Pergulatan Representasi Urang dalam Paradigma Masyarakat Minangkabau: Kasus Perantau di Daerah Yogyakarta.

(1)

i

TESIS

PERGULATAN REPRESENTASI

URANG

DALAM

PARADIGMA MASYARAKAT MINANGKABAU:

KASUS PERANTAU DI KOTA YOGYAKARTA

SUBHAN NIM 1390261020

EVA YANTI NIM 1390261019

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

PERGULATAN REPRESENTASI

URANG

DALAM

PARADIGMA MASYARAKAT MINANGKABAU:

KASUS PERANTAU DI KOTA YOGYAKARTA

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya

Program Pascasarjana Universitas Udayana

EVA YANTI NIM 1390261019

PROGAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 6 JANUARI 2016

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Phil I Ketut Ardhana, M.A Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U NIP. 196007291986011001 NIP. 194807201978031001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister Direktur Program Pascasarjana Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. I GustiKetut Gde Arsana, M.Si. Prof. Dr. dr. A.A.Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 195208151981031004 NIP. 195902151985102001


(4)

iv

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 6 Januari 2016

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No. 4356/UN.14.4/HK/2015

Tanggal 30 Desember 2015

Ketua : Prof. Dr. Phil I Ketut Ardhana, M.A Anggota :

1. Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U 2. Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S

3. Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si. 4. Dr. Purwadi, M.Hum


(5)

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : Eva Yanti

NIM : 1390261019

PROGRAM STUDI : S2 KAJIAN BUDAYA

JUDUL TESIS : PERGULATAN REPRESENTASI URANG DALAM

PARADIGMA MASYARAKAT MINANGKABAU:

KASUS PERANTAU DI KOTA YOGYAKARTA.

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.

Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 6 Januari 2016 Yang Membuat Pernyataan,


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama kali penulis kebingungan untuk menuliskan pada siapa ucapan terima kasih yang lebih agung layak dipersembahkan, Puji syukur dengan memuliakan Tuhan Allah, Tuhan Yesus atau kepada Ida sang Hyang Widhi Wasa? kepada Tuhan yang telah mati atau Tuhan-Tuhan baru yang lahir berbarengan dengan kelahiran modernitas itu sendiri. Realitasnya, halaman kertas ini harus dipenuhi dengan kalimat thanks giving. Agar tesis dengan judul “Pergulatan Representasi

Urang dalam Paradigma Masyarakat Minangkabau: Kasus Perantau di Kota

Yogyakarta” dapat diselesaikan menurut standarisasi aturan buku pedoman penulisan usulan tesis. Kajian ini merupakan suatu upaya pencarian identitas diri di dalam banyaknya tumpukan ideologi yang bertebaran di ruang-ruang sosial-budaya masyarakat Minangkabau. Namun di dalam tesis ini lebih banyak menjelaskan fenomena pergulatan masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta dalam merepresentasikan urang sebagai konstruksi identitas manusia ideal di dalam kebudayaan Minangkabau. Banyaknya ideologi baru yang bermunculan dewasa ini, menjadikan orientasi nilai-nilai ideal seperti nilai urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau menjadi tidak jelas, nilai- nilai lama hanya tinggal pada tingkat wacana, dalam artian nilai-nilai lama tidak menyatu dalam praktik keseharian kehidupan masyarakat Minangkabau, masyarakat Minangkabau kini sedang berada dalam suatu krisis identitas, krisis kepercayaan diri, seolah-olah masyarakat Minangkabau kehilangan pegangan.

Tidak dapat disangkal bahwa dalam proses penyelesaian tesis ini, penulis mendapatkan banyak dukungan baik dalam bentuk moral maupun materi dari


(7)

vii

segenap pihak. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dengan tulus penulis mengungkapkan rasa terima kasih dan apresiasi yang mendalam kepada;

1. Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U dan Prof. Dr. Phil I Ketut Ardhana, M.A selaku pembimbing yang telah dengan sabar dan teliti dalam membimbing dan penuh perhatian telah memberikan dorongan semangat, pengarahan, ide-ide kritis dan saran-saran berkualitas dalam menyelesaikan tulisan ini.

2. seluruh pejabat struktural di lingkungan Universitas Udayana, khususnya Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp. P.D., KEMD selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S.(K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Dr. I Gusti Ketut Gde Arsana, M.Si selaku Ketua Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya sekaligus Pembimbing Akademik, dan Dr. I Nyoman Dhana, MA selaku Sekretaris Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana yang telah menyetujui dan memberi kesempatan bagi penulis untuk mengikuti studi.

3. seluruh dosen di lingkungan Program Studi S2 Kajian Budaya Universitas Udayana yang selalu berkenan membagi ilmu dan membangun paradigma berpikir kritis serta Staf Sekretariat di lingkungan Program Studi S2 dan S3 Kajian Budaya, Pak Putu Sukaryawan, Bu Iluh, Bu Komang, Pak Ketut Songket dan segenap staf yang telah membantu, memberikan layanan administrasi, informasi dan suasana yang akrab selama penulis menjalani masa studi.

4. semua Narasumber yang selalu terbuka memberikan informasi yang dibutuhkan penulis selama pembuatan tesis ini, Bapak Hajizar, Pak Sahrul, Pak Andar, Pak Ali Umar. Begitu juga Da Nop, Bang Dolly, Da Arif, serta teman-teman sesama


(8)

viii

urang awak di kota Yogyakarta yang senantiasa memberi pengertian dan pemahaman

5. Happy family: Ibunda tercinta Nurbaidah, Kak Emi, Kak Ema, Uda Hen, Bang wis, Abang Uki selaku kakak-kakak yang ganteng dan cantik lagi baik, dan seluruh ponakan- ponakan yang tiada henti mendukung penulis lewat doa dan cinta yang begitu besar.

6. Dayon, Alva dan Psyche sebagai inspirasi tercantik yang selalu sabar memberikan perhatian kepada penulis

7. keluarga besar Cultural Studies UNUD angkatan 2013 atas kebersamaan dan suasana studi yang menyenangkan, akrab dan saling memotivasi. Bersama teman-teman, saya tidak merasa sendirian selama hidup merantau di Bali.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, 17 November 2015


(9)

ix ABSTRAK

PERGULATAN REPRESENTASI URANG DALAM PARADIGMA MASYARAKAT MINANGKABAU: KASUS, PERANTAU DI KOTA

YOGYAKARTA

Penelitian ini menjelaskan fenomena pergulatan masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta dalam merepresentasikan urang sebagai identitas ideal di dalam paradigma masyarakat Minangkabau. Pergulatan ini disebabkan karena banyaknya nilai-nilai baru atau ideologi-ideologi baru yang tumbuh, seperti modernitas dengan kecendrungan individual, hedonisme dan materialisme yang berbenturan dengan budaya Minangkabau. Banyaknya ideologi baru yang bermunculan, menjadikan orientasi nilai masyarakat Minangkabau menjadi tidak jelas, nilai- nilai lama hanya tinggal pada tingkat wacana, dalam artian nilai-nilai lama tidak menyatu dalam praktik keseharian kehidupan masyarakat Minangkabau, masyarakat Minangkabau kini sedang berada dalam suatu krisis identitas, krisis kepercayaan diri, seolah-olah masyarakat Minangkabau kehilangan pegangan.

Masalah yang diurai dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: (1) bagaimana urang direpresentasikan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau, (2) apa yang menyebabkan pergulatan representasi

urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta, (3) bagaimana implikasi pergulatan representasi urang di dalam membangun kebudayaan Minangkabau sekarang. Penelitian ini berupaya untuk menemukan bentuk, proses dan makna urang di dalam kebudayaan Minangkabau. Teori yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah Psikoanalisis-Erich Fromm, Teori Identitas-Anthony Giddens, Teori Sistemik-Fritjof Capra. Perspektif kajian budaya merupakan fokus penelitian, sehingga pendekatan kualitatif merupakan metode utama penelitian, dengan teknik observasi partisipasi, purposive, wawancara mendalam dan studi perpustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa penafsiran masyarakat Minangkabau tentang urang atau orang yang ideal dalam paradigma masyarakat Minangkabau selalu berbeda-beda, urang atau orang yang dibentuk di dalam paradigma masyarakat Minang modern mengandaikan bahwa manusia adalah sebuah mesin, yang bisa dirangkai serta dibentuk sesuai wacana yang berkembang. Konsekuensi dari paradigma ini adalah munculnya masyarakat yang berorientasi materialistik, karena diri atau orang dilihat dari perwujudan material. Sebagaimana yang dijelaskan Fromm orientasi tidak dipusatkan ke dalam diri, tetapi ke luar, mengikuti alur dan sistem yang telah ada (blueprint) di dalam suatu institusi untuk membentuk subjek. Persoalan ini sangat berbeda dan bertolak belakang dari temuan di dalam tesis ini mengenai paradigma urang pada kebudayaan Minangkabau. Dalam kebudayaan Minangkabau karakter urang di bedakan berdasarkan kepada konsepsi tumbuh dan berkembang. Hal ini dimanifestasikan kepada proses untuk manjadiurang.

Kata kunci: Pergulatan, manjadi urang, paradigma masyarakat Minangkabau, paradigma kebudayaan modern


(10)

x ABSTRACT

STRUGGLE TO REACH THE NOTION „URANG‟ WITHIN THE

PERSPECTIVE OF THE MINANGKABAU PEOPLE: CASE STUDY, MIGRANTS IN THE CITY OF YOGYAKARTA

This research seeks to explain the ever-present struggle the Minangkabau people put to define their most ideal identity – urang. This struggle is caused due to the presence of many contemporary values on the side of new ideologies also flowering; such as the individuality of modernity, hedonism, and materialism which seem to clash with Minangkabau traditional norms. Much new values are created, creating lasting confusion, shifting old applied values to become mere rhetorics. The Minangkabau is now experiencing a crisis of identity, an attack on self-esteem, losing the old path they once held dear.

The issues addressed in this research will correspond the following questions: 1. How is urang represented within the perspective of the Minangkabau people. 2. What causes the struggle to define the most ideal urang. 3. What is the implication of the struggle to define urang towards the shaping of the Minangkabau contemporary culture today. This research attempts to find shapes, processes, and meanings of urang within the Minangkabau culture. The theories used to analyse the data would be the Psychoanalysis of Erich Fromm, the Identity theory of Anthony Giddens, and the Systemic theory of Fritjof Capra. The perspective of cultural studies will be the main focus of research, so that qualitative methodology will be widely used, alongside participatory observation technique, purposive, interviews, and literature studies.

The result of this research shows that, the interpretation of the Minangkabau people on urang or the ideal form of the human individual is always different, urang or the ideal form of human shaped within the perspective of the modern Minangkabau people assume that humans are machines, that can be shaped in accordance to the present tendencies. The consequence of this paradigm is that there appears people who are materialisticly oriented, because the self or the people are regarded solely from their materialistic achievements. This is the same as what Fromm explains whereas the orientation is not centered around the self, but outside, following the existing system (blueprint) in an institution to shape subjects. This issue is very much different and contradictory to the finding of this research regarding the notion urang in the Minangkabau culture. In the Minangkabau culture, the character urang is different as it is defined as the idea that humans grow and develop. This is then shown in the notion manjadi urang.

The word manjadi shows that there is no one circumstance or position that is assured, or fixed in the identity of a person. However, someone might always be seeking, searching and finding their new potentials.


(11)

xi RINGKASAN

Pergulatan representasi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta, setidaknya ada hal-hal yang digaris bawahi, yaitu adanya dua atau lebih paradigma mengenai urang yang dipengaruhi dari luar kebudayaan Minangkabau. Pasalnya apa yang menjadi paradigma masyarakat Minangkabau mengenai urang telah dirumuskan dan disepakati di dalam sistem nilai, norma maupun falsafah hidup mereka. Pergulatan representasi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau lebih menekankan adanya suatu medan yang di dalamnya terjadi interaksi maupun benturan antarnilai, norma, pemahaman dan pemikiran individu di dalam kebudayaan Minangkabau mengenai nilai ideal atau identitas ideal masyarakat yang seharusnya diaplikasikan di dalam realitas sosial. Singkatnya, Pergulatan paradigma urang merupakan suatu perjuangan dan pertarungan paradigma yang sama-sama hidup di dalam suatu gelanggang kebudayaan.

Urang dalam arti kriteria manusia “ideal” dalam konstruksi nilai

masyarakat Minangkabau, dalam pemaknaan ini, kata urang tidak berdiri sendiri, biasanya didahului dengan kata manjadi dan digabung manjadi urang atau dalam bahasa Indonesia adalah menjadi orang. Manjadi urang atau dalam struktur ejaan bahasa Indonesia menjadi orang, merupakan dua komponen kata yang berbeda maksud dan penekanannya. Manjadi lebih pada kriteria proses, sementara urang

ialah kriteria orang yang “ideal” dalam konstruksi nilai masyarakat. Maka


(12)

xii

supaya nantinya bisa masuk pada kriteria “urang” sebagai identitas ideal di dalam kebudayaan Minangkabau.

Prinsip-prinsip manjadi urang menekankan bahwa kriteria proses lebih ditekankan dari pada hasil, karena sebuah hasil ditentukan sejauh mana usaha seseorang saat proses manjadi urang. Maka hal yang ditekankan di dalam proses

manjadi urang adalah mengenai keberadaan potensi dan proyeksi. Sederhananya, pemahaman mengenai manjadi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau adalah apabila individu telah menjadi orang yang berguna bagi masyarakat, memiliki kesadaran yang tinggi dimana mampu menggunakan akal dengan optimal untuk hidup, dan mati dalam keadaan beriman, seperti yang tertuang dalam pepatah iduik baaka mati baiman (hidup berakal mati beriman), serta memiliki keberanian untuk merantau. Namun suatu pergulatan terjadi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dikarenakan adanya paradigma baru mengenai urang. Hal ini dapat ditelusuri dengan adanya kriteria urang yang dipengaruhi oleh kebudayaan modern karena globalisasi.

Pengaruh ini, tidak hanya membawa implikasi dalam aspek-aspek kebudayaan, seperti arsitektur, hubungan sosial, relasi, dan implikasi lainnya, melainkan juga membawa nilai-nilai baru. Konsekuensinya urang sebagaimana yang dipahami di dalam kebudayaan Minangkabau sebelumnya juga bergeser dan berubah. Pergeseran ini dikarenakan paradigma yang telah berubah dari kriteria menjadi (to be) ke memiliki (to have). Akhirnya capaian-capaian yang bersifat materialistik menjadi tujuan utama, seperti jabatan, uang, gelar, dan seterusnya. Singkatnya identitas urang yang dipahami masyarakat dilihat dari capaian-capaian


(13)

xiii

materialistik di dalam kebudayaan modern. Pegulatan ini secara tidak langsung mempengaruhi seluruh pola hidup masyarakat, baik itu dari aspek psikologi, sosial dan budaya.

Melihat bagaimana posisi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang. Penelusuran Fromm digunakan untuk melihat bentukan dan bangunan bawah sadar masyarakat Minangkabau. Selaras dengan yang dijelaskan oleh Fromm sendiri, bahwa di Minangkabau juga dipengaruhi oleh kebudayaan modern yang lebih menitik beratkan kepada pencapaian material atau yang dalam kata-kata Fromm sebagai cara memiliki. Konsekuensinya paradigma

urang sebagai suatu individu yang memiliki potensi yang selalu hidup dalam

manjadi atau berproses dilupakan. Urang lebih dipandang dari capaian-capaian materialnya dari pada penemuan jati dirinya. Hal ini memperlihatkan bahwa kedudukan manjadi urang terlupakan dikarenakan lebih berorientasi kepada hasil dari pada proses. Singkatnya seperti di dalam konsep Fromm mengenai alienasi atau keterasingan, bahwa urang selalu memproyeksikan dirinya kepada hal-hal diluar dirinya, seperti: manjadi urang dianggap ketika mampu memperoleh kekayaan, sekolah untuk mendapatkan pekerjaan, gelar maupun harta yang ikut andil dalam meningkatkan harga diri seseorang. Akhirnya seseorang tersebut menjadi asing dengan dirinya sendiri, karena selalu berorientasi kepada yang bukan dirinya tetapi diri sang liyan. Hal ini seperti yang dijelaskan masyarakat Minangkabau sebagai bukan urang, atau takah urang yaitu urang yang hanya meniru orang lain dan seolah-olah seperti orang lain, tanpa mengenal potensi dan “bijo” dirinya sendiri.


(14)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

RINGKASAN ... xi

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR TABEL ... xx

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA ... xxi

GLOSARIUM ... xxii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 14

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.3.1 Tujuan Umum ... 14

1.3.2 Tujuan Khusus ... 15


(15)

xv

1.4.1 Manfaat teoretis/Akademis ... 15

1.4.2 Manfaat Praktis ... 15

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN ... 17

2.1 Kajian Pustaka ... 17

2.2 Konsep ... 20

2.2.1 Pergulatan Representasi Urang ... 21

2.2.2 Paradigma Masyarakat Minangkabau ... 22

2.3 Landasan Teori ... 24

2.3.1 Teori Psikoanalisis- Erich Fromm ... 24

2.3.2 Teori Identitas- Anthony Giddens ... 28

2.4 Model Penelitian ... 31

BAB III METODE PENELITIAN ... 35

3.1 Pendekatan Penelitian ... 35

3.2 Lokasi Penelitian ... 36

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 38

3.4 Teknik Penentuan Informan ... 38

3.5 Instrumen Penelitian... 39

3.6 Teknik Pengumpulan Data ... 39

3.6.1 Observasi ... 40

3.6.2 Wawancara ... 41

3.6.3 Kepustakaan ... 42


(16)

xvi

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data... 44

BAB 1V DAERAH RANTAU YOGYAKARTA ... 45

4.1 Wilayah Rantau dan Kampung ... 45

4.2 Sistem Matrilineal Sebagai Basis Terbentuknya Kehidupan Berkelompok ... 53

4.3 Sistem Sosial dan Kultural Masyarakat Minangkabau di Kota Yogyakarta ... 61

4.4 Sistem Pendidikan ... 78

4.5 Agama dan Kepercayaan Masyarakat Minangkabau ... 83

4.6 Mata Pancarian Masyarakat Minangkabau di Kota Yogyakarta... 85

BAB V REPRESENTASI URANG DALAM PARADIGMA MASYARAKAT MINANGKABAU ... 88

5.1 Urang Sebagai Identitas Individu dan Identitas Kultural Minangkabau ... 88

5.1.1 Urang Minang-Urang Awak ... 91

5.1.2 Manjadi Urang ... 93

5.1.3 Proses Manjadi Urang ... 98

5.2 Representasi Urang dalam Kebudayaan Minangkabau ... 109

BABVI PERGULATAN REPRESENTASI URANG DALAM PARADIGMA MASYARAKAT MINANGKABAU DI KOTA YOGYAKARTA ... 115

6.1 Sebuah Pergulatan dalam Manjadi Urang ... 115


(17)

xvii

6.3 Manjadi Urang dalam Paradigma Masyarakat Minang Modern ... 121

6.3.1 Standardisasi ... 132

6.3.2 Spesialisasi ... 134

6.3.3 Maksimalisasi ... 135

6.4 Tantangan Manjadi Urangdi Kota Yogyakarta dari Paradigma “Menjadi” (To Be) ke “Memiliki” (To Have) ... 138

BAB VII IMPLIKASI PERGULATAN TERHADAP SISTEM KEBUDAYAAN MINANGKABAU ... 144

7.1 Aspek Psikologi ... 145

7.1.1Alienasi ... 145

7.1.2 Liminal: Lahirnya Masyarakat Galau... 147

7.1.3 Pamaleh: Kurangnya Daya Etos Kerja Masyarakat Minangkabau... 150

7.2 Sosial Budaya : Peralihan Kekuasan Tungku Tigo Sajarangan ... 152

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN ... 156

8.1 Simpulan ... 156

8.2 Saran ... 162

DAFTAR PUSTAKA ... 165 LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Informan Lampiran 2 Pedoman Wawancara Lampiran 3 Kaba Rantau


(18)

xviii Lampiran 5 Bulletin Urang Awak

Lampiran 6 Katalog Seni Lukis Bakaba #3 Lampiran 7 Katalog Seni Lukis Bakaba #4

Lampiran 8 Panitia Musyawarah Besar IV Keluarga Besar Minangkabau Yogyakarta

Lampiran 9 Daftar Organisasi Lokal Sumatra Barat di Yogyakarta Lampiran 10 Anggaran Dasar IKBMY


(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta wilayah Minangkabau, Sumatera barat ... 53

Gambar 4.2 Diagram Struktur Masyarakat Minangkabau Dalam Sebuah Nagari ... 56

Gambar 4.3 Peta Kota Yogyakarta ... 63

Gambar 4.4 Halal bi Halal masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta ... 76

Gambar 4.5 Acara Pembukaan Pameran Akbar Komunitas seni Minangkabau (formmisi) di kota Yogyakarta ... 78


(20)

xx

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Tabel Jumlah Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, 2015 ... 63 Tabel 4.2 Tabel jumlah dan nama organisasi maupun komunitas Minang di kota


(21)

xxi

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

IWS : Ikatan Warga Saniang Baka IWATAR : Ikatan Warga Atar

IKPBT : Ikatan Keluarga Pitalah Bungo Tanjung KBTD : Keluarga Besar Tanah Datar

IKK : Ikatan Keluarga Kacang

IKBY : Ikatan Keluarga Pasaman Barat Yogyakarta IKBMY : Ikatan Keluarga Besar Minang Yogyakarta IKPS : Ikatan Keluarga Pesisir Selatan

IKMGK : Ikatan Keluarga Minang Gunung Kidul IKISM : Ikatan Keluarga Istri Seniman Minang PKDP : Perkumpulan Keluarga Daerah Pariaman PNS : Pegawai Negeri Sipil


(22)

xxii GLOSARIUM

awak : aku dalam Bahasa Indonesia, Awak dalam kehidupan sehari-hari berhubungan dengan identitas, awak merupakan penanda (signified) untuk membedakan aku (sebagai identitas individu maupun kelompok) dengan yang lain (urang), awak

juga berhubungan dengan kepunyaan dan ruang lingkup kedudukan diri, contoh suku awak

alim-ulama : selain penghulu dan cadiak pandai, yang juga diperhatikan di dalam struktur kepemimpinan kelompok di Minangkabau adalah alim ulama. Sama statusnya dengan penghulu maupun cadiak pandai, namun alim ulama lebih kepada bidang keagamaan. Oleh karenanya di Minangkabau peran dari ketiga itu (penghulu, cadiak pandai, dan alim ulama) disebut sebagai tigo tungku sajarangan atau sebagai tiga pilar dalam sebuah kelompok.

autopoesis : kata yang dikemukakan oleh Varella dan Maturana, pengertiannya adalah berdasarkan kepada prinsip dari alam ini yang “hidup”. Alam semesta bukanlah benda mati tetapi hidup yang mampu mempertankan hidupnya sendiri, di dalam dinamika kehidupan perubahan-perubahan merupakan cara organisme hidup menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Karena sistem keseimbangan yang hidup di dalam segala sistem hidup.

alienasi : keterasingan, di dalam konsepsi Karl Marx pengertian ini mengindikasikan sikap asing dengan diri sendiri karena pekerjaan yang berulang-ulang yang dilakukan oleh industri.

bijo : (blue print) atau cetak biru realitas diri.

bujang : bujang adalah laki-laki yang belum menikah, biasanya seorang bujang juga disebut pada fase remaja, namun juga ada ungkapan kepada seorang


(23)

xxiii

laki-laki yang belum menikah namun sudah dewasa juga disebut sebagai bujang.

cadiak pandai : cadiak pandai adalah orang yang dipercaya memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak. Di dalam status politis, cadiak pandai sama dengan

penghulu tetapi lebih di bidang pengetahuan dan di dalam rapat-rapat adat dia diprioritaskan untuk pemberi pertimbangan dalam bidang pengetahuan.

darek : sebagai pusat kebudayaan masyarakat Minangkabau, yang terdiri dari tiga Luhak, yaitu

luhak Agam, luhak Tanah Data dan luhak 50 Koto.

fluktuatif : sifat yang berubah-rubah, tak dapat diprediksi dan dipastikan.

galanggang : semacam arena untuk silat, namun kata ini juga sering digunakan untuk kebutuhan metafora. Pengertiannya menekankan adanya pertarungan dan perjuangan di dalamnya. Seperti gelanggang pacuan kuda, juga seperti kata galanggang gadang

(gelanggang besar)

gadang :secara harfiah gadang berarti besar.

interpretatif : sikap dan aktivitas menafsirkan sesuatu.

kampuang : kampuang pengertiannya hampir sama dengan kampung, dimana bagi masyarakat Minangkabau yang namanya kampung adalah nagari masing-masing.

kurenah : perilaku dan kelakuan seseorang.

kooperatif : suatu sistem kenegaraan yang memiliki basis kekeluargaan, namun juga dikembangkan kepada sistem ekonomi dan sosial. Ini juga diterapkan oleh Bung Hatta di dalam sistem koperasi, karena merasa lebih cocok dan tepat dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang basisnya adalah gotong royong.

lapau : tempat atau warung yang di dalamnya banyak aktivitas duduk dan bermain domino. Tempat ini


(24)

xxiv

sangat diminati oleh sebagian besar remaja Minangkabau. Namun di dalam kebudayaan Minangkabau, para remaja diharapkan dapat bergabung di sini untuk mampu beradaptasi dengan orang-orang di lingkungannya. Karena lapau adalah tempat aktualisasi dan sumber informasi bagi sebagian besar masyarakat di dalam sebuah kampung atau nagari.

liminal : istilah Turner maupun Van Gennep menjelaskan bahwa liminal adalah sebuah fase, yaitu waktu ambang, transisi atau diantara. Kata liminal diambil dari istilah limen dalam bahasa latin yang berarti ambang.

manjadi : menjadi atau proses menuju sesuatu, selalu dalam proses menjadi, sebuah kata kerja (verb) bukan kata benda.

ma-rantau : merupakan aktivitas pergi ke rantau.

malawan dunia urang : suatu sikap hidup masyarakat Minangkabau untuk menyaingi orang lain. Sikap ini adalah perilaku dalam berkompetisi tanpa menyakiti orang lain. Artinya seseorang dijadikan sebagai motivasi untuk bergerak dan berjalan.

mangaji : aktivitas belajar Alquran di Surau.

maukua bayang-bayang : konsepsi mengenai pentingnya untuk mengukur diri, mengukur bayangan diri supaya tahu siapa dan kemampuan diri.

nagari : jika diandaikan nagari seperti pembagian desa, namun karena masyarakat Minangkabau bersifat desentralisasi, maka nagari bersifat otonom. Nagari

merupakan kelompok terbesar yang di dalamnya terdapat, beberapa suku, disetiap nagari memiliki sistem ekonomi, politik, dan sosial sendiri. Oleh sebab itu para budayawan baik dalam maupun luar negeri menyebut keberadaan nagari-nagari itu seperti Negara-negara kecil, karena sifatnya yang otonom tersebut.


(25)

xxv

Pasisia : berarti Pesisir, yaitu wilayah di pinggir pantai Sumatra.

part time : paruh waktu.

parewa : pengertiannya ada yang menyebut sebagai “pendekar” yaitu seseorang yang sudah memiliki sistem kebertahanan diri melalui silat. Namun pengertian luas adalah sekelompok remaja yang yang sudah diberi tanggung jawab untuk menjaga dan membela nagarinya.

paga nagari : remaja-remaja yang bertanggung jawab sebagai pelindung dan penjaga kelompoknya dari gangguan-gangguan baik luar maupun dalam kelompok.

pamaleh : perilaku malas, atau seseorang yang tidak mau bekerja atau belajar.

panopticon : konsepsi Foucault mengenai kecenderungan pendisiplinan di dalam kebudayaan modern, yang disebutnya strategi pengawasan untuk mengoreksi dan memperbaiki tubuh seseorang.

Pedati : Pedati merupakan alat transportasi tradisional yang digunakan oleh binatang, seperti kuda maupun kerbau. Biasanya yang menggunakan kuda adalah pedati untuk kebutuhan penumpang, sementara yang menggunakan kerbau adalah pedati untuk mengangkut barang atau beban.

penghulu : penghulu merupakan jabatan tertinggi di dalam sebuah kelompok, maka setiap kelompok memiliki penghulunya. Baik kelompok suku sampai pada kelompok nagari.

pulang basamo : pulang basamo pengertiannya adalah pulang dengan bersama-sama, biasanya aktivitas ini di lakukan oleh para perantau pada saat menyambut lebaran.

raso jo pareso : suatu basis hukum dan aturan di Minangkabau, dimana raso adalah wilayah rasa dan pareso adalah pikiran (logika). Setiap perilaku dan sikap kepada orang lain diharapkan memiliki basis dengan cara merasa dan memikirkan supaya orang lain tidak tersinggung atau sakit hati.


(26)

xxvi

rantau : rantau memiliki dua pemahaman bagi masyarakat Minangkabau. Pertama pemahaman rantau yang pengertiannya daerah yang berada di luar nagari. Kedua pengertian pembagian wilayah, yaitu daerah yang berada di luar pusat Minangkabau (Luhak), maka dibedakan menjadi wilayah darek (daratan yang menjadi pusat budaya Minangkabau), dan daerah rantau persebaran masyarakat ke wilayah lainnya.

rantau cino : merantau yang tidak pulang lagi ke kampung halamannya.

rezim of light : pemahaman dari Gilles Deleuze dalam memperkuat konsepsi dari Foucault mengenai

panopticon, yaitu pengawasan dimungkinkan dengan keberadaan cahaya, sebagai pengawasan bagi seseorang atau kelompok.

representasi :menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktik penting yang memproduksi kebudayaan. Representasi merupakan proses dari „representing‟. Representasi juga bisa diartikan

sebagai proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk kongkrit. Disni bahasa memegang peran penting, dimana Bahasa juga merupakan system representasi, bahasa (symbol, tanda, lisan maupun gambar) dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang realitas. Dengan mengamati kata, symbol maupun gambar yang merepresentasikan suatu realitas, maka akan terlihat jelas nilai-nilai yang di berikan kepada realitas tersebut. Jadi dapat di simpulkan bahwa representasi urang di dalam tesis ini adalah suatu konsep yang digunakan untuk mewakili kriteria manusia “ideal” dalam paradigma masyarakat Minangkabau yang diwakili dengan system penandaan berupa bahasa (lisan) urang.

sistemik : sistemik merupakan kata lawan dari analitik, dimana pengertiannya lebih kepada cara berpikir. Penekanan pemikiran sistemik kepada sifatnya yang holistik dan menyeluruh, dimana bagian menentukan keseluruhan dan keseluruhan menentukan bagian.


(27)

xxvii

sang liyan : liyan atau sang liyan diartikan sebagai lain, seperti kata the others, namun pengertian kata ini juga mengimplikasikan bahwa identitas dan konstitusi diri juga dibangun dari kamu atau hadirnya liyan yang bukan aku. Maka pengertian liyan tidak hanya memiliki pengertian lain, tetapi implikasinya kepada terbangunnya persepsi, keadaan bawah sadar sampai pada identitas diri dalam tradisi psikoanalisis.

takah urang : seperti orang lain, urang yang hanya meniru orang lain dan seolah-olah seperti orang lain

tungku tigo sajarangan : pilar dari struktur kepemimpinan adat di Minangkabau yang terdiri dari penghulu, cadiak pandai dan alim ulama. Dimana masing-masing pemimpin itu memiliki perannya masing-masing.

urang : dalam tatanan bahasa Minangkabau bermakna ganda, yaitu urang sebagai orang, merujuk kepada kata ganti orang ketiga tunggal misalnya orang lain, Ani, Budi, atau Badu. Dan urang dalam arti kriteria manusia “ideal” dalam konstruksi nilai masyarakat Minangkabau, dalam pemaknaan ini, kata urang

tidak berdiri sendiri, biasanya didahului dengan kata

manjadi dan digabung manjadi urang

urang sabana urang : konsep ini ditafsir sebagai core value dari filsafat Minangkabau tentang manusia. Orang yang sebenarnya orang Minangkabau adalah „orang yang baik‟, „orang yang tahu‟, dan memiliki „kearifan akal budi‟ sesuai dengan alur dan patut, tidak meninggalkan adat dan melupakan agama (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah-alam takambang jadi guru).


(28)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Manusia (subjek) sebagai pribadi tidak hanya dirumuskan sebagai suatu kesatuan individu tanpa sekaligus menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. Barker mengemukakan bahwa sebagai subjek, yaitu sebagai pribadi, manusia terikat kepada proses sosial yang menciptakan subjek “untuk” diri dan orang lain (Barker, 2013:173). Pemahaman mengenai manusia ini merupakan hasil dari penafsiran manusia mengenai realitas lingkungannya, baik alam dan juga sosial. Namun tidak hanya itu saja, penafsiran juga melibatkan di dalamnya aspek-aspek kedirian (diri/ tubuh) manusia itu sendiri, artinya melibatkan juga aspek-aspek pengalaman ketubuhan masing-masing manusia beserta potensi-potensi yang mereka miliki. Oleh karenanya penafsiran suatu kebudayaan atas peran-peran perempuan dan laki-laki dapat saja berbeda, hal itu dikarenakan perbedaan yang diperoleh dari pengalaman masing-masing.

Penafsiran atas manusia sebenarnya tidak pernah benar-benar statis dan tetap, konsepsi manusia di dalam suatu kebudayaan selalu berubah yang selalu dipengaruhi oleh paradigma yang sering kali juga berubah-rubah. Di zaman modern misalnya, di ranah Minangkabau sendiri sedikit banyaknya konsepsi mengenai manusia mulai


(29)

2

berubah yang akhirnya juga merubah dan membentuk makna baru mengenai manusia itu sendiri. Sekarang konsepsi mengenai manusia selalu diarahkan kepada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang menentukan wujud dan bentuk manusia ideal di dalam kebudayaan Minangkabau. Hal itu dikarenakan manusia selalu dimaknai dari hasilnya dan harga dirinya di dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya seseorang yang mendapatkan pekerjaan, misalnya dokter, pegawai negri sipil (dosen, guru, polisi), pengusaha sukses dan seterusnya memperoleh kedudukan yang dihormati di dalam kehidupan sosial. Konsep ini mengandaikan manusia sebagai produk yang dapat saja dibentuk oleh sesuatu dari luar dirinya, seperti “tanah liat” yang dapat dibentuk sesuai wacana yang berkembang. Seakan-akan proses hidup itu sendiri hanya merujuk kepada satu titik saja, yaitu pekerjaan, yang juga mempengaruhi konsepsi mengenai pendidikan, kehidupan dan kebahagiaan. Ironisnya sistem wacana tersebut selalu merujuk kepada suatu kepentingan-kepentingan yang beroperasi di belakangnya seperti ekonomi dan politik. Hal ini juga memperlihatkan kecenderungan materialitas di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sekarang yang mengandaikan manusia hanya materi belaka yang ukuran kesuksesan pun diukur lewat pencapaian-pencapaian material: gelar, mobil, rumah, pekerjaan yang layak seperti dokter dan pegawai negeri sipil (PNS). Seakan-akan manusia yang tidak memiliki kemampuan mencapai hal tersebut disebut miskin, tidak berguna, tidak mampu, kehilangan harga diri dan sederatan nilai-nilai lainnya.

Jika ditelusuri lebih jauh ke dalam kebudayaan Minangkabau itu sendiri, tidak dijelaskan secara spesifik pekerjaan seperti apa yang menentukan manusia ideal atau


(30)

3

urang1, tetapi lebih kepada proses manjadi, penemuan, dan pencarian akan hakikat hidup masing-masing individu. Karena di dalam paradigma masyarakat Minangkabau setiap manusia memiliki bijo (blue print) atau cetak biru realitas dirinya, dan tugas manusia itu untuk mencari, merumuskan dan menemukan siapa dirinya. Tidak ada sistem hirarki mengenai pekerjaan ideal karena setiap manusia memiliki potensinya masing-masing dan unik, seperti sidik jari yang tidak sama, tetapi inheren dan unik disetiap manusia itu sendiri. Singkatnya, perumusan mengenai hakikat manusia di dalam paradigma masyarakat Minangkabau juga melibatkan pertanyaan mengenai manusia itu sendiri secara ontologi dan eksistensi, untuk apa manusia ada, karena manusia ada dikarenakan keberadaannya dikehendaki oleh realitas dan juga Tuhannya. Manusia itu “ada” karena eksistensinya (keberadaannya) dikehendaki oleh realitas dan tidak ada yang tidak berguna, karena keberadaan masing-masing individu itu unik dan berimplikasi bagi keseimbangan kosmologis masyarakat Minangkabau. Paradigma masyarakat Minangkabau mengenai kriteria urang dipersonifikasi dengan istilah “baringin di tangah padang” (pohon beringin di tengah padang), yang

dijelaskan oleh Mulyadi Putra sebagai berikut:

________________

1

Urang dalam tatanan bahasa minangkabau bermakna ganda, yaitu urang sebagai orang lain (the other) merujuk kepada kata ganti orang ketiga tunggal, misalnya: Ani, Budi atau Badu. Dan urang dalam arti kriteria orang yang “ideal” dalam konstruksi nilai masyarakat Minangkabau, dalam pemaknaan ini, kata urang tidak berdiri sendiri, biasanya didahului dengan kata manjadi dan digabung manjadi urang atau dalam bahasa Indonesia adalah menjadi orang, merupakan dua komponen kata yang berbeda maksud dan penekanannya, manjadi dimaksudkan lebih pada kriteria proses. Maka manjadi urang adalah sebuah kriteria proses yang harus dilalui oleh seseorang supaya nantinya dapat masuk pada kriteria nilai urang ideal di dalam kebudayaan Minangkabau.


(31)

4

“Kayu beringin di tengah padang berurat cukam ke tanah, „penuh‟ bumi karena rumpunnya. Kena gempa tidak akan tercerabut, kena badai tidaklah oleng, melainkan sebatas goyang lantaran diterpa angin lalu. Artinya, teguh dengan pendirian, istiqamah dengan tauhid, berprinsip, tegar dan kokoh. Kayu beringin berpucuk cewang ke langit, tingginya menggapai awan lalu, pedoman musafir lalu. Daunnya yang rimbun tempat berteduh, tempat berlindung kehujanan, jika panas ganti payung panji. Uratnya tempat bersila, batangnya yang besar tempat sandaran, dahannya yang rampak tempat bergantung.

Artinya, menjadi panutan di tengah masyarakat, cerdik tempat orang bertanya, kaya tempat orang bertenggang, jago tempat orang mengadu. Setitik katanya dilautkan, gerak diberi jadi contoh dalam masyarakat. Sungguhpun beringin tinggi menjulang, tetapi tingginya menawungi yang di bawah. Walaupun besarnya merimbun, besar menenggang dengan yang kecil. Itu lah sifat yang dipakai. Dalam ungkapan kekinian, peduli dengan lingkungan (Putra, 2013: 114)”.

Artinya kontribusi seseorang tidak dilihat dari hal-hal yang ada di luar diri seseorang, tetapi dilihat dari proyeksi dan potensi seseorang untuk dapat berkontribusi, membangun, mengembangkan, dan mensejahterakan kedudukan kelompoknya. Kontribusi tersebut dapat berbentuk apa saja atau dari kemampuan individu tersebut, maupun menjadi seperti yang dijelaskan Heidegger, bahwa orang atau manusia tidak ditentukan oleh kualitas, esensi, atau “untuk apa”nya seseorang tersebut, tetapi dilihat dari kemungkinan seseorang itu untuk ada (Heidegger, 1949:29). Jadi urang dipandang dari “menjadi apa” bukan “untuk apa” nya seseorang tersebut. Hal ini, ditentukan oleh penemuan, penelusuran, dan pencarian jati diri seseorang tersebut dalam menemukan dirinya dan dapat dikontribusikan ke dalam kehidupan masyarakat.


(32)

5

Urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau dipandang dari kontribusi dan proyeksi dari potensi-potensi masing-masing individu untuk dapat membangun kelompoknya, yang nantinya dapat berkontribusi melalui instansi-instansi adat seperti: jadi penghulu (tokoh adat), cadiak pandai (orang yang bertanggung jawab dalam bidang pengetahuan), alim ulama (orang yang bertanggung jawab dalam bidang keagamaan), hulu balang (keamanan), bundo kanduang (ibu suku) dan mungkin di sektor-sektor lain seperti seorang pengusaha yang membangun kampungnya melalui pembangunan sekolah, jalan, mesjid dan sebagainya. Hal ini juga ditegaskan oleh Navis dengan membagi kriteria urang dalam beberapa golongan atau kategori yang diistilahkan dengan “orang yang sebenarnya orang(orang yang sempurna sebagai manusia) sebagai berikut:

“1. Orang kebilangan (orang ternama atau terkemuka), orang kuat dan orang tahu yang masing-masing terdiri dari empat jenis. Orang kebilangan adalah orang yang terkemuka dalam masyarakatnya. Mereka itu adalah seperti berikut: (1) Orang tua, yaitu orang yang jadi pemimpin atau dituakan dalam lingkungan dan tugasnya (professional dan fungsional). Ia mempunyai persyaratan : berakal agar dapat mencari penyelesaian permasalahan yang timbul, berilmu agar dapat memecahkan permasalahan dengan tepat, mampu (berkecukupan) agar kehidupan tidak tergantung kepada orang lain, pemurah agar dapat membantu kesulitan orang lain, jaga (waspada) agar selalu bersikap hati-hati, sabar agar tidak dikendalikan emosi, adil agar tidak pilih kasih dalam menghadapi orang lain, dan bijaksana agar dapat selalu mengambil tindakan yang tepat sehingga resiko menjadi sangat kecil. (2) Orang pandai atau cendekiawan, yaitu orang yang berilmu agar ia dapat memberikan petunjuk apa yang benar, gigih agar tidak mudah terobang-ambing pendiriannya, pendiam agar ia tidak digunakan orang yang tidak tepat, sokah agar sikapnya selalu memancarkan optimisme. (3) Orang bagak (berani) mempunyai persyaratan: bersih agar tidak menimbulkan rasa ketakutan dan kecurigaan, ramah agar orang merasa terlindung, sehat jasmani


(33)

6

dan rohani agar tidak mudah dikalahkan, lapang agar tidak mudah naik darah atau pemarah. (4) Orang kaya mempunyai persyaratan rendah hati dalam pergaulan agar hidup tidak menimbulkan rasa iri orang lain, pemurah agar dapat membantu kesulitan orang lain, hemat agar tidak mendorong orang lain hidup berlebih-lebihan, beriman agar tidak tergoda menggunakan harta sehingga tidak merugikan orang lain.

2. Orang kuat ialah orang yang dipandang mampu memberikan perlindungan kepada orang lain tanpa merisaukan risiko yang akan dipikulnya karena perbuatannya itu. Ada empat hal pula yang menjadi ciri orang kuat itu. (1) Kuat membela kebenaran, meski ia akan berhadapan dengan pendapat umum yang akan menyalahkannya. (2) Kuat melakukan kebajikan, meski ia tidak akan mendapatkan apa-apa sebagai imbalan. (3) Kuat menyelesaikan persengketaan yang terjadi sampai tuntas meski ia akan menghadang bahaya. (4) Kuat memberi maaf kepada orang meski orang itu telah mencelakakan kehidupannya.

3. Orang tahu ada empat penilaian tentang yang dikatakan sebagai orang yang mengetahui itu, yakni: (1) Orang yang tahu memimpin orang lain dan tahu memimpin dirinya sendiri, itulah orang yang terpuji; (2) Orang yang tahu memimpin dirinya tetapi tidak tahu memimpin orang lain itulah orang yang tidak mencari pujian; (3) Orang yang tahu memimpin orang lain tetapi tidak tahu memimpin dirinya sendiri itulah orang yang haus akan pujian; (4) Orang yang tidak tahu memimpin dirinya juga tidak tahu memimpin orang lain itulah orang yang tidak terpuji (Navis, 1984 : 96-97)”.

Representasi manusia ideal yang dikemukakan oleh Navis mendekati kriteria urang

yang dikemukakan di dalam falsafah Minangkabau yang tertuang dalam konsep

baringin di tangah padang. Kriteria ini hanya dapat terbentuk jika telah melewati proses (manjadi urang).

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hajizar (Budayawan Minangkabau) pada tanggal 1 Juli 2012, mengemukakan bahwa, manjadi urang merupakan suatu penemuan jati diri yang harus dilewati melalui fase merantau, jika belum merantau berarti belum manjadi urang. Merantau berarti mengumpulkan pengalaman yang


(34)

7

diperoleh individu dari lingkungannya (rantau), yang nantinya menjadi acuan individu dalam menentukan minat dan potensi masing-masing. Seperti ada yang hobi berdagang, bertani, mendalami ilmu agama, pengetahuan, dan sebagainya. Semuanya didapat dari proses manjadi urang yang dilalui oleh individu.

Manjadi urang berarti mampu menetapkan apa yang menjadi minat (potensi) di dalam dirinya sendiri. Kemampuan pengalaman serta pengetahuan yang dia peroleh tersebut nantinya dapat digunakan dan dipakai untuk mengajarkan kemenakan, anak dan saudara-saudaranya. Secara prinsip pergi merantau bukan saja sebuah medan atau tempat yang “diwajibkan” oleh masyarakat Minangkabau, tetapi lebih daripada itu marantau juga memiliki tujuan untuk mengembangkan, menemukan dan mencari pemahaman soal “diri” atau kemungkinan-kemungkinan potensi yang dimiliki oleh seseorang di dalam dirinya yang nantinya dapat dikontribusikan dan diproyeksikan. Marantau adalah sebuah perjalanan kehidupan, pencarian jati diri dan belajar hidup. Oleh karena itu, daerah rantaudalam paradigma masyarakat Minangkabau diistilahkan sebagai “galanggang gadang” yaitu tempat

pertaruhan hidup dengan realitas yang sama sekali berbeda dari pada di kampung. Kata “galanggang” berarti tempat atau ruang yang biasa digunakan untuk menyebutkan lokasi pertarungan silat, sementara gadang adalah ruang lingkup atau wilayah yang berbeda dari kampung sendiri.

Merantau tidak hanya sebuah kebiasaan yang dilakukan oleh orang Minangkabau, namun merupakan ranah tempat pergulatan pemikiran dan pembelajaran untuk mengenali diri dan lingkungan serta memahami makna


(35)

8

kehidupan itu sendiri. Pergulatan dan kegigihan masyarakat Minangkabau dalam beradaptasi dengan daerah rantau menjadi point interest peneliti dalam mengerjakan studi ini. Penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Usman Pelly, di mana Orang Minangkabau memiliki misi budaya, yang didasarkan kepada nilai dominan dari pandangan dunia masyarakatnya. Dalam studinya, Pelly menemukan pentingnya tradisi merantau dalam kosmologi Minangkabau. Dunia dalam kosmologi Minangkabau (alam Minangkabau dan rantau) dihubungkan oleh kesadaran adanya suatu misi budaya yang memunculkan tradisi migrasi sirkular. Seperti yang ingin dia perlihatkan, tujuan dasar dari misi budaya adalah memperkaya dan memperkuat kampung halaman (Pelly,1988: 277). Namun, dalam menjalankan misi budaya tersebut, banyak dari mereka terjebak dalam dunia citra, di mana ukuran dari kesuksesan mereka adalah seberapa banyak material seperti rumah, mobil, dan barang-barang mewah yang mereka kumpulkan dan mereka kirim ke kampung halaman. Ironisnya hal itu malah menyeret mereka jauh dari nilai manusia yang ideal yang ditekankan oleh paradigma masyarakat Minangkabau itu sendiri.

Manusia ideal yang direpresentasi dengan manjadi urang bagi masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta, dewasa ini hanya dipahami sebagai urang yang mampu menonjolkan citra sukses yang diwakili lewat seberapa bagus mobil yang mereka bawa pulang, serta seberapa banyak uang yang dapat mereka hamburkan ketika berada di kampung halaman pasca pulang dari perantauan. Persoalan ini sebenarnya sangat terasa di dalam pengalaman pulang bersama (pulang basamo)


(36)

9

mengusahakan untuk merental mobil hanya untuk dipandang sukses di wilayah perantauan. Aktivitas pulang bersama (pulang basam) bukan hanya persoalan silaturahmi saat pulang dari rantau, tetapi sekaligus sebagai ajang pertaruhan harga diri dan wahana untuk mempertontonkan identitas baru. Kondisi seperti ini, menjadikan mereka terjebak dalam pemahaman yang dangkal, urang hanya dimaknai sebagai urang yang hedonis.

Perilaku hedonisme sudah sangat melekat pada sebagian masyarakat Indonesia saat ini, terutama masyarakat yang tinggal di kota-kota besar, termasuk masyarakat Minangkabau yang ada di daerah perantauan. Budaya hedonisme telah mendorong orang mengkonsumsi suatu barang atau mencari kepuasaan di mana suatu barang tersebut bukanlah keperluan utama dalam kehidupan. Dalam perkembangannya, masyarakat mengkonsumsi suatu barang tidak lagi karena butuh atau sekedar memenuhi nilai guna untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia tetapi berkaitan dengan unsur-unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu, untuk menyatakan diferensiasi sosial. Hal ini sejalan dengan pandangan Daniel Miller yang menyatakan bahwa subjek (manusia) mengeksternalisasi dirinya melalui penciptaan objek-objek yang dimaksudkan untuk menciptakan diferensiasi. Kemudian menginternalisasikan nilai-nilai ciptaan tersebut melalui proses sublimasi atau pemberian pengakuan. Kondisi ini melanda sebagian besar masyarakat Minangkabau yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta maupun kota besar lainnya di Indonesia. Seperti yang ditulis oleh Pelly yang menyatakan bahwa:


(37)

10

“masyarakat Minangkabau mendorong kaum muda mereka untuk merantau, mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan, sebagai simbol berhasilnya misi mereka. Kalau tidak, maka mereka tidak akan diterima oleh sesama orang kampung; mereka dianggap telah gagal menjalankan misi mereka. Penduduk kampung akan menyebut mereka bagaikan” seekor siput pulang kerumah” (pulang langkitang) atau menyebut mereka “begitu

perginya, begitu pulangnya (baitu pai, baitu pulang). Tidak ada muka manis bagi para perantau yang gagal. Mereka harus kembali ke kota rantau atau “larut dirantau dan tidak usah pulang” (laruit di rantau urang). Inilah salah satu penyebab dari rantau Cino (migrasi permanen) oleh sebagian suku Minangkabau. Mereka malu kembali ke kampung karena akan dikucilkan oleh orang kampung (Pelly, 1994: 10)”.

Rasa malu yang timbul atas prilaku orang kampung membuat perantau Minangkabau “yang dianggap gagal” berusaha mempertahankan harga diri mereka dengan tidak pulang kampung, atau terpaksa pulang, namun dengan membawa simbol-simbol keberhasilan dalam bentuk material yang menawan. Sebagian dari mereka terpaksa berhutang di daerah perantaun untuk membeli atau merental mobil yang dapat dipertontonkan kepada orang kampung. Prilaku ini yang menjadikan katalisator terbaik dalam proses pengeroposan nilai-nilai “ideal” yang tertanam di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang. Praktek-praktek budaya yang dilakukan oleh orang Minangkabau misalnya merantau hanya sebatas seremonial ketimbang melaksanakan inti hakikat dari ajaran adat dan kebudayaan itu. Kecendrungan ini juga dibahas oleh Ma‟arif yang mengatakan bahwa “kehidupan masyarakat Minangkabau dewasa ini menjadi gersang dari nilai-nilai budaya. Akibatnya nilai-nilai budaya berupa keramahan dan sikap suka menolong sudah punah dan jauh pada sikap masyarakat Minangkabau pada umumnya (Ma‟arif,


(38)

11

2005:4)”. Orang Minangkabau dewasa ini, terutama generasi muda telah mulai asing dengan budayanya sendiri. Budaya luar lebih mendominasi dalam proses pembentukan manjadi urang itu sendiri. Orang Minangkabau berubah menjadi manusia modern yang juga ikut andil dalam melestarikan budaya kapitalisme. Banyaknya nilai-nilai luar yang mendominasi seperti modernitas dengan kecendrungan individualime, hedonisme dan materialisme yang berbenturan dengan budaya lokal (Minangkabau) menyebabkan semakin buruknya pemahaman mengenai

manjadiurang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau.

Situasi ini mengakibatkan perbedaan pandangan antarsesama masyarakat Minangkabau dalam memahami manjadi urang sebagai karakter manusia ideal, di mana manjadi urang yang dikonstruksi di dalam paradigma masyarakat Minangkabau berbeda dengan realitas sosial masyarakat Minangkabau. Manjadi urang yang seharusnya ditekankan kepada proses (to be) merujuk kepada konsepnya Fromm, direpresentasikan dengan urang yang lebih menekankan kepada nilai kebendaan atau konsep kepemilikan (to have). Masyarakat Minangkabau tidak lagi eksis sebagai urang yang mengada (manjadi), melainkan sebagai urang yang memiliki, yaitu memiliki kekayaan (harta benda), pekerjaan ideal (dokter dan pegawai negeri sipil (PNS)), kekuasaan yang dilandasi dengan keserakahan, kedengkian, dan agresivitas (Fromm, 1987). Pada akhirnya, permasalahan ini memicu pergulatan representasi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau dewasa ini, baik di kampung halaman maupun di daerah rantau. Di kampung halaman misalnya, antarsesama elit Minangkabau (penghulu, cadiak pandai, alim ulama). Juga


(39)

12

di daerah rantau yaitu antara kalangan civitas akademik, budayawan serta agen-agen yang terlibat dalam pembentukan identitas manusia ideal dalam paradigma masyarakat Minangkabau.

Penelitian ini penulis batasi hanya dalam lingkup perantau Minangkabau yang ada di kota Yogyakarta. Bagaimana mereka bergulat menentukan posisi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang, bertahan hidup demi menjalankan misi budaya serta cara mereka dalam mempertahankan eksistensi mereka di kampung halaman. Yogyakarta merupakan salah satu kota tujuan masyarakat Minangkabau, karena tidak hanya kebudayaan yang sangat bertolak belakang, juga atmosfer yang membangun kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan. Selain itu, di kota Yogyakarta sendiri, kepentingan masyarakat Minangkabau ke sana juga sangat bervariasi, seperti ada para perantau yang bergerak di bidang ekonomi: rumah makan, berjualan di kaki lima Malioboro, dan tentunya pendidikan. Hal yang menarik untuk melihat polemik orang Minang di kota Yogyakarta adalah, karena sebagian besar tujuan masyarakat Minangkabau ke kota Yogyakarta untuk pergi kuliah atau belajar sangat terasa bagaimana orang dipersepsikan di kota ini. Hal ini menarik untuk melihat secara lebih jauh, karena pendidikan salah satu aspek sentral di dalam tujuan manjadi urang yaitu melalui belajar menemukan jati diri. Bahkan persoalan ini telah dipupuk sudah sejak dini atau pada tingkat sekolah dasar (SD). Namun yang dipersoalkan di sini adalah pendidikan tidak hanya untuk memperoleh ijazah semata guna memperoleh gelar dan pekerjaan tertentu, tetapi seharusnya pendidikan juga dapat menjadi tempat penemuan jati diri, hasrat pengetahuan,


(40)

13

pemahaman dan untuk mencari kebenaran, tidak hanya berkaitan dengan pekerjaan tertentu.

Bagi perantau Minangkabau, pendidikan adalah hal yang utama dalam proses

manjadi urang, sesuai dengan syariat yang diajarkan oleh agama mereka yaitu: Pertama, tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang lahat. Kedua, tuntutlah ilmu sampai ke negara China, mereka diharuskan untuk belajar sampai ke negara China. Baik itu, belajar cara berusaha, bekerja atau berdagang. Baik China maupun kota perantauan lainnya dijadikan guru untuk memetik pengalaman dan pembelajaran. Seperti yang tertuang dalam falsafah hidup mereka yaitu “alam takambang jadi guru”, yang artinya alam semesta adalah guru yang mampu mendidik mereka di manapun mereka berada.

Pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh dari rantau itu nantinya dapat diberikan kepada masyarakat di kampung halaman. Masyarakat Minangkabau dengan tegas melihat persoalan merantau ini dengan fungsi sebagai sebuah pencarian, pengembangan dan potensi diri. Dalam falsafah: “karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah peguno balun” (pohon keratau di

hulu, berbuah berbunga belum, kerantau bujang dahulu di rumah belum berguna). Artinya sebelum seseorang tersebut merantau, maka keberadaannya belum diakui di dalam kehidupan sosial, karena dianggap belum memiliki kemampuan, belum mengetahui diri dan belum mampu untuk menjadi orang (manjadi urang). Namun melalui merantau tersebut dianggap telah memiliki kemampuan, pengetahuan,


(41)

14

pengalaman, dan nantinya dapat dikontribusikan ke kelompok (suku) maupun keluarganya.

1. 2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana urang direpresentasikan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta .

2. Apa yang menyebabkan pergulatan representasi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta.

3. Bagaimana implikasi pergulatan representasi urang di dalam membangun kebudayaan Minangkabau sekarang.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu, tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan mengkaji, memahami dan mendeskripsikan posisi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta. Menafsir realitas objek yang memiliki keteraturan juga memiliki subjektivitas sendiri terhadap dinamika dan perubahan sosial-budaya.


(42)

15

1.3.2 Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk: pertama, ingin mengetahui bagaimana urang

direpresentasikan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau. Kedua, ingin mengetahui penyebab pergulatan representasi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota Yogyakarta. Ketiga, ingin mengetahui implikasi pergulatan representasi urang di dalam membangun kebudayaan Minangkabau sekarang.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis

Beberapa manfaat teoretis dari penelitian ini diharapkan dapat:

1) Memberikan sumbangsih untuk kajian budaya dalam memahami falsafah manjadi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau;

2) Memberikan kontribusi terhadap pengembangan keilmuan, khususnya dalam mengakaji paradigma baru masyarakat Minangkabau;

3) Untuk memperkuat kajian representasi “manusia ideal” dalam prespektif kajian budaya.

1.4.2 Manfaat Praktis

1) Bagi masyarakat, agar bisa mendapatkan sumbangsih dan informasi, bagaimana nilai urang dipahami dan direalisasikan untuk membangun identitas manusia ideal di dalam kebudayaan Minangkabau.


(43)

16

2) Bagi pengamat budaya, memberikan inspirasi kepada pengamat budaya maupun peminat kajian budaya terutama yang menekuni fenomena realitas budaya dalam dinamika kebudayaan Minangkabau.

3) Bagi peneliti lain terutama dapat dijadikan acuan, gagasan dan informasi peneliti yang memiliki perhatian dan ketertarikan terhadap representasi “manusia ideal” dalam kacamata kajian budaya di Indonesia.


(44)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Berdasarkan studi kepustakaan yang dilakukan, banyak buku yang membicarakan persoalan Minangkabau, baik itu dalam perspektif budaya, maupun falsafahnya, namun penelitian maupun pengkajian tentang urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau, belumlah menjadi sorotan yang popular di tengah ilmuan, baik itu peneliti yang berasal dari Minangkabau maupun kota lainnya. Dalam hal ini terdapat beberapa buku penting, yang secara langsung bersinggungan dengan topik ini.

Pertama, “Alam Takambang Jadi Guru” yang ditulis oleh A. A. Navis (1984), di dalam buku ini, Navis menggunakan pendekatan falsafah Minangkabau yang berpangkal pada alam takambang jadi guru dan menggunakan pepatah serta petitih yang merupakan produk asli kebudayaan Minangkabau. Di dalam buku ini Navis membahas tentang falsafah alam, di mana alam merupakan hal yang sangat berarti bagi masyarakat Minangkabau, tidak hanya sebagai tempat lahir, hidup, berkembang biak dan mati, namun juga mempunyai makna filosofis, seperti yang diungkap dalam falsafah alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Di mana alam diumpamakan menjadi seorang guru yang selalu mengajari dan mendidik masyarakat Minangkabau dalam proses kehidupannya. Oleh karena itu, ajaran dan


(45)

18

pandangan hidup Minangkabau yang dinukilkan dalam pepatah, petitih, pituah, mamangan, serta lainnya mengambil bentuk, sifat dan kehidupan alam.

Navis juga menyinggung perihal status dan peran manusia yang berbeda-beda menurut kodrat dan harkat yang diberikan alam kepadanya, tetapi nilainya tetap sama. Di sini menjadi titik pertemuan Navis dengan penulis, namun Navis tidak menjelaskan bagaimana proses pembelajaran atau pembentukan urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau melalui fase merantau, dan bagaimana pergulatan yang dilalui oleh masyarakat Minangkabau selama berada di perantauan. Di sini penulis mencoba untuk menjelaskan secara rinci bagian-bagian yang belum dijelaskan oleh Navis tersebut, baik itu lewat pergulatannya dengan alam, maupun dengan dirinya sendiri, Penulis juga menggunakan falsafah Minang menjadi orang (manjadi urang) sebagai tolak ukur dalam memahami proses pergulatan dalam pencarian jatidiri atau identitas masyarakat Minangkabau. Pergulatan ini terjadi dalam proses merantau yaitu meninggalkan alam Minangkabau atau kampung halaman untuk belajar dengan alam-alam lainnya di luar Minangkabau, seperti Yogyakarta.

Kedua, Usman Pelly (1988)”Urbanisasi dan Adaptasi-Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing”. Studi bergaya anthropology ini, membahas bagaimana dua kelompok etnis, Minangkabau dari Sumatra Barat dan Mandailing/Sipirok-Angkola dari Tapanuli Selatan, beradaptasi di kota Medan. Studi ini, meneliti perubahan dan kegigihan beradaptasi kedua kelompok tersebut dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi rantau mereka dan perubahan-perubahan dalam


(46)

19

kebudayaan penduduk asli kota perantauan. Dalam penelitian ini, dia menemukan adanya misi budaya yang dibebani bagi perantau serta pengaruh-pengaruhnya pada praktik-praktik rantau, adaptasi dan hubungan- hubungan mereka dengan kota asal.

Sejalan dengan Pelly, penulis memaknai merantau sebagai point utama dalam proses pergulatan representasi urang dalam paradigma masyarakat Minangkabau, namun misi budaya yang ditekankan oleh Pelly, menjadi beban serta masalah yang krusial, yang harus dihadapi oleh perantau Minang. Dalam hal ini, penulis melihat adanya beban berat yang harus dipikul perantau Minangkabau dalam menjalankan misi budaya ini, mereka berusaha membangun citra “sukses di perantauan” dengan mempertontonkan simbol-simbol yang mampu mewakili citra sukses tersebut guna mempertahankan harga dirinya ketika pulang kampung. Yang pada akhirnya, masalah ini menjadi penyakit masyarakat yang menjangkiti para generasi muda Minangkabau sekarang. Mereka gagal dalam menjalankan proses menjadi urang, hingga tradisi merantau yang semestinya menjadikan mereka sebagai manusia yang “ideal”, mampu berkontribusi di masyarakat dalam membangun kampung halaman, hanya menjadi sebatas seremonial budaya yang jauh dari nilai-nilai yang ditanamankan oleh leluhur mereka dalam melakukan praktik-praktik budaya seperti merantau.

Ketiga, Nusyirwan (2010) “Manusia Minangkabau Iduik Bajaso Mati Bapusako”. Buku ini merupakan metamorfosis dari penelitian disertasi Nusyirwan di program doctoral filsafat Universitas Gadjah Mada dengan judul “Makna Manjadi Urang dalam Filsafat Minangkabau Alam Takambang Jadi Guru”. Dalam bukunya


(47)

20

Nusyirwan meneliti manusia Minangkabau dari perspektif pandangan hidup tradisional Minangkabau. Ada temuan yang sangat menarik diungkap oleh Nusyirwan yaitu konsep urang sabana urang, di mana konsep ini ditafsir sebagai core value dari filsafat Minangkabau tentang manusia. Seperti yang ditulis oleh Nusyirwan” manjadi urang” merupakan suatu proses pengalaman hidup dan setiap orang memiliki

pengalaman yang berbeda-beda sejak lahir. Orang yang sebenarnya orang Minangkabau adalah „orang yang baik‟, „orang yang tahu‟, dan memiliki „kearifan akal budi‟ sesuai dengan alur dan patut, tidak meninggalkan adat dan melupakan agama (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah-alam takambang jadi guru). Walaupun Nusyirwan mengurai tematik menjadi urang dalam tatanan filosofi Minangkabau, namun Nusyirwan tidak menyentuh masalah-masalah empiris yang dihadapi oleh masyarakat Minangkabau. Menurut penulis hal yang menjadi masalah bagi masyarakat Minangkabau di ranah maupun di rantau dikarenakan pemahaman masyarakat Minangkabau yang ada di ranah maupun di rantau memiliki persepsi atau makna yang berbeda dalam memahami manjadi urang dan mereka kurang memahami proses manjadi urang yang harus dilalui oleh masyarakat Minangkabau yang ada di ranah maupun di rantau.

2.2 Konsep

Untuk memudahkan diskusi dan menyamakan persepsi maka pada bagian ini dijelaskan lebih dulu terminologi dari pergulatan representasi urang dan paradigma masyarakat Minangkabau.


(48)

21

2.2.1 Pergulatan Representasi Urang

Makna pergulatan yang dimaksud dalam tesis ini yaitu perjuangan masyarakat Minangkabau dalam mempertahankan representasi 2 urang seperti yang telah digambarkan di dalam falsafah-falsafah, pantun, norma, dan nilai di dalam kebudayaan Minangkabau. Juga kebutuhan dan tuntutan untuk menerima maupun merubah paradigma urang sebagaimana yang digambarkan oleh kebudayaan modern mengenai kriteria urang. Keadaan seperti ini setidaknya memang terasa di dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, seperti kegelisahan mengenai kepemimpinan, penghulu, cadiak pandai dan alim-ulama, tetapi di lain sisi, ada kebutuhan yang mengarahkan masyarakat, bahwa representasi urang yang ideal itu adalah yang PNS, bisnismen, dokter, dan polisi. Namun, hal yang paling kelihatan di dalam paradigma masyarakat Minangkabau akhir-akhir ini mengenai representasi

urang yang dimaknai oleh masyarakat Minangkabau merupakan peralihan dari kriteria manjadi (proses) ke produk. Munculnya pergulatan ini dimulai dari kompleksitas pengalaman yang dialami oleh masyarakat Minangkabau di kota perantauan yaitu kota Yogyakarta. Akhirnya berwujud kepada perilaku aktual atau ________________

2

Menurut Stuart Hall (1997), representasi adalah salah satu praktik penting yang memproduksi kebudayaan. Representasi merupakan proses dari „representing‟. Representasi juga bisa diartikan sebagai proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk kongkrit. Disni bahasa memegang peran penting, di mana Bahasa juga merupakan system representasi, bahasa (symbol, tanda, lisan maupun gambar) dapat mengungkapkan pikiran, konsep dan ide-ide tentang realitas. Dengan mengamati kata, simbol maupun gambar yang merepresentasikan suatu realitas, maka akan terlihat jelas nilai-nilai yang diberikan kepada realitas tersebut. Jadi dapat di simpulkan bahwa representasi urang di dalam tesis ini adalah suatu konsep yang digunakan untuk mewakili kriteria manusia “ideal” dalam paradigma masyarakat Minangkabau yang diwakili dengan sistem penandaan berupa bahasa (lisan) urang.


(49)

22

konkret seperti, perubahan, persaingan, dan konflik di dalam masyarakat Minangkabau. Singkatnya pergulatan merupakan fenomena psikis yang berada di dalam diri seseorang sebelum diaktualisasikan ke dalam prilaku.

2.2.2 Paradigma Masyarakat Minangkabau

Paradigma merupakan kumpulan dari nilai-nilai yang membentuk pola pikir seseorang, biasanya nilai-nilai tersebut menjadi titik tolak dalam menganalisa realitas secara subyektif yang pada akhirnya menentukan respon seseorang dalam menanggapi realitas tersebut. Paradigma dalam disiplin intelektual dapat dipahami sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang mempengaruhi pola pikir (kognitif), sikap (afektif), dan tingkah laku (konatif). Seperti yang ditekankan Capra: paradigma didefinisikan sebagai “suatu konstelasi konsep-konsep, nilai-nilai, persepsi-persepsi, dan praktik-praktik yang digunakan bersama oleh suatu komunitas, yang membentuk suatu visi tertentu atas suatu realitas yang merupakan basis bagi cara komunitas tersebut mengatur dirinya (Capra, 2002:15). Jadi paradigma di sini, juga dipahami sebagai seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktik yang digunakan dalam menganalisa realitas.

Paradigma (paradigm) diperkenalkan sebagai konsep untuk pertama kalinya oleh Thomas Khun dalam “The Structure of Scientific Revolution”. Dalam buku ini paradigma dilihat sebagai terminology kunci dalam model perkembangan ilmu pengetahuan. Menurut Khun, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought (gagasan) atau mode of inquiry (penyelidikan)


(50)

23

tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing (pengetahuan) yang spesifik. Akan tetapi, dalam penerapan teori Kuhn ke bidang-bidang di luar sains, istilah “model”, “pola” dan “tipe” kerap dicampurkan saja dengan “paradigma”. (Khun, 1996:50-51). Dewasa ini, dua puluh lima tahun setelah analisis Kuhn, perubahan paradigma pada kalangan saintis merupakan bagian integral dari transformasi kultural yang lebih besar, krisis intelektual yang terjadi di kalangan saitifik dari awal abad ke-20 sampai sekarang ini dipantulkan oleh suatu krisis kultural serupa namun lebih besar. Oleh karena itu perubahan-perubahan paradigma yang terjadi tidak hanya dalam ranah ilmu, ternyata juga dalam ranah sosial.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa paradigma merupakan suatu kerangka konseptual, yang terdiri dari nilai, teknik dan metode yang disepakati dan digunakan oleh komunitas maupun masyarakat sebagai pedoman dalam berprilaku, baik itu dalam tindakan sehari-hari maupun tindakan ilmiah. Dengan kata lain, paradigma dapat diartikan sebagai cara berpikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat

(world view). Begitu juga dengan masyarakat Minangkabau, paradigma dan konsepsi masyarakat Minangkabau mengenai manusia adalah suatu kosmologi yang dikembangkan dan hidup di tengah masyarakat Minangkabau. Di mana kosmologi masyarakat Minangkabau merupakan hasil dari penafsiran dari realitas hidup dan lingkungannya. Sistem kosmologi ini merupakan prinsip-prinsip keseimbangan dan keteraturan yang membingkai kehidupan masyarakat Minangkabau. Pemahaman utama kosmologi masyarakat Minangkabau mengenai manusia dimulai dari premis,


(51)

24

bahwa: setiap manusia memiliki kemampuan dan potensi-potensi yang unik dan khas yang berada di dalam dirinya, hal ini tertuang dalam ungkapan “walau sagadang bijo bayam, langik jo bumi ado di dalamnya” (walau sebesar biji sayur bayam, langit dan bumi ada di dalamnya)

2.3 Landasan Teori

2.3.1 Psikoanalisis Erich Fromm

Erich Fromm (1900-1980) merupakan salah satu dari pemikir mahzab Frankfrut, dilahirkan di Frankfurt, German pada tanggal 23 Maret 1900. Ia belajar psikologi dan sosiologi di Universitas Heidelberg, Frankfurt dan Munich. Setelah mendapatkan gelar Ph.D dari Universitas tersebut pada tahun1922, Fromm lalu belajar psikoanalisis di Munich dan pada Institut Psikoanalisis Berlin. Tahun 1933, ia pindah ke Amerika Serikat dan mengajar di Institut Psikoanalisis Chicago serta melakukan praktik sendiri di kota New York. Fromm pernah mengajar pada sejumlah universitas dan institut di Amerika Serikat hingga Meksiko. Terakhir, Fromm menetap dan meninggal di Swiss, tepatnya di Muralto, pada tanggal 18 Maret 1980. Fromm sangat terpengaruh oleh karya Karl Marx, terutama oleh tulisan Marx yang pertama, The Economic Philosophical Manuscripts. Psikoanalisis yang dijelaskan oleh Fromm ialah usaha dari Fromm sendiri dalam mengintegrasikan gagasan Karl Marx dengan psikoanalisisnya Sigmund Freud. Walaupun harus disadari bahwa Fromm sendiri sebenarnya bukan seorang freudian namun orang banyak menyebut seorang neo-freudian. Analisis yang dikembangkan oleh Fromm banyak mengupas


(52)

25

situasi masyarakat kapitalisme yang menekankan kepada hubungan perilaku masyarakat dengan keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Penerapan psikoanalisis pemikiran Fromm untuk kebutuhan ini lebih menekankan kepada gagasannya di dalam buku to have or to be.

Tema dasar ulasan Fromm adalah orang yang merasa kesepian dan terisolasi karena dirinya dipisahkan dari alam dan orang-orang lain. Keadaan isolasi ini tidak ditemukan dalam semua spesies binatang, itu adalah situasi khas manusia. Sebagai seorang psikoanalisis, From dikenal sebagai seorang revisionis pemikiran-pemikiran Freud. Melalui karya-karyanya Fromm meninggalkan teori libido dan oedipus complex Freud. Tipologi libidal Freud antara lain: tipe oral, tipe anal dan genital diganti oleh Fromm dengan tipologi yang didasari oleh dasar relasi interpersonal, relasi yang spesifik antara manusia dengan dunia (tipe karakter non produktif, tipe karakter produktif. Oedipus complex ditinggalkan oleh Fromm karena bentuk tipologi yang dibangun di atas kebudayaan partiarkal yang akhirnya melahirkan kompleks oedipus, mengakibatkan manusia merasa tertekan dan tidak aman oleh kewajiban secara otoriter oleh ayah maupun suara hati. Berangkat dari premis yang demikian akhirnya Fromm sendiri mengusulkan sebagai kebudayaan yang berangkat dari kebudayaan matriarkal sebagai alternatif, karena yang lebih dominan disini adalah cinta kasih. Di lain sisi Fromm juga mengkritik gagasan Freud dikarenakan terlalu mereduksi relasi antar manusia menjadi sarana untuk memperoleh gravitasi individual.


(53)

26

Sekitar tahun 1940an sejalan dengan kritiknya atas Freud, hubungan Fromm sendiri dengan teman-teman dari mahzab Frankfrut merenggang yang akhirnya semakin retak. Maka sejak saat itu minat Fromm berkembang ke hal-hal yang lebih luas yaitu analisis atas kondisi eksistensi manusia. Pada fase inilah karya-karya Fromm sangat dipengaruhi oleh konsep alinansi Karl Marx muda. Pemikiran Fromm diwarnai dengan topik-topik disekitar keterasingan, neurotic, sadisme, masokhisme dan sebagainya yang tidak lagi merumuskan kerangka seksualitas seperti apa yang dilakukan oleh kaum Freudian ortodoks, melainkan analisis yang dilakukan Fromm lebih menekankan kepada kerangka hubungan antar pribadi. Akhirnya, minat Fromm yang lebih kepada aspek eksistensial manusia mendorongnya untuk mengembangkan pemikirannya tentang transformasi kemasyarakatan dan bahkan di bidang moral, yang diwarnai oleh pernyataan-pernyataan yang optimis, bahkan cenderung utopis.

Pokok pemikiran Fromm sendiri dalam konteks penelitian ini berdekatan dengan gagasan utamanya di dalam buku “to have or to be”, di dalam bukunya ini Fromm mencoba membandingkan kebudayaan modern yang lebih memiliki kecenderungan untuk memiliki dari pada menjadi atau keberadaanya. Fromm menjelaskan bahwa ada dua cara eksistensi yang sedang bertarung dalam periode krisis dewasa ini : 1. Cara “memiliki” (to have), yang sangat dominan berada di dalam masyarakat industry modern dan industry dewasa ini, baik itu kapitalisme maupun komunisme. Cara yang pertama ini lebih mengutamakan kepemilikan harta benda, citra diri, narsistik, kompetisi, ego dan kekuasaan yang akhirnya berimplikasi kepada keserakahan, kedengkian, dan agresivitas. 2. Cara “mengada” (to be), cara


(54)

27

yang kedua ini tampak nyata di dalam kebahagian, oleh karena pengalaman bersama dan aktivitas yang benar-benar produktif dan tidak sia-sia. Dasar dari cara berada adalah cinta dan penghargaan atas nilai-nilai manusiawi di atas nilai-nilai kebendaan. Menurut Fromm cara hidup dengan “cara memiliki” akan membawa manusia kepada bencana ekologis dan psikologis. Bencana atas kemanusiaan itu hanya dapat dihindari kalau manusia dapat mengubah cara hidupnya kepada “cara berada”, di dalam bukunya ini (to have or to be) Fromm juga mengusulkan suatu program untuk perubahan sosial dan perubahan psikologis secara sekaligus guna menuju cara berada atau menjadi (Widodo, 2005: 32).

Bahkan, secara lebih mendalam lagi Fromm akhirnya sampai pada penelusuran terhadap penyakit-penyakit psikis di dalam masyarakat industri dan modern akhir-akhir ini. Penelusuran Fromm menggunakan pendekatan psikoanalisis maka banyak menyoroti persoalan diri dan bawah sadar individu di dalam hubungannya dengan sosial dan lingkungan yang mempengaruhi motif-motif prilaku masyarakat modern. Oleh karenanya Fromm memperoleh kesimpulan seperti yang dijelaskan juga di bukunya yang lain “the art of loving” mengingatkan

relasi dan hubugan antar manusia yang berbasis cinta dan hubungan tanpa tuntutan serta maju bersama dalam melakukan kegiatan-kegiatan produktif.

Analisis Fromm ini sangat berkaitan dengan analisis yang diketengahkan di dalam penelitian ini, guna melihat bagaimana posisi urang di dalam paradigma masyarakat Minangkabau sekarang. Penelusuran Fromm digunakan untuk melihat bentukan dan bangunan bawah sadar masyarakat Minangkabau. Selaras dengan apa yang dijelaskan oleh Fromm sendiri, bahwa di Minangkabau juga dipengaruhi oleh kebudayaan modern yang lebih menitik beratkan kepada pencapaian material atau yang dalam kata-kata Fromm sebagai cara memiliki. Konsekuensinya


(1)

Opini Giddens sesuai dengan pandangan sebagian masyarakat Minangkabau dalam menafsir, memahami konsep manjadi urang, di mana urang atau identitas manusia di dalam masyarakat Minangkabau merupakan sesuatu yang terus berproses (manjadi). Identitas ini bukanlah kumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh subyek; identitas bukanlah sesuatu yang dimiliki, ataupun entitas atau benda yang bisa ditunjuk. identitas adalah cara berfikir tentang diri. Namun pemikiran atau tindakan refleksi tentang diri selalu berubah dari situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya, itulah sebabnya Giddens menyebut identitas sebagai proyek. Yang dia maksud adalah bahwa identitas merupakan sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses, suatu gerak berangkat ketimbang kedatangan. Proyek identitas membentuk apa yang dipikirkan tentang diri saat ini dari refleksi tindakan masa lalu dan masa kini, bersama dengan apa yang diinginkan, lintasan harapan ke depan.

Meski identitas-diri bisa dipahami sebagai proyek, diri telah menjadi altruisme sosiologis bahwa I (aku) lahir di dunia yang mendahului I (aku), belajar menggunakan bahasa yang telah digunakan sebelum I (aku) datang dan menjalani hidup dalam konteks hubungan sosial dengan orang lain. Tanpa bahasa, konsep kedirian dan identitas tidak akan dapat dimengerti. Singkatnya, subyektivitas tidak bisa dilepaskan dari peranan sosial yang memiliki keteraturan berupa nilai-nilai ideal di mana nilai-nilai ini dibentuk bersama secara sosial, Nilai-nilai ideal ini biasanya tertuang ditiap-tiap unsur kebudayaan yang mempengaruhi individu dalam membangun identitas diri.


(2)

Tidak ada elemen transedental atau historis terkait dengan bagaimana seharusnya menjadi seseorang. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena alasan-alasan berikut:

1. Pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural. Sebagai contoh, individualisme adalah ciri khas masyarakat modern.

2. Sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Semuanya itu dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda pula.


(3)

2.4 Model Penelitian

Keterangan :

: Memengaruhi

: Realitas pergulatan paradigma manjadi urang Modernisasi/

eksternal

Budaya lokal/internal

Perubahan representasi urang

dalam paradigma masyarakat Minangkabau

 Misi budaya

 proses manjadi urang: galanggang

ketek,galanggang gadang

 Tradisi merantau  Pendidikan

 Ekonomi  Urbanisme

Bagaimana urang direpresentasikan di

dalam paradigma masyarakat Minangkabau di kota

Yogyakarta?

Bagaimana implikasi pergulatan representasi

urang di dalam membangun kebudayaan Minangkabau

sekarang? Pergulatan antara nilai

lama (manjadi (to be))dan nilai baru (memiliki (to have))

Apa yang menyebabkan pergulatan representasi

urang di dalam paradigma masyarakat

Minangkabau di kota Yogyakarta?


(4)

Bagan di atas ini adalah usaha dalam memetakan persoalan-persoalan yang ingin dijelaskan dalam penelitian ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa suatu pergulatan berhubungan dengan pertemuan dua nilai yang hidup secara bersamaan, artinya pergumulan dan pertemuan antara nilai yang diyakini oleh masyarakat atau internal maupun dengan nilai-nilai baru yang berasal dari pengaruh luar kebudayaan tersebut (eksternal). Di dalam bagan ini dibagi menjadi dua kriteria utama pemahaman soal nilai maupun norma tersebut, yaitu nilai internal yang berakar dari kebudayaan itu sendiri yang disebut dengan budaya lokal, sementara nilai yang kedua adalah pengaruh modernitas yang disebut juga eksternal, pergulatan kedua nilai ini menyebabkan pergolakan di dalam masyarakat Minangkabau. Sebelumnya, sebenarnya juga ada pergolakan nilai ini, seperti antara kaum adat dan kaum agama yang terjadi saat perang padri, yang menyebabkan perubahan pondasi adat Minangkabau dari adat basandi alua jo patuik menjadi adat basandi syara’ -syara’ basandi kitabullah.

Konsekuensi pergulatan ini memicu perubahan-perubahan atas nilai-nilai di dalam kebudayaan Minangkabau seperti yang ingin diketengahkan di dalam penelitian ini, terutama representasi masyarakat Minangkabau atas nilai urang. Sebagaimana yang dipahami bahwa suatu perubahan tidak berhubungan linier atau yang bersifat kausalitas, tetapi suatu perubahan juga membawa di dalamnya kompleksitas yang membangun konsep urang selama ini. Hal ini dapat dilihat bahwa kriteria urang juga berhubungan dengan tujuan-tujuan merantau, Tradisi merantau,


(5)

fase-fase menjadi urang, dan urang itu sendiri. Merantau seperti yang dipahami dulu tempat belajar, berjuang dan mencari jati diri lebih dipahami sekarang sebagai tempat mencari pekerjaan, tujuan ekonomi, mengejar gelar, dan mencari kekayaan. Di dalam hal ini dapat dilihat bahwa adanya nilai-nilai baru yang merubah tujuan dan persepsi masyarakat atas merantau itu sendiri. Artinya ada suatu dialektika antara nilai baru dan nilai lama itu sendiri. Di lain sisi berubah pula paradigma masyarakat atas kriteria urang yang ideal seperti yang digambarkan di dalam falsafah-falsafah terdahulu. Suatu perubahan juga membawa nilai-nilai yang turut mengitarinya, karena tidak dipungkiri munculnya nilai baru juga turut merubah prilaku, persepsi dan paradigma masyarakat yang nantinya mempengaruhi cara hidup dan world view masyarakat.

Sebagai suatu pergerakan, maka perubahan juga mengandung di dalamnya penyebab-penyebab, yang mempengaruhi arus perubahan itu sendiri dan juga akan memperlihatkan implikasinya di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau sekarang. Maka dalam penelitian ini suatu perubahan dapat dilihat dari tujuan-tujuan, orientasi dan world view masyarakat Minangkabau sekarang pada merantau, hal ini bertujuan untuk mengetahui apa makna urang bagi masyarakat Minangkabau sekarang ini. Di sini penyebab-penyebab akan memperlihatkan pengaruh-pengaruh dari nilai baru yang mempengaruhi persepsi masyarakat Minangkabau atas nilai-nilai urang. Penyebab-penyebab ini bertujuan untuk menguraikan nilai-nilai yang mempengaruhi konsep urang di dalam kebudayaan Minangkabau. Maka akan terlihat bagaimana urang sekarang dipahami oleh masyarakat Minangkabau pada umumya,


(6)

oleh karenanya akan terlihat juga bagaimana implikasi-implikasi perubahan tersebut di dalam membangun kebudayaan.