  

  bentuk lain” (Pasal 1 angka 2). ari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang melekat dari istilah pekerja/buruh yaitu: a.

  Setiap orang yang bekerja (angkatan kerja maupun bukan angkatan kerja tetapi harus bekerja) b.

  Menerima upah atau imbalan sebagai balas jasa atas pelaksanaan

   pekerjaan tersebut.

  Perumusan yang umum, yang terdapat dalam Undang-Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan tahun 1957 adalah bahwaburuh adalah

  

  “barangsiapa bekerja pada majikan dengan menerima upah.” Menurut Undang- Undang Kecelakaan tahun 1947 buruh ialah “Tiap orang yang bekerja pada majikan di perusahaan yang diwajibkan memberi tunjangan, dengan menerima upah.”

  Perluasan arti kata buruh secara umum, tidak hanya terbatas pada seseorang yang belum bekerja pada orang lain (magang, murid) atau seseorang yang melakukan pekerjaan tetapi tidak dalam hubungan kerja (pemborong pekerjaan) sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Kecelakaan, tetapi juga meliputi mereka yang karena sesuatu tidak melakukan pekerjaan (para 62 63 Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.19.

  Agusmidah, Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Medan: USU Press, 2010, pengangguran) atau karena usia tinggi tidak mampu lagi melakukan pekerjaan

  

  (pensiun). Walaupun perumusannya agak berlain-lainan, pada dasarnya memuat unsur yang sama, yaitu seseorang yang bekerja pada orang lain atau badan dengan

   menerima upah.

  Sebagai implementasi dari amanat ketentuan Pasal 28 UUD 1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan yang ditetapkan dengan undang-undang, maka pemerintah telah meratifikasi konvensi Organisasi Perburuhan Internasional No.98 dengan Undang-Undang No.18 Tahun 1956 mengenai Dasar-Dasar hak Berorganisasi dan

67 Berunding Bersama.

  Pada rentang waktu yang cukup lama, melihat perlunya payung hukum terhadap perlindungan hak pekerja/buruh mengenai pembentukan serikat pekerja/serikat buruh maka pada akhirnya pemerintah berhasil menetapkan Undang-Undang No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.Serikat Pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya (Pasal 1 angka 17

  65 66 Ibid , hal.37

  Undang-Undang No.23 Tahun 2003, jo Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.21

   Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh).

  Dari pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu serikat pekerja/serikat buruh harus mengandung sifat-sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 21 Tahun 2000).

  a.

  Bebas, maksudnya bahwa sebagai organisasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak di bawah pengaruh dan tekanan dari pihak lain.

  b.

  Terbuka, bahwa serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam menerima anggota dan atau memperjuangkan pekerja/buruh tidak membedakan aliran politik, agama, suka bangsa, dan jenis kelamin.

  c.

  Mandiri, bahwa dalam mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan organisasi ditentukan oleh kekuatan sendiri, tidak dikendalikan oleh pihak lain di luar organisasi.

  d.

  Demokratis, bahwa dalam pembentukan organisasi, pemilihan pengurus, memperjuangkan, dan melaksanakan hak dan kewajiban organisasi dilakukan sesuai dengan prinsip demokrasi.

  e.

  Bertanggung jawab, bahwa hak dalam mencapai tujuan dan melaksanakan 68 kewajibannya serikat pekerja/serikat buruh, federasi, dan konfederasi

  Zaeni Asyhadie, Op.Cit., hal.20. Pengertian serikat pekerja/serikat buruh dapat juga

dilihat dari Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan serikat pekerja/serikat buurh bertanggung jawab kepada anggota,

   masyarakat, dan negara.

  Undang-Undang No.21 Tahun 2000 membagi serikat pekerja/serikat buruh itu menjadi serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerja/buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang No.21 Tahun 2000, serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh pekerja/buruh yang

   bekerja di luar perusahaan.

G. Metode Penelitian 1.

  Jenis Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Metode penelitian hukum jenis ini juga biasa disebut sebagai penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan. Dinamakan penelitian hukum doktiner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan karena akan membutuhkan data-data yang bersifat sekunder pada perpustakaan.

  69

  Penelitian hukum yuridis normatif dilakukan dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

  2. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi: a.

  Bahan hukum primer yaitu semua dokumen peraturan yang mengikat dan diterapkan oleh pihak-pihak yang berwenang yaitu berupa peraturan perundang-undangan seperti UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, UU No.7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan, UU No.3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No.39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, Undang-Undang Dasar 1945, Konvensi ILO, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

  b.

Dokumen yang terkait

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Digital Watermarking - Analisis Perbandingan Metode Low Bit Coding Dan Least Significant Bit Untuk Digital Watermarking Pada File Wma

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karies - Perbandingan Hasil Radiografi Periapikal Dan Bitewing Dalam Mendeteksi Karies Proksimal

0 0 13

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 0 53

BAB 1 PENDAHULUAN - Pengaruh Penambahan Silica Fume dan Superplasticizer terhadap Kuat Tekan Beton Mutu Tinggi dengan Metode ACI (American Concrete Institute)

0 0 10

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Antrian - Pendekatan Teori Antrian Pada Bank Mandiri Cabang Iskandar Muda Medan

0 1 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Ind

0 0 27

BAB 1 PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Terhadap Penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor: 1/Pojk.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Terhadap Perlindungan Konsumen Perbankan Di Indonesia

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Transportasi 2.1.1 Pengertian Transportasi - Analisis Ability to Pay dan Willingness to Pay Pengguna Jasa Kereta Api Bandara Kuala Namu (Airport Railink Service)

0 0 21

BAB I PENDAHULUAN - Perjanjian Kerjasama Antara Pemerintah Indonesia dan Jepang tentang Joint Crediting Mechanism 2013 untuk Kemitraan Pertumbuhan Rendah Karbon

0 0 23

BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA A. Kebijakan Hukum Pidana Sebagai Salah Satu Upaya Penanggulangan Tindak Pidana di Bidang Ketenagakerjaan - Penerapan Ketentuan Pidana Mengenai Kebebasan Berserika

0 0 42