mengembangkan papua yang kaya

POTENSI SUMBERDAYA ALAM perikanan dan kelautan yang dimiliki
Indonesia sangat besar. Namun, potensi ini belum dikelola dan dimanfaatkan
secara benar, bertanggung jawab dan berkelanjutan demi kesejahteraan
masyarakat. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan informasi
para pelaku kegiatan akan pentingnya memanfaatkan dan mengolah secara
lestari dan berkesinambungan. Kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil di
wilayah Bentang Laut Papua sendiri memiliki sumberdaya perikanan, migas,
wisata, perhubungan laut dan potensi konservasi yang tinggi. Dengan potensi
sumber daya alam yang sangat besar, kawasan ini mungkin sekali dimanfaatkan
dan dikembangkan sebagai penghasil devisa negara dan kebutuhan konsumsi
domestik.

Sayangnya, pemanfaatan dan pengolahan sumberdaya alam tersebut masih
belum optimal dan kurang tepat sasaran. Penggunaan bom molotov dan racun
sianida dalam penangkapan ikan oleh para nelayan, penambangan di tengah
laut yang kurang memperhatikan nilai lingkungan tanpa antisipasi penanganan
yang memadai bila terjadi kebocoran, dan pencemaran yang berasal dari
daratan (sampah organik maupun anorganik) akan menimbulkan dampak yang
sangat fatal yaitu terhentinya proses regenerasi yang mengakibatkan kelangkaan,
atau lebih jauh lagi, kepunahan biota-biota yang hidup di perairan.
Pengembangan sumberdaya kelautan dan perikanan, kawasan pesisir dan laut

perlu direncanakan dengan cermat, sesuai karakteristik wilayahnya.
Perencanaan pengembangan Bentang Laut Papua dikembangkan berdasarkan
prinsip bioekoregion. Dalam UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa bioekoregion adalah
bentang alam yang berada di dalam satu hamparan kesatuan ekologis yang
ditetapkan oleh batas-batas alam, seperti daerah aliran sungai, teluk, dan arus.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah melalui UU No. 27 Tahun 2007
berupaya melakukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
tujuan:
melindungi, mengonservasi, merehabilitasi, memanfaatkan, dan
memperkaya sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta sistem
ekologinya secara berkelanjutan;
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan
pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan
pulau-pulau kecil;
memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta
mendorong inisiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya
pesisir dan pulau-pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan,
dan keberkelanjutan; dan
meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat melalui

peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil. Marine Bioregional Planning akan mendukung
peningkatan pengelolaan lingkungan laut dan keanekaragaman hayati
melalui pendekatan ekosistem. Hal ini karena Marine Bioregional Planning tidak
hanya fokus pada satu spesies atau satu ekosistem saja, tapi melihat
keseluruhan ekosistem yang ada di lingkungan wilayah pengembangan,
hubungan antara satu ekosistem dengan ekosistem yang lainnya, peran
ekosistem tersebut terhadap lingkungan laut, serta pengaruhnya terhadap
aktivitas masyarakat sekitar.
Dalam penetapan Kawasan Konservasi Laut diperlukan adanya standar deliniasi
wilayah laut yang memasukkan unsur keterkaitan ekologi pada Kawasan
Konservasi Laut. Marine Ecoregion of The World (MEOW) yang ditentukan oleh
Spalding 2007 merupakan dasar deliniasi yang cocok dalam proses ini karena

pembagian ekoregion dalam MEOW memiliki skala yang cocok untuk diterapkan
di masa yang akan datang.
Berdasarkan MEOW, Indonesia memiliki 12 ekoregion laut yang berpotensi
menjadi kawasan konservasi laut, yaitu: Papua, Laut Banda, Nusa Tenggara,
Laut Sulawesi/Selat Makassar, Halmahera, Palawan/Borneo Utara, Sumatera
Bagian Barat, Laut Sulawesi Timur/Teluk Tomini, Paparan Sunda/Laut Jawa,

Laut Arafura, Jawa Bagian Selatan dan Selat Malaka (Spalding dkk., 2007).
Papua sendiri termasuk dalam batas wilayah ekoregion kesatuan ekosistem
koral yang diprioritaskan pengelolaannya. Secara geografis, kawasan bentang
Laut Papua merupakan wilayah administrasi Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Ruang Lingkup Pengembangan Kawasan
Bentang Laut Kepala Burung Papua
Kawasan Bentang Laut Kepala Burung Papua
terdiri dari wilayah pesisir, laut dan pulaupulau kecil di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Wilayah ini meliputi wilayah kecamatan yang
berada di pesisir hingga 12 mil ke arah laut.
Pengembangan Kawasan Bentang Laut
Kepala Burung Papua terkonsentrasi pada
delapan titik pusat pengembangan, yaitu
Jayapura, Biak, Manokwari, Sorong, Raja
Ampat, Fak-fak, Bintuni dan Kaimana.
Potensi dan Permasalahan Kawasan
Secara
umum
Wilayah

Pengelolaan
Perikanan (WPP) Papua terbagi dua, yaitu
perairan utara Papua tergabung dalam WPP
717
yang
mencakup
perairan
Laut
Cendrawasih dan Pasifik dengan pantai 509
mil laut (916 Km) dengan luas diperkirakan
6.110 mil laut (11.000 km2) sebagai kawasan
yang kaya akan sumberdaya perikanan
Pelagis Besar (Tuna, Paruh Panjang,
Cakalang dan Tenggiri).
Sedangkan pada bagian selatan Papua
masuk dalam WPP 718 yang mencakup
perairan Laut Arafura dengan panjang pantai
662 mil laut (1.191 km) dengan luas perairan
7.944 mil laut (14.300 km) dan merupakan kawasan yang kaya akan
sumberdaya Ikan Demersal (udang, Kakap Merah, Kakap Putih, Bawal, Pari,

Cucut dan juga Ikan Pelagis kecil lainnya (Teri, Tongkol, Kembung). Kelompok
ikan lainnya adalah Ikan Kerapu, Napoleon, Lobster dan ikan hias. Papua

memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar, terutama pada wilayah
pesisir dan lautnya. Sumberdaya ini dapat dilihat dari berbagai ekosistem tropik
yang ada (mangrove, terumbu karang dan padang lamun) dengan tingkat
keanekaragaman yang tinggi. Selain itu, Papua juga memiliki potensi
sumberdaya hayati perikanan terutama perairan utara Papua dengan potensi
Ikan Pelagis dan perairan selatan dengan komoditi utama udang. Berbagai
sumberdaya tambang, mineral dan gas juga dapat ditemukan di perairan pesisir
dan Laut Papua.
Kegiatan perikanan dapat dikatakan masih relatif sederhana. Jenis alat tangkap
yang digunakan oleh masyarakat lokal masih bersifat tradisional, contohnya
jaring insang, pancing dan alat tangkap lainnya seperti tonda, tombak serta
kalawai (tombak bermata banyak).

Sampan digunakan para nelayan sebagai sarana transportasi ke areal tangkap
(fishing ground) dengan waktu tempuh selama 0,5 – 2 jam. Pada umumnya
nelayan
menggunakan

perahu
tanpa
motor
berupa
perahu
dayung/sampan/semang dan perahu motor. Kapasitas mesin motor yang
digunakan 15 pk, 25 pk, dan 40 pk. Umumnya mesin penggerak 40 pk yang
dimiliki oleh setiap kampung merupakan bantuan dari pemerintah. Namun
karena harga BBM yang tinggi maka motor tersebut jarang digunakan.
Secara umum sarana dan prasarana perikanan di Papua meliputi :
1. Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) di Biak dan Merauke, yang masih
dalam tahap studi dan diharapkan segera dibangun untuk melayani
kapal-¬kapal perikanan yang beroperasi di Lautan Pasifik dan Laut
Arafuru. Sehingga kapal- kapal ikan tersebut dapat memenuhi kebutuhan
operasional maupun kegiatan lainnya tanpa harus ke pelabuhan di luar
Provinsi Papua.
2. Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) di Sorong.
3. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Jayapura, Manokwari, Kaimana,
Sorong, Fak- Fak dan Mimika.


4. Balai Benih Ikan Air Tawar (BBI) Sentral di Masni, Kabupaten Manokwari
untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan benih bagi Provinsi Papua,
yang juga ditunjang oleh BBI Lokal yang tersebar hampir di seluruh
kabupaten.
5. Balai Budidaya Ikan Pantai (BBIP) di Biak untuk mendukung
pengembangan budidaya laut, terutama penyediaan benih ikan kepada
para pembudidaya di Provinsi Papua.

Kegiatan pertambangan yang mungkin dikembangkan adalah pertambangan gas
dan minyak lepas pantai dan pertambangan batubara. Pengembangan kegiatan
pertambangan ini potensial, namun banyak cadangan yang belum diketahui
secara pasti. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam, terutama
dampaknya terhadap lingkungan. Mengingat lokasi tambang, khusus untuk batu
bara, umumnya berada pada daerah dataran di pesisir pantai atau di pulau-pulau
kecil. Kegiatan pertambangan ini akan memberikan dampak yang sangat berat
terhadap keberlanjutan ekosistem pesisir di wilayah ini. Selain mengancam biota
perairan, kegiatan ini juga mengubah keindahan bentang alamnya dan
menurunkan keindahan berbagai objek wisata baik darat maupun perairan laut.

Indikasi

Kebijakan
Pengembangan
Bentang Laut Papua
Pola Pengembangan Kawasan dan Fungsi
Kota Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional telah ditetapkan beberapa pusat
pertumbuhan wilayah Tanah Papua yang
terbagi ke dalam sembilan kawasan
andalan dengan berbagai sektor unggulan
yang sangat beragam. Kawasan-kawasan
yang berperan mendorong pertumbuhan
ekonomi bagi kawasan itu sendiri dan di
sekitarnya, serta mewujudkan pemerataan pemanfaatan ruang di wilayah
nasional ini kemudian disebut sebagai Kawasan Andalan. Kawasan Andalan
ditentukan berdasarkan potensi yang ada, memiliki aglomerasi pusat-pusat
permukiman perkotaan dan kegiatan produksi, serta pertimbangan
perkembangan daerah sekitarnya. Dalam Kawasan Andalan diindikasikan
sektor-sektor unggulan berdasarkan potensi sumberdaya alam kawasan.
Kawasan ini ditetapkan untuk mengupayakan sinergi keselarasan
pengembangan antar wilayah dan sektor. Sementara itu, yang dimaksud Pusat

Kegiatan Nasional (PKN) adalah kota yang mempunyai potensi sebagai pintu
gerbang ke kawasan-kawasan internasional dan mendorong daerah sekitarnya.
Kriteria yang menjadikan sebuah kota menjadi PKN antara lain berpotensi
sebagai pintu gerbang ke kawasan internasional dan mendorong daerah
sekitarnya, pusat jasa-jasa pelayanan keuangan/bank yang cakupan
pelayanannya berskala nasional atau provinsi, pusat pengolahan atau
pengumpul barang secara nasional atau provinsi, simpul transportasi secara
nasional atau provinsi, jasa pemerintahan untuk nasional atau provinsi, dan jasa
publik yang lain untuk nasional atau provinsi.
Di dalam PKN, terdapat Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Kota yang dikategorikan
PKL adalah kota sebagai pusat jasa, pusat pengolahan dan simpul transportasi
yang melayani satu kabupaten atau beberapa kecamatan, dengan kriteria
penentuan pusat jasa.
Kawasan Pemanfaatan Umum
Secara umum, Kawasan Bentang Laut Papua memiliki potensi budidaya
kelautan dan perikanan yang sangat besar. Pemanfaatan ruang pada kawasan
budidaya kelautan dan perikanan dibagi menurut prioritas penanganannya
sebagai berikut:
1. Perikanan budidaya laut di Kepulauan Raja Ampat, pesisir selatan
Kabupaten Kaimana, Teluk Cenderawasih, dan Jayapura;

2. Pengembangan perikanan tangkap meliputi wilayah:



Laut Papua Utara, dengan pusat kegiatan di Sorong, Biak, dan Jayapura.
Laut Kepala Burung–Teluk Bintuni, dengan pusat kegiatan di Sorong.



3.
4.

Laut Papua Selatan, dengan pusat kegiatan di Mimika, Merauke, dan
Kaimana.
Perikanan budidaya air payau (tambak) di Kabupaten Sarmi, Sorong
Selatan dan Waropen;
Perikanan budidaya air tawar (kolam) di Kabupaten Jayawijaya, Jayapura
dan Manokwari.

Kawasan Konservasi

Terdapat delapan kawasan konservasi perairan
nasional (KKPN) di wilayah kajian Kawasan
Bentang Laut Papua, dan tiga di antaranya telah
resmi ditetapkan Menteri kelautan dan perikanan
pada tanggal 3 September 2009. Secara nasional,
delapan kawasan konservasi perairan tersebut,
merupakan kawasan suaka alam dan/atau
kawasan pelestarian alam (KSA/KPA) yang telah
diserahterimakan dari Departemen Kehutanan
kepada Departemen Kelautan dan Perikanan
tanggal 4 Maret 2009. Tiga kawasan konservasi
perairan yang berada di Kawasan Bentang Laut
Papua yang disinggung di atas adalah: (1) Suaka
Alam Perairan di Kawasan Perairan Kepulauan Raja Ampat dan laut sekitarnya
seluas lebih kurang 60.000 ha, (KEP. 64/MEN/2009) tentang Penetapan
Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Raja Ampat dan Laut di
Sekitarnya, di Provinsi Papua Barat; (2) Suaka Alam Perairan di Kawasan
Perairan Sebelah Barat Kepulauan Waigeo, atau Kepulauan Panjang dan laut
sekitarnya seluas lebih kurang 271.630 ha, yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP. 65/MEN/2009; (3)
Taman Wisata Perairan Kepulauan Padaido beserta laut di sekitarnya seluas
lebih kurang 183.000 ha (KEP. 68/MEN/2009) tentang Penetapan Kawasan
Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Padaido dan Laut di Sekitarnya di
Provinsi Papua.
Tindak lanjut yang dilakukan pasca penetapan kawasan konservasi perairan
nasional (KKPN) tersebut adalah: (1) mengumumkan dan mensosialisasikan
kawasan konservasi perairan nasional tersebut kepada masyarakat, serta (2)
menunjuk Panitia Penataan Batas Kawasan yang terdiri dari unsur-unsur pejabat
pemerintah dan pemerintah daerah, untuk melakukan penataan batas. Dalam hal
ini, Menteri Kelautan dan Perikanan menunjuk Dirjen Kelautan, Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil (KP3K) untuk mengelola Kawasan Konservasi Perairan
tersebut.
Selanjutnya, upaya yang akan dilakukan antara lain adalah menata batas
kawasan. Kawasan yang selama ini dikelola berdasarkan blok-blok dibuat zonasi
yang disertai rencana pengelolaan detail kawasan konservasi. Pengelolaan

kawasan konservasi yang dilakukan harus senantiasa mengutamakan
kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan fungsi kawasan, misalnya melalui
pengembangan mata pencaharian alternatif. Kegiatan sosialisasi pengelolaan
kawasan perlu terus dilakukan guna mendorong partisipasi pemerintah daerah
dan masyarakat dalam konteks pengelolaan terpadu. Selain itu dukungan sarana
dan prasarana pengawasan, rehabilitasi kawasan konservasi, monitoring dan
evaluasi kawasan konservasi, maupun penyediaan SDM dengan kapasitas dan
kapabilitas baik, sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan pengelolaan
kawasan.
Yang tidak boleh dilupakan adalah dukungan kebijakan, sistem perencanaan dan
pengembangan yang sinergis, yang melibatkan multi pihak dalam pengelolaan
kawasan konservasi sehingga memberikan dampak bagi keberlanjutan
sumberdaya ikan. Hal yang juga harus diingat adalah penetapan KKPN
menambah jumlah kawasan konservasi perairan nasional. Selain itu, sebanyak
35 kawasan konservasi laut daerah (KKLD) telah dicadangkan melaui SK

bupati/walikota, termasuk di antaranya 12 lokasi yang ada di wilayah Program
COREMAP II, seperti: Batam, Bintan, Lingga, Natuna, Mentawai, Nias, Tapanuli
Tengah, Buton, Raja Ampat, Selayar, Pangkep, dan Biak Numfor. Jika dihitunghitung, total luasan KKLD secara keseluruhan mencapai 4,6 juta ha. Data dari
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut (KTNL) menyebutkan bahwa
sampai bulan Mei 2009 tercatat seluas 13,5 juta ha kawasan konservasi laut di
Indonesia. Jumlah ini melampaui target kawasan konservasi, sebagai komitmen
pemerintah indonesia yaitu 10 juta ha kawasan konservasi pada tahun
2010. Pada dasarnya Luasan kawasan konservasi itu sendiri bukan target
utama. Target ke depan adalah melakukan pengelolaan kawasan konservasi
tersebut secara efektif mendukung pengelolaan perikanan yang berkelanjutan
untuk kesejahteraan masyarakat.
Arahan Kebijakan Pengembangan Kawasan Bentang Laut Kepala Burung
Papua
Kebijakan pengembangan Kawasan Bentang Laut Papua dirumuskan
berdasarkan potensi dan permasalahan wilayah yang dimiliki oleh masingmasing pusat pertumbuhan di kawasan tersebut. Jayapura yang merupakan
pusat administrasi di Provinsi Papua akan dikembangkan sebagai sentra
perikanan tangkap dan budidaya. Kegiatan perikanan di Jayapura didukung
dengan keberadaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Kemudian Biak akan
dikembangkan sebagai sentra perikanan tangkap, distribusi dan konservasi laut.
Biak sendiri merupakan kawasan strategis nasional yaitu kawasan
pengembangan ekonomi terpadu yang memiliki potensi kawasan konservasi.
Sektor unggulan yang dapat dikembangkan di kawasan Biak antara lain
pariwisata, perikanan, dan industri. Kabupaten ini merupakan gugusan pulau
yang berada di sebelah utara daratan Papua dan berseberangan langsung
dengan Samudera Pasifik. Posisi ini menjadikan Biak sebagai salah satu tempat
yang strategis dan penting untuk berhubungan dengan dunia luar terutama
negara-negara di kawasan Pasifik, Australia atau Filipina. Biak dapat
dikembangkan sebagai alternatif pintu gerbang pariwisata bahari di Raja Ampat.
Letak geografis ini juga memberikan kenyataan bahwa posisinya sangat strategis
untuk membangun kawasan industri. Biak memiliki Balai Budidaya Ikan Pantai
(BBIP) yang mendukung pengembangan budidaya laut, terutama penyediaan
benih ikan kepada para pembudidaya di Provinsi Papua.
Sementara itu, Manokwari yang merupakan pusat administrasi di Provinsi Papua
Barat akan dikembangkan sebagai sentra perikanan tangkap dan budidaya air
tawar. Manokwari merupakan Ibukota Provinsi Papua Barat yang berstatus
Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yaitu kawasan perkotaan yang berfungsi untuk
melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. Selain memiliki
potensi perikanan tangkap yang tinggi, di sini juga dikembangkan perikanan
budidaya air tawar melalui Balai Benih Ikan Air Tawar (BBI) Sentral di Masni,
Kabupaten Manokwari. Balai Benih Ikan Air Tawar (BBI) Sentral memenuhi
sebagian besar kebutuhan benih bagi Provinsi Papua. Kegiatan perikanan di

Manokwari didukung oleh keberadaan Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Manokwari yang secara teratur disinggahi kapal penumpang yang dioperasikan
oleh PT. Pelni.
Selanjutnya Raja Ampat akan dikembangkan sebagai sentra wisata bahari,
perikanan budidaya dan konservasi laut. Raja Ampat yang terletak di Provinsi
Papua Barat sangat terkenal akan keindahan alam bawah lautnya. Raja Ampat
ditentukan sebagai kawasan strategis nasional yaitu kawasan konservasi
keanekaragaman hayati Raja Ampat yang memiliki Suaka Margasatwa Laut
Kepulauan Raja Ampat didalamnya. Sektor unggulan yang dapat dikembangkan
di kawasan andalan Laut Raja Ampat adalah perikanan tangkap, budidaya, dan
pariwisata. Raja Ampat dapat dikembangkan sebagai sentra wisata bahari yang
terkait dengan kegiatan konservasi laut. Pengembangannya juga diatur agar
tidak mencapai kegiatan wisata massal dan dibatasi tingkat kepadatan
penduduknya.
Sorong akan dikembangkan
sebagai sentra perikanan
tangkap,
migas
dan
pelayanan.
Sorong
merupakan Pusat Kegiatan
Nasional (PKN) di Provinsi
Papua Barat. PKN adalah
kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani
kegiatan skala internasional,
nasional,
atau
beberapa
provinsi. Sorong adalah pusat
kegiatan penangkapan ikan
untuk wilayah Laut Papua
Utara dan wilayah Laut Kepala Burung–Teluk Bintuni. Sorong juga memiliki
potensi migas yang sudah berproduksi. Kegiatan perikanan di Sorong didukung
oleh keberadaan Pangkalan Perikanan Pantai (PPP) dan Pangkalan Pendaratan
Ikan (PPI). Pelabuhan Sorong secara teratur telah disinggahi kapal penumpang
yang dioperasikan PT. Pelni. Sorong dapat dikembangkan sebagai sentra
pelayanan jasa penunjang dan infrastruktur pendukung kegiatan pariwisata di
Raja ampat. Fak-fak akan dikembangkan sebagai sentra perikanan tangkap dan
budidaya. Fak-fak terletak di Provinsi Papua Barat memiliki potensi perikanan
tangkap dan budidaya. Kegiatan perikanan di Fak-fak didukung oleh keberadaan
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Pelabuhan Fak-fak juga secara teratur
disinggahi kapal penumpang yang dioperasikan oleh PT. Pelni.
Bintuni akan dikembangkan sebagai sentra produksi migas. Bintuni yang terletak
di Provinsi Papua Barat memiliki potensi migas berproduksi yang sangat tinggi.
Perkembangan sektor migas perlu diatur agar tidak berdampak buruk terhadap
lingkungan. Pembangunan harus memiliki konsep keberlanjutan dan integrasi

antarsektor dan antarwilayah. Sedangkan Kaimana akan dikembangkan sebagai
sentra perikanan budidaya laut. Kaimana yang terletak di Provinsi Papua Barat
memiliki potensi perikanan budidaya laut dan konservasi. Kaimana memiliki
Suaka Alam