Studi Deskriptif Mengenai Kemampuan Interdependensi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Tingkat I dan Tingkat II Universitas "X" Bandung.

(1)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan Interdependence mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) Tingkat I dan Tingkat II Universitas “X” Bandung. Pemilihan sampel menggunakan metode purpose sampling pada mahasiswa FK tingkat I (angkatan 2010) dan tingkat II (angkatan 2009) dan sampel penelitian ini berjumlah 283 orang.

Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner yang terdiri dari 2 kuesioner yang dibuat oleh peneliti, mengacu pada teori Interdepedence oleh Chickering dengan alat ukur Emotional Independence dan alat ukur Instrumental Independence. Berdasarkan hasil uji validitas menggunakan Pearson dan uji reliabilitas menggunakan rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach, untuk kuesioner Emotional Independence keseluruhan 11 item diterima dengan validitas berkisar antara 0.3849–0.5579 dan reliabitas sebesar 0.6277. Untuk kuesioner Instrumental Independence terdiri 24 item dengan validitas berkisar 0.3024 – 0.6897 dan reliabilitas sebesar 0.8364.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh tingkat Interdependence mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung yang sebagian besar mahasiswa belum mencapai tingkat Interdependence. Sebagian besar mahasiswa berada pada tingkat Dependence (25.4%) dan tingkat Independence (43.4%). Hanya sebagian kecil mahasiswa yang berhasil mencapai tingkat Interdependence (31.1%).

Peneliti mengajukan saran kepada peneliti lain yang tertarik meneliti mengenai kemampuan Interdependence agar mengeksplorasi lebih mendalam dan spesifik data penunjang yang ada sehingga dapat terlihat jelas pengaruhnya pada kemandirian. Selain itu bagi dosen Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung diharapkan untuk mengadakan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan Interdependence mahasiswa FK. Pelatihan soft skills untuk meningkatkan Emotional Independence dan Instrumental Independence mahasiswa FK. Disarankan juga pada dosen wali mahasiswa FK untuk dapat memberikan feedback-feedback yang dapat mendukung mahasiswa agar menjadi lebih Interdependence. Pada penelitian ini terlihat bahwa ada keterkaitan antara mahasiswa yang mendapatkan feedback dari dosen dengan tingkat kemandirian, mahasiswa berhasil mencapi Independence dan Interdependence. Mahasiswa yang tidak mendapatkan feedback hanya berada pada tingkat Dependence.


(2)

selection used is Purpose Sampling Method on both level 1(batch 2010) and level 2(batch 2009) students, and the total of samples researched is 283 students.

Measurement tools that had been used constructed by the researcher were questionnaires which consist of two different questionnaires that refer to Interdependence Theory by Chickering with Emotional Independence Measurement Tool and, the other one, with Instrumental Independence Measurement Tool. Based on Validity Test Result using Pearson and Reliability Test Result using Cronbach’s Alpha Coefficient Reliability Formula, Emotional Independence questionnaire (total of 11 items) validates a range of 0.3849-0.5579 and reliability at 0.6277. Meanwhile, Instrument Independence (total of 24 items) validates a range of 0.3024-0.6897 and reliability at 0.8364

Therefore, the research comes up with result that most of the medical students at University X Bandung have not reached their level of Interdependence. A big number of students are at Dependence Level (25.4%) and Independence level (43.4%), only few successfully reached Interdependence level (31.1%)

This result may suggest other researchers, who are interested in researching Interdependence ability, to explore existing supporting data deeper and more specific in order to see clearly its impact on interdependence. And professors are advised to conduct trainings that may enhance students’ Interdependence abilities. Soft skill training is helpful to enhance Emotional Independence and Instrumental Independence of students. Also, student adviser is suggested to give constructive feedbacks that may lead students to be more interdependent. This research shows there is correlation between feedbacks from educators and interdependence level on students who are managed to reach Independence and Interdependence levels. Students who do not receive feedbacks managed to Dependence level only.


(3)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ……….i

PERNYATAAN ORISINALITAS LAPORAN PENELITIAN.………iii

PERNYATAAN PUBLIKASI LAPORAN PENELITIAN ………...iv

ABSTRAK ………..v

ABSTRACT ………..vi

KATA PENGANTAR ………..vii

DAFTAR ISI ………....x

DAFTAR TABEL ………....xiii

DAFTAR BAGAN ………..xiv

DAFTAR LAMPIRAN ……….………xv

BAB I PENDAHULUAN ………..1

1.1Latar Belakang Masalah ………...1

1.2Identifikasi Masalah ………....10

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian ………10

1.3.1 Maksud Penelitian ……….10

1.3.2 Tujuan Penelitian ………...10

1.4Kegunaan Penelitian ………11

1.4.1 Kegunaan Teoritis ………..11

1.4.2 Kegunaan Praktis ………...11


(4)

2.1Interdependence ……….……… 26 2.1.1 Definisi Interdependence ………. 26 2.1.2 Komponen yang mempengaruhi Interdependence ……….. 26

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi ………... 28

2.2Remaja ……… 39 2.2.1 Pengertian Remaja ……….39

2.2.2 Perubahan pada Remaja ………40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……….………42 3.1Rancangan dan Prosedur Penelitian ………42 3.2Bagan Rancangan Penelitian ………...42 3.3Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……….43 3.3.1 Variabel Penelitian ……….43 3.3.2 Definisi Operasional ………..43 3.4Alat Ukur ……….44

3.4.1 Alat Ukur Interdependence……….………. ..44

3.4.2 Skoring Alat Ukur ……….………….…….. .45

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang ………. 46 3.4.4 Validitas dan Reliabilitas..………. 47 3.5Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ……….…....… 48


(5)

3.5.1 Populasi Sasaran ………... 48 3.5.2 Karakteristik Populasi ……….. 48 3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ……….... 48 3.6Teknik Analisis Data ……….……… 49

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………...50

4.1Gambaran Responden ..………...50

4.2Hasil Pengukuran ………51

4.3Hasil Tabulasi Silang ………..52

4.4Pembahasan ……….53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………..63

5.1Kesimpulan ………...63

5.2Saran ………..64

5.2.1 Saran Teoretis ………64

5.2.2 Saran Praktis ………..64

DAFTAR PUSTAKA ………..66

DAFTAR RUJUKAN ………..67


(6)

Tabel 3.4.2 Skoring Alat Ukur ……….. ...45 Tabel 4.1 Gambaran responden………..48 Tabel 4.2 Tingkat Interdependence Mahasiswa Fakultas Kedokteran ...………..49


(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.5 Kerangka Pikir...……….. 24 Bagan 3.1 Prosedur Penelitian...………..……. 42


(8)

LAMPIRAN 2 Karakteristik Responden

LAMPIRAN 3 Hasil Jawaban Emotional Independence dan Instrumental Independence

LAMPIRAN 4 Hasil Perhitungan Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Interdependence

LAMPIRAN 5 Tabulasi Silang Tingkat Interdependence dengan Data Penunjang


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang Masalah

Sepanjang rentang kehidupan yang dialami manusia, banyak hal yang akan terus menerus mengalami perkembangan. Salah satu aspek yang berkembang adalah pendidikan seseorang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (www.kemdiknas.go.id, 2003)

Pendidikan yang ada di Indonesia terus mengalami perubahan. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964,1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004. (http://www.scribd.com, 2011)

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman


(10)

penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) atau Kurikulum 2004, adalah kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2004. Secara materi, sebenarnya kurikulum ini tak berbeda dari Kurikulum 1994, perbedaannya hanya pada cara para siswa belajar di kelas. Dalam kurikulum terdahulu, para murid dikondisikan dengan sistem caturwulan. Sedangkan dalam kurikulum baru ini, para siswa dikondisikan dalam sistem semester. Dahulu pun, para murid hanya belajar pada isi materi pelajaran belaka, yakni menerima materi dari guru saja. Sekarang para murid dituntut untuk lebih aktif. Mencari materi atau ilmu dengan membaca buku sendiri dan mencari materi-materi dari berbagai media seperti internet, buku-buku di perpustsakaan, dan lainnya.

Salah satu Fakultas di Perguruan Tinggi yang menggunakan sistem KBK

adalah Fakultas Kedokteran (FK) Universitas “X”. Tujuan dari pendidikan di FK

adalah “Mendidik mahasiswa melalui proses belajar berdasarkan nilai-nilai

Kristiani untuk menyelesaikan studinya sesuai dengan kurikulum sehingga lulusan mampu: Menjadi ilmuwan yang yang berkualitas, kreatif, mandiri, berdisiplin, bertanggung jawab dan profesional sehingga menjadi teladan dalam ilmu, keterampilan dan etos kerja; serta menghasilkan dokter yang berdedikasi tinggi dalam melakukan profesi kedokteran, sesuai dengan lafal sumpah dokter dalam

sistem Kesehatan Nasional.” (http://cls.universitasx.edu, 2010).

Pendidikan kedokteran yang disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dikenal juga dengan Sistem Blok menggantikan sistem lama yang Konvensional. Pendidikan akademik ini dilaksanakan menurut Keputusan


(11)

3

Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 045/U12002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi dan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 20/KKIIKEP/IX/2006 tentang Pengesahan Standar Pendidikan Profesi Dokter, yakni berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) melalui pendekatan atau strategi Hybrid Curricula dengan model SPICES (Student -centred, Problem-based, Integrated, Communitybased, Elective/ Early clinical Exposure, Systematic). Dengan metoda ini dosen dan mahasiswa dihadapkan pada Kuliah Terintegrasi, Kuliah Pakar, Tutorial, Sidang Pleno, Belajar Mandiri, Praktikum (Laboratory Skill, dan Praktek Lapang ke Rumah Sakit dan atau Puskesmas. Implementasi KBK dilakukan secara terintegrasi, baik horizontal maupun vertikal, serta berorientasi pada masalah kesehatan individu, keluarga dan masyarakat dalam konteks pelayanan kesehatan primer. (http://urapurip.wordpress.com/2011/ 05/30/tantangan-baru-menjadi-dokter-praktek/)

Salah satu metoda yaitu Tutorial merupakan sarana bagi mahasiswa untuk

belajar mandiri berdasarkan “study guide” dimana mahasiswa harus belajar dan

menyiapkan materi diskusi sehingga dapat berlangsung secara aktif. Agar tutorial dapat berjalan aktif, maka mahasiswa harus mempersiapkan diri dengan mempelajari pengetahuan yang berkaitan dengan topik tutorial.

Metoda-metoda di atas yang merupakan hasil perkembangan sistem pendidikan dokter dengan sebutan Sistem Blok ini sejalan dengan salah satu tujuan pendidikan FK yaitu menjadikan ilmuwan yang mandiri. Pribadi yang mandiri adalah salah satu sifat yang diharapkan ketika individu sudah masuk ke


(12)

dalam lingkungan perguruan tinggi, salah satunya yang menggunakan sistem KBK. Pada jenjang pendidikan menengah, guru lebih seringu mendikte apa saja yang harus dilakukan oleh siswa, maka saat berkuliah tidak lagi seperti itu. Keaktifan mahasiswa yang mandiri menjadi modal utama untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Dosen hanya sebagai fasilitator, mahasiswa harus berperan lebih aktif. Dosen hanya memberikan inti-inti dari setiap bab yang akan dipelajari, kemudian mahasiswa yang akan mencari tahu dan menggali lebih dalam teori tersebut dengan mencari bahan di perpustakaan atau lewat internet. Menurut Chickering (2002) individu yang baru masuk ke lingkungan perguruan tinggi biasanya akan merasa putus asa dan tidak berdaya dalam mengerjakan tugas diperkuliahan dan metode pembelajaran yang berbeda dengan SMA. Seiring berjalannya waktu, diharapkan mahasiswa bisa berkembang ke arah yang lebih positif. Awalnya ketika masih duduk dibangku SMA siswa bergantung pada guru, namun ketika mulai masuk perguruan tinggi, siswa yang menjadi mahasiswa perlu belajar menjadi pribadi mandiri dari waktu ke waktu.

Kemandirian penting dikembangkan pada mahasiswa FK, selain karena tuntutan dari kehidupan perkuliahan, juga karena kelak jika mahasiswa lulus dari program studi, maka akan memasuki dunia kerja yang menuntutnya untuk dapat bertanggung jawab atas pekerjaannya, mengambil keputusan berkenaan dengan pekerjaannya. Jika mahasiswa belum memiliki kemandirian, dikhawatirkan akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya setelah lulus dari perguruan tinggi, seperti menjadi PTT (pegawai tidak tetap). Dokter yang baru mendapatkan gelar profesinya, kebanyakan memilih PTT di daerah terpencil


(13)

5

atau sangat terpencil. Mereka mengabdikan diri untuk apa yang didapatkannya setelah perjuangan panjang yang dilaluinya. Banyak kemungkinan yang menyebabkan sebagian besar dokter yang baru lulus ini memilih PTT, bukan semata-mata mencari kekayaan. Namun lebih utama karena mencari peluang dan pengalaman. kemandirian menjadi salah satu hal yang patut untuk dimiliki oleh PTT. (http://sosok.kompasiana.com/2011/05/26/ tantangan-hidup-seorang-dokter/) Kemandirian atau autonomy menurut Chickering (2002) adalah self-governing (mengatur diri), self-determining (menentukan diri), dan independen. Kemandirian yang tampak dari mahasiswa bisa dilihat dari berbagai bentuk. Bentuk perilaku dari self-governing antara lain seperti membuat jadwal belajar, kemudian belajar tanpa disuruh oleh orang tua. Bentuk self-determining seperti menentukan diri dalam memilih prioritas ketika akan menghadapi ujian dan teman mengajak untuk pergi, maka mahasiswa bisa menentukan apa yang seharusnya ia lakukan. Bentuk independen seperti berani untuk pergi seorang diri, mengerjakan tugas sendiri, belajar sendiri ketika akan menghadapi ujian.

Beberapa contoh aktivitas di atas jika mampu dilakukan maka menunjukkan bahwa seorang mahasiswa telah mandiri dalam beraktivitas. Menurut Chickering (2002), setelah seseorang telah mandiri atau independence maka seseorang akan mencapai tahap interdependence, yaitu seseorang yang mampu untuk memotivasi diri serta mengarahkan diri sendiri, serta menghormati autonomi orang lain tanpa mengandalkan orang lain dengan menyadari pentingnya hubungan dengan orang lain dalam lingkungan. Ketika seorang dokter harus berusaha menyembuhkan pasien, ia harus melakukan hal tersebut tanpa


(14)

menjadi dependen dengan rekannya. Disaat dokter merasa sudah tidak mampu untuk menyembuhkan pasien karena tidak sesuai dengan keahliannya, maka dokter tersebut harus tahu kapan waktu yang tepat dan kepada siapa ia harus merujuk pasiennya.

Kemandirian mahasiswa FK telah dibentuk sedemikian rupa dengan mengikuti proses belajar dengan KBK. Mahasiswa dituntut menjadi orang yang aktif dan mandiri dalam menyelesaikan setiap tugas dan perkuliahannya. Mahasiswa dituntut aktif untuk mencari bahan-bahan di perpustakan untuk mengerjakan tugas individu. Selain itu juga mereka memiliki tugas kelompok yang harus dikerjakan bersama. Sebagian besar tugas-tugas di FK harus dipresentasikan ke depan kelas. Mahasiswa dituntut untuk berani menyampaikan hasil tugasnya di depan teman-temannya. Metode presentasi ini juga salah satu usaha untuk membentuk keberanian mahasiswa, bagaimana mahasiswa kelak akan menghadapi pasiennya sendiri dan menjelaskan tentang penyakit yang pasiennya derita, tanpa bantuan dosen atau dokter lain.

Dapat dilihat dengan jelas bahwa kemandirian sangat dibutuhkan oleh mahasiswa di FK, baik ketika menjalani perkuliahan di FK maupun ketika mereka menjalani profesi setelah lulus dari universitasnya. Oleh karena itu dilakukan

survei pada mahasiswa/i FK Universitas „X‟. Survei dilakukan melalui wawancara

pada 10 orang subjek, selain itu juga peneliti melakukan wawancara dengan Pembantu Dekan I (PD I) FK.

Dari hasil survei tersebut, didapatkan hasil bahwa 10 mahasiswa tersebut menyatakan bahwa teman sangat penting. Selain membantu dalam hal belajar,


(15)

7

mereka juga yang akan membantu memberikan semangat ketika temannya hampir putus asa. 6 mahasiswa (60%) mengungkapkan bahwa tugas yang mereka kerjakan akan lebih bagus jika dikerjakan bersama-sama dengan teman-temannya, mereka dapat saling membantu dan bertukar informasi sehingga info yang didapatkan bisa saling melengkapi. Beberapa mahasiswa menunda mengerjakan tugasnya hingga ia belajar dan mengerjakan tugas bersama kelompok belajarnya. 4 mahasiswa (40%) mengatakan bahwa mereka lebih percaya diri mengerjakan tugas sendiri, karena tugas mereka tidak akan sama dengan tugas teman yang lain, mereka biasanya hanya berdiskusi dengan teman-temannya mengenai topik tugas tersebut setelah itu akan dikerjakan sendiri di rumah sehingga kata-kata yang digunakan orisinil dan tidak aka nada yang sama dengan yang lain.

Sebanyak 8 mahasiswa (80%) mengakui bahwa mereka baru dapat memahami materi bila belajar bersama, itu sebabnya mereka merasa sangat perlu belajar kelompok sebelum ujian. Bebrapa mahasiswa merasa dirinya tidak akan siap menghadapi ujian dan menjadi gelisah bila belum belajar dengan kelompoknya sebelum ujian. 2 mahasiswa (20%) mengungkapkan bahwa mereka lebih merasa nyaman belajar sendiri karena merasa lebih tenang. 5 mahasiswa (50%) mengakui bahwa mereka belajar setelah diingatkan oleh orang tua. Orang tua cukup sering ikut campur dengan masalah akademik mereka, sedangkan 5 mahasiswa lainnya (50%) belajar sendiri tanpa diingatkan oleh orang tua. Orang tua tidak pernah menanyakan tentang studi mereka secara detail.

Sebanyak 6 mahasiswa (60%) mengungkapkan bahwa jika mereka pergi ke suatu tempat, mereka ingin ada yang menemaninya. Sedangkan 4 mahasiswa


(16)

(40%) merasa lebih nyaman pergi sendirian. 7 mahasiswa (70%) merasa mudah untuk mengungkakan pendapat di dalam kelompok belajar, sedangkan 3 mahasiswa (30%) merasa kesulitan untuk menutarakan pendapat mereka saat sedang bekerja kelompok.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan PD I FK mengungkapkan bahwa kemandirian yang berkembang pada mahasiswa FK bersifat individual. Program KBK yang menuntut mahasiswa untuk mandiri tidak semuanya membentuk mahasiswa menjadi mandiri. Ada mahasiswa yang cepat, tetapi ada mahasiswa yang lambat dalam proses pencapaian kemandirian. Ada mahasiswa yang dengan serius menjalankan kuliah dengan program KBK yang akhirnya dapat membentuk mereka menjadi mandiri, tetapi ada mahasiswa yang biasa-biasa saja, bahkan ada

yang “masa bodo”. Para dosen sendiri tidak dapat mengukur apakah seorang

mahasiswa telah mencapai kemandirian atau belum melalui observasi.

Berdasarkan hasil survei di atas, sebagian besar responden masih terikat secara Emotional dengan teman-temannya, merasa lebih mampu melakukan sesuatu ketika bersama teman. Selain itu juga beberapa responden masih membutuhkan dukungan orang tua dalam belajar. Menurut Chickering (2002), Emotional Independence yaitu individu terbebas dari kebutuhan yang berkesinambungan dan menekan mengenai rasa aman, afeksi, atau penerimaan dari orang lain.

Selain itu, sebagian besar responden juga belum dapat mengerjakan tugasnya sendiri, mereka merasa tidak puas dengan pekerjaannya sendiri. Menurut teori Chickering, perilaku tersebut mencerminkan bahwa sebagian besar


(17)

9

responden belum memiliki kemandirian instrumental. Instrumental independence yang terdiri dari dua komponen, yaitu kemampuan untuk melanjutkan aktivitas dan memecahkan masalah menurut cara sendiri, dan kepercayaan diri untuk menjadi gesit dalam rangka mengejar kesempatan atau petualangan.

Dari hasil survei di atas, dapat disimpulkan bahwa ada sebagian besar mahasiswa FK Universitas „X‟ belum mencapai Interdependence, mahasiswa telah memiliki emotional independence yang tinggi tetapi kemampuan Instrumental independence mahasiswa rendah, atau sebaliknya. Selain itu ada mahasiswa yang telah memiliki kemampuan instrumental dan emotional independence yang tinggi disebut Interdependence, tetapi ada mahasiswa yang masih memiliki kemampuan yang rendah pada dua instrumen ini disebut Dependence.

Pemaparan di atas menimbulkan kesenjangan antara fakta dan teori. Menurut Chickering (2002), masalah kemandirian muncul pada awal masa perkuliahan, terutama tingkat I. Hal ini disebabkan, individu yang berada pada tingkat I baru mengalami perubahan yang cukup drastis dari masa SMA menuju perkuliahan. Individu akan berusaha agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kuliahnya yang menuntut kemandirian.

Kemandirian diharapkan terbentuk pada saat mahasiswa berada di tingkat II perkuliahan. Seiring berjalannya waktu diharapkan maka individu akan semakin mandiri. Dengan kata lain, mahasiswa tingkat I (angkatan 2010) akan berbeda tingkat kemandiriannya bila dibandingkan dengan mahasiswa tingkat II (angkatan 2009). Kesenjangan memerlukan klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut, oleh


(18)

karena itu, peneliti tertarik untuk menemukan gambaran secara lebih lengkap mengenai Interdependence pada mahasiswa/i FK Universitas „X‟ tingkat I (angkatan 2010) dan tingkat II (angkatan 2009). Disisi lain juga hasil wawancara dengan PD I FK yang mengungkapkan tidak dapat mengukur kemandirian mahasiswa dengan observasi, maka peneliti ingin mengetahui derajat kemampuan Interdependence mahasiswa/i FK Universitas „X‟ melalui penelitian ini.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin diketahui sejauh mana derajat kemampuan Interdependence mahasiswa Fakultas Kedokteran tingkat I (angkatan 2010) dan tingkat II (angkatan 2009).

1.3 Maksud dan Tujuan

1.3.1 Maksud Penelitian

Untuk memperoleh gambaran mengenai kemampuan Interdependence dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Tingkat I (angkatan 2010) dan Tingkat II (angkatan 2009) di Universitas “X” kota Bandung berdasarkan teori Student Development dari Arthur W. Chickering.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui gambaran mengenai kemampuan Interdependence yang diukur dari Emotional Independence dan Instrumental Indepedence mahasiswa Fakultas Kedokteran Tingkat I (angkatan 2010) dan Tingkat II (angkatan 2009) di


(19)

11

Universitas “X” Bandung. Selain itu, mengetahui keterkaitan antara kemampuan

Interdependence dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Ilmiah

 Memberikan masukan informasi bagi bidang ilmu Psikologi Perkembangan mengenai kemampuan Interdependence mahasiswa.

 Memberikan masukan informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai kemampuan Interdependence.

1.4.2 Kegunaan Praktis

 Memberikan informasi kepada mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas “X” Bandung tentang kemampuan Interdependence mereka

sehingga mereka dapat lebih mengembangkan kemandiriann mereka. Memberikan informasi kepada pihak universitas dan bagian kemahasiswaan Fakultas Kedokteran agar dapat menindaklanjuti permasalahan yang berkaitan dengan kemampuan Interdependence sehingga mahasiswanya dapat lebih mengembangkan kemandiriannya dengan optimal.

1.5 Kerangka Pikir

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung berada pada


(20)

diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial-emosional. Ketiga perkembangan ini terkait satu sama lain. Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), mahasiswa akan termotivasi untuk memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis. Mahasiswa akan secara aktif membangun dunia kognitif mereka, dimana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam skema kognitifnya. Mahasiswa sudah mampu membedakan antara hal-hal atau ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, kemudian menghubungkan ide-ide sehingga memunculkan suatu ide-ide baru. Mahasiswa juga harus mampu untuk menentukan hal-hal yang ia pilih secara sendiri. Mahasiswa memikirkan konsekuensi dari setiap tindakannya.

Ketika mahasiswa dihadapkan pada situasi saat ia harus mengerjakan tugas tetapi teman-temannya mengajak untuk pergi keluar bersama, mahasiswa tersebut harus memikirkan secara matang tindakan apa yang harus diambilnya. Mahasiswa diharapkan dapat memikirkan konsekuensi jangka panjang, bagaimana bila tugasnya tidak dikerjakan, bagaimana nilainya jika ada satu nilai tugas yang tidak terisi, bagaimana jika ia tidak lulus mata kuliah tersebut, dan hal-hal lain yang akan menjadi akibat dari tindakan yang dipilih. Mahasiswa tidak lagi harus melihat kejadian yang akan ia hadapi secara konkret terlebih dahulu, tetapi ia sudah dapat membayangkan sehingga ia harus mengambil keputusan sendiri. Apakah ia mengerjakan tugas, atau pergi ke luar dengan temannya. Keputusan mahasiswa berdasarkan pikiran yang objektif dan bagaimana ia memutuskan, memerlukan saran orang lain atau memutuskan sendiri, hal tersebut


(21)

13

menggambarkan bagaimana derajat kemandirian mahasiswa. Kemandirian seorang mahasiswa akan berdampak pada seberapa kuat mahasiswa mampu untuk menjalani kuliahnya sehingga tercapai apa yang menjadi visi-misi fakultas tersebut, yaitu salah satunya adalah ingin mencetak ilmuwan yang mandiri.

Menurut Chickering (2002), Interdependence adalah kemampuan mahasiswa untuk memotivasi diri serta mengarahkan diri sendiri, serta menghormati autonomi orang lain tanpa mengandalkan orang lain dengan menyadari pentingnya hubungan dengan orang lain dalam lingkungan. Mahasiswa FK dituntut untuk mencapai interdependence dalam mengerjakan tugas-tugasnya, baik sebagai mahasiswa, terutama ketika menjadi co-ass untuk mempersiapkan dirinya menjadi seorang dokter.

Menurut Chickering (2002), kemandirian yang perlu dicapai oleh mahasiswa terdiri atas dua komponen, yaitu Emotional Independence dan Instrumental Independence. Komponen pertama adalah Emotional Independence dimulai dengan pemisahan diri dari orang tua. Tinggi atau rendahnya Emotional Independence mahasiswa dapat diukur dari proses perubahan hubungan emosional antara mahasiswa dengan orang-tuanya atau orang dewasa lainnya (Havighurst dalam Hurlock, 1997:10). Mahasiswa mulai mengambil jarak dalam berinteraksi dengan orangtua, tetapi tidak putus hubungan. Meskipun memiliki sedikit konflik, mahasiswa merasa bebas mengemukakan pendapatnya, dapat berdiskusi dan saling menyayangi. Hubungan tersebut akan berubah secara berulang-ulang dan diperbarui terus-menerus selama masa remaja (Steinberg, 1993:289). Kemudian berlanjut pada kepercayaan mahasiswa terhadap teman-teman sebaya dan figur


(22)

lain yang diteladani, dan menjadi merasa aman ketika bersama dengan orang lain serta terbuka terhadap lingkungan tanpa merasa tergantung terhadap orang lain.

Mahasiswa FK yang merasa sangat aman dan dicintai oleh keluarga, maka mereka akan selalu ingin bersama dengan keluarganya, sehingga menjadi dependen dengan keluarga, mereka tidak mencari figur guru atau pacar yang dapat diandalkan. Mahasiswa FK tidak akan memisahkan dirinya secara emosional dan psikologis dari keluarganya. Ketika Mahasiswa FK tidak berusaha mengidentifikasi diri dengan teman-teman sebayanya sehingga semakin memperkuat dependensi mereka terhadap figur keluarga, maka proses pembentukan kemandirian akan terhambat. Sedangkan mahasiswa FK yang tidak dependen dengan keluarganya, proses pembentukan kemandirian pun akan lebih mudah untuk terjadi. Mahasiswa FK dapat mencoba segala hal tanpa bergantung pada keluarganya yang dapat meningkatkan kemandirian mereka.

Usaha untuk melepaskan diri yang awalnya ditekankan “harus” mandiri

atau karena adanya dorongan dari luar yang memaksa mahasiswa, diharapkan

dapat berubah menjadi “ingin” mandiri yang berarti adanya kemauan dari dalam

diri. Perubahan ini menunjukkan adanya perkembangan kemandirian emosional. Salah satu bentuk kemandirian emosional yang dapat ditunjukkan oleh mahasiswa ialah ketika masuk di lingkungan kampus. Mahasiswa FK yang baru menjalani kuliah cenderung merasa dirinya kurang mampu dan membutuhkan pengarahan untuk dapat menyesuaikan diri dan beraktivitas dengan efisien di lingkungannya.

Keberhasilan di perkuliahan membutuhkan kebebasan dari rasa takut bahwa mahasiswa tersebut memiliki banyak kekurangan karena akhirnya


(23)

15

membuat mahasiswa tidak yakin mampu menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya. Ketakutan tersebut akan berdampak pada mahasiswa karena mahasiswa akan tergantung kepada teman atau figur lain dalam menyelesaikan tugas kuliahnya, ia beranggapan bahwa orang tersebut memiliki banyak kelebihan. Mahasiswa yang menyadari kekurangan dirinya dan terus bertahan menghadapinya, secara bertahap kekurangan yang berdampak pada kecemasaan yang dirasakan berubah menjadi keyakinan diri sehingga dapat mengerjakan tugasnya sendiri.

Komponen kedua adalah kemandirian instrumental atau Intrumental Independence. Komponen ini terdiri atas dua bagian utama: (1) kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sendiri dan merasa puas dengan diri sendiri dalam hal decision making skills dan money management, dan (2) kemampuan untuk meninggalkan suatu tempat dan dapat menyesuaikan diri di lingkungan lain dalam time management di lingkungan kuliah dan problem solving skills. Salah satu bentuk Kemandirian Instrumental dari Mahasiswa FK adalah belajar berpikir secara objektif. Mahasiswa FK dengan pikiran yang objektif dapat menentukan tujuan-tujuan yang harus dicapainya, dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dan merasa puas dengan keputusan yang diambilnya. Selain itu, kemandirian instrumental dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa FK untuk meninggalkan suatu tempat dan berpindah ke tempat lain yaitu perpindahan dari SMA ke Perguruan Tinggi (PT), serta menempatkan diri di situasi tersebut dengan belajar beradaptasi karena lingkungan SMA berbeda dengan PT dimana mahasiswa dihadapkan pada waktu belajar yang tidak rutin seperti SMA, berhadapan dengan lebih banyak orang yang beragam latar belakang.


(24)

Kemandirian yang mampu dicapai oleh mahasiswa FK akan terlihat dari perilaku mahasiswa yang dapat beradaptasi dengan semua permasalahan personal maupun sosial. Mahasiswa FK yang mandiri akan menyadari bahwa orangtua mereka tidak lagi bisa diandalkan sepenuhnya. Hubungan yang mahasiswa jalin dengan orangtua pun menjadi hubungan yang setara antara sesama orang dewasa. Ketergantungan kepada teman sebaya, maupun figur lain yang lebih dewasa di lingkungan kampus, serta pihak-pihak fakultas juga membantu mahasiswa FK dalam membangun rasa saling terkait dengan orang lain.

Kemandirian emosional dan instrumental saling terkait dan saling memfasilitasi. Ketika mahasiswa FK telah mencapai emotional independence dan instrumental independence, maka mahasiswa tersebut telah mencapai kemandirian. Kemandirian akan bergerak maju menuju Interdependence. Apabila seseorang mahasiswa belum dapat mencapai emotional independence dan instrumental independence, atau salah satu dari kedua komponen tersebut, maka mahasiswa FK belum dapat dikatakan interdependence. Dengan kata lain, ketika mahasiswa FK mandiri secara emotional dan instrumental maka dapat mencapai tujuan yang diinginkan, menjadi diri sendiri dengan tetap menyadari pentingnya hubungan dengan orang lain. Interdependence berarti menghargai orang lain dan terus melakukan hubungan timbal-balik didalam hubungan pertemanan.

Terdapat berbagai faktor yang dapat mempengaruhi mahasiswa FK dalam mencapai interdependence. Faktor yang mempengaruhi mahasiswa berasal dari dalam diri disebut dengan faktor internal, yaitu kognitif dan dimensi kepribadian mahasiswa. Selain itu, faktor dari luar diri mahasiswa disebut faktor eksternal,


(25)

17

antara lain Student-Faculty Relationship, Curriculum, Teaching, Friendship and Student Communities, dan Student Development Programs and Services.

Salah satu faktor internal yang dapat mempengaruhi Interdependence adalah kognitif. Menurut Chickering (2002), Cognitive Theory yang menjelaskan perubahan kognitif yang dialami mahasiswa. Piaget (dalam Chickering, 1993) menjelaskan tiga prinsip fundamental dari pendekatan kognitif yaitu Cognitive structures, Developmental sequences, Interaction with the environment.

Cognitive structures menyediakan kerangka acuan bagi mahasiswa FK untuk mengintepretasikan makna dari suatu kejadian, untuk memilih perilaku, dan menyelesaikan suatu masalah. Cognitive structures dan Developmental sequence menjelaskan bahwa struktur kognitif pada mahasiswa FK akan berkembang menjadi pola tertentu yang semakin bersifat relatif dalam memproses informasi, dan karena itulah perkembangan kognitif dapat disebut sebagai tahapan yang diawali dengan Pra-operational, Concrete Operational, dan Formal Operational.

Sesuai dengan tahapan perkembangan, mahasiswa FK telah berada pada tahapan Formal Operational, yaitu pemikiran yang tidak lagi terbatas pada pengalaman konkret aktual. Sebaliknya, mereka mampu berpikir secara abstrak. Bila dilihat dari teori Interdependence maka mahasiswa FK yang telah berada pada tahapan Formal Operational telah mencapai Instrumental Independendence dimana mahasiswa FK dapat melaksanakan aktivitas sendiri seperti memepertimbangkan sendiri apa yang akan terjadi pada dirinya bila tidak mengerjakan tugas, mahasiswa dapat membayangkan dampak-dampak yang akan terjadi dengan menalar secara logis, sehingga dapat menarik kesimpulan dan


(26)

membuat antisipasi. Selain itu mahasiswa tidak lagi bertindak pasif, tetapi aktif untuk melaksanakan aktivitas sendiri, seperti tidak menunggu ilmu yang hanya berasal dari dosen saja. Dengan metode belajar KBK yang memposisikan dosen hanya sebagai fasilitator, maka mahasiswa FK diharapkan untuk bisa menyelesaikan tugasnya dari berbagai informasi yang bisa didapatkan dari berbagai sumber, seperti buku-buku di perpustakaan, internet, dan laiannya. Mahasiswa yang mandiri ketika mendapatkan tugas yang sulit akan menentukan perilakunya untuk mencari sumber-sumber di textbook kedokteran atau bertanya kepada teman sehingga tugasnya dapat diselesaikan.

Sementara itu interaction with the environment menjelaskan bahwa kedewasaan atau kesiapan diri mahasiswa FK dan stimulus dari lingkungan merupakan hal yang dibutuhkan bagi mahasiswa FK untuk berkembang. Pada saat munculnya banyak informasi baru yang tidak dapat ditangani oleh struktur kognitif, maka akan muncul ketidakseimbangan dan mendorong terjadinya proses akomodasi baru dalam struktur kognitif. Mahasiswa FK yang mandiri berusaha untuk memperbaharui informasi dengan cara memodifikasi struktur kognitif.

Tipe kepribadian mahasiswa FK juga berpengaruh pada Interdependence. Mahasiswa dikatakan Independence secara Emotional adalah mahasiswa yang mampu merdeka dari kebutuhan sosial seperti perhatian, dan rasa diterima didalam keluarga, teman-teman dan lingkungan (Douglas, 2010). Mahasiswa dengan tipe introvert yang cenderung menyendiri tidak bergantung pada kebutuhan sosial dari lingkungan sehingga mampu mencapai Emotional Independence. Selain itu salah satu komponen untuk mencapai Instrumental


(27)

19

Independence mampu melaksanakan aktivitas sendiri. Mahasiswa dengan tipe ekstrovert yang membutuhkan keramaian cenderung tidak mampu melaksanakan aktivitas sendiri, sehingga mahasiswa dengan tipe introvert yang mampu mencapai Instrumental Independence.

Kepribadian adalah gabungan unsur hereditas dan pengaruh lingkungan sehingga mahasiswa akan memiliki kepribadian yang bersifat individu dan unik yang menjadi identitas dirinya. Jung mengungkapkan bahwa arah dari energi psikis umum yang menjelma dalam bentuk orientasi manusia terhadap dunianya. Arah aktivitas energi psikis itu dapat ke luar atau ke dalam, dan demikian pula arah orientasi manusia terhadap dunianya, dapat ke luar ataupun ke dalam.

Introvert berarti mengarahkan energi psikis ke dalam diri dengan orientasi kepada subjek (Jung dalam Feist & Feist, 2006). Mahasiswa introvert hidup dalam dunia mereka sendiri bersama dengan bias, khayalan, mimpi, dan persepsi individual mereka. Mahasiswa tentu saja menerima dan mempersepsi dunia eksternal, tetapi mereka melakukannya secara selektif dan dengan pandangan subjektif mereka. Ia hidup dalam pikirannya sendiri, sehingga jika ia sendirian, ia akan merasa recharged dan lelah jika berada di keramaian. Mahasiswa introvert lebih senang untuk belajar dan mengerjakan tugasnya sendiri sesuai dengan cara atau persepsinya sendiri. Mahasiswa tetap menjalin relasi dengan dunia luar dengan cara mereka sendiri. Ketika mahasiswa sedang merasa lelah, mahasiswa cenderung menarik diri untuk recharged diri.

Ekstrovert mengarahkan energi psikis ke luar dan berorientasi kepada objek dan jauh dari subjektif (Jung dalam Feist & Feist, 2006). Mereka lebih


(28)

dipengaruhi oleh sekeliling mereka daripada dunia dalam diri mereka. Sumber energi mereka dari luar diri, karena itu mereka akan merasa recharged jika berada di keramaian dan justru lelah jika sendirian. Dalam keseharian, mahasiswa ekstrovert lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman. Jika lelah, mahasiswa akan mencari keramaian sebagai hiburan. Mahasiswa akan memilih belajar bersama dengan teman-temannya, ia membutuhkan orang lain untuk diajak berdiskusi seperti dalam kelompok belajar. Cara mahasiswa untuk belajar dipengaruhi oleh sekeliling atau cara teman-temannya. Mahasiwa lebih senang belajar atau membaca bersama, dan menjalin hubungan baik dengan teman-temannya.

Kecenderungan mahasiswa FK yang ekstrovert lebih senang berada dengan banyak orang, dan mungkin tidak dapat melakukan pekerjaan sendiri memungkinkan memiliki derajat yang rendah pada Emotional Independence. Sedangkan mahasiswa yang memiliki tipe kepribadian introvert lebih tinggi derajat Emotional Independence karena terbiasa untuk melakukan pekerjaan sendiri tanpa bantuan orang lain.

Selanjutnya faktor eksternal yang berpengaruh pada Interdependence adalah Student-Faculty Relationship, bagaimana hubungan antara mahasiswa FK dengan dosen-dosen di kampus. Relasi antara mahasiswa dan dosen yang tercipta secara efektif dan positif, dimana adanya komunikasi yang bersahabat dari dosen untuk mendorong mahasiswa lebih giat belajar akan membantu mahasiswa untuk dapat menjadi lebih mandiri. Hubungan yang terjalin antara mahasiswa dan dosen untuk menawarkan umpan balik pembelajaran yang spesifik dan konsisten,


(29)

21

menyajikan informasi dengan keterampilan dan kejelasan, serta efektif dalam waktu dan cara belajar yang digunakan dalam kelas. Setelah mahasiswa mengetahui atau menerima saran dari dosen, kemudian mahasiswa akan mengembangkan diri dengan saran tersebut agar dapat melaksanakan aktivitas akademiknya kemudian merasa puas dengan dirinya, maka saat itu mahasiswa FK telah mencapai Instrumental Independence.

Curriculum meliputi semua kegiatan yang mahasiswa lakukan dan alami di dalam kuliah, yaitu pengajaran dari para dosen FK. Kurikulum yang digunakan pada FK adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Inti dari KBK adalah Student Centre, dimana tidak lagi dosen yang menjadi pusat kegiatan belajar-mengajar. Mahasiswa yang dapat mengikuti KBK dimana bertindak proaktif secara mandiri mencari ilmu pengetahuan berarti berhasil mencapai Instrumental Independence, mampu melaksanakan aktivitas akademik sendiri tanpa menunggu perintah dosen dan menunjukkan Emotional Independence dimana tidak bergantung pada pihak tertentu dalam perkuliahannya.

Faktor yang memperngaruhi Interdependence selanjutnya adalah Teaching. Perkuliahan dengan Teaching yang bersifat active learning akan meningkatkan kemampuan komunikasi dan diskusi di antara mahasiswa FK yang berfungsi ketika mereka harus memaparkan tugas mereka di depan kelas (presentasi). Kemampuan ini dapat meningkat melalui pemberian feedback, memperbanyak waktu untuk pengalian bahan/materi, menghargai adanya perbedaan talenta dan cara tiap individu dalam memahami sesuatu. Jadi, cara mengajar yang bersifat active learning dapat membantu mahasiswa FK mampu


(30)

untuk melakukan presentasi sendiri dan merasa puas dengan diri sendiri sehingga mencapai Instrumental Independence.

Friendship and Student Community akan berfungsi sebagai sarana untuk berkomunikasi, berempati, berpendapat, dan bercermin (Chickering, 1993). Dalam hal ini relasi persahabatan yang dimiliki di dalam kuliah atau kelompok belajar mahasiswa FK seperti bertemu dengan teman yang memiliki latar belakang yang beragam dan memegang teguh pendapat akan menciptakan situasi yang akan meningkatkan toleransi dan integritas ketika mereka sedang berdiskusi atau bekerja kelompok untuk menyelesaikan tugas. Relasi persahabatan yang didasarkan pada kejujuran dan empati mahasiswa FK dapat memberikan efek yang bertahan lama mengenai penerimaan, kenyamanan, dan loyalitas, ini merupakan Friendship and Student Community. Mahasiswa yang menjalin relasi sangat mendalam serta merasa sangat nyaman sehingga membuat mahasiswa bergantung kepada temannya, maka Friendship and Student Community dapat membuat mahasiswa FK tidak mencapai Emotional Independence dan Instrumental Independence karena mahasiswa tidak dapat melakukan aktivitasnya sendiri.

Student Development Programs and Services merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh Fakultas untuk membantu serta memperlengkapi mahasiswa FK dalam hal memperdalam pemahaman mengenai kuliah. Upaya-upaya tersebut dapat berbentuk Senat Mahasiswa, program-program acara Senat Mahasiswa, pelatihan atau seminar yang diadakan oleh fakultas, penyuluhan, konseling, dan lainnya, sehingga dengan adanya pengembangan tersebut mahasiswa FK dapat


(31)

23

menetukan aktivitas apa saja yang dapat dipilihnya agar dapat mengembangkan kemampuan intelektual atau kemampuan lainnnya sebagai mahasiswa di FK. Dengan demikian, apabila mahasiswa FK yang memanfaatkan keberadaan Student Development Programs and Services di dalam kuliahnya maka akan mendukung mencapai Instrumental Independence, sedangkan mahasiswa yang tidak memanfaatkan Student Development Programs and Services secara maksimal sehingga tidak dapat menentukan aktivitas sendiri dan tidak mengembangkan kemampuan intelektual atau kemampuan lainnnya maka mahasiswa tidak mencapai Instrumental Independence.

Berdasarkan penjelasan lima faktor eksternal, dapat dilihat bahwa semakin banyak faktor-faktor eksternal yang dihayati oleh mahasiswa FK maka semakin mendukung terjadinya Interdependence. Mahasiswa FK yang telah mencapai Emotional Independence dan Instrumental Indepence kemudian akan mencapai Interdependence.

Untuk memperjelas uraian di atas, maka kerangka pemikiran dalam penelitian ini digambarkan seperti berikut :


(32)

Bagan 1.5 Kerangka Pikir Faktor Internal

- Perkembangan kognitif - Kepribadian Faktor Eksternal - Student-Faculty

Relationship - Curriculum - Teaching - Friendship and

Student Community - Student Development

Programs and Services

Mahasiswa/i FK

Universitas “X” Bandung

Emotional Independence

Instrumental Independence

Interdependence

Independence


(33)

25

1.6 Asumsi

- Mahasiswa Fakultas Kedokteran dikatakan memiliki kemampuan Interdependence yang tinggi apabila telah mencapai Emotional Independence dan Instrumental Independence.

- Faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi kemampuan Interdependence yang berbeda-beda pada mahasiswa Fakultas Kedokteran yaitu tipe kepribadian.

- Faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kemampuan Interdependence yang berbeda-beda pada mahasiswa Fakultas Kedokteran yaitu Student-Faculty Relationship, Curriculum, Teaching, Friendship and Student Community, dan Student Development Programs and Services.


(34)

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil analisis dan pengolahan data tingkat Interdependence pada 283 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung, beserta saran yang bernilai teoretis dan praktis yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai tingkat Interdependence pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1) Sebagian besar mahasiswa FK belum mencapai Interdependence, mahasiswa masih memiliki tingkat kemandirian yang rendah, baik dari segi Emotional maupun Instrumental. Hanya sebagian kecil mahasiswa (31,1%) yang berhasil mencapai tingkat Interdependence.

2) Jumlah mahasiswa FK tingkat I (angkatan 2010) yang telah mencapai tingkat Interdependence hampir sama dengan jumlah mahasiswa tingkat II (angkatan 2009) yang telah mencapai Interdependence. 3) Ada indikasi keterkaitan antara tingkat Interdependence mahasiswa FK

dengan tipe kepribadian Extrovert-Introvert, sedangkan pada segi usia tidak ditemukan keterkaitan dengan tingkat Interdependence.


(35)

64

4) Temuan pada penelitian ini terlihat bahwa ada keterkaitan antara mahasiswa yang mendapatkan feedback dari dosen dengan tingkat kemandirian, mahasiswa berhasil mencapi Independence dan Interdependence. Mahasiswa yang tidak mendapatkan feedback hanya berada pada tingkat Dependence.

5.2Saran

Penelitian ini memiliki kekurangan, maka peneliti memandang perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

1) Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengukur tingkat Interdependence dengan metode Semi-structured yang lebih komprehensif, sehingga didapatkan data yang lebih mendalam. Selain itu juga menggunakan data penunjang yang bersikap open question sehingga diharapkan dapat mengeksplorasi lebih mendalam dan spesifik data penunjang yang ada sehingga dapat terlihat jelas pengaruhnya pada tingkat Interdependence.

2) Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif dan terlihat ada kaitan tingkat Interdependence dengan faktor kepribadian Extrovert-Introvert.

3) Bagi peneliti lain dapat melakukan penelitian dengan metode korelasional dan melihat bagaimana pengaruh antara tingkat Interdependence dengan tipe kepribadian.


(36)

5.2.2 Saran Praktis

1) Bagi dosen Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung diharapkan untuk mengadakan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan Interdependence mahasiswa FK. Pelatihan soft skills untuk meningkatkan Emotional Independence dan Instrumental Independence mahasiswa FK.

2) Bagi dosen wali mahasiswa FK disarankan untuk dapat memberikan feedback-feedback yang dapat mendukung mahasiswa agar menjadi lebih Interdependence.

3) Bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung dapat mengikuti pelatihan yang diadakan oleh fakultas untuk mengembangkan kemampuan Interdependence sehingga menjadi lebih siap untuk menjalankan profesinya kelak setelah lulus dari perguruan tinggi.


(37)

DAFTAR PUSTAKA

Chickering, A. W. & Reisser, L. 1993. Education and identity. 2nd Edition. San Francisco: Jossey-Bass Inc., Publisher

Chickering, A. W. & Schlossberg, N.K. 1995. Getting the most out of college. 2nd Edition.Columbus: Prentice Hall.

Feist, J. & Feist, G. J. 2006. Theories of Personality. 6th Edition. New York : The McGraw Hill Companies, Inc.

Hurlock, E. B., 1997, Developmental Psychology, A Life-Span Approach, Fifth Edition, Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo, Cetakan keenam, Jakarta: Erlangga.

Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Santrock, J. W. 2003. Adolescence 6th. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. Jakarta: Erlangga


(38)

DAFTAR RUJUKAN

(http://www.scribd.com/doc/27254592/Remaja-Dan-Permasalahannya, diakses 10 november 2010)

(http://www.scribd.com/doc/55788820/8/Perkembangan-Kurikulum-di-Indonesia, diakses 7 september 2011)

(www.kemdiknas.go.id, diakses 7 januari 2011)

(http://cls.maranatha.edu/khusus/baru/id/fakultas/kedokteran/selamat-datang-di-s1-kedokteran-umum, diakses 10 november 2010)

(http://www.google.co.id/#hl=id&biw=953&bih=533&q=kurikulum+berbasis+ko mpetensi+perguruan+tinggi&aq=&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=9798f5 48f006646a, diakses 7 januari 2011)

(http://www.umy.ac.id/guru-masih-dianggap-sumber-ilmu-kemandirian-mahasiswa-dalam-belajar-perlu-ditingkatkan.html, diakses 7 januari 2011) (http://sosok.kompasiana.com/2011/05/26/tantangan-hidup-seorang-dokter/,

diakses 15 September 2011)

(http://urapurip.wordpress.com/2011/05/30/tantangan-baru-menjadi-dokter-praktek/, diakses 15 Sepetember 2011)

PoEh, Rilia Anaci. 2010. Suatu Penelitian Mengenai Hubungan antara Pola Asuh Authoritative Dan Emotional Autonomy Pada Siswa SMA Asrama Putri “X” Di Yogyakarta. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.


(1)

1.6 Asumsi

- Mahasiswa Fakultas Kedokteran dikatakan memiliki kemampuan Interdependence yang tinggi apabila telah mencapai Emotional Independence dan Instrumental Independence.

- Faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi kemampuan Interdependence yang berbeda-beda pada mahasiswa Fakultas Kedokteran yaitu tipe kepribadian.

- Faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kemampuan Interdependence yang berbeda-beda pada mahasiswa Fakultas Kedokteran yaitu Student-Faculty Relationship, Curriculum, Teaching, Friendship and Student Community, dan Student Development Programs and Services.


(2)

63 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini, peneliti akan memaparkan kesimpulan mengenai hasil analisis dan pengolahan data tingkat Interdependence pada 283 Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung, beserta saran yang bernilai teoretis dan praktis yang terarah sesuai dengan hasil penelitian.

5.1Kesimpulan

Dari pembahasan mengenai tingkat Interdependence pada mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung, dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut :

1) Sebagian besar mahasiswa FK belum mencapai Interdependence, mahasiswa masih memiliki tingkat kemandirian yang rendah, baik dari segi Emotional maupun Instrumental. Hanya sebagian kecil mahasiswa (31,1%) yang berhasil mencapai tingkat Interdependence.

2) Jumlah mahasiswa FK tingkat I (angkatan 2010) yang telah mencapai tingkat Interdependence hampir sama dengan jumlah mahasiswa tingkat II (angkatan 2009) yang telah mencapai Interdependence. 3) Ada indikasi keterkaitan antara tingkat Interdependence mahasiswa FK

dengan tipe kepribadian Extrovert-Introvert, sedangkan pada segi usia tidak ditemukan keterkaitan dengan tingkat Interdependence.


(3)

4) Temuan pada penelitian ini terlihat bahwa ada keterkaitan antara mahasiswa yang mendapatkan feedback dari dosen dengan tingkat kemandirian, mahasiswa berhasil mencapi Independence dan Interdependence. Mahasiswa yang tidak mendapatkan feedback hanya berada pada tingkat Dependence.

5.2Saran

Penelitian ini memiliki kekurangan, maka peneliti memandang perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoretis

1) Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk mengukur tingkat

Interdependence dengan metode Semi-structured yang lebih

komprehensif, sehingga didapatkan data yang lebih mendalam. Selain itu juga menggunakan data penunjang yang bersikap open question sehingga diharapkan dapat mengeksplorasi lebih mendalam dan spesifik data penunjang yang ada sehingga dapat terlihat jelas pengaruhnya pada tingkat Interdependence.

2) Penelitian yang dilakukan ini bersifat deskriptif dan terlihat ada kaitan tingkat Interdependence dengan faktor kepribadian Extrovert-Introvert.

3) Bagi peneliti lain dapat melakukan penelitian dengan metode korelasional dan melihat bagaimana pengaruh antara tingkat Interdependence dengan tipe kepribadian.


(4)

65

Universitas Kristen Maranatha

5.2.2 Saran Praktis

1) Bagi dosen Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung diharapkan untuk mengadakan pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan Interdependence mahasiswa FK. Pelatihan soft skills untuk meningkatkan Emotional Independence dan Instrumental Independence mahasiswa FK.

2) Bagi dosen wali mahasiswa FK disarankan untuk dapat memberikan feedback-feedback yang dapat mendukung mahasiswa agar menjadi lebih Interdependence.

3) Bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas “X” Bandung dapat mengikuti pelatihan yang diadakan oleh fakultas untuk mengembangkan kemampuan Interdependence sehingga menjadi lebih siap untuk menjalankan profesinya kelak setelah lulus dari perguruan tinggi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Chickering, A. W. & Reisser, L. 1993. Education and identity. 2nd Edition. San Francisco: Jossey-Bass Inc., Publisher

Chickering, A. W. & Schlossberg, N.K. 1995. Getting the most out of college. 2nd Edition.Columbus: Prentice Hall.

Feist, J. & Feist, G. J. 2006. Theories of Personality. 6th Edition. New York : The McGraw Hill Companies, Inc.

Hurlock, E. B., 1997, Developmental Psychology, A Life-Span Approach, Fifth Edition, Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo, Cetakan keenam, Jakarta: Erlangga.

Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Santrock, J. W. 2003. Adolescence 6th. Jakarta: Erlangga.

Santrock, J. W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jilid I. Jakarta: Erlangga


(6)

67 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

(http://www.scribd.com/doc/27254592/Remaja-Dan-Permasalahannya, diakses 10 november 2010)

(http://www.scribd.com/doc/55788820/8/Perkembangan-Kurikulum-di-Indonesia, diakses 7 september 2011)

(www.kemdiknas.go.id, diakses 7 januari 2011)

(http://cls.maranatha.edu/khusus/baru/id/fakultas/kedokteran/selamat-datang-di-s1-kedokteran-umum, diakses 10 november 2010)

(http://www.google.co.id/#hl=id&biw=953&bih=533&q=kurikulum+berbasis+ko mpetensi+perguruan+tinggi&aq=&aqi=&aql=&oq=&gs_rfai=&fp=9798f5 48f006646a, diakses 7 januari 2011)

(http://www.umy.ac.id/guru-masih-dianggap-sumber-ilmu-kemandirian-mahasiswa-dalam-belajar-perlu-ditingkatkan.html, diakses 7 januari 2011) (http://sosok.kompasiana.com/2011/05/26/tantangan-hidup-seorang-dokter/,

diakses 15 September 2011)

(http://urapurip.wordpress.com/2011/05/30/tantangan-baru-menjadi-dokter-praktek/, diakses 15 Sepetember 2011)

PoEh, Rilia Anaci. 2010. Suatu Penelitian Mengenai Hubungan antara Pola Asuh Authoritative Dan Emotional Autonomy Pada Siswa SMA Asrama Putri “X” Di Yogyakarta. Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.