POLICY BRIEF KORSUP SAWIT KALBAR 2015

(1)

POLICY BRIEF

“POTRET PERKEBUNAN KELAPA SAWIT KALIMANTAN

BARAT; MERUSAK BUMI, MENUAI KORUPSI”

OLEH:

KOALISI MASYARAKAT SIPIL KALIMANTAN BARAT

WALHI KALIMANTAN BARAT SAMPAN KALIMANTAN LINGKAR-BORNEO WWF KALIMANTAN BARAT LEMBAGA BELA BANUA TALINO PERKUMPULAN PANCUR KASIH AMAN KALIMANTAN BARAT PBH KALIMANTAN PONTIANAK INSTITUT INSTITUT DAYAKOLOGI KONTAK RAKYAT BORNEO LEMBAGA TITIAN LPS-AIR

DISAMPAIKAN KEPADA :

KOMISI PEMBERANTASAN KORUSI REPUBLIK INDONESIA

(KPK – RI)

SEBAGAI :

BAHAN KOORDINASI DAN SUPERVISI PENERTIBAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KALIMANTAN BARAT

September 2015


(2)

I. Pendahuluan

Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan utama di Indonesia. Sampai tahun 2014, luas perkebunan kelapa sawit mencapai 13,5 juta hektar atau 7% dari total luas daratan Indonesia. Luasnya tanah dan besarnya investasi yang dialokasikan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit, belum diimbangi dengan mekanisme pengelolaan dan pengawasan yang baik. Kondisi ini menyebabkan terjadi berbagai kerusakan, pelanggaran dan dugaan korupsi dalam business process komoditas ini. Selain itu, masifikasi pengembangan perkebunan kelapa sawit menyebabkan terjadi ketimpangan penguasaan tanah di Indonesia. Kajian lembaga Transformasi Untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) dan Profundo pada tahun 2013, menemukan bahwa tanah seluas 5,1 juta hektar di kuasai oleh 25 grup perusahaan perkebunan kelapa sawit yang hanya dimiliki oleh 30 keluarga. Jumlah tersebut merupakan 38% dari total luasan areal yang di peruntukkan bagi pengembangan perkebunan sawit di Indonesia.

Sampai dengan Desember 2014, luas perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat mencapai 5.387.610,41 hektar dengan 550 perusahaan. Jumlah dan luasan ini terdiri dari 28 perusahaan dengan luas 270.526,27 hektar dalam status Informasi Lahan (IL), 44 perusahaan dengan luas 344.704,00 ha dengan status izin Lokasi (IL), 323 perusahaan dengan luas 3.842.764,44 hektar dengan status Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan 155 perusahaan mendapatkan izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 929.615,70 hektar.

2 Sumber: Data Dinas Perkebunan Provinsi Kalbar Desember 2014 olah oleh Walhi Kalimantan Barat, di

0 20 40 60 80 100 120

Mempawah Kubu Raya Singkawang

Sambas Bengkayang

Landak Sanggau Sekadau Sintang Melawi Kapuas Hulu

Ketapang Kayong Utara

Tabel 1.

Sebaran dan Luas Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Barat


(3)

II. Praktek Gelap Perizinan

a. Penyalahgunaan wewenang dalam proses perizinan

Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat Desember 2014, perkebunan mengindikasikan terjadi penyalahgunaan kelapa sawit di Kalimantan wewenang pejabat daerah dalam

Barat seluas 5.387.610,41

hektar dengan 550 pemberian izin investasi perkebunan perusahaan. Terdiri dari 28 kelapa sawit untuk tujuan eksistensi dan perusahaa; luas 270.526,27 logistic politik penguasa lokal dan tokoh hektar status Informasi Lahan politik. Dugaan tersebut berdasarkan pada

(IL), 44 perusahaan; luas

344.704,00 ha status izin meningkatnya jumlah izin baru perkebunan Lokasi (IL), 323 perusahaan; pada momentum menjelang dan pasca luas 3.842.764,44 hektar status pemilihan kepala daerah. Kebutuhan dana Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan 155 perusahaan berizin politik perebutan kepala daerah tersebut di Hak Guna Usaha (HGU) seluas dapat dari investor dan perusahaan 929.615,70 hektar. dengan kompensasi penerbitan izin baru

ataupun peningkatan status izin yang sudah ada sebelumnya.

Dugaan pelanggaran maupun

penyalahgunaan kewenangan kepala daerah tersebut tidak hanya dalam

Yasir Anshari, anak bupati Ketapang pemberian izin kepada perusahaan (2000-2010) memiliki 16 perusahaan besar dengan motif logistik perkebunan dan pertambangan. Pada

kepentingan politik daerah, tahun 2010 menjual PT. Lanang pelanggaran juga dilakukan dengan Bersatu kepada PT. Harita saat mencalonkan diri sebagai Bupati

pemberian (kemudahan) izin kepada Ketapang periode 2010-2015 keluarga maupun kroni-kroninya yang tidak memiliki kemampuan dan sumber daya yang memadai.

b. Praktik suap, gratifikasi dan pemerasan dalam pemberian izin

Tertangkapnya Bupati Buol

Amran Batalipu pada 26 Juni 2012

menjelaskan begitu terang benderangnya praktek suap dalam pengurusan perizinan perkebunan Kelapa Sawit. Berbagai bentuk dan jenis

praktek suap, gratifikasi dan

pemerasan yang sama juga

terjadi di Kalimantan

Barat. Indikasi terjadinya


(4)

praktek tersebut bisa dilihat di banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum memiliki kelengkapan prosedur dan dokumen adminstrasi tetapi kemudian bisa mendapatkan kenaikan status perizinan ataupun mendapatkan izin baru.

Investigasi yang dilakukan oleh Perkumpulan Sawit Watch pada tahun 2013 memperkuat dugaan terjadinya praktek suap dalam proses pemberian izin perkebunan kelapa sawit tersebut, khususnya mengurus perizinan di luar izin Hak Guna Usaha (HGU). Perusahaan perkebunan Kelapa Sawit harus menyediakan dana mencapai Rp. 32 milyar untuk seluruh biaya legal maupun illegal dalam pengurusan izin. Biaya tersebut terdiri dari semua proses dan tahapan pengurusan izin dari level kabupaten (Bupati), provinsi (Gubernur) dan sampai ke Kementerian terkait. Dalam temuan investigasi tersebut, untuk pengurusan Hak Guna Usaha (HGU), perusahaan harus mengeluarkan biaya tersendiri.

c. Manipulasi dalam peningkatan status izin dan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU)

Proses peningkatan status izin dan pengurusan Hak Guna Usaha (GHU) juga tidak luput dari praktek suap dan PT Sintang Raya dalam membebaskan manipulasi. Koalisi Masyarakat lahan hanya diwakili perangkat desa Sipil Kalimantan Barat tanpa melibatkan masyarakat. Praktek menemukan praktek manipulasi manipulasi tersebut yang menjadikan 5 dilakukan sejak sosialisasi orang masyarak desa olak‐olak hingga ganti rugi terhadap lahan kecamatan kubu kab. Kubu Raya yang diatasnya sudah terlebih gugatannya dimenangkan oleh PTUN dahulu ada haknya. Manipulasi hingga Mahkamah Agung karena tanah dilakukan agar kelengkapan

sertifikat yang belum dibebaskan masuk administrasi dapat tercapai

HGU PT Sintang. Hal serupa terjadi di sehingga masa berlaku izinnya

Desa Sungai Iruk Kec. Sungai Raya dapat ditingkatkan. Salah satu

Kepulauan Kab. Bengkayang 84 buah contohnya adalah di lapangan

sertifikat dengan luas 300 Ha yang belum terjadi pelepasan hak

belum dibebaskan masuk

kepada pemegang hak sebelumnya. Namun dalam dokumen laporan untuk kelengkapan administrasinya, status sudah

Fakta lain adalah sampai dengan

Desember 2014, jumlah luas izin perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat adalah 4.457.994,71 hektar dan 395 perusahaan, sementara realisasi tanam baru mencapai

1.044.196,34 hektar dan Hak Guna

Usaha (HGU) hanya dimiliki oleh 155

perusahaan dengan luas 929.615,70 hektar. Rendahnya progres

penanaman dan 4 dilepaskan. 8 1 % 1 9 % Tabel 2.

Perbandingan luas perizinan dan realisasi penanaman Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan

Barat 201 4

luas izin realisasi tanam


(5)

pembangunan kebun yang hanya 19,36% bila dibanding dengan luasan perizinan mengkonfirmasi fakta bahwa telah terjadi praktek manipulasi administrasi dalam memberikan izin perkebunan kelapa sawit. Selain itu, fakta ini menjelaskan lemahnya pengawasan, kontrol dan tanggungjawab negara terhadap tujuan pengajuan izin perkebunan yang hanya dimanfaatkan untuk melakukan penebangan dan pengambilan kayu saja.

d. Pemegang izin abai atas kewajiban kemitraan 20 % dengan masyarakat

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, mewajibkan seluruh perusahaan perkebunan pemegang izin membangunkan 20 % dari luas izinnya untuk kebun kemitraan masyarakat. Pada prakteknya, di lapangan banyak perusahaan yang sengaja tidak membangunkan kebun kemitraan sampai perusahaan tersebut sudah memiliki HGU dan bahkan setelah memasuki masa panen. Praktek-praktek abai dengan tidak merealisasikan kebun plasma dan kemitraan kepada masyarakat ini telah menimbulkan banyak konflik di dalam area perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

III. Ijin Diluar Ketentuan

Berdasarkan temuan Koalisi Masyarakat

Sipil Kalimantan Barat, terjadi banyak Konflik Masyarakat Desa Batu cacat prosedur dalam mendapatkan Izin Daya (Ketapang) VS PT. Swadaya Usaha Perkebunan (IUP) seperti yang di Mukti Prakarsa (SMP): atur di dalam Permentan No. 26 Tahun Pangkal permasalahan dari kriminalisasi 2007 dan Permentan No. 98 Tahun warga ini adalah tuntutan kebun plasma

2013. oleh warga atas 1088,33 ha hutan milik masyarakat yang dilepaskan oleh Pemda Beberapa temuan pelanggaran adalah kab Ketapang selaku pemberi izin konsesi sebagai berikut: kepada perusahaan. menyebabkan Yohanes Singkul dan Aksi atas tuntutan ini (1) IUP diterbitkan sebelum Izin AnyunProses persidangan kemudian hanya ditangkap oleh pihak kepolisian. Lingkungan diterbitkan mengadili sangkaan penganiayaan dan (2) IUP beroperasi di dalam kawasan membawa senjata tajam saat insiden hutan

kericuhan di kantor perusahaan (PT. First Resources) pada 26 Oktober PT. SMP

(3) IUP diterbitkan sebelum 2013. Tanpa mampu memberi solusi dari mendapatkan Izin Pelepasan tuntutan masyarakat tersebut. Kawasan Hutan (IPKH)

(4) IUP diterbitkan di lokasi yang sudah dibebani hak lainnya

Temuan Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat di kabupaten Kapuas Hulu, 7 perusahaan perkebunan sawit di bawah perusahaan Group Sinar Mas mendapatkan IUP tanpa Izin Lingkungan, tapi hanya mendapatkan Putusan Kelayakan Lingkungan yang diterbitkan oleh Bupati Kapuas Hulu. Berdasarkan UU 32 Tahun 2009 dan PP No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan menjelaskan bahwa Izin Lingkungan hanya bisa diterbitkan oleh Komisi Penilai Amdal Propinsi. Ini menunjukkan telah terjadi persengkongkolan dan penyimpangan dalam pelaksanaan kewajiban pemilik usaha perkebunan.

Disamping pelanggaran dalam proses

penerbitan Izin Usaha Perkebunan (IUP), 7 Perusahaan Perkebunan Kelapa Koalisi juga

menemukan bahwa ada Sawit tersebut adalah :


(6)

penerbitan HGU dilakukan pada saat 1. PT. Anugerah Makmur Sejati status lahan belum “clear and clean”. 2. PT. Kartika Prima Cipta Mengacu pada Permenag No. 9 Tahun 3. PT. Paramitra Internusa Pratama 1999 tentang

Pemberian dan 4. PT. Primanusa Mitraserasi

5. PT. Buana Tunas Sejahtera Pembatalan Hak Atas Tanah, Permenag 6. PT. Sentra Karya Manunggal

No. 22 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, 7. PT. Duta Nusa Lestari PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan

Hak Pakai Atas Tanah. Fakta

ini bisa ditemukan di Kabupaten Kubu Raya yang melibatkan PT. Sintang Raya.

IV. Potensi Kerugian Negara Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada PP No. 12 Tahun 2014 Tentang Jenis

dan Tarif atas Jenis PT Sintang Raya, yang bergerak dalam bidang perusahaan

Penerimaan Negara Bukan perkebunan sawit dan berlokasi di daerah Kabupaten Kubur Raya, diduga menyerobot lahan warga di dua desa, yaitu

Pajak (PNBP) yang berlaku Desa Pelita Jaya dan Desa Olak Olak. Hal ini didasarkan pada pada Kementerian Kehutanan, gugatan hukum oleh masyarakat Kubu Raya atas HGU PT. diperoleh potensi penerimaan Sintang Raya Nomor 04/2009 tertanggal 05 Juni 2009 dengan daerah untuk Provisi Sumber surat ukur 02 Juni 2009, Nomor 182/2009 dengan luas areal 11. 129.9 Ha. Dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Daya Hutan (PSDH) dan Dana Pontianak No. 30/6/2011/ PTUN PTK, menyatakan Batal Reboisasi (DR) di Kalimantan demi hukum sertifikat atas HGU PT.

Sintang Raya Nomor Barat pada tahun 2013 04/2009 tertanggal 05 juni 2009, surat ukur 02 juni 2009, sebesar Rp 72,8 miliar. Nilai ini Nomor 182/2009 dengan luas areal 11. 129.9 Ha.

hanya berasal dari dari kawasan hutan yang telah

beralih fungsi menjadi APL dan telah ditanami untuk perkebunan sawit. Sebagai catatan, pada tahun 2013, pada 621.080 ha kawasan hutan yang diubah menjadi APL, terdapat 94.364 ha perkebunan sawit, dimana 14.983 ha di antaranya sudah ditanami sawit.

Jika dibandingkan dengan nilai total PSDH dan DR yang diterima Kalimantan Barat (Rp 66,3 miliar) dari sektor kehutanan di tahun yang sama, nilai potensi di atas jauh lebih besar dengan selisih mencapai Rp 6,5 miliar. Dimana nilai terbesar kerugian ada pada kekurangan bayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan). Selisih ini kemudian kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost) atau potensi kerugian negara. Harus digarisbawahi bahwa, nilai potensi PSDH dan DR ini hanya berasal dari perkebunan sawit, belum termasuk potensi PSDH dan DR dari perusahaan kehutanan.


(7)

hutan menjadi bukan kawasan hutan (APL), untuk sektor perkebunan kelapa sawit berdasarkan SK.936/Menhut_II/2013 negara berpotensi dirugikan Rp. 3,4 Triliun1

V. Konflik dan Kemiskinan

a. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber konflik

Koalisi mencatat, selama tahun 2014 setidaknya 57 komunitas masyarakat di Kalimantan Barat berkonflik dengan perkebunan kelapa sawit. Sementara Kepolisian Daerah Kalimantan Barat mempublish data selama tahun 2014, terjadi 101 konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Polda Kalimantan Barat, 2014).

Penyebab konflik in antara lain:

1. Pemegang IUP menyerobot tanah masyarakat dengan ganti rugi yang tidak sesuai

2. Plasma terlambat dikonversi

1 Penghitungan Kerugian Negara ini didasarkan pada pengaturan kawasan hutan pada SK. 259, SK. 733 dan 7

A penghitunga

n

pabila negar

a

kerugian berdasarka

n pe r kawasan peruntukan ubahan 50

DR PSD

H M il ia r Tabel 3.

Perbandingan Potensi PSDH dan DR dari Pembukaan Perkebunan Kelapa Sawit dengan Total Realisasi PSDH dan DR Kalimantan

Barat

POTENSI DR & PSDH SAWIT ‐ 10 20 30 40 Bengkayan g Samba s Landa k Kayong Utara m ili a r ( R p ) Tabel 4. Kabupaten dengan t otal kerugian penerimaan terbesar PSDH dan DR dari perkebunan sawit di Kalimantan Barat


(8)

3. Tumpang tindih antara lahan perkebunan dengan lahan masyarakat dan kawasan hutan

4. Perusahaan tidak menepati janji

5. Rendahnya daya serap tenaga kerja lokal 6. Pemberian CSR yang tidak transparan

Sementara itu, Walhi Kalimantan Barat mencatat, dari konflik-konflik tersebut,

terjadi 20 kasus kriminalisasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh

Kasus Andi‐Japin: perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Japin dan Vitalis Andi adalah korban Kriminalisasi terhadap masyarakat ini kriminalisasi PT. Bangun Nusa Mandiri terjadi hampir di semua kabupaten di kab Ketapang. Keduanya dihukum lokasi pengembangan kelapa sawit di karena bersama‐sama warga Kalimantan Barat. Semua kasus menghentikan dan menahan alat berat kriminalisasi yang terjadi berpangkal perusahaan yang adat mereka tanpa izin. Mereka menggusur wilayah pada persoalan tenurial, dimana

tanah-diputuskan bersalah dan di hukum 1 tanah masyarakat begitu saja di tahun penjara karena dianggap konversi tanpa sosialisasi yang mengganggu usaha perkebunan. memadai dan sebagiannya terjadi tanpa Keputusan tidak adil ini menjadi salah satu dasar Judicial Review yang sepengetahuan masyarakat sebagai merubah UU No. 18 tahun 2004 pemilik tanah. Semua kasus ini tentang Perkebunan

menunjukkan tidak berjalannya prinsip pengakuan hak-hak masyarakat dalam berinvestasi serta abai dan lemahnya negara dalam penegakkan hukum dan memberikan perlindungan hak-hak masyarakat sebagaimana mandat konstitusi.

b. Perkebunan kelapa sawit dan kemiskinan

Sekalipun jumlah perizinan dan HGU perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat sudah mencapai 550 izin dengan luasan 5.387.610,41 hektar, namun di lapangan fakta ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh adalah kabupaten Ketapang, yang merupakan kabupaten dengan izin terluas di Kalimantan Barat. Dengan total luas izin dan HGU mencapai 1.135,717,18 hektar hanya menyumbang sebesar Rp. 806.133.057 kepada PAD Kabupaten Ketapang pada tahun 2012 atau sebesar 0,08 % dari total APBD ketapang tahun 20122.

Biro Pusat Statistik (BPS) 2011, merilis data Kalimantan Barat sebagai provinsi termiskin di antara 4 provinsi Kalimantan dengan jumlah penduduk miskin mencapai 380.110 orang atau 8,60% dari total jumlah penduduk Kalimantan Barat. Temuan Koalisi juga menunjukan bahwa sebagai kabupaten dengan konsesi kebun sawit terluas di Kalimantan Barat, pada tahun 2010, kabupaten Ketapang berada di peringkat ke 3 sebagai kabupaten termiskin di Kalimantan Barat dengan 13,67% penduduknya tergolong miskin. Pada tahun 2013, jumlah penduduk miskin kabupaten ini adalah 52.017 jiwa atau 11,91% dan tetap menjadi salah satu kabupaten miskin di Kalimantan Barat juga tidak berubah. Dan kabupaten ini juga memiliki Indeks

2 Sumber Data, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ketapang, diolah oleh Link‐AR Borneo Tahun 2013


(9)

Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 69,05 berada di peringkat ke 8 dari 13 kabupaten di Kalimantan Barat3.

Hal ini juga terkonfirmasi dari pernyataan Asisten II Setda Provinsi Kalbar Lensus Kandri, “perkebunan kelapa sawit tak memberikan kontribusi bagi Kalbar”4.

VI. Deforestasi

Yang tidak kalah penting, massifnya perkebunan sawit mengakibatkan tingkat deforestasi yang tinggi di Kalimantan. Analisis Forest Watch Indonesia berdasarkan penafsiran citra satelit, menunjukan kurang lebih 4,50 juta hektare atau sekitar 1,13 hektare pertahun mengalami deforestasi dalam kurun waktu 2009-2013. Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah pulau-pulau yang mengalami deforestasi paling parah bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Pulau Deforestasi 2009-2013

(Ha)

Persentase Deforestasi Terhadap Luas Tutupan Hutan Alam 2013 (%)

Sumatera 1.530.156,03 12,12

Jawa 326.953,09 32,64

Bali Nusa Tenggara 161.875,07 11,99

Kalimantan 1.541.693,36 5,48

Sulawesi 191.087,23 2,10

Maluku 242.567,90 5,30

Papua 592.976,57 1,98

Sumber: Forest Watch Indonesia 2014

Sementara deforestasi di Kalimantan Barat mencapai 426 ribu hektare atau urutan kelima provinsi dengan angka deforestasi tertinggi. Sektor perkebunan kelapa sawit diyakini sebagai penyumbang deforestasi dengan luasan areal konsesinya.

3 Sumber Data, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ketapang, diolah oleh Link‐AR Borneo Tahun 2013

4 http://pontianak.tribunnews.com/2014/12/01/perkebunan‐sawit‐tak‐ berkontribusi‐bagi‐kalbar


(10)

VII. Kesimpulan

Tidak transparannya proses pemberian izin kepada perusahaan penerima Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) mendorong terjadinya praktik-praktik manipulasi, suap dan gratifikasi yang mengakibatkan izin tersebut tidak akuntabel karena banyak melanggar peraturan perundang-undangan dalam setiap proses dan tahapan perizinannya.

Tidak transparan dan tidak akuntabelnya izin tersebut mengakibatkan kerugian negara yang cukup signifikan, konflik sosial, kerusakan alam lingkungan dan kehilangan pemasukan negara. Dalam banyak aspek, meningkatnya investasi di sektor perkebunan kelapa sawit tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Barat.

VIII. Rekomendasi

Terkait dengan tidak transparannya proses perizinan perkebunan kelapa sawit, kerugian negara dan dampak social ekologis yang sudah ditimbulkan oleh masifnya investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, maka kami Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat memandang perlu untuk segera :

1. Meminta KPK untuk segera melakukan aktivitas Koordinasi dan Supervisi kepada pemerintah provinsi dan kabupaten / kota di Kalimantan Barat dalam sektor perkebunan kelapa sawit, khususnya menertibkan izin-izin perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.


(11)

2. Meminta KPK melakukan pengusutan atas dugaan praktik-praktik korupsi untuk mencegah kerugian negara di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

3. Mendesak pemerintah provinsi Kalimantan Barat untuk segera membentuk Tim Review Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dengan melibatkan masyarakat dan bekerja secara transparan dan akuntabel untuk melakukan penataan ulang semua izin perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Barat.

4. Mendesak pemerintah provinsi Kalimantan Barat untuk membentuk dan melembagakan mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam dengan membangun sistem pengaduan masyarakat dengan mekanisme

penyelesaian yang transparan dan akuntabel

5. Meminta Gubernur, Bupati dan Walikota provinsi Kalimantan Barat untuk menghentikan pemberian izin-izin baru untuk perkebunan kelapa sawit di seluruh wilayah Kalimantan Barat untuk mencegah konflik horizontal dan menjawab ancaman bencana ekologis yang akan mengorbankan seluruh masyarakat Kalimantan Barat.


(1)

penerbitan HGU dilakukan pada saat 1. PT. Anugerah Makmur Sejati status lahan belum “clear and clean”. 2. PT. Kartika Prima Cipta Mengacu pada Permenag No. 9 Tahun 3. PT. Paramitra Internusa Pratama 1999 tentang

Pemberian dan 4. PT. Primanusa Mitraserasi

5. PT. Buana Tunas Sejahtera

Pembatalan Hak Atas Tanah, Permenag 6. PT. Sentra Karya Manunggal

No. 22 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi, 7. PT. Duta Nusa Lestari

PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah. Fakta

ini bisa ditemukan di Kabupaten Kubu Raya yang melibatkan PT. Sintang Raya.

IV. Potensi Kerugian Negara Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada PP No. 12 Tahun 2014 Tentang Jenis

dan Tarif atas Jenis PT Sintang Raya, yang bergerak dalam bidang perusahaan

Penerimaan Negara Bukan perkebunan sawit dan berlokasi di daerah Kabupaten Kubur Raya, diduga menyerobot lahan warga di dua desa, yaitu

Pajak (PNBP) yang berlaku Desa Pelita Jaya dan Desa Olak Olak. Hal ini didasarkan pada pada Kementerian Kehutanan, gugatan hukum oleh masyarakat Kubu Raya atas HGU PT. diperoleh potensi penerimaan Sintang Raya Nomor 04/2009 tertanggal 05 Juni 2009 dengan daerah untuk Provisi Sumber surat ukur 02 Juni 2009, Nomor 182/2009 dengan luas areal 11. 129.9 Ha. Dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Daya Hutan (PSDH) dan Dana Pontianak No. 30/6/2011/ PTUN PTK, menyatakan Batal Reboisasi (DR) di Kalimantan demi hukum sertifikat atas HGU PT. Sintang Raya Nomor Barat pada tahun 2013 04/2009 tertanggal 05 juni 2009, surat ukur 02 juni 2009, sebesar Rp 72,8 miliar. Nilai ini Nomor 182/2009 dengan luas areal 11. 129.9 Ha.

hanya berasal dari dari kawasan hutan yang telah

beralih fungsi menjadi APL dan telah ditanami untuk perkebunan sawit. Sebagai catatan, pada tahun 2013, pada 621.080 ha kawasan hutan yang diubah menjadi APL, terdapat 94.364 ha perkebunan sawit, dimana 14.983 ha di antaranya sudah ditanami sawit.

Jika dibandingkan dengan nilai total PSDH dan DR yang diterima Kalimantan Barat (Rp 66,3 miliar) dari sektor kehutanan di tahun yang sama, nilai potensi di atas jauh lebih besar dengan selisih mencapai Rp 6,5 miliar. Dimana nilai terbesar kerugian ada pada kekurangan bayar PSDH (Provisi Sumber Daya Hutan). Selisih ini kemudian kami sebut sebagai potensi kehilangan penerimaan (potential lost) atau potensi kerugian negara. Harus digarisbawahi bahwa, nilai potensi PSDH dan DR ini hanya berasal dari perkebunan sawit, belum termasuk potensi PSDH dan DR dari perusahaan kehutanan.


(2)

hutan menjadi bukan kawasan hutan (APL), untuk sektor perkebunan kelapa sawit berdasarkan SK.936/Menhut_II/2013 negara berpotensi dirugikan Rp. 3,4 Triliun1

V. Konflik dan Kemiskinan

a. Perkebunan kelapa sawit sebagai sumber konflik

Koalisi mencatat, selama tahun 2014 setidaknya 57 komunitas masyarakat di Kalimantan Barat berkonflik dengan perkebunan kelapa sawit. Sementara Kepolisian Daerah Kalimantan Barat mempublish data selama tahun 2014, terjadi 101 konflik antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat (Polda Kalimantan Barat, 2014).

Penyebab konflik in antara lain:

1. Pemegang IUP menyerobot tanah masyarakat dengan ganti rugi yang tidak sesuai

2. Plasma terlambat dikonversi

1 Penghitungan Kerugian Negara ini didasarkan pada pengaturan kawasan hutan pada SK. 259, SK. 733 dan 7 A penghitunga

n

pabila negar

a

kerugian berdasarka n pe r kawasan peruntukan ubahan 50

DR PSD

H M il ia r Tabel 3.

Perbandingan Potensi PSDH dan DR dari Pembukaan Perkebunan Kelapa Sawit dengan Total Realisasi PSDH dan DR Kalimantan

Barat

POTENSI DR & PSDH SAWIT ‐ 10 20 30 40 Bengkayan g Samba s Landa k Kayong Utara m ili a r ( R p ) Tabel 4. Kabupaten dengan t otal kerugian penerimaan terbesar PSDH dan DR dari perkebunan sawit di Kalimantan Barat


(3)

3. Tumpang tindih antara lahan perkebunan dengan lahan masyarakat dan kawasan hutan

4. Perusahaan tidak menepati janji

5. Rendahnya daya serap tenaga kerja lokal 6. Pemberian CSR yang tidak transparan

Sementara itu, Walhi Kalimantan Barat mencatat, dari konflik-konflik tersebut,

terjadi 20 kasus kriminalisasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh Kasus Andi‐Japin: perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Japin dan Vitalis Andi adalah korban Kriminalisasi terhadap masyarakat ini kriminalisasi PT. Bangun Nusa Mandiri terjadi hampir di semua kabupaten di kab Ketapang. Keduanya dihukum lokasi pengembangan kelapa sawit di karena bersama‐sama warga Kalimantan Barat. Semua kasus menghentikan dan menahan alat berat kriminalisasi yang terjadi berpangkal perusahaan yang adat mereka tanpa izin. Mereka menggusur wilayah pada persoalan tenurial, dimana

tanah-diputuskan bersalah dan di hukum 1 tanah masyarakat begitu saja di tahun penjara karena dianggap konversi tanpa sosialisasi yang mengganggu usaha perkebunan. memadai dan sebagiannya terjadi tanpa Keputusan tidak adil ini menjadi salah satu dasar Judicial Review yang sepengetahuan masyarakat sebagai merubah UU No. 18 tahun 2004 pemilik tanah. Semua kasus ini tentang Perkebunan

menunjukkan tidak berjalannya prinsip pengakuan hak-hak masyarakat dalam berinvestasi serta abai dan lemahnya negara dalam penegakkan hukum dan memberikan perlindungan hak-hak masyarakat sebagaimana mandat konstitusi.

b. Perkebunan kelapa sawit dan kemiskinan

Sekalipun jumlah perizinan dan HGU perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat sudah mencapai 550 izin dengan luasan 5.387.610,41 hektar, namun di lapangan fakta ini tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebagai contoh adalah kabupaten Ketapang, yang merupakan kabupaten dengan izin terluas di Kalimantan Barat. Dengan total luas izin dan HGU mencapai 1.135,717,18 hektar hanya menyumbang sebesar Rp. 806.133.057 kepada PAD Kabupaten Ketapang pada tahun 2012 atau sebesar 0,08 % dari total APBD ketapang tahun 20122.

Biro Pusat Statistik (BPS) 2011, merilis data Kalimantan Barat sebagai provinsi termiskin di antara 4 provinsi Kalimantan dengan jumlah penduduk miskin mencapai 380.110 orang atau 8,60% dari total jumlah penduduk Kalimantan Barat. Temuan Koalisi juga menunjukan bahwa sebagai kabupaten dengan konsesi kebun sawit terluas di Kalimantan Barat, pada tahun 2010, kabupaten Ketapang berada di peringkat ke 3 sebagai kabupaten termiskin di Kalimantan Barat dengan 13,67% penduduknya tergolong miskin. Pada tahun 2013, jumlah penduduk miskin kabupaten ini adalah 52.017 jiwa atau 11,91% dan tetap menjadi salah satu kabupaten miskin di Kalimantan Barat juga tidak berubah. Dan kabupaten ini juga memiliki Indeks 2 Sumber Data, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ketapang, diolah oleh Link‐AR Borneo Tahun 2013


(4)

Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 69,05 berada di peringkat ke 8 dari 13 kabupaten di Kalimantan Barat3.

Hal ini juga terkonfirmasi dari pernyataan Asisten II Setda Provinsi Kalbar Lensus Kandri, “perkebunan kelapa sawit tak memberikan kontribusi bagi Kalbar”4.

VI. Deforestasi

Yang tidak kalah penting, massifnya perkebunan sawit mengakibatkan tingkat deforestasi yang tinggi di Kalimantan. Analisis Forest Watch Indonesia berdasarkan penafsiran citra satelit, menunjukan kurang lebih 4,50 juta hektare atau sekitar 1,13 hektare pertahun mengalami deforestasi dalam kurun waktu 2009-2013. Pulau Sumatera dan Kalimantan adalah pulau-pulau yang mengalami deforestasi paling parah bila dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia.

Pulau Deforestasi 2009-2013

(Ha)

Persentase Deforestasi Terhadap Luas Tutupan Hutan Alam 2013 (%)

Sumatera 1.530.156,03 12,12

Jawa 326.953,09 32,64

Bali Nusa Tenggara 161.875,07 11,99

Kalimantan 1.541.693,36 5,48

Sulawesi 191.087,23 2,10

Maluku 242.567,90 5,30

Papua 592.976,57 1,98

Sumber: Forest Watch Indonesia 2014

Sementara deforestasi di Kalimantan Barat mencapai 426 ribu hektare atau urutan kelima provinsi dengan angka deforestasi tertinggi. Sektor perkebunan kelapa sawit diyakini sebagai penyumbang deforestasi dengan luasan areal konsesinya.

3 Sumber Data, Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Ketapang, diolah oleh Link‐AR Borneo Tahun 2013

4 http://pontianak.tribunnews.com/2014/12/01/perkebunan‐sawit‐tak‐ berkontribusi‐bagi‐kalbar


(5)

VII. Kesimpulan

Tidak transparannya proses pemberian izin kepada perusahaan penerima Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Hak Guna Usaha (HGU) mendorong terjadinya praktik-praktik manipulasi, suap dan gratifikasi yang mengakibatkan izin tersebut tidak akuntabel karena banyak melanggar peraturan perundang-undangan dalam setiap proses dan tahapan perizinannya.

Tidak transparan dan tidak akuntabelnya izin tersebut mengakibatkan kerugian negara yang cukup signifikan, konflik sosial, kerusakan alam lingkungan dan kehilangan pemasukan negara. Dalam banyak aspek, meningkatnya investasi di sektor perkebunan kelapa sawit tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Barat.

VIII. Rekomendasi

Terkait dengan tidak transparannya proses perizinan perkebunan kelapa sawit, kerugian negara dan dampak social ekologis yang sudah ditimbulkan oleh masifnya investasi perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat, maka kami Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Barat memandang perlu untuk segera :

1. Meminta KPK untuk segera melakukan aktivitas Koordinasi dan Supervisi kepada pemerintah provinsi dan kabupaten / kota di Kalimantan Barat dalam sektor perkebunan kelapa sawit, khususnya menertibkan izin-izin perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.


(6)

2. Meminta KPK melakukan pengusutan atas dugaan praktik-praktik korupsi untuk mencegah kerugian negara di sektor perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

3. Mendesak pemerintah provinsi Kalimantan Barat untuk segera membentuk Tim Review Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit dengan melibatkan masyarakat dan bekerja secara transparan dan akuntabel untuk melakukan penataan ulang semua izin perkebunan kelapa sawit yang ada di Kalimantan Barat.

4. Mendesak pemerintah provinsi Kalimantan Barat untuk membentuk dan melembagakan mekanisme penyelesaian konflik sumber daya alam dengan membangun sistem pengaduan masyarakat dengan mekanisme

penyelesaian yang transparan dan akuntabel

5. Meminta Gubernur, Bupati dan Walikota provinsi Kalimantan Barat untuk menghentikan pemberian izin-izin baru untuk perkebunan kelapa sawit di seluruh wilayah Kalimantan Barat untuk mencegah konflik horizontal dan menjawab ancaman bencana ekologis yang akan mengorbankan seluruh masyarakat Kalimantan Barat.