KONSEP IMPLEMENTASI MASHLAHAH MENURUT Al-GHAZALI, ASY-SYATIBI DAN NAJMUDDIN AT-THUFI (Studi Komparatif Analitis Pemikiran Hukum Islam)

M ASH LAH AH D ALAM PARAD I G M A T O K O H

(AN T ARA Al -G H AZ ALI , ASY-SYAT I BI D AN N AJM U D D I N AT -T H U FI )

Bahrul Hamdi

Fakultas Syari’ah IAIN Bukittinggi, bahrulhamdi@gmail.com

Diterima: 25 Februari 2017

Direvisi :4 November 2017

Diterbitkan: 28 Desember 2017

Abstract

Philosophically, the Islamic legal thought that has been and is currently developing reveals a second trend of thought. Among some Islamic law thinkers, there are Hasbull-Siddieqiey, Munawir Sadzali, Sahal Mahfudz, Ali Yafi, Masdar F Mas'udi, Al Ghozali, Asy-Syathibi and Najmuddin ath-Thufi. In the historical record, the existence of maslahah as an approach or method of law istinbath has formed its own polarization, which simplistically leads to hierarchical history of formulation of distinct and distinct concepts related to the role of reason in it. The pattern of maslahah Najmuddin ath-Thufi is different from al-Ghazali and Asy-Syatibi. The difference of the maslahah style of Islamic legal thinkers is strongly influenced by the rational capacity, the socio-cultural conditions, the dimensions of space and time that surround it. This paper focuses the discussion on three thoughts about Mashlahah by al-Thufi, al-Syathibiy, and al-Gazaliy with an analytical descriptive method using a comparative study approach. Keywords: Mashlahat, al-Ghazaliy, al-Syathibiy, al-Thufiy

Abstrak Secara filosofis, pemikiran hukum Islam yang pernah dan sedang berkembang saat ini

menampakkan kecenderungan pola pemikiran yang kedua. Diantara beberapa tokoh pemikir hukum Islam penganut teori adabtabilitas antara lain Hasby Ash-Shiddieqiey, Munawir Sadzali, Sahal Mahfudz, Ali Yafi, Masdar F Mas’udi, Al Ghozali, Asy-Syathibi dan Najmuddin ath-Thufi. Dalam catatan sejarah, eksistensi maslahah sebagai pendekatan atau metode istinbath hukum telah membentuk polarisasi tersendiri, yang secara simplistik mengarah pada histories hirarki perumusan konsep yang khas dan berbeda, terkait peran akal di dalamnya. Corak maslahah Najmuddin ath-Thufi berbeda dengan al-Ghazali dan Asy- Syatibi. Perbedaan corak maslahah para pemikir hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kapasitas rasional, kondisi sosio-kultural, dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya. Tulisan ini memfokuskan pembahasan kepada tiga pemikiran tentang Mashlahah oleh al- Thufi, al-Syathibiy, dan al-Gazaliy dengan metode desktiptif analitis menggunakan pendekatan studi komparatif. Keyword : Mashlahat, al-Ghazaliy, al-Syathibiy, al-Thufiy

LATAR BELAKANG

merupakan bagian dari titahNya, juga bersifat Dalam pemikiran hukum Islam dan trans histories, tidak terkait oleh alasan perubahan sosial yang merupakan salah satu ataupun latar belakang sosio-kultural apa pun..

problem funfamental filsafat hukum Islam Ka laupun “terpaksa“ ada, ia tidak telah terjadi dalam waktu yang cukup lama. mungkin bisa diketahui karena merupakan Polarisasi masalah ini setidaknya mengarah bagian dari “misteri Ilahi“ atau kehendak pada dua kutub pandangan ekstrim; Pertama, Tuhan sendiri. Itulah sebabnya akal tidak

hukum Islam dianggap tidak mempunyai memiliki

apa-apa selain hikmah dan illat di balik formula legal memahami doktrin dalam teks-teks agama. formalnya, sebab ia adalah kehendak Tuhan. Kedua, hukum Islam dianggap memiliki illat,

kemampuan

Sementara Tuhan tidak terkait dengan dimensi hikmah, dan tujuan. Sebab, jika tidak, maka ruang dan waktu sehingga hukum Islam, yang berarti Tuhan menciptakan sesuatu yang sia- Sementara Tuhan tidak terkait dengan dimensi hikmah, dan tujuan. Sebab, jika tidak, maka ruang dan waktu sehingga hukum Islam, yang berarti Tuhan menciptakan sesuatu yang sia-

Konsekwensinya, hukum Islam terikat dengan dan harus dipahami menurut latar belakang sosio kultural yang mengelilinginya. Pola pemikiran pertama dikenal dengan teori keabadian ( untuk tidak menyebut tradisional) atau biasa disebut dengan Normativitas hukum Islam, berasumsi dan meyakini bahwa hukum Islam sebagai hukum yang telah ditetapkan oleh Tuhan, tidak mungkin bisa berubah dan dirubah sehingga tidak bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sementara pola yang kedua dikenal dengan teori Adaptabilitas Hukum Islam (untuk tidak mengatakan Modernis) justru berasumsi bahwa hukum Islam, sebagi hukum yang diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia, maka ia bukan saja bisa beradaptasi dengan perkembangan zaman, akan tetapi ia bisa dirubah demi mewujudkan keMaslahatan umat manusia. Berdasarkan perspektif diatas, secara filosofis, pemikiran hukum Islam yang pernah dan sedang berkembang saat ini menampakkan kecenderungan pola pemikiran yang kedua. Diantara beberapa tokoh pemikir hukum Islam penganut teori adabtabilitas antara lain Hasby Ash-Shiddieqiey, Munawir Sadzali, Sahal Mahfudz, Ali Yafi, Masdar F Mas’udi, Al Ghozali, Asy-Syathibi dan Najmuddin ath- Thufi.

Kerangka dasar pemikiran yang mendasari lahirnya teori adaptalitas adalah prinsip Maslahah, yang merupakan maqoshidut- tasri’ (tujuan hukum Islam) itu sendiri.. Prinsip ini dianggap sebagai nilai fundamental bagi keberlangsungan hukum Islam dalam konteks perubahan sosial, yang secara logis harus mampu merespons setiap perubahan sosial yang memungkinkan terwujudnya tujuan ini. Hukum Islam tidak bisa kaku dan lamban dalam menghadapi tuntutan zaman.

Dalam catatan sejarah, eksistensi maslahah sebagai pendekatan atau metode istinbath hukum telah membentuk polarisasi tersendiri, yang secara simplistik mengarah pada histories hirarki perumusan konsep yang khas dan berbeda, terkait peran akal di dalamnya. Corak maslahah Najmuddin ath- Thufi berbeda dengan al-Ghazali dan Asy- Syatibi. Perbedaan corak maslahah para pemikir hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kapasitas rasional, kondisi sosio-kultural, dimensi ruang dan waktu yang melingkupinya. Menarik sekali apa yang dikatakan Louay Safi bahwa setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari pra anggapan tertentu ( ilmu tidak bebas nilai- Value Free ); wahyu mengandung suatu “ rasionalitas “ tertentu dan bahwa realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan. Memisahkan kebenaran keagamaan ( metafisika, wahyu ) dari wilayah ilmiyah, terutama wilayah ilmu- ilmu sosial tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagai konsekwensinya, sumber-sumber pengetahuan juga harus digali dari sumber wahyu dan juga realitas empiris histories. Atas dasar itu, kajian ini berusaha mencermati dan mendalami pemikiran Najmuddin ath-Thufi tentang konsep maslahah sebagai salah satu teori istinbath hukum Islam.

Dalam tulisan ini penulis mengkaji pemikiran Ath-Thufi, al-Ghozali, Abu Ishak Al-Syathibi mengenai Mashlahah.

MASHLAHAH DALAM PANDANGAN AL-GAZALI

DALAM KITAB AL- MUSTASHFA

Al-Gazali mengawali pembahasannya dalam kitab ini dengan menyebutkan macam- macam Maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya oleh dalil syara’. la menyatakan:

ِعِباَّرلا ِبْطُقْلا ِفِ ِهْيَلَع َليِلَّدلا ُميِقُنَسَو ،ِعاَْجِْْلْاَو ِّصَّنلا ِلوُقْعَم memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi

:ُهُلاَثِمَو ،ِةَرِمْثُمْلا ِلوُصُْلْا ْنِم ِماَكْحَْلْا ِراَمْثِتْسا ِةَّيِفْيَك ِفِ ُهَّنِإَف اًساَيِق ُمَّرَحُي adalah pendapat yang batal dan menyalahi Nash al- َ ف ٍلوُكْأَم ْوَأ ٍبوُرْشَم ْنِم َرَكْسَأ اَم َّلُك َّنَأ اَنُمْكُح

kebutuhan syahwatnya. Maka Maslahatnya, wajib ia berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Ini

Kitab (dan hadis —pen.) dengan Maslahat. Membuka pintu ini akan merobah semua ketentuan-

ُطاَنَم َوُه يِذَّلا ِلْقَعْلا ِظْفِِلْ ْتَمِّرُح اَهَّ نَِلْ ؛ِرْمَْلْا ىَلَع ِهِذَه ِةَظَح َلَُم ىَلَع ٌليِلَد َرْمَْلْا ِعْرَّشلا ُيمِرْحَتَ ف ،ِفيِلْكَّتلا ketentuan hukum Islam dan Nash-Nash-nya

disebabkan perubahan kondisi dan situasi.

ُلْوَ ق ُهُلاَثِم اَِنِ َلَْطُبِل ُعْرَّشلا َدِهَش اَم : ِنِاَّثلا ُمْسِقْلا ِةَحَلْصَمْلا Macam yang ketiga adalah Maslahat yang tidak dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syara َّنإ :َناَضَمَر ِراَهَ ن ِفِ َعَماَج اَّمَل ِكوُلُمْلا ِضْعَ بِل ِءاَمَلُعْلا ِضْعَ ب (tidak ditemukan dalil khusus yang membenarkan ْرُمْأَي َْلَ ُثْيَح ِهْيَلَع َرَكْنَأ اَّمَلَ ف ِْيَْعِباَتَتُم ِنْيَرْهَش َمْوَص َكْيَلَع atau membatalkannya). Yang ketiga inilah yang perlu

ِهْيَلَع َلُهَسَل َك didiskusikan (Inilah yang dikenal dengan maslahah ِلَذِب ُهُتْرَمَأ ْوَل :َلاَق ِهِلاَم ِعاَسِّتا َعَم ٍةَبَ قَر ِقاَتْعِإِب

mursalah). 1

ْتَناَكَف ،ِهِتَوْهَش ِءاَضَق ِبْنَج ِفِ ٍةَبَ قَر َقاَتْعإ َرَقْحَتْساَو ٌلِطاَب ٌلْوَ ق اَذَهَ ف ،ِهِب َرِجَزْ نَ يِل ِمْوَّصلا ِباَيجإ ِفِ ُةَحَلْصَمْلا Dari uraian Al-Gazali di atas, sejalan

dengan apa yang ditulis Dr.Busyro dalam

َلَإ يِّدَؤُ ي ِباَبْلا اَذَه ُحْتَ فَو ِةَحَلْصَمْلاِب ِباَتِكْلا ِّصَنِل ٌفِلاَُمَُو bukunya Fiqh Maqashid dapat disimpulkan

2 bahwa Maslahat itu ada tiga: . ِلاَوْحَْلْا ِريرَغَ ت ِبَبَسِب اَهِصوُصُنَو ِعِئاَرَّشلا ِدوُدُح ِعيَِجْ ِيرِيْغَ ت َلَِو ِن َلَْطُبْلاِب ِعْرَّشلا ْنِم ُهَل ْدَهْشَي َْلَ اَم :ُثِلاَّثلا ُمْسِقْلا 1. Maslahat yang dibenarkan/ditunjukan oleh

ِرَظَّنلا ِّلََمَ ِفِ اَذَهَو ٌَّيَْعُم ٌّصَن ِراَبِتْع ِلِاِب nash/dalil tertentu. Inilah yang dikenal

“Maslahat dilihat dari segi dibenarkan dan tidaknya dengan Maslahat mu’tabarah. Maslahat oleh dalil syara’ terbagi menjadi tiga macam:

semacam ini dapat dibenarkan untuk Maslahat yang dibenarkan oleh syara’, Maslahat

menjadi pertimbangan penetapan hukum yang dibatalkan oleh syara’, dan Maslahat yang tidak Islam dan termasuk ke dalam kajian qiyas. dibenarkan dan tidak pula dibatalkan oleh syara

(tidak ada dalil khusus yang membenarkan atau Dalam hal ini para pakar hukum Islam telah

membatalkannya).

konsensus.

Adapun Maslahat yang dibenarkan oleh syara’ maka 2. Maslahat yang dibatalkan/digugurkan oleh ia dapat dijadikan hujjah dan kesimpulannya

nash/dalil tertentu. Inilah yang dikenal kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari

dengan Maslahat mulgah. Maslahat semacam jiwa/semangat nash dan ijma. Contohnya kita

ini tidak dapat dijadikan pertimbangan menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan

dalam penetapan hukum Islam. Dalam hal yang memabukkan adalah haram diqiyaskan kepada

khamar, karena khamar itu diharamkan untuk ini para pakar hukum Islam juga telah

memelihara akal yang menjadi tempat bergantungnya

konsensus.

(pembebanan) hukum. Hukum haram yang 3. Maslahat yang tidak ditemukan adanya dalil ditetapkan syara’ terhadap khamar itu sebagai bukti

khusus/tertentu yang membenarkan atau diperhatikannya keMaslahatan ini.

menolak/menggugurkannya. Maslahat inilah Macam yang kedua adalah Maslahat yang

yang dikenal dengan maslahah mursalah. Para dibatalkan oleh syara’. Contohnya seperti pendapat pakar hukum Islam berbeda pendapat sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika

melakukan hubungan suami istri di siang hari apakah maslahah mursalah itu dapat dijadikan Ramadhan,hendaklah puasa dua bulan berturut-

turut. Ketika pendapat itu disanggah, kenapa ia tidak

1 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-

memerintahkan raja itu untuk memerdekakan hamba

Ghazali at-Thusi tahqiq Muhammad Abdu Salam Abdu

sahaya, padahal ia kaya, ulama itu berkata, `Kalau Syafi, Al-Mustashfa,Dar Al-Kutb Al- ‘Ilmiyah, cet. I, raja itu saya suruh memerdekakan hamba sahaya, 1993, 173-174 sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan

2 Busyro, Fiqh Maqashid, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2015), 153 2 Busyro, Fiqh Maqashid, (Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2015), 153

Yang kami maksud dengan Maslahat ialah Dengan pembagian semacam itu sekaligus memelihara tujuan syara” /hukum Islam, dan tujuan

syara’ dari makhluk itu ada lima, yaitu memelihara dapat diketahui tentang salah satu persyaratan agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang menyatakan

maslahah mursalah, yaitu tidak adanya dalil keturunan dan kehormatan, pen.), dan harts mereka. tertentu/khusus yang membatalkan atau Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima

membenarkannya. 3 hal prinsip ini disebut Maslahat, dan setup yang Lewat pembagian itu pula Al-Gazali ingin menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadat

membedakan antara maslahah mursalah dengan 5 dan menolaknya disebut Maslahat .” qiyas di satu sisi, dan antara maslahah mursalah

Dari uraian Al-Gazali di atas dapat dengan maslahah mulgah di sisi lain.

diketahui bahwa yang dimaksud dengan Al-Gazali kemudian membagi Maslahat Maslahat menurut Al-Gazali adalah upaya

dipandang dari segi kekuatan substansinya. la memelihara tujuan hukum Islam, yaitu menyatakan: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan

ِةَبْ تُر ِفِ َيِه اَم َلَإ ُمِسَقْ نَ ت اَِتِاَذ ِفِ اَِتَِّوُ ق ِرا harta benda. Setiap hal yang dimaksudkan َبِتْعاِب َةَحَلْصَمْلا

untuk memelihara tujuan hukum Islam yang lima tersebut disebut Maslahat. Kebalikannya,

setiap hal yang merusak atau menafikan tujuan

“Maslahat dilihat dari segi kekuatan substansinya hukum Islam yang lima tersebut disebut ada yang berada pada tingkatan darurat (kebutuhan mafsadat, yang oleh karena itu upaya menolak

primer), ada yang berada pada tingkatan hajat dan menghindarkannya disebut Maslahat. (kebutuhan sekunder), dan ada pula yang berada

Lebih lanjut Al-Gazali menyatakan: pada posisi tahsinat dan tazyinat (pelengkap-

penyempurna), yang tingkatannya berada di bawah َيِهَف ،ِتاَروُرَّضلا ِةَبْ تُر ِفِ ٌعِقاَو اَهُظْفِح ُةَسْمَْلْا ُلوُصُْلْا ِهِذَهَو hajat. 4 ِرِفاَكْلا ِلْتَقِب ِعْرَّشلا ُءاَضَق :ُهُلاَثِمَو ِحِلاَصَمْلا ِفِ ِبِتاَرَمْلا ىَوْ قَأ

Al-Gazali kemudian menjelaskan definisi Maslahat:

“Kelima dasar/prinsip ini memeliharanya berada

ِةَسْمَْلْا ِلوُصُْلْا ِهِذَه َظْفِح ُنَّمَضَتَ ي اَم رلُكَف ،ْمَُلَاَمَو ْمُهَلْسَنَو pada tingkatan darurat. la merupakan tingkatan ٌةَدَسْفَم َوُهَ ف َلوُصُْلْا ِهِذَه ُتِّوَفُ ي اَم رلُكَو ،ٌةَحَلْصَم َوُهَ ف Maslahat yang paling kuat/tinggi. Contohnya seperti:

.ٌةَحَلْصَم اَهُعْ فَدَو 1. Keputusan syara’ untuk membunuh orang

Adapun Maslahat pada dasarnya adalah ungkapan kafir yang menyesatkan dan memberi dari menarik manfaat dan menolak mudarat, tetapi

hukuman kepada pembuat bid’ah yang bukan itu yang kami maksud; sebab menarik

mengajak orang lain untuk mengikuti manfaat dan menolak mudarat adalah tujuan

makhluk (manusia), dan kebaikan makhluk itu bid’ahnya, sebab hal ini (bila dibiarkan)

akan melenyapkan agama umat.

3 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996), 126

4 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- 5 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Ghazali at-Thusi..... 174

Ghazali at-Thusi......174

2. Keputusan syara’ mewajibkan qisas “Tingkatan ketiga ialah Maslahat yang tidak (hukuman yang sama dengan kejahatannya), kembali kepada darurat dan tidak pula ke hajat, sebab dengan hukuman ini jiwa manusia tetapi Maslahat itu menempati posisi tahsin

(mempercantik), tazyin (memperindah), dan taisir akan terpelihara. (mempermudah) untuk mendapatkan beberapa

3. Kewajiban hadd karena minum minuman keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara sebaik- keras, karena dengan sanksi ini akal akan baik sikap dalam kehidupan sehari-hari dan terpelihara; di mana akal merupakan dasar muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status pen-taklif-an.

ketidaklayakan hamba sahaya sebagai saksi, padahal

4. 8 Kewajiban hadd karena berzina, sebab fatwa dan periwayatannya bisa diterima. dengan sanksi ini keturunan dan nasab akan

Apakah semua Maslahat dengan ketiga terpelihara.”

tingkatannya tersebut (daruriyat, hajiyat dan

5. Kewajiban memberi hukuman kepada para tahsiniyah) dapat dijadikan pedoman dalam penjarah dan pencuri, sebab dengan sanksi penetapan hukum Islam? Dalam hal ini Al-

ini harta benda yang menjadi sumber kehi- Gazali menjelaskan sebagai berikut : dupan manusia itu akan terpelihara. Kelima

hal ini menjadi kebutuhan pokok mereka. Dalam menjelaskan hajiyat, Al-Gazali

ٍدِهَتُْمَ ُداَهِتْجا ِهْيَلإ َيِّدَؤُ ي ْنَأ ِفِ َدْعُ ب ِحِلاَصَمْلا ْنِم ِتاَجاَْلْا ِةَبْ تُر ِفِ ُعَقَ ي اَم :ُةَيِناَّثلا ُةَبْ تررلا “Maslahat yang berada pada dua tingkatan terakhir

menyatakan:

(hajiyat dan tahsiniyat) tidak boleh berhukum

،ِيرِغَّصلاَو ِةَيرِغَّصلا ِجيِوْزَ ت ىَلَع ِِّلَِوْلا ِطيِلْسَتَك ،ِتاَبِساَنُمْلاَو semata-mata dengannya apabila tidak diperkuat ،حِلاَصَمْلا ِءاَنِتْقا ِفِ ِهْيَلإ ٌجاَتُْمَ ُهَّنِكَل ِهْيَلإ َةَروُرَض َلِ َكِلَذَف dengan dalil tertentu kecuali hajiyat yang berlaku

sebagaimana darurat, maka tidak jauh bila ijtihad

ِرَظَتْنُمْلا ِح َلََّصلِل اًماَنْغِتْساَو ِتاَوَفْلا ْنِم ًةَفيِخ ِءاَفْكَْلْا ِديِيْق mujtahid sampai kepadanya (hajiyat yang berlaku َ تَو sebagaimana darurat dapat dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam oleh mujtahid). ِلاَمْلا ِفِ 9

“Tingkatan kedua adalah Maslahat yang berada Dari ungkapan Al-Gazali di atas dapat pada posisi hajat, seperti pemberian kekuasaan ditarik kesimpulan bahwa Maslahat hajiyat dan kepada wali untuk mengawinkan anaknya yang tahsiniyat tidak dapat dijadikan pertimbangan masih kecil. Hal ini tidak sampai pada batas darurat dalam penetapan hukum Islam, kecuali hajiyat (sangat mendesak), tetapi diperlukan untuk memperoleh keMaslahatan, untuk mencari kesetaraan yang menempati level daruriyat, hajiyat yang (kafa’ah) agar dapat dikendalikan, karena khawatir seperti itu menurutnya dapat dijadikan hujjah

kalau-kalau kesempatan tersebut terlewatkan, dan pertimbangan penetapan hukum Islam. untuk mendapatkan kebaikan yang diharapkan pada

kemudian meneruskan masa datang 7

Al-Gazali

penjelasannya :

Tentang tahsiniyat dijelaskan Al-Gazali

sebagai berikut:

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- 8 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-

Ghazali at-Thusi..... 174 Ghazali at-Thusi...... 17 5

7 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- 9 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- Ghazali at-Thusi..... 175 Ghazali at-Thusi..... 17 5

َيِْمِلْسُمْلاِعيَِجْ ىَلَع َراَّفُكْلا اَنْطَّلَسَل اَنْفَفَك ْوَلَو ،ِعْرَّشلا terhitung. Namun untuk mencapai maksud tersebut

:ٌلِئاَق َلوُقَ ي ْنَأ ُزوُجَيَ ف ،اًضْيَأ ىَراَسُْلْا َنوُلُ ت ْقَ ي َُّثُ ْمُهَ نوُلُ تْقَ يَ ف ُبَرْ قَأ َيِْمِلْسُمْلا ِعيَِجْ ُظْفِحَف ٍلاَح ِّلُكِب ٌلوُتْقَم ُيرِسَْلْا اَذَه tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu. Inilah contoh

dengan cara seperti itu, yaitu membunuh orang yang tidak berdosa, merupakan sesuatu yang asing yang

Maslahat yang tidak diambil lewat metode qiyas terhadap dalil tertentu. Maslahat ini dapat dibe-

ُليِلْقَ ت ِعْرَّشلا َدوُصْقَم َّنَأ اًعْطَق ُمَلْعَ ن اَّنَِلْ ؛ِعْرَّشلا ِدوُصْقَم َلَإ narkan dengan mempertimbangkan tiga sifat, yakni ْرِدْقَ ن َْلَ ْنِإَف ،ِناَكْمِْلْا َدْنِع ِهِليِبَس َمْسَح ُدِصْقَ ي اَمَك ِلْتَقْلا Maslahat itu statusnya darurat (bersifat primer), ٍةَحَلْصَم َلَإ اًتاَفِتْلا اَذَه َناَكَو ِليِلْقَّ تلا ىَلَع اَنْرَدَق ِمْسَْلْا ىَلَع qat’iyat (bersifat pasti), dan kulliyat (bersifat

umum). 10 ٍلْصَأَو ٍدِحاَو ٍليِلَدِب َلِ ِعْرَّشلا َدوُصْقَم اَهُ نْوَك ِةَروُرَّضلاِب َمِلُع

Dari uraian dan contoh yang diberikan

.ِرْصَْلْا ْنَع ٍةَجِراَخ ٍةَّلِدَأِب ْلَب ٍَّيَْعُم Al-Gazali di atas dapat diketahui bahwa syarat ْبِنْذُي َْلَ ْنَم ُلْتَ ق َوُهَو ِقيِرَّطلا اَذَِبِ ِدوُصْقَمْلا اَذَه َليِصَْتَ َّنِكَل maslahah mursalah dapat dijadikan hujjah dalam

ٍةَذوُخْأَم ِْيرَغ ٍةَحَلْصَم ُلاَثِم اَذَهَ ف ٌَّيَْعُم ٌلْصَأ ُهَل ْدَهْشَي َْلَ ٌبيِرَغ penetapan hukum Islam, menurut Al-Gazali,

Maslahat itu harus menduduki tingkatan darurat, dan dalam kasus tertentu seperti yang

ِةَث َلََث ِراَبِتْعاِب اَهُراَبِتْعا َحَدَق ْ ناَو .ٍَّيَْعُم ٍلْصَأ ىَلَع ِساَيِقْلا ِقيِرَطِب ،ٌةَّيِّلُك ٌةَّيِعْطَق ٌةَروُرَض اَهَّ نَأ ٍفاَصْوَأ dicontohkan dan yang sejenis, Maslahat itu

“Adapun Maslahat yang berada pada tingkatan selain harus daruriyat, juga harus kulliyat dan darurat maka tidak jauh ijtihad mujtahid untuk qat’iyat.

melakukannya (dapat dijadikan dalil/pertimbangan Itulah syarat pertama yang dapat penetapan hukum Islam) sekalipun tidak ada dalil difahami dari penjelasan al-Gazali dalam al- tertentu yang memperkuatnya (Itulah maslahah Mustasfa berkaitan dengan ke-hujjah-an maslahah

mursalah). Contohnya orang-orang kafir yang mursalah, yaitu Maslahat itu harus menempati menjadikan sekelompok tawanan muslimin sebagai level darurat atau hajat yang menempati perisai hidup. Bila kita tidak menyerang mereka

kedudukan darurat.

(untuk menghindari jatuhnya korban dari tawanan muslim), mereka akan menyerang kita, akan masuk

Syarat lain yang harus dipenuhi selain ke negeri kita, dan akan membunuh semua kaum di atas ialah ke-Maslahat-an itu harus mula’imah

muslimin. Kalau kita memanah tawanan yang (sejalan dengan tindakan syara’/ hukum Islam), menjadi perisai hidup itu (agar bisa menembus dalam al-Mustasfa, Al-Gazali menyebutkan: musuh), berarti kita membunuh muslim yang terpelihara darahnya yang tidak berdosa. Hal ini

tidak diketahui dalilnya dalam syara’. Bila kita

tidak menyerang, kita dan semua kaum muslimin ُمِئ َلَُت َلِ ِتَِّلا ِةَبيِرَغْلا ِحِلاَصَمْلا ْنِم ْتَناَكَو ِعاَْجِْْلْاَو ِةَّنرسلاَو

akan dikuasai orang kafir, kemudian mereka bunuh

semua termasuk para tawanan muslim tersebut.

Maka mujtahid boleh berpendapat, tawanan muslim

“Setiap Maslahat yang tidak kembali untuk itu, dalam keadaan apapun, pasti terbunuh. Dengan memelihara maksud hukum Islam yang dapat

demikian, memelihara semua umat Islam itu lebih difahami dari al- Kitab, sunnah, dan ijma’ dan mendekati kepada tujuan syara’. Karena secara pasti merupakan Maslahat garibah (yang asing) yang tidak kita mengetahui bahwa tujuan syara’ adalah sejalan dengan tindakan syara’ maka Maslahat itu memperkecil angka pembunuhan, sebagaimana halnya batal dan harus dibuang. Barang siapa berpedoman jalan yang mengarah itu sedapat mungkin harus padanya, ia telah menetapkan hukum Islam dibendung. Bila kita tidak mampu mengusahakan berdasarkan hawa nafsunya, sebagaimana orang yang agar jalan itu bisa ditutup, kita harus mampu menetapkan hukum Islam berdasarkan istihsan, ia memperkecil angka kematian itu. Hal ini dilakukan

berdasarkan pertimbangan Maslahat yang diketahui secara pasti bahwa Maslahat itu menjadi tujuan

syara’, bukan berdasarkan suatu dalil atau dalil

10 tertentu, tetapi berdasarkan beberapa dalil yang tidak Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-

Ghazali at-Thusi.......175 Ghazali at-Thusi.......175

Al-Gazali dalam al-Mustasfa tidak itu merupakan tujuan semua agama. Dan menyampaikan secara jelas bahwa kulliyah itu adapun hajiyyat artinya kebutuhan terhadapnya dari

merupakan salah satu kriteria yang harus segi mengangkat kesempitan, dan adapun tahsiniyyat artinya mengambil sesuatu untuk memperindah

dipenuhi bagi diterimanya maslahah mursalah. la

kebiasaan. 12

mensyaratkan kriteria kulliyah ini pada kasus

tertentu, yaitu masalah orang-orang kafir yang Dalam pemikiran ushul fiqh untuk menjadikan tawanan muslim sebagai perisai menjawab tantangan perubahan sosial dengan

hidup. Maslahat dalam kasus ini tidak bisa pendekatan dan penekanan pada nilai-nilai dipandang sebagai mula’imah (sejalan dengan kemashlahatan manusia dalam setiap taklif tindakan syara’) kecuali apabila memenuhi tiga yang diturunkan Allah dikenal dengan syarat, yaitu qat’iyah, daruriyah, dan kulliyah. pendekatan Maqashid Syariah. Pendekatan ini Sebab

banyak secara substansial sebenarnya dapat ditemukan mengalahkan yang sedikit tidak terdapat pada keputusan hukum Rasulullah, para dalilnya bahwa itu dikehendaki syara’. Ulama sahabat yang kemudian dilanjutkan oleh telah sepakat apabila ada dua orang dipaksa

memenangkan

yang

generasi selanjutnya. 13

untuk membunuh seseorang maka tidak halal Kajian Maqashid Syariah kemudian baginya untuk membunuhnya. Demikian juga, dikembangkan secara luas dan sistematis oleh

ulama telah sepakat tidak halal bagi Abu Ishaq Asy-Syatibi. Kajian mengenai hal sekelompok umat untuk memakan daging ini bertolak dari asumsi bahwa segenap syariat seorang muslim lantaran kelaparan.

yang diturunkan Allah senantiasa mengandung kemashlahatan bagi hamba untuk dunia

maupun akhirat. 14 Asy-syatibi menggabungkan

SYATIBI DALAM

KITAB

AL-

antara illat dengan hukum yang menjadikan

MUWAFAQAAT

pembentukan hukum menjadi lebih dinamis,

ِهِذَهَو ،ِقْلَْلْا meskipun Asy-syatibi menggunakan Mashlahah ِفِ اَهِدِصاَقَم ِظْفِح َلَِإ ُعِجْرَ ت ِةَعيِرَّشلا ُفيِلاَكَت

mursalah-nya dalam penetapan hukum ketika

ِنِاَّثلاَو ًةَّيِروُرَض َنوُكَت ْنَأ:اَهُدَحَأ ٍماَسْقَأ َةَث َلََث وُدْعَ ت َلِ ُدِصاَقَمْلا tidak ada nash yang mengaturnya, akan tetapi ،ُةَّيِروُرَّضلا اَّمَأَف Asy-syatibi menjelaskan perbedaan antara ًةَّيِنيِسَْتَ َنوُكَت ْنَأ ُثِلاَّثلاَو ةَّيِجاَح َنوُكَت ْنَأ

pendapatnya

dengan

pendapat ulama

sebelumnya seperti Najm al-din At-Thufi yang

، ِلْسَّنلاَو ،ِسْفَّ نلاَو ،ِنيِّدلا ُظْفِح :يِهَو ٌةَسَْخَ ِتاَّيِروُرَّضلا pendapatnya mengenai Mashlahah lebih 15 mengarah kearah liberalisme. اَّمَأَو ةلم لك فِ ٌةاَعاَرُم اَهَّ نِإ :اوُلاَق ْدَقَو ،ِلْقَعْلاَو ،ِلاَمْلاَو

12 “Pembebanan syariat kembali kepada maqashid Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi

al-Gharnati terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al-Muwafaqaat,

penciptaan itu sendiri, dan maqashid ini tidak lebih (Daar Ibn Affan, 1997) juz II 17-22 dari tiga pembagian, yaitu dharuriah, hajiyyah dan

13 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani (

tahsiniyyah. Adapun dharuriyah artinya mestilah ia Jakarta : Logos, 1999), 41-42 14 bertujuan mewujudkan kemashlahatan agama dan Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi

al-Gharnati

terkenal

sebagai Asy-Syatibi, Al-

dunia. Dan keseluruhan persoalan dhruriyah ada 5 Muwafaqaat..... 4

15 Asep Saepudin Jahar, Al- bid‘ah versus al-

mashlahah Al-mursalah and al-istihsân: Al- syâthibi’s legal

11 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al- framework, Jurnal Ahkam, Vol XII, (September, 2014), Ghazali at-Thusi......179

Maqashid Syariah yang secara mengambil tindakan-tindakan untuk substansial

landasan-landasan mashalih menurut Asy-Syatibi, dapat dilihat dari dua tersebut, syariat mengambil tindakan-tindakan sudut pandang. Pertama Maqashid Asy- untuk melenyapkan unsur apapun yang secara

mengandung

kemashlahatan menopang

Syaari’(tujuan Tuhan) dan kedua Maqashid Al- 18 aktual atau potensial merusak mashalih. mukallaf (tujuan Mukallaf).

Syatibi membagi maqashid atau Dilihat dari sudut tujuan tuhan, mashalih menjadi yang bersifat dharuriyat atau maqashid syariah mengandung empat aspek, mesti, hajiyyat atau diperlukan dan tahsiniyat yaitu :

atau pujian. Klasifikasi ini didasarkan pada

ْنِمَو ،ًءاَدِتْبا ِةَعيِرَّشلا ِعْضَو ِفِ ِعِراَّشلا ِدْصَق ِةَهِج ْنِم ُرَ بَتْعُ ي tingkat kebutuhan dan skala prioritasnya. اَهِعْضَو ِفِ ِهِدْصَق ِةَهِج ْنِمَو ،ِماَهْ فَْلِْل اَهِعْضَو ِفِ ِهِدْصَق ِةَهِج Urgensi urutan peringkat ini akan terlihat

manakala terjadi kontradiksi kemashlahatan antar peringkat tersebut. Dalam hal ini

َتَْتَ ِفَّلَكُمْلا ِلوُخُد ِفِ ِهِدْصَق ِةَهِج ْنِمَو ،اَهاَضَتْقُِبِ ِفيِلْكَّتلِل peringkat dharuriyyat menenpati اَه. urutan ِمْكُح

1. Tujuan dari syari’ menetapkan syariat

pertama, disusul oleh peringkat hajiyyat,

2. Penetapan syriat yang harus dipahami kemudian peringkat tahsuniyyat.

3. Penetapan syariat sebagai hukum taklifi yang Dalam arti lain, peringkat ketiga harus dilaksanakan

menyempurnakan peringkat kedua dan

4. Penetapan syariat untuk membawa manusia

16 peringkat kedua melengkapi peringkat kebawah lindungan hukum pertama. Memelihara kelompok dharuriyyat

Dengan demikian, tujuan Tuhan maksudnya adalah memelihara kebutuhan-

menetapkan suatu syariat bagi manusia adalah kebutuhan yang bersifat esensial bagi

untuk kemashlahatan manusia. Untuk itu, kehidupan manusia. Kebutuhan yang esensial

Tuhan menuntut agar manusia memahami dan itu adalah memlihara agama, jiwa, akal,

melaksanakan syariat

sesuai

dengan

keturunan dan harta. Pemeliharaan ini berlaku kemampuannya. Dengan memahami dan

dalam batas jangka sampai terancam eksistensi melaksanakan syariat, manusia akan terlindungi

kelima pokok tersebut. Jika kebutuhan- di dalam hidupnya dari segala kekacauan yang

kebutuhan yang bersifat esensialitu tidak ditimbulkan oleh hawa nafsu.

terpenuhi, akan berakibat terancamnya Adapun tujuan syariat yang ditinjau

eksistensi kelima hal pokok tersebut. 19 dari sudut tujuan mukallaf ialah agar setiap

Menurut Asy-Syatibi, para ulama telah mukallaf mematuhi keempat tujuan syariat

menyatakan bahwa kelima prinsip ini telah yang digariskan oleh syara diatas sehingga

diterima secara universal. Dalam menganalisis tercapai

tujuan-tujuan kewajiban syari, kita temukan kemashlahatan manusia di dunia dan di

17 bahwa syariah juga memandang kelima hal akhirat. tersebut sebagai tujuan pokok (legal objective).

Dalam pandangan Khalid Masud, Kemudian kewajiban-kewajiban syari bisa

Mashlahah dalam pandangan Asy-Syatibi dibagi dalam sudut pandang cara-cara identik dengan “perlindungan kepentingan” perlindungan yang positif dan preventif. Yang

entah dengan cara positif. Misalnya, ketika termasuk kedalan kelompok cara yang positif

demi memelihara eksistensi mashalih, syariah

16 Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi 18 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum al-Gharnati

Islam, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, Muwafaqaat..... 8

17 Dadang Kahmad, Hukum Islam dalam 19 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum Perubahan Sosial, (Bandung : Pustaka Setia, 2010), 50-51

Islam, terj. Ahsin Muhammad, ......hal 244-246 Islam, terj. Ahsin Muhammad, ......hal 244-246

jinayat. 20 pendapat syi’ah, karena dinilai kaum syi’ah sangat berpegang pada hadits-hadits versi

MASHLAHAH MENURUT

mereka sendiri, yang mana propaganda-

NAJMUDDIN AT-THUFI

propagand partai mereka selama masa Kata “maslahah” diambil dari as-Salah Abbassiyah sama-sama dinisbatkan kepada

(kebaikan, keguanaan,

validitas

dan

Nabi, termasuk hal-hal yang bertentangan kebenaran), yang berarti bahwa sesuatu berada

dengan akal pikiran dan prinsip-prinsip dalam bentuk yang sempurna sesuai dengan

universal al- 24 Qur’an. Tetapi sampai pada akhir tujuan atau sasaran yang dimaksudkan. Seperti

hayatnya ath-Thufi tetap penganut madzhab pena berada pada bentuknya yang paling tepat

21 Hanbali. Namun demikian, pemikiran ketika dipakai untuk menulis. Maslahah bisa intelektual al-Thufi yang terbiasa berpikir

berarti menarik manfaat dan menolak

22 bebas tidak pernah terhenti. madhorot. Definisi maslahah menurut Pandangan Najmuddin ath-Thufi

kebiasaan yang diterima adalah factor tentang maslahah bertolak dari konsep

penyebab yang membawa kepada kebaikan maqoshid asy- syari’ah yang menegaskan bahwa dan kemanfaatan. Sedang definisi menurut hukum Islam itu disyari’atkan untuk

syara’ adalah factor penyebab yang

keMaslahatan kemanusiaan mengantarkan pada maksud pembuat hukum

mewujudkan

universal. Pembahasannya tentang maslahah dalam masalah-masalah ibadah, maupun adat

bertolak dari hadits Rasulullah SAW : kebiasaan. Maslahah ada dua, yaitu yang

diuraikan oleh pembuat hukum demi dirinya اَنَأَبْ نَأ :َلاَق ِقاَّزَّرلا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح :َلاَق َيََْيَ ُنْب ُدَّمَُمَ اَنَ ثَّدَح

sendiri, seperti ibadah dan yang dimaksudkan

oleh pembuat hukum demi kemanfaatan

makhlukNya dan pengaturan urusan-urusan

23 “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh pula mereka seperti adapt kebiasaan. dimudharatkan” 26

Dalam rangka kebebasan berpikir Menurutnya inti dari seluruh ajaran untuk mencari kebenaran tersebut, al-Thufi islam yang termuat dalam nas adalah Mashlahah

tidak saja mempelajari berbagai kitab dalam (kemashlahatan)

umat manusia. mazhab sunni, tetapi juga banyak mempelajari Karenanya, seluruh bentuk kemashlahatan literatur- literatur Syi’ah di zamannya. Ketika disyariatkan dan kemashlahatan itu tidak perlu

bagi

itu dikhotomi Sunni- Syi’a h sangat kuat, tetapi mendapatkan dukungan dari nas, baik oleh nas al-Thufi tidak terpengaruh dengan dikhotomi tertentu maupun oleh makna yang terkandung tersebut. Dalam sejarah bahwa al-Thufi pernah oleh sejumlah nas. Mashlahah, menurutnya, terpengaruh dan menganut madzhab syi’ah. merupakan dalil paling kuat yang secara Namun ternyata dari beberapa karya tulisnya mandiri dapat dijadikan alasan dalam

menetukan hukum syara’.

20 Muhammad Khalid Masud, Filsafat Hukum

Pandangan al-Tufi tentang Mashlahah

Islam, terj. Ahsin Muhammad, .....hal 247

21 , Abdallah M. Al-Husayn Al-Amiri, berasal dari pembahasan (syarah) hadits

Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm

nomor 32 hadits Arba`in Nawawi, yang

ad-Din Thufi, (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004), 101 22 Najmuddin Al-Thufi, Syarh al- Arba’in an-

24 Mushtafa Zaid, al-Mashlaha FiTasyri Al-Islami Nawawiyah, (Kairo; Dar al-Fikr)101

wa Najmuddin At-Thufi, ....127-132 23 Abdallah M. Al-Husayn Al-Amiri,

25 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,....125 Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm

26 Ibnu Majah Abu Abdillah, Sunan Ibnu Majah, ad-Din Thufi,....101

(Darul Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah,tth), Juz II, 784 (Darul Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah,tth), Juz II, 784

1. Akal bebas mentukan kemashlahatan dan jangan menyebabkan bahaya atau kerugian

kemafsadatan (kemudharatan), khusunya pada orang lain, dan jangan membalas suatu

dalam bidang muamalah dan adat. Untuk kerugian dengan kerugian lainnya. Bahasan

menentukan sesuatu termasuk mengenai al-Thufi mengenai hadits no 32 tersebut

kemashlahatan atau kemudharatan cukup dikutip secara utuh dan lengkap yang

dengan akal. Pandangan ini berbeda bersumber dari bahasan Syaikh Kamaluddin

dengan jumhur ulama yang mengatakan al-Qasimi seorang ulama Damaskus yang

bahwa sekalipun kemashlahatan dan telah berupaya memisahkan bahasan al-Tufi

kemudharatan itu dapat dicapai dengan dalam

akal, namun kemashlahatan itu harus menukilkannya sebagai risalah tersendiri. Ia

mendapatkan dukungan dari nas atau juga berperan sebagai pensyarah di dalam

ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya. risalah tersebut dalam hal-hal yang memang

2. Mashlahah merupkan dalil mandiri dalam memerlukan ulasan, ia juga memberikan

menetapkan hukum. Oleh sebab itu, komentar secukupnya. Kemudian majalah

untuk kehujjahan Mashlahah tidak al- Manar No.IX/10, oktober 1906 memuat

diperlukan dalil pendukung, karena risalah berikut syarahnya secara lengkap. 27 Mashlahah itu didasarkan kepada pendapat

Pandang At-Thufi tersebut sangat

akal semata.

bertentangan dengan paham yang dianut

3. Mashlahah hannya berlaku dalam masalah mayoritas ulama ushul fiqh di zamannya.

muamalah dan adat kebiasaan, adapun Menurut ulama ushul ketika itu, Mashlahah

dalam masalah ibadah atau ukuran-ukuran betapapun bentuknya haris mendapatkan

yang ditetapkan syara;, seperti shalat dukungan dari syara, baik melalui nas tertentu

dzuhur empat rakaat, puasa selam satu maupun melalui makna yang dikandung oleh

bulan, dan tawaf itu dilakukan tujuh kali, sejumlah nas. Pandangnnya tentang Mashlahah

tidak termasuk objek Mashlahah, karena inilah yang menyebabkan ia terasing dari para

masalah-masalah seperti ini merupakan ulama ushul di zamannya. Akan tetapi,

hak Allah semata.

pemikirannya tentang Mashlahah ini banyak

4. Merupakan dalil syara’ paling kuat. Olrh dikaji dan dianalisis para ulama ushul

sebab itu, ia juga mengatakan apabila nash sesudahnya. 28 atau ijma’ bertentangan dengan Mashlahah

maka didahulukan Mashlahah dengan cara Mashlahah merupakan hujjah terkuat yang

Menurut Najmuddin

At-Thufi,

takhsis nash ( pengkhususan hukum) dan secara mandiri dapat dijadikan sebagai 30 bayan ( Perincian atau penjelasan).

landasan hukum. Ia tidak membagi Mashlahah

beberapa alasan yang sebagaimana yang dilakukan oleh jumhur dikemukakan oleh al-Thufi dalam mendukung ulama. Ada empat prinsip yang dianut At- pendapatnya itu:

Ada

Thufi tentang Mashlahah yang menyebabkan 1. Firman Allah SWT dalam surat Al-baqarah pandangannya berbeda dengan jumhur ulama,

ayat 179.

yaitu : 29 َنوُقَّ تَ ت ْمُكَّلَعَل ِباَبْلَْلْا ِلِوُأ اَي ٌةاَيَح ِصاَصِقْلا ِفِ ْمُكَلَو

Idaul Hasanah, Konsep Mashlahah Najamuddin “Dan dalam qisash itu ada ( jaminan

kelangsungan) hidup bagimu ”

Al-Thufi Dan Implementasinya, Jurnal Ulumuddin, Vol 7,

2. Firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah

No. 1 (2011), 3

28 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,....125-126

ayat 38.

Husein Hamid Hasan, Nazariyyah al- Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo; Dar al-Nahdhah al_’Arabiyah), 529-568

30 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,...126 30 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,...126

“Lelaki yang mencuri dan perempuan yang demikian, keberadaan Mashlahah sebagai landasan hukum tidak diragukan lagi dan bisa

mencuri, potonglah tangan keduanya ( sebagai) pembalasan dari apa yang mereka kerjakan” 33 dijadikan dalil mandiri.

3. Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 2.

KESIMPULAN

ٍةَدْلَج َةَئاِم اَمُهْ نِم ٍدِحاَو َّلُك اوُدِلْجاَف ِنِا Imam al-Gazali memandang maslahah- َّزلاَو ُةَيِناَّزلا

“Perempuan yang berzina dan perempuan yang mur-salah sebagai dalil yang tidak berdiri sendiri berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari (tidak terlepas dari al- Qur’an, hadis dan ijma’).

keduanya seretus kali dera” Al-Thufi membangun pokok-pokok Menurut Al Thufi, semua ayat ini pikirannya dalam bidang Mashlahah atas empat

mengandung pemeliharaan keMaslahatan asas, yaitu: pertama, bahwa akal semata dapat manusia, yaitu jiwa, harta dan kehormatan menemukan dan membedakan antara mereka. Oleh sebab itu, tidak satupun ayat Mashlahah dengan mafsadat. Maksudnya, akal yang tidak mengandung dan membawa semata tanpa harus melalui wahyu dapat

kemashlahatan bagi manusia. 31 mengetahui kebaikan dan keburukan yang

4. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam diperlukan oleh umat manusia dan ini hanya Bukhari.

dalam bidang muamalah dan adat istiadat saja,

،ِداَنِّزلا tidak dalam bidang ibadah. Kedua, Mashlahah ِبَأ ْنَع ،ٌكِلاَم اَنَرَ بْخَأ ،َفُسوُي ُنْب ِهَّللا ُدْبَع اَنَ ثَّدَح ِهَّللا َلوُسَر َّنَأ :ُهْنَع ُهَّللا َيِضَر َةَرْ يَرُه ِبَأ ْنَع ،ِجَرْعَلْا ِنَع adalah dalil yang berdiri sendiri dalam

menetapkan hukum, ia terlepas dari

ِعْيَ ب ىَلَع ْمُكُضْعَ ب ْعِبَي َلِ َ :َلاَق ،َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُللها ىَّلَص ketergantungan pada petunjuk nash, cukup pada hukum adat semata. Ketiga, lapangan ٍداَبِل ٌرِضاَح ْعِبَي َلَِو ،اوُشَجاَنَ ت َلَِو ،ٍضْعَ ب

“Seseorang jangan membeli barang yang telah operasional adala muamalat dan adat, bukan dalam bidang ibadah dan muqadarah.

ditawar oleh orang lain dan jangan pula orang kota ( para pedagang ) membeli barang dengannya Keempat, Mashlahah adalah dalil hukum yang

dengan mendatangi para petani desa, ( HR. paling kuat. Asas ini adalah dasar yang paling Bukhari) 32 penting dalam melandasi teori Mashlahah al-

Larangan-larangan Rasulullah dalam Thufi ini. hadist ini, menurut Al-thufi, dimaksudkan

Tetapi terdapat sanggahan dari Wael B. kemashlahatan umat. Larangan membeli Hallaq mengenai konsep Mashlahah Thufi di barang yang telah di tawar orang lain adalah atas dengan keterangan bahwa konsep

untuk memelihara kemashlahatan penawar mahlahah yang menjadi sumber hukum di barang pertama: larangan mendatangi petani bawah al-Quran dan al-Sunnah tidak mungkin ke desa untuk membeli komoditi mereka mengenyampingkan ketentuan-ketentuan yang adalah untuk memelihara kemashlahatan para ada dalam nash tersebut dengan pertimbangan petani desa dari kemungkinan terjadinya suatu kemashlahatan. Pada dasarnya, al-Thufi penipuan harga, dan larangan menikahi wanita hanya mengambil pegangan hukum melalui sekaligus bibinya, juga untuk memelihara sebuah Hadits yang berbunyi “ladharara kemashalahat istri dan keluarga. Oleh sebab waladhirar ” atau “jangan membuat bahaya atau itu, menurut Al-Thufi, pada dasarnya baik membalas bahaya dengan yang serupa ”. Sehingga firman Allah maupun hadist Nabi bertujuan kedudukan sebuah hukum hanya berpatokan

pada ada tidaknya suatu keMaslahatan.

31 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,...126-127 32 Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, (Daar Thuq An-najah), Juz II, 71

33 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1,.....127-128

Menurut

al-Syatibi,

sebagaimana dikutip oleh Fauzi, bahwa dalam menentukan

menggunakan teori Mashlahah disyaratkan: pertama, perbuatan didasarkan pada niat. Maqasid itu dijadikan sebuah pertimbangan dalam sebuah tindakan, baik berkaitan dengan ibadat ataupun adat. Kedua, tuntutan kepada mukallaf untuk menyesuaikan dengan qasd Syari’. Allah sebagai al-Syari’ menghendaki agar qasd seorang hamba sesuai dengan apa yang telah ditetapkannya. Ketiga, setiap perbuatan yang tidak sejalan dangan qasd Syari’ dianggap batal.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdillah, Ibnu Abu Majah, Sunan Ibnu Majah, Darul Ihya Al-Kutub Al-Arabiyah,tthal-Amiri, Abdallah M. Al-Husayn, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Din Thufi, Jakarta; Gaya Media Pratama, 2004

Al-Amiri, Abdallah M. Al-Husayn, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum

Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail, Shahih Al-Bukhari, Daar Thuq An-najah

At-Thusi, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali tahqiq Muhammad Abdu Salam Abdu Syafi, Al-Mustashfa, Dar Al-Kutb Al- ‘Ilmiyah

Al-Gharnati, Ibrahim bin Musa bin Muhammad lakhmi terkenal sebagai Asy-Syatibi, Al- Muwafaqaat, Daar Ibn Affan, 1997

Al-Thufi, Najmuddin, Syarh al- Arba’in an-Nawawiyah, Kairo; Dar al-Fikr

Busyro, Fiqh Maqashid, Ciputat: ADELINA Bersaudara, 2015

Hasan, Husein Hamid, Nazariyyah al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Kairo; Dar al-Nahdhah al_’Arabiyah

Idaul Hasanah, Konsep Mashlahah Najamuddin Al-Thufi Dan Implementasinya, Jurnal Ulumuddin, Vol

7, No. 1, 2011

Jahar, Asep Saepudin, Al- bid‘ah versus al-Mashlahah Al-mursalah and al-Istihsân: Al- syâthibi’s legal framework, Jurnal Ahkam, Vol XII, September, 2014

Khalaf, Abdul Wahab, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996

Masud, Muhammad Khalid, Filsafat Hukum Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1996

Rusli, Nasrun, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani, Jakarta : Logos, 1999