BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker 2.1.1 Pengertian - Resiliensi dan Mekanisme Koping Orangtua Anak Penderita Kanker di RSUP H. Adam Malik Medan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kanker

2.1.1 Pengertian

  Kanker adalah proses penyakit yang berawal ketika sel abnormal diubah oleh mutasi genetik dari DNA selular. Sel abnormal ini membentuk klon dan mulai berproliferasi secara abnormal, mengabaikan sinyal mengatur pertumbuhan dalam lingkungan sekitar sel tersebut (Brunner & Suddarth, 2002).

  Sukarja (2000) menyatakan bahwa sel kanker timbul dari sel normal pada tubuh kemudian mengalami transformasi menjadi ganas. Perubahan tersebut disebabkan adanya perubahan atau transformasi genetik, terutama pada gen-gen yang mengatur pertumbuhan. Sel-sel yang mengalami transformasi terus-menerus berproliferasi dan menekan pertumbuhan sel normal. American Cancer Society (2013) menyatakan bahwa anak yang menderita kanker surviving terhadap kanker rata-rata 5 tahun.

  Kanker merupakan istilah umum untuk suatu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh. Istilah kanker lain yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma. Neoplasma sesungguhnya berarti proses dari “pertumbuhan baru”, sedangkan tumor diartikan secara sederhana sebagai pembengkakan yang disebabkan inflamasi. Suatu neoplasma adalah pertumbuhan dari massa abnormal jaringan yang berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan jaringan normal secara terus menerus walaupun rangsangan yang memicu perubahan tersebut telah berhenti (Kumar, Cotran, Robbins., 2007).

  7

  2.1.2 Etiologi Kanker

  Proses karsinogenik dipengaruhi oleh agens atau faktor-faktor tertentu yang memberi pengaruh. Agens atau faktor-faktor tersebut yaitu virus, agens fisik, agens kimia, faktor-faktor genetik, faktor-faktor makanan, agens hormonal (Brunner & Suddarth, 2005).

  2.1.3 Leukemia

  Leukemia adalah penyakit yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang secara maligna melakukan transformasi, yang menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal. Klasifikasi morfologi didasarkan pada diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta pada penelitian sitokimia (Barr, 2006).

  2.1.3.1 Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

  Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) anak adalah kanker tersebar yang pertama terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. Gejala pertama biasanya nonspesifik dan meliputi anoreksia, iritabel, dan letargi. Pada pemeriksaan inisial, lebih kurang 50% menunjukkan petekie atau perdarahan mukosa. Limfoadenopati biasanya nyata dan spenomegali dijumpai (William & Ching, 2000).

  2.1.3.2 Leukemia Mieloid Akut (LMA)

  Leukemia mieloid akut (LMA) merupakan 15-20% dari leukemia anak. Tidak ada perbedaan insidensi menurut jenis kelamin atau ras, tetapi sedikit kenaikan pada masa remaja. LMA khas menunjukan tanda dan gejala yang berkaitan dengan kegagalan sumsum tulang. LMA mungkin timbul pada anak yang mula-mula hanya menunjukkan anemia, leukopeni atau trombositopenia. Prognosis dari penderita jika dengan terapi agresif 40-50% penderita yang mencapai remisi akan hidup lama. Angka kesembuhan keseluruhan adalah 30-40% (Behrman & Arvin, 2000).

  2.1.3.3 Leukemia Miolegenik Kronis (LMK)

  Leukemia mielogenik kronis (LMK) merupakan keganasan klona dari sel induk (stem cell) sistem hematopoetik yang ditandai oleh translokasi spesifik yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia. LMK lebih sering terjadi pada orang dewasa dan hanya 3% dari kasus leukemia pada anak. Fase kronis yang berlangsung 3-4 tahun. LMK ditandai dengan hyperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah dan sumsum tulang. Awitan gejala penyakit ini biasanya tidak nyata dan diagnosis ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain (Behrman & Arvin, 2000).

  2.1.3.4 Leukemia Kongenital

  Leukemia kongenital sangat jarang sekali, didiagnosis pada usia bulan pertama dengan angka 4,7 per juta kelahiran hidup. Umumnya, kasus-kasus menunjukkan leukositosis berat, petekie, ekimosis dan keterlibatan ekstramedular, hepatosplenomegali massif, nodulus kulit dan leukemia SSS.

  Leukemia kongenital memiliki prognosis yang jelek (Behrman & Arvin, 2000).

2.1.4 Limfoma

  Limfoma merupakan keganasan sistem limfatik. Dua kategori besar limfoma, yaitu penyakit Hodgkin dan limfoma non-Hodgkin (LNH), mempunyai manifestasi klinis, terapi dan prognosis yang berbeda (Price & Lorraine, 2006).

  2.1.4.1 Penyakit Hodgkin

  Sel Reed Sternberg adalah sel yang besar (berdiameter 15- 45 μ m) dengan multipel. Sel ini merupakan gambaran histologik utama penyakit Hodgkin (Behrman, et al.,2000). Gambaran yang tampak paling umum adalah pembesaran kelenjar limfe tanpa nyeri di leher, supraklavikula, atau kadang- kadang daerah aksila atau inguinal (Cairo & Bradley, 2007).

  2.1.4.2 Limfoma Non-Hodgkin (LNH)

  Limfoma Non-Hodgkin (LNH) merupakan penyakit klonal yang muncul secara primer dari precursor sel-T awal pada sel B relatif matur.

  Sekitar 80% anak yang menderita penyakit ini dapat disembuhkan dengan terapi modern (Rudolph & Julien, 2007).

2.1.5 Neuroblastoma

  Neuroblastoma adalah tumor padat ekstrakranial ganas dan merupakan neoplasma bayi yang terdiagnosis paling sering. Tumor ini berasal dari sel krista neuralis embrional. Sebagian besar tumor tumbuh di dalam kelenjar adrenal atau rangkaian saraf simpatik retroperitoneal. Lokasinya mungkin di kepala, leher, dada atau pelvis. Neuroblastoma merupakan tumor yang tidak bergejala, sehingga lebih dari 70% kasus, diagnosis ditegakkan setelah terjadi metastasis (Wong, Marilyn, David, 2009).

2.1.6 Neoplasma Ginjal

  2.1.6.1 Tumor Wilms

  Tumor Wilms adalah tumor intraabdominal yang paling sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Tumor Wilms adalah suatu neoplasma soliter yang terjadi pada bagian manapun dari kedua ginjal. Adanya masa di abdomen pada setiap anak perlu dicurigai tumor Wilms (Wong, Marilyn, David, 2009). Angka kehidupan penderita mencapai angka kesembuhan bermakna, terutama pada pendekatan multispesifik dan bentuk studi kooperatif (Rudolph & Julien, 2007).

  2.1.6.2 Nefroblastomatosis

  Tumor ini jarang pada dekade pertama kehidupan tetapi kadang pada usia remaja. Temuan awal adalah adanya massa di abdomen dan hematuria.

  Tumor ini merupakan tumor kongenital terbanyak. Tumor ini biasanya dianggap jinak dan reseksi merupakan terapi yang adekuat (Behrman & Arvin, 2000).

2.1.7 Sarkoma jaringan lunak

2.1.7.1 Rabdomiosarkoma

  Sarkoma jaringan lunak merupakan tipe tumor padat yang berada di urutan keempat terbanyak pada anak-anak, paling banyak dialami oleh anak berusia kurang dari 5 tahun (Wong,Marilyn, David., 2009). Tumor ini dapat terjadi di semua lokasi anatomi tetapi paling sering di kepala dan leher.

  Gambaran yang paling umum terdapat massa yang mungkin nyeri atau mungkin tidak nyeri (Behrman & Arvin, 2000).

2.1.7.2 Sarkoma jaringan lunak nonrabdomiosarkoma (NRSTS)

  Sarkoma jaringan lunak nonrhabdomiosarkoma merupakan kelompok tumor heterogen yang mencakup 3% dari keganasan pada anak. Tumor tersebut biasanya timbul di badan atau ekstremitas bawah. Pemeriksaan seksama pada paru dan metastasis tulang tidak dilaksanakan sebelum eksisi pembedahan. Kemotrapi tambahan harus dipertimbangkan untuk tumor derajat tinggi (Behrman & Arvin, 2000).

2.1.8 Neoplasma Tulang

  2.1.8.1 Osteosarkoma

  Osteosarkoma adalah suatu tumor ganas jaringan mesenkim yang membentuk osteoid dan jaringan oseus neoplastik (Rudolp & Julien, 2007).

  Tumor ini tumbuh dalam region korteks atau medulla tulang panjang dan umumnya terdiagnosis pada masa remaja (Behrman & Arvin., 2000).

  2.1.8.2 Sarkoma Ewig/ Neuropitelioma Perifer

  Sarkoma Ewig lebih dapat muncul pada tulang manapun tetapi paling sering di temukan di tulang pipih dan region diafisis tulang panjang. Sebagian besar penderita menunjukan nyeri, pembengkakan dan nyeri tekan pada tempat yang terkena (Behrman & Arvin 2000). Pasien tanpa metastasis memiliki harapan 70% ketahanan hidup bebas penyakit selama 5 tahun. Sedangkan dengan metastasis memiliki harapan 30-50% ketahanan hidup (Rudolph & Julien. 2007).

  2.1.9 Retinoblastoma

  Retinablastoma biasanya tumbuh di bagian posterior retina, terdiri dari sel- sel ganas kecil dan bulat yang berlekatan erat dengan sitoplasma. Umur rata-rata waktu diagnosis adalah 11 bulan untuk tumor bilateral dan 23 bulan untuk penderita tumor unilateral. Retinoblastoma biasanya menunjukan leukokoria yaitu refleksi putih kekuningan dalam pupil yang disebabkan oleh tumor di belakang lensa (Behrman & Arvin, 2000).

  2.1.10 Stadium Kanker

  California Cancer Registry (2013) menyatakan bahwa stadium kanker menggambarkan keparahan penyakit pada saat diagnosis, dengan mempertimbangkan pertumbuhan, ukuran tumor dan apakah telah menyebar ke organ yang berdekatan, kelenjar getah bening atau organ jauh. Mengetahui stadium kanker sangat penting untuk menentukan perawatan yang paling efektif dan untuk memprediksi jangka waktu penderita bertahan hidup. Stadium ini didasarkan pada bagaimana kanker berkembang. Berbagai jenis kanker tumbuh dan menyebar dengan cara yang berbeda. Tahap 0 (in situ), tumor ini belum menyebar dan masih pada lapisan pertama sel (membran basal), tahap 0 tumor biasanya sangat dapat disembuhkan.Tahap I, biasanya kanker kecil atau invasif tumor yang belum berkembang dalam ke jaringan di sekitarnya dan belum menyebar baik kelenjar getah bening atau bagian lain dari tubuh. Tahapan II dan

  III, tahap ini menunjukkan tumor yang lebih besar dalam ukuran dari tahap 1 dan tumor yang memiliki tumbuh lebih dalam ke jaringan terdekat dan menyebar ke kelenjar getah bening tetapi tidak ke bagian tubuh lain. Tahap III menunjukkan lebih besar atau lebih tumor maju dari tahap II.Tahap IV, tahap ini berarti bahwa kanker telah menyebar ke organ lain atau bagian tubuh dan biasanya digambarkan sebagai metastasis.

2.2 Anak

  2.2.1 Pengertian Anak

  Ikatan Dokter Anak Indonesia (2013) menyatakan bahwa anak mempunyai arti luas yang meliputi kurun masa hidup seseorang sejak konsepsi sampai dewasa matur, termasuk masa prenatal dan adolesensi. Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Bab 1 Pasal 1 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan seorang anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan The Convention on the Rights of the Child mendefinisikan anak-anak sebagai orang yang berusia di bawah 18 tahun. Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja.

  2.2.2 Periode Perkembangan Anak

  Wong, Marilyn, David (2009) menyatakan bahwa dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan, tahap prenatal yang terdiri dari masa embrio yaitu mulai konsepsi sampai 8 minggu dan masa fetus 9 minggu sampai lahir, tahap post natal yang terdiri dari masa neonates terdiri dari 0-28 hari dan masa bayi 29 hari-12 bulan, tahap prasekolah usia 3-6 tahun, masa pra remaja usia 6-10 tahun dan masa remaja usia 10-18 tahun. Wong, Marylin, David (2000) menyatakan bahwa perkembangan anak secara umum terdiri atas tahapan pranatal, periode, masa kanak-kanak awal, masa kanak-kanak pertengahan dan masa kanak-kanak akhir.

  2.2.2.1 Periode Pranatal

  Masa pranatal terdiri dari dua fase yaitu fase embrio dan fase fetus, pada masa embrio pertumbuhan dimulai pada 8 minggu pertama dengan terjadi defensiasi yang cepat dari ovum menjadi suatu organisme dan terbentuknya manusia (Wong, Marilyn, David., 2000).

  2.2.2.2 Periode Bayi

  Wong, Marilyn, David (2000) menyatakan bahwa periode ini terbagi atas nonatus dan bayi. Neonatus adalah sejak lahir hingga berusia 28 hari.

  Diatas 28 hari sampai usia 12 bulan termasuk kategori bayi. Pada masa bayi yaitu usia 29 hari hingga satu tahun dalam pertumbuhan dan perkembangan dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, tahap pertama adalah 1-4 bulan, tahap kedua 4-8 bulan, tahap ketiga adalah 8-12 bulan.

  2.2.2.3 Periode Kanak-kanak Awal

  Periode ini terdiri atas usia anak 1 sampai 3 tahun yang disebut dengan toddler dan prasekolah, yaitu antara 3 sampai 6 tahun.

  Anak berusia di bawah 3 tahun cenderung sangat energik dan aktif, penuh dengan energi yang tidak terbatas, antusias dan selalu ingin tahu.

  Peningkatan kemampuan motorik memungkinkan untuk bergerak sendiri, menjelajahi dan menguji lingkungannya (Allen & Marrotz, 2010). Terjadi beberapa perlambatan dalam pertumbuhan fisik anak pada tahun kedua, kemudian pertumbuhan otak juga anak mengalami perlambatan yaitu kenaikan lingkar kepala yang hanya 2 cm, pertumbuhan gigi terdapat tambahan 8 buah gigi susu termasuk gigi geraham pertama dan gigi taring sehingga seluruhnya berjumlah 14-16 buah (Wong, Marilyn, David., 2000).

  Periode prasekolah terdiri atas anak usia 3-6 tahun. Kemampuan interaksi sosial pada usia ini lebih luas dan mempersiapkan diri untuk memasuki dunia sekolah, kemandirian anak tampak dari proses eliminasi, perkembangan konsep diri dimulai pada periode ini. Perkembangan fisik lebih lambat dan relatif menetap (Wong, Marilyn, David., 2000).

  2.2.2.4 Masa Sekolah

  Pada masa sekolah pertumbuhan dan perkembangan anak akan mengalami proses percepatan pada umur 10-12 tahun. Secara umum pada usia sekolah aktivitas fisik pada anak semakin tinggi dan memperkuat kemampuan motoriknya. Anak semakin mandiri dengan lingkungan di luar rumah seperti sekolah. Perkembangan kognitif, psikososial, interpersonal, psikoseksual, moral, dan spiritual sudah mulai menunjukan kematangan pada masa ini (Wong, Marylind, David., 2000).

  2.2.2.5 Periode kanak-kanak akhir

  Periode kanak-kanak akhir merupakan fase transisi, yaitu anak mulai memasuki usia remaja, pada usia 11 atau 12 tahun sampai 18 tahun. Pada masa ini terjadi peristiwa yang sangat penting yaitu pubertas. Anak perempuan memasuki masa prapubertas pada usia 11 tahun sedangkan anak laki-laki memasuki usia 12 tahun. Proses pertumbuhan dan perkembangan pada masa remaja ditunjukkan terjadi kematangan dalam beberapa fungsi seperti endokrin, kematangan fungsi seksual hingga tampak remaja sudah menunjukkan kedewasaan dalam hidup bermasyarakat (Wong, Marilyn, David., 2000).

2.3 Resiliensi

2.3.1 Pengertian Resiliensi

  Henderson & Milstein (2003 dalam Nasution, 2011) mendefinisikan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu untuk bangkit dari pengalaman negatif, bahkan menjadi lebih kuat selama menjalani proses penanggulangannya, sedangkan Ghothberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, mendapatkan kekuatan bahkan mampu mencapai transformasi diri setelah mengalami penderitaan. Lebih lanjut lagi Reivich & Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi merupakan mind-set yang memungkinkan individu mencari bermacam pengalaman dan memandang hidupnya sebagai suatu kegiatan yang sedang berjalan.

  Bautista (2001 dalam Nasution, 2011) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan pada individu yang luar biasa untuk bertahan menghadapi penderitaan yang berkembang. Mereka akan mengembangkan cara untuk mengubah keadaan yang penuh tekanan menjadi sebuah kesempatan untuk pengembangan diri pribadi menjadi lebih baik dari sebelumnya (Maddi & Khoshaba, 2005).

  2.3.2 Manfaat Resiliensi

  Resiliensi membantu individu melakukan koping terhadap stres dan meminimalkan efek penyakit. Individu yang memiliki resiliensi yang baik akan mampu bangkit dari trauma yang dialami, mencari pengalaman baru yang menantang bagi diri karena telah belajar bahwa hanya melalui perjuangan yang berat mereka mampu mengembangkan wawasan mereka. Resiliensi juga bermanfaat saat individu mengalami kegagalan sehingga memahami bahwa kegagalan bukanlah titik akhir (Reivich & Shatte, 2002).

  2.3.3 Domain Resiliensi

  Reivich & Shatte (2002) menyatakan bahwa terdapat 7 faktor yang dapat membangun resiliensi yaitu pertama regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang bila mengalami tekanan. Individu yang sudah resilien menggunakan berbagai keterampilan yang sudah sudah matang yang membantu mereka mengontrol emosi, membentuk keakraban, sukses di tempat kerja dan mempertahankan kesehatan fisik. Individu yang mampu mengontrol emosinya adalah individu yang mampu untuk tetap tenang dan fokus sehingga ia mendapatkan efek relaksasi. Tidak semua emosi yang dirasakan individu harus dikontrol, hal ini dikarenakan mengekpresikan emosi yang kita rasakan baik emosi positif maupun negatif merupakan hal yang konstruktif dan sehat, bahkan kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara tepat merupakan bagian dari resiliensi (Reivich & Shatte, 2002).

  Kedua yaitu impuls contol , Nasution (2011) menyatakan bahwa pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku mereka. Mereka menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan kesabaran, impulsif, dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang ditampakkan ini akan membuat orang di sekitarnya merasa kurang nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu dengan orang lain (Reivich & Shatte, 2002).

  Ketiga adalah optimis, orang yang memiliki resiliensi adalah orang yang optimis. Kondisi akan berubah menjadi lebih baik adalah keyakinan mereka.

  Memiliki harapan ke masa depan dan yakin bahwa mereka dapat mengatur bagian-bagian dari kehidupan. Ketika seseorang optimis maka mereka memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi penderitaan, yang mungkin muncul di masa depan.

  Keempat yaitu causal analisis eseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya jika memiliki causal analisis individu tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus ketika mampu mengidentifikasi penyebab masah secara akurat. Seligman (1993 dalam Reivich & Shatte, 2002) mendefinisikan gaya berpikir explanatory yang merupakan kebiasaan cara seseorang untuk menjelaskan hal baik dan buruk yang terjadi pada diri dan kehidupan mereka.

  Kelima adalah empati yang di tunjukkan dengan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal dari orang lain tentang kondisi psikologis dan emosional mereka, hal ini dapat di ungkapkan melalui isyarat, nonverbal, kemudian menentukan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Individu yang memiliki empati yang rendah walaupun memiliki tujuan yang baik, akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resilien.

  Keenam adalah self efficacy merupakan perasaan seseorang tentang

  seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Keyakinan dapat memecahkan masalah, dapat mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Individu akan mudah tersesat apabila tidak yakin akan kemampuannya. Untuk meningkatkan self efficacy dibutuhkan keterampilan avoiding thinking traps .

  Ketujuh adalah reaching outyang merupakan mampu untuk keluar dari kondisi sulit dan merupakan kemampuan untuk keluar dari zona nyaman yang dimilikinya. Individu yang memiliki kemampuan reaching out tidak menetapkan batasan kaku terhadap kemampuan yang dimilikinya. Mereka tidak terperangkap rutinitas, memiliki rasa ingin tahu, dan ingin mencoba hal-hal baru sehingga mampu menjalin hubungan dengan orang-orang baru dalam kehidupannya.

2.3.5 Tingkat Resiliensi

  J. Block & Kremen (1996) menyatakan bahwa terdapat 5 tingkatan dari resiliensi, yaitu resiliensi sangat tinggi, resiliensi tinggi, resiliensi sedang,

  .

  resiliensi rendah dan resiliensi sangat rendah. Orang tua yang memiliki tingkat kemampuan resiliensi yang tinggi akan mampu segera bangkit dan memulihkan dirinya dan keadaan. Namun orang tua dengan tingkat kemampuan resiliensi rendah akan cenderung membutuhkan waktu yang agak lama untuk mampu menerima dan bangkit dari cobaan hidup tersebut. Hal ini berkaitan dengan faktor resiko dan faktor protektif yang dimiliki seseorang dalam menghadapi kondisi- kondisi sulit dalam hidupnya (Muray, 2006)

2.4. Mekanisme Koping

2.4.1 Pengertian Koping

  Rasmun (2004) menyatakan bahwa koping adalah proses yang dilalui oleh individu dalam menyelesaikan situasi yang penuh dengan stres atau respon individu terhadap situasi yang mengancam dirinya baik fisik maupun psikologi. Koping yang efektif dapat menghasilkan adaptasi yang menetap sehingga menghasilkan kebiasaan yang baru dan perbaikan situasi yang lama, sedangkan koping yang tidak efektif berakhir dengan maladaptif yaitu prilaku yang menyimpang dari keinginan normatif dan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Kozier (2004) menyatakan bahwa koping juga dapat digambarkan sebagai berhubungan dengan masalah dan situasi atau menghadapinya dengan sukses.

4.2 Pengertian Mekanisme Koping

  Mekanisme koping adalah cara yang digunakan individu secara kognitif maupun perilaku dalam menyelesaikan masalah dengan cara mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam (Keliat, 1999). Wong, Marilyn, David (2009) menyatakan bahwa mekanisme koping adalah perilaku yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan yang disebabkan oleh krisis. Individu dapat menggunakan satu atau lebih koping yang tersedia dan dapat menggunakan berbagai cara ketika individu berada dalam kondisi stres (Rasmun, 2006). Mekanisme koping sangat penting digunakan oleh individu untuk memecahkan masalah, koping yang efektif akan membantu individu terbebas dari stres yang berkepanjangan (Mardiana, 2013).

2.4.3 Penggolongan Mekanisme Koping

  Kozier (2011) mekanisme koping dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu Pertama yaitu mekanisme koping berfokus pada masalah (problem focused

  coping ) Meliputi usaha untuk memperbaiki suatu situasi dengan membuat

  perubahan atau mengambil beberapa tindakan dan usaha segera untuk mengatasi ancaman pada dirinya. Contohnya adalah negosiasi, konfrontasi dan meminta nasehat.

  Kedua yaitu Mekanisme koping berfokus pada emosi (emotional focused coping ) Meliputi usaha-usaha dan gagasan yang mengurangi distress emosional.

  Mekanisme koping berfokus pada emosi tidak memperbaiki sesuatu tetapi seseorang merasa lebih baik.

  Sedangkan Stuart & Suddeen (1995) menggolongkan mekanisme koping menjadi 2 yaitu mekanisme koping adaptif yang artinya adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar, dan mencapai tujuan. Beberapa kategori dari mekanisme koping adaptif adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang, dan aktivitas konstruktif

  Merupakan mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.

2.4.4 Metode Koping

  Folkman et al (1984 dalam Afidarti, 2006) menyatakan bahwa terdapat 8 metode koping yaitu

  1. Confrontative coping / koping konfrontasi (problem-focused)

  Individu mengambil tindakan asertif yang sering melibatkan kemarahan atau mengambil resiko untuk merubah situasi.

  2. Distancing / pelepasan diri (emotion-focused)

  Usaha kognitif untuk menjauhkan diri sendiri dari situasi atau menciptakan pandangan yang positif terhadap masalah yang dihadapi.

  3. Self Control / kontrol diri (emotion-focused)

  Usaha individu untuk menyesuaikan diri dengan perasaan ataupun tindakan dalam hubungannya dengan masalah.

  4. Seeking social support / penggunaan dukungan sosial (problem focused)

  Usaha individu untuk memperoleh dukungan emosional atau dukungan informasional.

  

5. Accepting responcibility / penerimaan tanggung jawab (emotion focused)

  Mengakui peran diri sendiri dalam masalah dan berusaha untuk memperbaikinya.

  6. Escape-Avoidanceting / pelarian-penghindaran (emotion focused)

  Menghindari masalah dengan cara berkhayal atau berpikir dengan penuh harapan tentang situasi yang dihadapi atau mengambil tindakan untuk menjauhi masalah yang dihadapi.

  

7. Planful problem solving / perencanaan pemecahan masalah (problem

focused)

  Individu yang berusaha menganalisa situasi untuk memperoleh solusi dan kemudian mengambil tindakan langsung untuk menyelesaikan masalah.

8. Positive Reappraisal / penilaian positif (emotion focused) Usaha individu untuk menciptakan arti yang positif dari situasi yang dihadapi.

2.4.5 Respon Koping

  Koping dapat dikaji melalui berbagai aspek fisiologis dan psikososial yaitu adalah pertama melalui reaksi fisiologis merupakan manifestasi tubuh terhadap stress dan reaksi psikososial. Reaksi psikososial pertama, meliputi reaksi yang berorientasi pada ego yang sering disebut sebagai mekanisme pertahanan mental, seperti denial (menyangkal), projeksi, regresi, displacement, isolasi dan supresi. Kedua, reaksi yang berkaitan dengan respon verbal seperti, menangis, tertawa, teriak, memukul dan menyepak, menggenggam, mencerca respon. Reaksi ketiga yaitu reaksi yang berorientasi pada penyelesaian masalah. Koping melibatkan proses kognitif, afektif dan psikomotor. Koping ini meliputi, berbicara dengan orang lain tentang masalahnya dan mencari jalan keluar dari informasi orang lain. Membuat berbagai alternatif tindakan dalam menangani situasi, belajar dari pengalaman yang lalu dan tidak mengulangi kegagalan yang sama (Kelliat, 1999).