II. TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Budidaya Nonorganik, Semiorganik, dan Organik (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kec. Perbaungan, Kab. Serdang Bedagai)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

  Pada umumnya penelitian-penelitian terdahulu hanya menganalisis perbandingan antara usahatani dan kelayakan padi nonorganik dengan padi organik dan padi nonorganik dengan padi semiorganik yang menggunakan alat analisis ”t-test”. Dimana parameter yang digunakan dalam analisis usahatani dan kelayakan tersebut masih terdiri dari komponen-komponen penyusun biaya produksi, penerimaan dan pendapatan petani, serta R/C dan B/C ratio dari usahatani padi tersebut. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan analisis komparasi usahatani dan kelayakan padi nonorganik dengan padi organik dan padi nonorganik dengan padi semiorganik adalah sebagai berikut :

  Berdasarkan hasil penelitian Poetryani (2011) yang berjudul ”Analisis Perbandingan Efisiensi Usahatani Padi Organik dengan Anorganik di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor” diketahui bahwa penyebab pendapatan rata-rata usahatani padi baik total maupun tunai lebih besar usahatani padi organik dibandingkan dengan pendapatan rata-rata petani anorganik dapat dilihat dari sisi penerimaan usahatani organik lebih besar dibandingkan usahatani anorganik. Namun dari segi biayanya usahatani padi organik lebih kecil dibandingkan usahatani padi anorganik. Selain itu dapat diketahui juga bahwa faktor-faktor yang berpengaruh nyata terhadap total biaya produksi usahatani padi organik adalah jumlah benih dan jumlah tenaga kerja. Sedangkan pada usahatani padi anorganik faktor-faktor yang berpengaruh terhadap biayanya adalah jumlah pupuk urea, jumlah tenaga kerja, dan jumlah pestisida kimia.

  Menurut Ridwan (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Usahatani Padi Ramah Lingkungan dan Padi Anorganik” diketahui bahwa alat analisis kelayakan usahatani yang digunakan antara lain R/C dan B/C ratio.

  Dimana berdasarkan analisis R/C rasio, usahatani padi ramah lingkungan dan padi anorganik di Kelurahan Situgede sama-sama menguntungkan untuk dilaksanakan karena nilai R/C rasio lebih besar dari satu. Nilai R/C rasio atas biaya tunai untuk petani pemilik usahatani padi ramah lingkungan sebesar 2,392, sedangkan nilai R/C rasio atas biaya tunai untuk petani pemilik usahatani anorganik hanya sebesar 2,275. Untuk petani penggarap nilai R/C rasio atas biaya tunai dan nilai R/C rasio atas biaya total usahatani padi ramah lingkungan lebih besar daripada nilai R/C rasio atas biaya tunai dan nilai R/C rasio atas biaya total usahatani anorganik artinya usahatani padi ramah lingkungan lebih layak daripada usahatani anorganik.

  Menurut Hermanto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Komperatif Pendapatan Petani Organik dan Petani Anorganik di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai” disimpulkan bahwa nilai total keuntungan yang didapat petani organik adalah sebesar Rp 4.268.019,44 sedangkan total keuntungan yang didapat petani anorganik adalah sebesar Rp 1.568.244. Berdasarkan hasil dari total keuntungan tersebut dapat diketahui bahwa usahatani padi organik lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani padi anorganik.

  Menurut Rachmiyanti (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Perbandingan Usahatani Padi Organik Metode System of Rice Intensification (SRI)

dengan Padi Konvensional di Desa Bobojong, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur,

Jawa Barat” disimpulkan bahwa dari segi tingkat produktivitas pada usahatani padi

organik metode SRI lebih rendah dibandingkan usahatani padi konvensional. Dimana

  

tingkat produktivitas pada usahatani padi organik metode SRI sebesar 5.753 kg/ha,

sedangkan tingkat produktivitas usahatani padi konvensional sebesar 6.106 kg/ha.

  Menurut Wulandari (2011), dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dengan Padi Anorganik di Kelurahan Sindang Barang dan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat” disimpulkan bahwa secara statistik terdapat perbedaan yang nyata antara pendapatan atas biaya total per hektar pada usahatani padi organik dan anorganik. Hal ini disebabkan karena pendapatan yang diperoleh dari usahatani padi organik lebih tinggi daripada pendapatan usahatani padi nonorganik. Di mana tingginya pendapatan yang diterima usahatani padi organik dikarenakan produksi yang dihasilkan dan harga jual gabah kering panen (GKP) usahatani padi organik lebih besar dibandingkan usahatani padi anorganik. Harga jual GKP pada usahatani padi organik sebesar Rp 2.400/kg, sedangkan harga jual GKP pada usahatani padi anorganik sebesar Rp 2.000/kg.

  Menurut Gindo (2009) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Usahatani Padi Semi Organik dan Anorganik di Sekolah Lapang Pertanian Berkelanjutan pada Pegayuban Petani Kerjasama (PAKER) Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang” disimpulkan bahwa berdasarkan uji beda rata-rata biaya, penerimaan, dan pendapatan usahatani padi semiorganik dibandingkan usahatani padi anorganik adalah tidak berbeda nyata.

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Pengertian Usahatani

  Usahatani (farm) adalah organisasi dari alam (lahan), tenaga kerja, dan modal yang ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Organisasi tersebut ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang sebagai pengelolanya (Firdaus, 2008).

  Tenaga kerja adalah salah satu unsur penentu, terutama bagi usahatani yang sangat tergantung musim. Pada pertanian rakyat yang sering dikenal dengan usahatani kecil, sering menggunakan tenaga anak dan tenaga wanita atau ibu selain dari tenaga pria sebagai kepala keluarga. Di mana tenaga kerja kepala keluarga (pria) ditambah istri (wanita) dan anak petani dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK). Bila pekerjaan dalam kegiatan usahatani tidak dapat diselesaikan oleh TKDK, baru digunakan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) yang dibayar. Pada petani bermodal dengan usahatani berskala besar seperti perkebunan, peternakan, usaha kehutanan, dan lainnya komponen biaya TKDK tidak ada. Sedangkan pada pertanian rakyat, komponen biaya TKDK selalu di atas 50% dari biaya total (Daniel, 2002).

  Pekerja pada usahatani padi sawah meliputi pekerja pada pengolahan lahan, penyemaian, penanaman, penyulaman, pemeliharaan/penyiangan, pemupukan, pengendalian hama/OPT, serta pekerja untuk pemanenan termasuk perontokan dan pengangkutan hasil panen dari sawah. Adapun rata-rata jumlah pekerja yang digunakan untuk setiap satu hektar luas panen padi sawah per musim di Sumatera Utara mulai dari penanaman hingga pengangkutan hasil panen dari sawah sebanyak 67,35 orang-hari. Di mana rata-rata jumlah pekerja yang dibayar pada usahatani padi sawah di Sumatera Utara sebanyak 23,23 orang-hari dan pekerja tidak dibayar di Sumatera Utara sebanyak 44,12 orang-hari (Dinas Pertanian Sumatera Utara, 2009).

2.2.2 Pertanian Nonorganik

  Pertanian modern atau pertanian anorganik merupakan pertanian yang menggunakan varietas unggul untuk berproduksi tinggi, pestisida kimia, pupuk kimia, dan penggunaan mesin-mesin pertanian untuk mengolah tanah dan memanen hasil. Paket pertanian anorganik tersebut yang memberikan hasil panen tinggi namun berdampak negatif terhadap lingkungan. Selain itu, residu yang dihasilkan oleh bahan-bahan kimia yang digunakan oleh pertanian anorganik telah mencemari air tanah sebagai sumber air minum yang tidak baik bagi kesehatan manusia. Hasil produk pertanian anorganik juga berbahaya bagi kesehatan manusia yang merupakan akibat penggunaan pestisida kimia (Sutanto, 2002).

  Menurut Schaller (1993) dalam Winangun (2005) sistem pertanian anorganik memiliki beberapa dampak negatif, antara lain : 1)

  Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia sintetis dan sedimen.

  2) Ancaman bahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, baik karena pestisida maupun bahan adiktif pakan.

  3) Pengaruh negatif adiktif senyawa kimia sintetis tersebut pada mutu dan kesehatan pangan.

  4) Penurunan keanekaragaman hayati termasuk sumber genetik flora dan fauna yang merupakan modal utama pertanian berkelanjutan.

  5) Perusakan dan pembunuhan satwa liar, lebah madu, dan jasad berguna lainnya.

6) Peningkatan daya tahan organisme pengganggu terhadap pestisida.

  7) Peningkatan daya produktivitas lahan erosi, pemadatan lahan, dan berkurangnya bahan organik.

  8) Ketergantungan yang semakin kuat terhadap sumber daya alam tidak terbaharui.

  9) Munculnya resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pekerjaan pertanian.

2.2.3 Pertanian Semiorganik

  Budidaya padi di masa mendatang perlu menerapkan PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) organik atau semiorganik, diintegrasikan dengan ternak, dalam SITT (Sistem Integrasi Tanaman-Ternak). Sistem ini merupakan pengembangan dari model PTT dengan mengutamakan pemanfaatan bahan organik sebagai komponen utamanya. Bahan organik sisa panen (jerami padi), dan kotoran ternak sebagai limbah atau hijauan yang tersedia secara in situ (di lokasi setempat) dimanfaatkan semaksimal mungkin, namun tidak tertutup kemungkinan penggunaan pupuk kimia (industri) sehingga produk yang dihasilkan disebut produk pertanian “semiorganik” (Makarim dan Suhartatik, 2006).

  Pertanian semiorganik merupakan suatu langkah awal untuk kembali ke sistem pertanian organik. Hal ini karena perubahan yang ekstrem dari pola pertanian modern yang mengandalkan pupuk kimia menjadi pola pertanian organik yang mengandalkan pupuk biomassa akan berakibat langsung terhadap penurunan hasil produksi yang cukup drastis yang semua itu harus ditanggung langsung oleh pelaku usaha tersebut. Khusus untuk tanaman pangan, pertanian semiorganik akan memberi nilai tambah terhadap pelaku usaha dengan turunnya biaya produksi tanpa harus diiringi dengan turunnya hasil produksi dan ramah lingkungan (Nurvahyani, 2011).

2.2.4 Pertanian Organik

  Pertanian organik diartikan sebagai sistem produksi pertanian yang holistik dan terpadu yang mengoptimalkan kesehatan dan produtivitas agro- ekosistem secara alami sehingga mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan (Deptan, 2007).

  Menurut IFOAM (International Federation of Organik Agriculture Movement), pertanian organik merupakan suatu pendekatan sistem yang utuh berdasarkan satu perangkat proses yang menghasilkan ekosistem yang berkelanjutan (sustainable), pangan yang aman, gizi yang baik, kesejahteraan hewan dan keadilan sosial. Dengan demikian, pertanian organik lebih dari sekedar sistem produksi yang memasukkan atau mengeluarkan input tertentu, namun juga merupakan satu filosofi yang mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berhubungan dari kehidupan tanah, tanaman, hewan, dan manusia (Apriantono, 2008).

  Menurut Hamm dalam Agus dkk (2006) Perkembangan pertanian organik di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari perkembangan pertanian organik dunia, bahkan dapat dikatakan pemicu utama pertanian organik domestik adalah karena tingginya permintaan pertanian organik di negara-negara maju. Tingginya permintaan pertanian organik di negara-negara maju dipicu oleh beberapa faktor, antara lain : (1) Menguatnya kesadaran lingkungan dan gaya hidup alami dari masyarakat, (2) Dukungan kebijakan pemerintah nasional, (3) Dukungan industri pengolahan pangan, (4) Dukungan pasar konvensional (supermarket menyerap 50% produk pertanian organik), (5) Adanya harga premium di tingkat konsumen, (6) Adanya label generik, dan (7) Adanya kampanye nasional pertanian organik secara gencar.

  Menurut Mutiarawati (2006), pertanian organik pada pelaksanaannya di lapangan menghadapi beberapa kendala, antara lain : a) Hasil produksi pertanian organik pada awal penerapannya lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian anorganik yang menggunakan bahan kimia.

  Karena hal ini pula dan didukung oleh tingginya permintaan terhadap produk-produk organik, maka nilai jualnya menjadi relatif lebih mahal daripada produk anorganik.

  b) Penguasaan pengetahuan dan teknik budidaya pertanian organik yang masih kurang dikuasai oleh para petani.

  c) Belum dilaksanakannya kegiatan sosialisasi/promosi dalam skala luas kepada produsen maupun konsumen produk-produk pertanian tentang pertanian organik baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun instansi terkait lainnya. d) Belum jelasnya informasi mengenai standarisasi produk dan institusi mana yang berwenang melakukan standarisasi tersebut untuk semua jenis komoditas yang ditanam secara organik.

  Padi merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang prospektif untuk dikembangkan secara organik. Oleh karena itu, ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memproduksi padi organik, antara lain : 1. Menentukan pasar potensial (harga dan ukuran) untuk produk yang diusulkan; 2. Menentukan apakah input yang diperlukan cukup tersedia untuk membuat usaha tersebut bersifat ekonomis; 3. Menentukan apakah dapat diproduksi produk yang mencukupi untuk terus memenuhi permintaan pasar secara tepat waktu dan sesuai dengan kualitas yang diminta; 4. Menentukan kebutuhan fasilitas, persyaratan modal dan pendanaan, biaya, dan laba potensial; 5. Menganalisis kebutuhan dan biaya infrastruktur dalam memastikan pengadaan produk yang kontiniu dan tepat waktu; dan 6. Mekanisme sertifikasi diperlukan (Departemen Pertanian, 2008).

  Cara bertanam padi organik pada dasarnya tidak berbeda dengan bertanam padi secara konvensional. Perbedaannya hanyalah pada pemilihan varietas, penggunaan pupuk dan pestisida. Di mana tidak semua varietas padi cocok untuk dibudidayakan secara organik. Varietas padi yang cocok ditanam secara organik hanyalah jenis varietas non-hibrida atau varietas alami. Agar berproduksi optimal, jenis padi ini tidak menuntut penggunaan pupuk kimia (Andoko, 2010).

  Menurut Mulyawan (2011) ada dua varietas alami padi organik yang dapat dibudidayakan, antara lain :

1. Cintanur, merupakan beras/padi varietas lokal yang dikembangkan lewat perkawinan silang secara alami yang melibatkan benih varietas lokal.

  Persilangan varietas lokal ini bukan GMO (Genetically Modified Organism), sehingga sangat aman untuk dikonsumsi semua orang. Oleh karena itu, beras organik Cintanur jika dimasak rasanya sangat enak, wangi sekaligus pulen. Beras organik Cintanur bahkan lebih pulen daripada beras organik pandan wangi dengan tingkat aroma wangi yang hampir dikatakan sama.

2. Ciherang, merupakan beras organik yang berbeda dengan varietas lain.

  Karakter khususnya, yaitu butir beras Ciherang berbentuk panjang, tidak berbau wangi sehingga berbeda dengan beras organik Pandan Wangi. Selain itu, dari segi budidaya beras organik Ciherang dikenal mempunyai daya tahan yang kuat terhadap hama dan dari segi produktivitasnya pun beras organik Ciherang dikenal lebih produktif daripada beras organik varietas lain.

  Ciri utama budidaya padi organik adalah tidak menggunakan pupuk kimia. Seluruh pupuk yang digunakan sepenuhnya berupa pupuk organik, mulai dari pemupukan awal atau dasar hingga pemupukan susulan. Pupuk tersebut dapat berbentuk padat yang diaplikasikan lewat akar, seperti pupuk kandang, pupuk hijauan, kompos, dan humus maupun cair yang diaplikasikan lewat daun, seperti pupuk kandang cair dan biogas. Selain itu, pada budidaya padi organik penggunaan pestisida kimia sama sekali tidak dibenarkan dalam pemberantasan hama dan penyakit. Pemberantasan hama dan penyakit padi organik perlu dilakukan secara terpadu antara teknik budidaya, biologis, fisik (perangkap atau umpan), dan kimia dengan menggunakan pestisida organik (Andoko, 2010).

  Menurut Parnata (2010) pupuk organik adalah pupuk yang tersusun dari materi makhluk hidup. Penggunaan pupuk organik terutama di lahan-lahan pertanian dapat memberikan beberapa keuntungan, antara lain : a) Memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah; b) Meningkatkan daya serap tanah terhadap air; c) Meningkatkan efektivitas mikroorganisme tanah; d) Sumber makanan bagi tanaman; e) Ramah lingkungan; f) Pupuk organik lebih murah; dan h) Meningkatkan kualitas produksi/hasil panen.

2.2.5 Analisis Pengeluaran dan Pendapatan Usahatani

  Menurut Soekartawi, 2002 dalam Rahim dan Retno (2008), pengeluaran usahatani sama artinya dengan biaya usahatani. Biaya usahatani merupakan pengorbanan yang dilakukan oleh produsen (petani, nelayan, dan peternak) dalam mengelola usahanya dalam mendapatkan hasil yang maksimal. Biaya usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

  a. Biaya tetap (fixed cost) umumnya diartikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun output yang diperoleh banyak atau sedikit. Selain itu, biaya tetap dapat pula dikatakan biaya yang tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi komoditas pertanian, contohnya pajak, sewa tanah, penyusutan alat pertanian, iuran irigasi, dan sebagainya.

  b. Biaya variabel (variabel cost) merupakan biaya yang besar- kecilnya dipengaruhi oleh produksi komoditas pertanian yang diperoleh. Biaya variabel merupakan biaya operasional dalam suatu usahatani. Contohnya biaya untuk sarana produksi pertanian seperti biaya tenaga kerja, biaya pupuk, obat-obatan, dan sebagainya.

  Menurut Suratiyah (2006), biaya penyusutan alat-alat pertanian dapat diperhitungkan dengan cara membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya modal pakai. Adapun salah satu metode perhitungan biaya penyusutan adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan tidak laku bila dijual. Persamaan biaya penyusutan dapat dirumuskan sebagai berikut :

  NilaibeliNilaisisa

  Biaya penyusutan = (tahun )

  Usiaekonom is

  Menurut Rahim dan Retno (2008), penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Selain itu, pendapatan usahatani dapat didefinisikan sebagai selisih antara penerimaan dan semua biaya.

  Peningkatan pendapatan petani atau pengusaha pertanian ditentukan oleh jumlah produksi yang dapat dihasilkan oleh satu orang petani atau perusahaan pertanian, harga penjualan produksi, dan biaya produksi usahatani atau perusahaan pertanian. Jumlah produksi dari satu usahatani atau satu perusahaan pertanian ditentukan oleh skala usaha dan produktivitas yang dapat diperoleh suatu unit usahatani atau perusahaan pertanian. Besarnya skala usahatani dapat ditentukan oleh besarnya jumlah penduduk yang hidup/berusaha dalam sektor pertanian (Simanjuntak, 2004).

  Menurut Suratiyah (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan terdiri dari 2 (dua), yaitu faktor internal dan eksternal. Salah satu faktor internal yang berpengaruh langsung terhadap biaya dan pendapatan adalah jumlah tenaga kerja dalam keluarga (TKDK). Dimana apabila petani lahan sempit menggunakan tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dengan jumlah yang semakin banyak, maka petani dapat menyelesaikan usahataninya tanpa menggunakan tenaga kerja luar yang diupah. Dengan demikian biaya per usahataninya menjadi rendah. Namun jika lahan garapan lebih luas belum tentu tenaga kerja dalam keluarga dapat mengerjakan semua. Hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor musim dan tanam serempak sehingga segala kegiatan usahatani harus dapat diselesaikan tepat waktu dengan tenaga kerja luar. Biaya usahatani menjadi lebih tinggi karena harus memanfaatkan tenaga kerja luar keluarga yang diupah.

  Adapun salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan, yaitu produksi (output). Jika permintaan akan produksi tinggi, maka harga di tingkat petani tinggi pula, sehingga dengan biaya yang sama petani akan memperoleh pendapatan yang tinggi pula. Sebaliknya, jika petani telah dapat meningkatkan hasil produksi, tetapi harga turun maka pendapatan petani akan turun pula.

2.2.6 Analisis Kelayakan Usahatani

  Suatu usahatani dikatakan layak jika memenuhi persyaratan sebagai berikut.

  a) R/C > 1

  b) Produksi (kg) > BEP produksi (kg)

  c) Harga (Rp) > BEP harga (Rp/kg) (Suratiyah, 2006).

  Menurut Gilarso (2004), Break Event Point (BEP) adalah titik pengembalian pokok dimana TR (Total Revenue) sama dengan TC (Total Cost).

  Jika dilihat dari jangka waktu pelaksanaan sebuah usaha, terjadinya titik pengembalian pokok tergantung pada nilai penerimaan dapat menutup segala biaya yang dikeluarkan untuk usahatani tersebut. Perpotongan antara garis biaya total (TC) dengan penerimaan total (TR) disebut dengan titik Break Event Point (BEP) seperti yang terlihat pada gambar berikut.

  X TR TC BEP

  VC FC Y Y

  1 Gambar 1. Grafik Break Event Point (BEP)

  Pada Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa pada tingkat produksi 0Y

  1 ,

  maka suatu usaha berada pada titik impas (Break Event Point) dan pada saat produksi < Y , maka usaha tersebut mengalami kerugian karena nilai penerimaan

  1

  lebih kecil dari total biaya (TR < TC). Sebaliknya apabila produksi pada YY

  1 ,

  maka usaha akan memperoleh keuntungan karena nilai penerimaan lebih besar daripada total biaya (TR > TC).

2.2.7 Analysis of Variances (ANOVA)

  Teknik analisis komparatif dengan menggunakan tes “t” yakni dengan mencari perbedaan yang signifikan dari dua buah mean hanya efektif bila jumlah variabelnya dua. Namun bila jumlah variabel lebih dari dua penggunaan, maka teknik analisis komparatif yang lebih baik untuk digunakan, yaitu Analysis of

  

Variances (ANOVA). Teknik analisis komparatif ANOVA memiliki beberapa

  asumsi dasar yang harus terpenuhi, antara lain : a.

  Distribusi data harus normal.

  b.

  Setiap kelompok hendaknya berasal dari populasi yang sama dengan variansi yang sama pula. Bila banyaknya sampel sama pada setiap kelompok maka kesamaan variansinya dapat diabaikan. Tapi, bila banyaknya sampel pada masing-masing kelompok tidak sama maka kesamaan variansi populasi sangat diperlukan.

  c.

  Pengambilan sampel dilakukan secara random (acak). (Hartono, 2009).

  Menurut Walpole (1993) analisis ragam bagi klasifikasi satu arah dengan mengambil ukuran contoh yang sama memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan ukuran contoh yang tidak sama. Keuntungan pertama adalah bahwa nilai rasio F tidak peka terhadap penyimpangan dari asumsi kehomogenan ragam bagi k populasi tersebut apabila ukuran contohnya sama. Akan tetapi, akan lebih baik bila kita berhati-hati dan melakukan uji bagi kehomogenan ragam tersebut. Uji demikian ini tentu saja sangat disarankan dalam kasus ukuran

  

contoh yang tidak sama bila ada keragu-raguan mengenai kehomogenan ragam

populasinya . Adapun uji yang akan kita digunakan disebut uji Bartlett.

  Keuntungan kedua, ukuran contoh yang sama meminimumkan peluang melakukan galat jenis II. Dan terakhir, penghitungan JKK lebih sederhana bila ukuran contohnya sama.

  Teknik analisis komparatif ANOVA dapat dilakukan dengan cara manual maupun penggunaan software statistik yang dikenal dengan istilah SPSS. Apabila ANOVA dilakukan dengan cara manual, maka prosedur yang dilakukan sangat rumit. Akan tetapi, dengan menggunakan software statistik SPSS 16.0 for

  

Windows pekerjaan yang rumit tersebut dapat dipermudah dan dilakukan dengan

waktu yang tidak lama (Hartono, 2008).

2.3 Kerangka Pemikiran

  Pada mulanya budidaya padi sawah masih bersifat tradisional tanpa menggunakan bahan-bahan kimia. Akan tetapi, seiring perkembangan teknologi, maka budidaya padi sawah sudah bersifat modern dengan menggunakan benih unggul, pupuk dan obat-obatan kimia yang dapat meningkatkan produksi padi sawah. Dengan kata lain budidaya seperti ini dikenal sebagai budidaya padi nonorganik/konvensional.

  Memasuki abad 21 ini, pola pikir dan selera konsumen atas produk-produk tanaman pangan khususnya beras yang dikonsumsi sudah mengalami perubahan, yaitu lebih mengutamakan faktor kesehatan dan keamanan. Dimana konsumen mengharapkan beras yang akan dikonsumsi telah terbebas dari zat-zat kimia yang berbahaya bagi tubuh daripada faktor harga yang lebih murah, tetapi menimbulkan berbagai penyakit. Kondisi seperti inilah yang mendorong timbulnya gerakan kembali pada budidaya padi sawah organik yang tidak menggunakan zat-zat kimia untuk menghasilkan beras yang lebih sehat dan aman bagi kesehatan manusia.

  Namun, dalam pelaksanaan gerakan kembali kepada budidaya padi organik tersebut tidak dapat diterapkan secara langsung oleh para petani yang sudah lama menerapkan budidaya padi nonorganik. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penerapan budidaya padi semiorganik dengan cara mengkombinasikan pemakaian pupuk dan pestisida kimia dengan pupuk dan pestisida organik, sehingga lama-kelamaan para petani telah terbiasa untuk tidak menggunakan zat-zat kimia dalam usahatani padi sawah.

  Apabila ditinjau dari segi total biaya produksi, maka pada umumnya biaya produksi dari budidaya padi semiorganik dan organik relatif lebih sedikit daripada biaya produksi padi nonorganik. Hal ini disebabkan karena berkurangnya biaya yang dikeluarkan oleh para petani padi sawah semiorganik dan organik untuk membeli pupuk dan pestisida kimia yang harganya lebih mahal daripada pupuk dan pestisida organik. Selain itu, apabila ditinjau dari segi harga jual beras yang dihasilkan dari ketiga jenis budidaya padi sawah tersebut diketahui bahwa harga jual beras organik relatif lebih mahal daripada beras nonorganik dan semiorganik.

  Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan suatu analisis untuk membandingkan ketiga jenis budidaya padi sawah nonorganik, semiorganik, dan organik. Analisis komparasi tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan total biaya produksi, dan pendapatan petani padi sawah berdasarkan budidaya nonorganik, semiorganik, dan organik serta menganalisis budidaya manakah yang lebih layak dan menguntungkan untuk diterapkan oleh para petani padi sawah yang ada di Kabupaten Serdang Bedagai.

  Analisis kelayakan usahatani padi sawah berdasarkan ketiga jenis budidaya nonorganik, semiorganik, dan organik tersebut dapat dilakukan melalui perhitungan nilai titik balik modal atau Break Even Point (BEP) dan rasio biaya dan penerimaan atau Return Cost Ratio (R/C). Dimana alat uji yang digunakan untuk membandingkan usahatani padi sawah dari ketiga jenis budidaya tersebut adalah ANOVA.

  Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat digambarkan skema kerangka pemikiran pada Gambar 2.

  

Usahatani Padi Sawah

Budidaya Padi Budidaya Padi Budidaya Padi Nonorganik Semiorganik Organik Komponen dan Pendapatan Analisis Kelayakan

  Total Biaya Petani Padi Usahatani Padi Produksi Padi dengan (BEP, R/C ratio dengan Budidaya pada Budidaya Budidaya Nonorganik, Nonorganik,

  Nonorganik, Semiorganik, Semiorganik, dan

Semiorganik, dan Organik Organik

dan Organik

Uji ANOVA

  

Budidaya Padi Sawah yang

Paling Layak dan

Menguntungkan bagi Petani

  

Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

  Keterangan : = Menyatakan proses = Menyatakan hubungan

2.4 Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan teori dan penelitian – penelitian sebelumnya, dapat dibentuk hipotesis, antara lain :

  1. Ada perbedaan rata-rata total biaya produksi usahatani padi sawah berdasarkan budidaya yang berbeda (nonorganik, semiorganik, dan organik).

  2. Ada perbedaan pendapatan petani padi sawah berdasarkan budidaya yang berbeda (nonorganik, semi organik, dan organik).

  3.

a) Ada perbedaan rata-rata R/C ratio pada usahatani padi sawah berdasarkan budidaya yang berbeda (nonorganik, semiorganik, dan organik).

  b) Ada perbedaan rata-rata BEP produksi dan BEP harga pada usahatani padi sawah berdasarkan budidaya yang berbeda (nonorganik, semiorganik, dan organik).

  4. Ada perbedaan rata-rata total biaya produksi, pendapatan petani, R/C ratio, BEP produksi, dan BEP harga pada usahatani padi nonorganik, semiorganik, dan organik berdasarkan strata luas lahan petani.

Dokumen yang terkait

Daya Terima Biskuit dengan Modifikasi Tepung Biji Nangka, Tepung Kacang Merah dan Tepung Pisang serta Kontribusinya terhadap Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi Remaja

0 1 16

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

0 0 24

2.2 Pengertian ASI Eksklusif - Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Suami Dalam Mendukung Pemberian ASI Eksklusif di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara 2014

1 1 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peran Serta Suami Dalam Mendukung Pemberian ASI Eksklusif di Kecamatan Lima Puluh Kabupaten Batu Bara 2014

0 0 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teknik Menyusui - Hubungan Teknik Menyusui Dengan Produksi Asi Pada Ibu Primipara Yang bersalin di klinik bidan sumiariani jl. Karya kasih Kecamatan Medan Johor Tahun 2014

0 0 14

BAB II MEMBACA PETA BUTA - Finding the Glassbox of Wonder

0 0 33

BAB I BERDIRI DI TITIK NOL - Finding the Glassbox of Wonder

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian getaran - Hubungan Lama Paparan Getaran Tangan dengan Keluhan Kesehatan pada Pekerja Cukur Rambut di Kelurahan Padang Bulan I Medan 2015

0 1 15

Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Budidaya Nonorganik, Semiorganik, dan Organik (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kec. Perbaungan, Kab. Serdang Bedagai)

0 0 72

III. METODE PENELITIAN - Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Berdasarkan Budidaya Nonorganik, Semiorganik, dan Organik (Studi Kasus: Desa Lubuk Bayas, Kec. Perbaungan, Kab. Serdang Bedagai)

0 1 55