BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Adaptasi Dan Mitigasi Bencana Banjir Pada Masyarakat Di Kelurahan Aur Kecamatan Medan Maimun

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Bencana

  Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam maupun faktor non-alam sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

  Carter (2001) dalam Kodoatie dan Sjarief (2006) yang dikutip oleh Purnomo dan Sugiantoro (2010) mendefenisikan bencana sebagai suatu kejadian alam atau buatan manusia, yang datang secara tiba-tiba yang menimbulkan dampak yang dahsyat, sehingga masyarakat yang terkena harus merespon dengan tindakan- tindakan yang luar biasa.

  Menurut United Nation Development Program (UNDP) dalam Ramli (2010), bencana adalah suatu kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang menimbulkan bencana.

  Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 mengklasifakasikan bencana ke dalam tiga jenis, yaitu: a.

  Bencana Alam : Merupakan bencana yang besumber dari fenomena alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, pemanasan global, topan dan tsunami.

  7 b.

  Bencana Non-Alam : Merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam antara lain; gagal teknologi, epidemik, dan wabah penyakit.

  c.

  Bencana Sosial : Merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia seperti; konflik sosial, dan aksi teror.

2.1.1. Manajemen Bencana

  Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban jiwa dan kerugian yang ditimbulkannya (Ramli, 2010: 10).

  Manajemen bencana pada dasarnya merupakan konsep penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

  Menurut Ramli (2010) ada empat tujuan manajemen bencana, yaitu: 1)

  Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak diinginkan.

  2) Menekan kerugian dan angka korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana.

  3) Meningkatkan kesadaran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi terhadap bencana sehingga terlibat dalam proses penanggulangan bencana.

  4) Melindungi anggota masyarakat dari ancaman, bahaya atau dampak bencana.

  Manajemen bencana dapat dibagi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkat lokasi, tingkat unit atau daerah, dan tingkat nasional atau korporat. Untuk tingkat lokasi disebut manajemen insiden (incident management), pada tingkat daerah atau unit disebut manajemen darurat (emergency management), dan pada tingkat nasional disebut manajemen krisis (crisis management).

  1) Manajemen insiden (incident management) : Yaitu penanggulangan bencana di lokasi atau langsung di tempat kejadian. Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat teknis.

  2) Manajemen darurat (emergency management) : Yaitu penanggulangan bencana di daerah yang mengkordinir lokasi kejadian. Tingkatan ini meliputi strategi dan taktis.

  3) Manajemen krisis (crisis management) : Manajemen krisis berada pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat nasional. Tingkatan ini lebih bersifat strategis dan penentuan kebijakan.

  Tahapan bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk mengelola bencana dengan baik dan aman. Tahapan tersebut pada dasarnya adalah satu kesatuan sistem dalam upaya penanggulangan bencana. Berikut tahapan manajemen bencana tersebut : 1) Pra bencana.

  a) Kesiagaan : Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna.

  Kesiagaan merupakan tahapan yang paling strategis, karena sangat menentukan ketahanan anggota masyarakat dalam manghadapi datangnya suatu bencana.

  b) Peringatan dini : Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat akan bencana yang akan terjadi. Peringatan yang diberikan didasarkan pada berbagai informasi teknis dan ilmiah yang dimiliki, diolah, atau diterima dari pihak berwenang mengenai kemungkingan akan terjadinya suatu bencana.

  c) Mitigasi : Mitigasi adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan suatu bencana (Ramli, 2010).

  Pendekatan-pendekatan dalam mitigasi bencana.

  a. Pendekatan teknis.

  1) Membuat rancangan bangunan yang kokoh. 2) Membuat material yang tahan terhadap bencana. Contoh: material tahan api. 3) Membuat rancangan teknis pengaman. Contoh: tanggul.

  b.

  Pendekatan manusia.

  Pendekatan ini ditujukan untuk membentuk karakter manusia yang paham dan sadar mengenai bahaya bencana. oleh karenanya hidup manusia harus dapat diperbaiki dengan kondisi lingkungan dan potensi bencana yang dihadpainya.

  c. Pendekatan administratif.

  1) Penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek resiko bencana.

  2) Sistem prizinan dengan memasukkan aspek analisa resiko bencana. 3) Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan industri bersiko tinggi.

  4) Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisasi pelaksananya baik pemerintah maupun industri bersiko tinggi.

  d. Pendekatan kultural.

  Pendekatan ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat mengenai bencana dan bahaya yang ditimbulkannya.

  Penyadaran disesuaikan dengan kearifan lokal dan tradisi masyarakat yang telah membudaya sejak lama (Ibid).

  2) Saat terjadi bencana (tanggap darurat).

  Tangggap darurat adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi proses pencarian, penyelamatan, dan evakuasi korban, pemenuhan kebutuha n dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan sarana dan prasarana.

  Dalam UU No. 24 Tahun 2007 disebutkan proses penyelengaraan bencana pada saat tanggap darurat sebagai berikut: a)

  Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap loksi, kerusakan, dan sumber daya.

  b) Penentuan status keadaan darurat bencana.

  c) Penyelamatan dan evakuasi.

  d) Pemenuhan kebutuhan dasar.

  e) Perlindungan terhadap kelompok rentan.

  f) Pemulihan dengan segera sarana dan prasarana vital.

  3) Pasca bencana

  a) Rehabilitasi : Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat.

  b) Rekontruksi: Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua sarana dan prasarana serta kelembagaan di wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perkonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat (Ramli, 2010).

2.1.2. Bencana Banjir

  Menurut Hasibuan (2004), banjir adalah jumlah debit air yang melebihi kapasitas pengaliran air tertentu, ataupun meluapnya aliran air pada palung sungai atau saluran sehingga air melimpah dari kiri kanan tanggul sungai atau saluran. Dalam kepentingan yang lebih teknis, banjir dapat di sebut sebagai genangan air yang terjadi di suatu lokasi yang diakibatkan oleh : (1) Perubahan tata guna lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS); (2) Pembuangan sampah; (3) Erosi dan sedimentasi; (4) Kawasan kumuh sepanjang jalur drainase; (5) Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat; (6) Curah hujan yang tinggi; (7) Pengaruh fisiografi/geofisik sungai; (8) Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai; (9) Pengaruh air pasang; (10) Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang surut air laut); (11) Drainase lahan; (12) Bendung dan bangunan air; dan (13) Kerusakan bangunan pengendali banjir. (Kodoatie, 2002).

  Banjir adalah keadaan dimana suatu daerah tergenang oleh air dalam jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara tiba-tiba yang disebabkan oleh tersumbatnya sungai maupun karena penggundulan hutan di sepanjang aliran sungai (Ramli, 2010: 98).

  Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011, banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai.

2.1.3. Faktor-faktor Penyebab Banjir

  Berikut beberapa faktor penyebab banjir menurut Ramli (2010): d.

  Curah hujan tinggi.

  e.

  Permukaan tanah lebih rendah dari permukaan air laut.

  f.

  Terletak pada suatu cekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air keluar sempit atau terbatas.

  g.

  Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran (bantaran) sepanjang sungai.

  h.

  Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya sampah serta bangunan dipinggir sungai. i.

  Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.

  Kodoatie (2002) menjelaskan faktor-faktor penyebab banjir karena tindakan manusia sebagai berikut: a.

  Perubahan kondisi Daerah Pengaliran Sungai (DPS).

  b.

  Kawasan kumuh. c.

  Sampah.

  d.

  Drainase lahan.

  e.

  Kerusakan bangunan pengendali banjir.

  f.

  Perencanaan sistem pengendalian banjir yang tidak tepat.

2.1.4. Penanggulangan Banjir

  Maryono (2005) menjelaskan langkah-langkah pokok dalam menyusun pedoman atau kerangka acuan untuk pembuatan masterplan atau program penanganan banjir. Langkah-langkah tersebut yaitu: a.

  Pemetaan dan analisis perubahan tata guna lahan di DAS. Hasil dari langkah ini adalah berupa peta tata guna lahan di DAS perubahannya, serta kaitannya dengan kejadian-kejadian banjir.

  b.

  Pemetaan dan analisis wilayah sungai, sempadan sungai, dan alur sungai, baik sungai besar di hilir maupun sungai kecil di bagian hulu. Dari pemetaan di sepanjang sungai ini selanjutnya dapat di analisis dengan cermat karakter sungai bersangkutan serta kaitannya dengan potensi banjir, baik banjir biasa maupun banjir banding.

  c.

  Pemetaan komponen ekologi retensi alamiah sempadan sungai dan kondisi fisik hidraulik di sepanjang sempadan sungai. Hasil dari pemetaan ini dapat digunakan untuk menganalisis kemungkinan peningkatan retensi sepanjang alur sungai.

  d.

  Pemetaan dan analisis saluran drainase yang masuk ke sungai. Dari hasil pemetaan ini dapat ditetapkan alur-alur drainase yang perlu diperbaiki.

  e.

  Pemetaan dan pendataan kondisi daerah pedesaan dan daerah semi urban bagian hulu dan tengah. Langkah ini labih baik dilaksanakan besama masyarakat, sehingga tujuan penanganan banjir dapat tercapai, dan masyarakat mendapatkan pembelajaran dai itu.

  f.

  Pemetaan sistem makro dan mikro wilayah keairan (sungai, danau, pantai, dan lain-lain) yang dilanda banjir. Hasil kegiatan ini adalah dapat ditemukan secara pasti penyebab banjir pada skala mikro dan makro wilayah tersebut. Hasil pemetaan ini juga dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan kebijakan mengenai penanggulangan banajir.

  g.

  Pemetaan budaya masyarakat dan kaitannya dengan penanggulangan banjir.

  Selain langkah-langkah di atas, terdapat langkah-langkah penanggulangan banjir lainnya yang terkait langsung dengan sungai, yaitu: 1) Reboisasi dan konservasi hutan di sepanjang DAS dari hulu ke hilir. 2)

  Penataan tata guna lahan yang meminimalisir limpasan langsung dan mempertinggi retensi dan konservasi air di DAS.

  3) Tidak melakukan pelurusan sungai. 4)

  Mempertahankan bentuk sungai yang berliku-liku, karena akan mengurangi erosi, dan meningkatkan konservasi.

  5) Memanfaatkan daerah genangan air di sepanjang sempadan sungai dari hulu ke hilir.

  6) Mengubah sistem drainase konvensional yang mengalirkan air buangan secepat-cepatnya ke hilir menjadi sistem yang alamiah (lambat), sehingga waktu konservasi air cukup memadai dan tidak menimbulkan banjir di hilir.

  7) Melakukan relokasi pemukiman yang berada di DAS atau bantaran sungai.

  8) Melakukan pendekatan sosio-hidraulik, yaitu dengan meningkatkan kesadaran masyarakat secara terus menerus untuk terlibat dalam penanggulangan banjir.

  Beberapa tindakan penanggulangan banjir menurut Ramli (2010): a.

  Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai dengan fungsi lahan.

  b.

  Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang sering menimbulkan banjir.

  c.

  Tidak membangun rumah atau pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir.

  d.

  Mengadakan program pengerukan sampah di sungai.

  e.

  Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.

2.2 Adaptasi Sosial

2.2.2 Pola Adaptasi Sosial

  Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1991:55).

  Menurut Karta Sapoetra adaptasi mempunyai dua arti. Adaptasi yang pertama disebut penyesuaian diri yang autoplastis (auto artinya sendiri, plastis artinya bentuk), sedangkan pengertian yang kedua disebut penyesuaian diri yang allopstatis (allo artinya yang lain, palstis artinya bentuk). Jadi adaptasi ada yang artinya “pasif” yang mana kegiatan pribadi di tentukan oleh lingkungan. Dan ada yang artinya “aktif”, yang mana pribadi mempengaruhi lingkungan (Karta Sapoetra,1987:50).

  Menurut Suparlan (Suparlan,1993:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan kehidupan. Syarat-syarat dasar tersebut mencakup: 1.

  Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).

2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan takut, keterpencilan gelisah).

  3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk dapat mempertahankan diri dari serangan musuh). Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni: a.

  Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

  b.

  Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.

  c.

  Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.

  d.

  Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan. e.

  Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem.

  f.

  Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah. Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut, Aminuddin menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan dengan tujuan-tujuan tertentu

  (Aminuddin, 2000: 38), di antaranya: a.

  Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.

  b.

  Menyalurkan ketegangan sosial.

  c.

  Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.

  d.

  Bertahan hidup.

  Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Menurut Suyono (1985), pola adalah suatu rangkaian unsur- unsur yang sudah menetap mengenai suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, pola adaptasi dalam penelitian ini adalah sebagai unsur- unsur yang sudah menetap dalam proses adaptasi yang dapat menggambarkan proses adaptasi dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam interaksi, tingkah laku maupun dari masing-masing adat-istiadat kebudayaan yang ada.

  Proses adaptasi berlangsung dalam suatu perjalanan waktu yang tidak dapat diperhitungkan dengan tepat. Kurun waktunya bisa cepat, lambat, atau justru berakhir dengan kegagalan. Bagi manusia, lingkungan yang paling dekat dan nyata adalah alam fisio-organik. Baik lokasi fisik geografis sebagai tempat pemukiman yang sedikit banyaknya mempengaruhi ciri-ciri psikologisnya, maupun kebutuhan biologis yang harus dipenuhinya, keduanya merupakan lingkungan alam fisio-organik tempat manusia beradaptasi untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Alam fisio organik disebut juga lingkungan eksternal.

  Adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal merupakan fungsi kultural dan fungsi sosial dalam mengorganisasikan kemampuan manusia yang disebut teknologi. Keseluruhan prosedur adaptasi dan campur tangan terhadap lingkungan eksternal, termasuk keterampilan, keahlian teknik, dan peralatan mulai dari alat primitif samapai kepada komputer elektronis yang secara bersama-sama memungkinkan pengendalian aktif dan mengubah objek fisik serta lingkungan biologis untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan hidup manusia. (Alimandan, 1995:56).

  Stategi adaptasi yang dilakukan dalam masyarakat pasca bencana alam dapat dilakukan dengan penanggulangan bencana alam yang tepat, agar masyarakat bisa aktif kembali pasca bencana alam. Besarnya potensi ancaman bencana alam yang setiap saat dapat mengancam dan mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia serta guna meminimalkan risiko pada kejadian mendatang, perlu disikapi dengan meningkatkan kapasitas dalam penanganan dan pengurangan risiko bencana baik di tingkat Pemerintah maupun masyarakat. Sejauh ini telah tersedia perangkat regulasi penanggulangan bencana, yaitu UU Nomor 24 Tahun 2007 yang memberikan kerangka penanggulangan bencana, meliputi prabencana, tanggap darurat, dan pascabencana. Aktivitas penanggulangan bencana yang menjadi prioritas utama meliputi: mitigasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi.

  1. Mitigasi yaitu upaya-upaya yang dilakukan untuk mencegah apa yang akan terjadi terutama berdampak negatif pada lingkungan akibat bencana alam.

2. Rehabilitasi yaitu pemulihan kembali yang dilakukan terhadap kerusakan- kerusakan berupa fisik dan infrastruktur akibat bencana alam.

  3. Rekontruksi yaitu membangun kembali dari kerusakan kerusakan yang terjadi akibat bencana alam. Penaggulangan bencana yang telah ditetpakan pemerintah dibuat guna membangun kembali daerah yang terkena bencana menggingat indonesia rawan akan bencana alam.

2.2.2 Perubahan Sosial

  Setiap kehidupan manusia akan mengalami perubahan. Perubahan itu dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola prilaku, perekonomian, lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat, interaksi sosial dan yang lainya. Perubahan sosial terjadi pada semua masyarakat dalam setiap proses dan waktu, dampak perubahan tersebut dapat berakibat positif dan negatif. Terjadinya perubahan merupakan gejala yang wajar dalam kehidupan manusia. Hal ini terjadi karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tidak terbatas.

  Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami masyarakat serta semua unsur-unsur budaya dan sistem-sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat secara suka rela atau di pengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola kehidupan, budaya dan sistem sosial yang baru.

  Perubahan sosial terjadi pada dasarnya karena ada anggota masyarakat pada waktu tertentu merasa tidak puas lagi terhadap keadaan kehidupanya yang lama dan menganggap sudah tidak puas lagi atau tidak memadai untuk memenuhi kehidupan yang baru.

  Menurut Gillin dan Gillin (Abdulsyani,2002:163) perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Selain itu, Selo Soemardjan berpendapat bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang memepengaruhi sistem sosial lainya, termasuk didalam nilai- nilai, sikap, dan pola prilaku antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

  (Soerjono Soekanto,2007:263).

  Soerjono Soekanto (2000:338) berpendapat bahwa ada kondisi-kondisi sosial primer yang menyebabkan terjadinya perubahan. Misalnya kondisi-kondisi ekonomis, teknologis dan geografis, atau biologis yang menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek-aspek kehidupan sosial lainnya. Sebaliknya ada pula yang mengatakan bahwa semua kondisi tersebut sama pentingnya, satu atau semua akan menghasilkan perubahan-perubahan sosial. Adapun yang menjadi ciri-ciri perubahan sosial itu sendiri antara lain: a.

  Perubahan sosial terjadi secara terus menerus b.

  Perubahan sosial selalu diikuti oleh perubahan-perubahan sosial lainnya c. Perubahan-perubahan sosial yang cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi yang bersifat sementara karena berada di dalam proses penyesuaian diri d. Setiap masyarakat mengalami perubahan (masyarakat dinamis)

  Perubahan sosial tidak terjadi begitu saja. Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa perubahan sosial dapat bersumber dari dalam masyarakat (internal) dan faktor dari luar masyarakat (eksternal).

  1. Faktor internal Perubahan sosial dapat disebakan oleh perubahan-perubahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri. Adapun faktor tersebut antara lain: a)

  Perkembangan ilmu pengetahuan, Penemuan-penemuan baru akibat perkembangan ilmu pengetahuan, baik berupa teknologi maupun berupa gagasan-gagasan menyebar kemasyarakat, dikenal, diakui, dan selanjutnya diterima serta menimbulkan perubahan sosial.

  b) Kependudukan, faktor ini berkaitan erat dengan bertambah dan berkurangnya jumlah penduduk.

  c) Penemuan baru untuk memenuhi kebutuhannya, manusia berusaha untuk mencoba hal-hal yang baru. Pada suatu saat orang akan menemukan suatu yang baru baik berupa ide maupun benda. Penemuan baru sering berpengaruh terhadap bidang atau aspek lain. d) Konflik dalam masyarakat, adanya konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya, pertentangan antara indvidu, individu dengan kelompok maupun antar kelompok sebenarnya didasari oleh perbedaan kepentingan.

  2. Faktor eksternal Perubahan sosial disebabkan oleh perubahan-perubahan dari luar masyarakat itu sendiri seperti: a)

  Pengaruh kebudayaan masyarakat lain, Adanya interaksi langsung (tatap muka) antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya akan menyebabkan saling berpengaruh. Disamping itu, pengaruh dapat berlangsung melalui komunikasi satu arah, yakni komunikasi masyarakat dengan media-media massa.

  b) Peperangan, Terjadinya perang antar suku atau antar negara akan berakibat munculnya perubahan-perubahan pada suku atau negara yang kalah. Pada umumnya mereka akan memaksakan kebiasaan-kebiasaan yang biasa dilakukan oleh masyarakatnya, ataupun kebudayaan yang dimilikinya kepada suku atau negara yang mengalami kekalahan.

  c) Perubahan dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia,terjadinya gempa bumi, topan, banjir besar, gunung meletus dan lain-lain mungkin menyebabkan masyarakat-masyarakat yang mendiami daerah- daerah tersebut terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya dan kemungkinan masih bertahan di daerahnya tersebut. Hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga kemasyarakatanya karena masyarakatnya harus memulai kehidupan baru kembali. Sebab yang bersuber dari lingkungan alam fisik kadang-kadang ditimbulkan oleh tindakan para warga masyarakat itu sendiri. Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Bencana Hardesty (1977) mengemukakan tentang adaptasi bahwa: “adaptation is the process through which benefi cial relationships are established and maintained between an organism and its environment”, maksudnya, adaptasi adalah proses terjalinnya dan terpeliharanya hubungan yang saling menguntungkan antara organisme dan lingkungannya. Sementara itu para ahli ekologi budaya (cultural ecologists) (Alland, 1975;

  Harris, 1968; Moran, 1982) mendefi nisikan, bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Dalam kajian adaptabilitas manusia terhadap lingkungan, ekosistem merupakan keseluruhan situasi, di mana adaptabilitas berlangsung atau terjadi.

  Karena populasi manusia tersebar di berbagai belahan bumi, konteks adaptabilitas sangat berbeda-beda. Suatu populasi di suatu ekosistem tertentu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan dengan cara-cara yang spesifi k. Ketika suatu populasi atau masyarakat mulai menyesuaikan diri terhadap suatu lingkungan yang baru, suatu proses perubahan akan dimulai dan dapat saja membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri (Moran 1982). Sahlins (1968) menekankan bahwa proses adaptasi sangatlah dinamis, karena lingkungan dan populasi manusia terus dan selalu berubah. Smit dkk., (1999) dalam kajiannya mengenai perubahan iklim, mengartikan adaptasi sebagai penyesuaian di dalam sistem ekologi-sosial-ekonomi sebagai respon terhadap kondisi ikilm dan dampaknya.

  Smit dan Wandel (2006) juga menyatakan bahwa adaptasi manusia dalam perubahan global merupakan proses dan hasil dari sebuah sistem, untuk mengatasi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan, tekanan, bahaya, risiko, dan kesempatan. Dalam perubahan iklim terdapat 2 peran adaptasi yaitu sebagai bagian dari penilaian dampak dengan kata kunci yaitu (1) adapatasi yang dilakukan, dan (2) respon kebijakan dengan kata kunci rekomendasi adaptasi.

  Kerangka dalam mendefi niskan adaptasi adalah dengan mempertanyakan: (1) adaptasi terhadap apa?; (2) siapa atau apa yang beradaptasi?; dan (3) bagaimana adaptasi berlangsung?. Hal ini berarti bahwa adaptasi adalah proses adaptasi dan kondisi yang diadaptasikan

2.2. Strategi Adaptasi

  Adaptasi menurut Soerjono Soekanto dalam Rabanta (2009), mengemukakan tentang adaptasi dalam beberapa batasan adaptasi sosial:

  1. Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan 2.

  Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan

  3. Proses perubahan-perubahan menyesuaikan dengan situasi yang berubah

  4. Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan 5.

  Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan dan sistem

6. Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi ilmiah

  Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan proses penyesuaian individu, kelompok terhadap norma-norma, perubahan agar dapat disesuaikan dengan kondisi yang diciptakan. Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut Aminuddin dalam Rabanta (2009) menyebutkan bahwa penyesuaian dilakukan demi tujuan-tujuan tertentu, diantaranya: 1.

  Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan 2. Menyalurkan ketegangan sosial 3. Mempertahankan kelangsungan keluarga/unit sosial 4. Bertahan hidup

  Strategi adaptasi dimaksud oleh Edi Suharto dalam Edi (2009), sebagai

  Coping strategies . Secara umum strategi bertahan hidup (coping strategies) dapat

  didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam menerapkan seperangkat cara untuk mengatasi berbagi permasalahan yang melingkupi kehidupannya. Strategi penanganan masalah ini pada dasarnya merupakan kemampuan segenap anggota keluarga dalam mengelola segenap aset yang dimilikinya.

  Berdasarkan konsepsi ini, Mosser dalam Suharto (2009) membuat kerangka analisis yang disebut “The Aset Vulnerability Framework”. Kerangka ini meliputi berbagai pengelolaan aset yang dapat digunakan untuk melakukan penyesuaian atau pengembangan strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup:

  1. Aset tenaga kerja, misalnya meningkatkan keterlibatan wanita dan anak dalam bekerja untuk membantu ekonomi rumah tangga

  2. Aset modal manusia , misalnya memanfaatkan status kesehatan yang dapat menentukan kapasitas seseorang atau bekerja atau ketrampilan dan pendidikan yang menentukan umpan balik atau hasil kerja terhadap tenaga yang dikeluarkannya.

3. Aset produktif , misalnya menggunakan rumah, sawah, ternak, tanaman untuk keperluan lainnya.

  4. Aset relasi rumah tangga atau keluarga, misalnya memanfaatkan jaringan dan dukungan dari sistem keluarga besar, kelompok etnis, migarasi tenaga kerja dan mekanisme “uang kiriman” 5. Aset modal sosial, misalnya memanfaatkan lembaga-lembaga sosial loka, arisan dan pemberi kredit dalam proses dan sistem perekonomian keluarga. Selanjutnya Edi Suharno dalam Edi (2009:31) menyatakan strategi bertahan hidup (coping strategies) dalam mengatasi goncangan dan tekanan ekonomi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara-cara tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu:

  1. Strategi aktif, yaitu strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk (misalnya melakukan aktivitasnya sendiri, memperpanjang jam kerja, memanfaatkan sumber atau tanaman liar di lingkungan sekitarnya dan sebagainya)

2. Strategi pasif, yaitu mengurangi pengeluaran keluarga ( misalnya, biaya untuk sandang, pangan, pendidikan, dan sebagainya).

  3. Strategi jaringan, misalnya menjalin relasi, baik formal maupun informal dengan lingkungan sosialnya, dan lingkungan kelembagaan ( misalnya: meminjam uang dengan tetangga, mengutang di warung, memanfaatkan program kemiskinan, meminjam uang ke rentenir atau bank, dan sebagainya).

2.3. Masyarakat

  Koentjaraningrat (2003) merumuskan pengertian masyarakat berdasarkan empat ciri berikut : a.

  Interaksi.

  b.

  Adat-istiadat, norma-norma, hukum, dan aturan-aturan.

  c.

  Bersifat terus-menerus.

  d.

  Rasa identitas.

  

Berdasarkan empat ciri di atas, masyarakat diartikan sebagai kesatuan hidup

manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat-istiadat tertentu yang sifatnya

berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Sihotang (1992)

menjelaskan masyarakat dalam dua defenisi, yaitu defenisi analitik dan defenisi

fungsional. Dalam definisi analitik, masyarakat adalah sejumlah orang yang berdiri

sendiri atau swasembada yang mempunyai cirri-ciri adanya organisasi sendiri,

wilayah tempat tinggal, kebudayaan sendiri, dan keturunan yang akan meneruskan

masyarakatnya. Sedangkan dalam defenisi fungsional, masyarakat adalah sejumlah

manusia yang mempunyai sistem tidakan bersama, yang mampu terus ada lebih lama

dari masa hidup seorang individu, dan para anggotanya bertambah sebagian melalui

keturunan pada anggota.

  Ciri-ciri masyarakat (Sihotang, 1992): a.

  Mampu berdiri sendiri dan memenuhi kebutuhan sendiri, b.

  Mampu mempertahankan keberadaanya melalui pergantian atau pertambahan anggota dengan adanya keturunannya.

  c.

  Mampu mempertahankan keberadaannya bergenerasi-generasi.

  d.

  Ada wilayah tertentu yang menjadi tempat tinggal.

  e.

  Mempunyai kebudayaan sendiri yang menjadi sumber nilai dan norma, pola tindakan, dan alat memenuhi keperluan hidup.

  f.

  Mempunyai sistem dan struktur.

  

Berdasarkan ciri-ciri di atas, definisi masyarakat adalah sejumlah orang yang

bertempat tinggal di wilayah tertentu yang tersusun oleh sistem dan mempunyai

struktur, mempunyai kebudayaan sendiri, dan dapat mempersiapkan penerusan

adanya anggota untuk bergenerasi (Sihotang, 1992).

  

Sihotang (1992) menilai bahwa masyarakat baik perkotaan ataupun pedesaan

secara pasti akan menghadapi berbagai masalah sosial yang terwujud sebagai hasil

dari kebudayaanya, sebagai akibat dari hubungan antar sesamanya dan juga sebagai

akibat dari tingkah laku mereka. Berkembangnya kebudayaan nasional cenderung

terjadi di kota. Masyarakat kota sendiri cenderung untuk lebih banyak terlihat dalam

berbagai kegiatan sosial yang tergolong dalam lingkungan nasional.

  Masyarakat perkotaan bersifat heterogen. Heterogenitas yang mewarnai

kehidupan di perkotaan berlaku juga untuk keanekaragaman lapangan mata

pencaharian, karena adanya keanekaragaman sektor-sektor ekonomi. Perkembangan

industri erat hubungannya dengan laju perkembangan kota, karena perkembangan

industri merupakan salah satu terjadinya dinamika kota. Pada waktunya, kota-kota

akan mengalami kesulitan untuk menyediakan pekerjaan, dan syarat-syarat minimal

kehidupan yang pantas untuk jumlah yang besar secara terus menerus semakin

  

meningkatkan laju pertumbuhan jumlah penduduk kota sedangkan mereka adalah

orang baru yang memasuki ekonomi kota (Sihotang, 1992).

Dokumen yang terkait

Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Profitabilitas Dengan Leverage dan Perputaran Persediaan Sebagai Variabel Moderasi Pada Perusahaan Manufaktur Sektor Konsumsi yang Terdaftar Di BEI Tahun 2011-2013

0 0 12

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Konsep Diri Pengguna NAPZA di Pusat Rehabilitasi Al-Kamal Sibolangit Centre

0 0 8

BAB I PENDAHULUAN - Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Laju Pengadukan pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

1 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Pengaruh Hydraulic Retention Time (HRT) dan Laju Pengadukan pada Proses Asidogenesis Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS) pada Keadaan Ambient

1 1 6

Karakteristik Penderita Diabetes Mellitus yang Dirawat Jalan di Klinik Alifa Diabetic Centre Medan Tahun 2013-2014

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Organisasi 2.1.1 Defenisi Organisasi - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 2 46

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah - Budaya Organisasi pada BSA Owner Motorcycle’ Siantar di Kota Pematangsiantar

0 0 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biskuit - Daya Terima Biskuit dengan Modifikasi Tepung Biji Nangka, Tepung Kacang Merah dan Tepung Pisang serta Kontribusinya terhadap Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi Remaja

0 1 24

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Daya Terima Biskuit dengan Modifikasi Tepung Biji Nangka, Tepung Kacang Merah dan Tepung Pisang serta Kontribusinya terhadap Kecukupan Energi, Protein dan Zat Besi Remaja

0 0 10