ADVOKASI KEBIJAKAN PENINGKATAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM PERGULATAN POLITIK

ADVOKASI KEBIJAKAN PENINGKATAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM PERGULATAN POLITIK

Dadi Junaedi Iskandar

STIA Bagasasi Bandung e-mail: [email protected]

Abstrak

Pencitraan tentang politik dan pandangan yang keliru bahwa dunia politik diasosiasikan sebagai ‘dunia laki-laki’ berseberangan dengan amanat konstitusi perihal partisipasi, representasi dan ruang publik dengan hak yang sama di antara keduanya. Angin reformasi membawa serta demokratisasi peran politik perempuan. Stigma politik yang merendahkan peran publik perempuan dalam relasi kekuasaan demokrasi, mulai memudar.

Pasca reformasi merupakan tonggak awal momentum politik kaum perempuan berkiprah dalam dunia politik menuju tujuan politik yang lebih besar: tercapainya kesetaraan dan keadilan serta memampukan perempuan dalam dunia pengambilan keputusan dan kebijakan publik yang bermakna bagi kehidupan yang lebih baik. Penguatan pemberdayaan perempuan dilakukan melalui “pengarusutamaan gender” (PUG). Advokasi kebijakan perlu terus disuarakan agar dapat menutupi ‘lubang’ kesenjangan gender sekaligus memberi peluang yang lebih lebar bagi perempuan berkiprah di dunia politik.

Kata Kunci: Politik, Perempuan, Pengarusutamaan Gender, Advokasi Kebijakan

Policy Advocacy for Increased Representation of Women in Political Struggles Abstract

Imaging of politics and the false perception that the political world asocialized as a 'man's world' at odds with the constitutional mandate regarding participation, representation and public spaces with equal rights between them. Wind of the reform bring with democratization of the political role of women. Political stigma that diminish the role of women in the public relations democratic rule, began to pall.

Post-reform an early milestone for women's political momentum to take part in politics towards greater political purpose: the achievement of equality and justice and enabling women in the world of decision making and public policy that meaningful for a better life. Strengthening women's empowerment is done through the “gender mainstreaming” (GM). Policy advocacy need to be voiced continuous to cover the hole of gender gaps while providing wider opportunities for women to take part in politics.

Keywords: Politics, Women, Gender Mainstreaming, Policy Advocacy

Banjar Ade Uu Sukaesih, Bupati Indramayu Dampak adanya reformasi di berbagai

A. PENDAHULUAN

Anna Sophanah, Bupati Bekasi Neneng bidang, termasuk dalam konteks kiprah

Hasanah Yasin, dan Walikota Cimahi Atty ‘perempuan dan politik’, di Indonesia

Suharti. Bahkan untuk pertama kali jabatan menunjukkan perkembangan yang menarik.

Ketua DPRD Provinsi Jawa Barat periode 2014- Sebagai contoh, pada Kabinet Kerja pimpinan

2019 dipimpin oleh seorang perempuan (Ineu Jokowi-JK terdapat delapan orang menteri

Purwadewi Sundari).

dari kalangan kaum perempuan. Ini lebih Sementara itu, Perkumpulan untuk banyak dibandingkan dengan jumlah menteri

Pemilu dan Demokrasi (Perludem), partisipasi perempuan di era pemerintahan SBY, apalagi

perempuan yang mendaftar sebagai calon era Orde Baru dan Orde Lama.

kepala daerah minim. Namun demikian, Sementara itu, di Jawa Barat misalnya,

sebaran perempuan yang mencalonkan diri terdapat fenomena yang menarik, perempuan

dianggap cukup merata di setiap daerah 2 . citranya semakin berkibar pada panggung

Disebutkan, pilkada serentak 2017 akan diikuti politik Jabar 1 . Para perempuan yang memimpin

7,16% perempuan. Ada 48 perempuan dari daerah di daerah Jawa Barat tersebut antara lain:

670 pendaftar bakal calon kepala daerah. Jika Bupati Kuningan Utje Ch. Suganda, Walikota

dibandimgkan dengan pilkada 2015, persentase

2 Harian Pikiran Rakyat, edisi 20 Desember 2014, ”Para Perempuan di Panggung Politik Jabar”. Harian Pikiran Rakyat, edisi 10 Oktober 2016, ”Calon Perempuan di Pilkada Minim”.

perempuan bakal calon menurun 0,31%, dari membahas RUU Politik dan tergabung dalam 7,47% menjadi 7,16%. Di pilkada serentak 2015,

rapat kerja Pansus DPR RI mengusulkan agar ada 123 perempuan dari 1.646 yang memenuhi

rekruitmen politik dalam pengisian jabatan syarat sebagai calon kepala daerah. Angka

politik memperhatikan kesetaraan gender ini melanjutkan tren minimnya perempuan di

minimal 30% bagi perempuan. Namun usulan pilkada. Namun sekalipun demikian, kebijakan

ini ditolak pemerintah. Realitas demikian afirmatif 30% perempuan dalam pencalegan

menunjukkan kerja advokasi kebijakan misalnya, diyakini telah mengakselerasi secara

nasional yang dapat mendorong peningkatan cukup signifikan jumlah perempuan wakil

representasi perempuan di bidang politik masih rakyat di lembaga legislatif.

membutuhkan perjalanan panjang. Harapan kaum perempuan terhadap cita-

Perdebatan tentang disetujui atau tidak- cita terwujudnya persamaan di bidang politik

nya kuota 30% bermuara pada kualifikasi menunjukkan kondisi dan akselerasi yang

dan kuantifikasi apakah kualitas perempuan semakin menemui kenyataan. Akan tetapi bila

sudah “layak” untuk duduk di lembaga- dilihat dari data pemilu ke pemilu (pemilihan

lembaga politik. Atau, jika pun cukup, apakah legislatif), representasi perempuan yang terjun

jumlah perempuan yang berkualitas itu ke dunia politik masih belum menemui kondisi

cukup memenuhi kursi 30%? Perdebatan ini yang diidealkan. Misalnya, ada perbandingan

sebenarnya sangat tidak signifikan karena yang signifikan antara jumlah perempuan yang

persoalannya bukan terletak pada argumentasi terpilih di parlemen dengan jumlah laki-laki,

yang selalu dikedepankan oleh para pejabat setidaknya bahwa hal ini tengah menunjukkan

negara (yang laki-laki) bahwa kuota 30% kondisi yang semakin baik dalam menutupi

perempuan di parlemen dan lembaga-lembaga kesenjangan gender selama ini.

politik lainnya akan mempengaruhi struktur ketatanegaraan Indonesia.

Tabel 1. Peningkatan Keterwakilan

Apakah secara kuantitas, negara masih

Perempuan di DPR

sulit mencari sosok perempuan yang dianggap

Pemilu 1999: 9,0 persen

- tanpa affirmative action

cukup mampu duduk di lembaga-lembaga

Pemilu 2004: 11,8 persen - dengan affirmative action

politik tersebut. Hal ini pun, tampaknya belum

kouta 30 persen perempuan

mendapatkan suatu “pembenaran” secara akal

Pemilu 2009: 18, 0 persen - dengan affirmative action

sehat. Dalam kaitannya dengan pemahaman

kuota 30 persen dan zipper system 1 di antara 3 bakal

demikian, maka yang patut dipertimbangkan

calon

dan dikedepankan, dalam “diskursus”

Sumber: Republika, 21 Juni 2013

ini, bahwa dalam perpolitikan nasional secara makro, isu dan problem kepolitikan

Mitos, pandangan keliru dan prasangka kaum perempuan sebenarnya berada pada sosial budaya masyarakat yang menempatkan

persoalan ketidakadilan sosial dan subordinasi kaum perempuan sebagai ‘warga kelas dua’,

berkesinambungan terhadap perempuan di jelas sangat memengaruhi pula pandangan

sektor publik.

sebagian besar perempuan Indonesia-- terutama Dalam hubungan ini para analis bagi perempuan yang belum terlalu memahami

mengatakan, ada lima konsep dasar dalam politik dan kurang dalam pendidikan

memahami isu ketidakdilan perempuan dan politiknya--- bahwa “politik itu kotor, dan tabu

laki-laki, yakni: siapakah di antara mereka yang bagi perempuan” 3 . Demikian dominannya

mengalami: 1) subordinasi; 2) marginalisasi; 3) pemahaman tersebut, seolah-olah telah menjadi

berkembang stereotip ‘khas’ yang melandasi mitos sekaligus stigma yang kurang baik,

perbedaan perlakuan; 4) beban ganda (multiple- bahkan lebih parah lagi semakin berkelindan

burden); dan 5) isu kekerasan terhadap dengan pandangan sosial-budaya yang umum-

perempuan.

nya berlaku pada masyarakat perdesaan yang Karena itu, perjuangan peningkatan cenderung sempit aktualisasinya di ranah

representasi perempuan di lembaga-lembaga publik.

pengambil keputusan hendaknya tidak Sebagai gambaran masa lalu, secara

hanya terfokus pada kerja advokasi kebijakan politik misalnya, pada 2002 lampau beberapa

nasional saja, tetapi perlu memperhatikan fraksi (FPG, FKB dan Fraksi Reformasi) yang

hal yang paling mendasar perihal komitmen,

3 Lihat Isbodroini Suyanto, ”Peranan Sosialisasi Politik Terhadap Partisipasi Politik Perempuan”, dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan, T.O. Ihromi (Penyunting), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, hal. 483.

peluang dan ruang publik yang lebih luas bagi secara berarti membangun political efficacy dari kaum perempuan yang akan berkiprah dalam

waktu ke waktu.

kehidupan politik. Meskipun pada saat itu ada jaminan Hal ini didasari suatu pemikiran, bahwa

keterwakilan perempuan (JKP) dan parpol sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

memasukan perempuan sebagai calon legislatif 2003 tentang Pemilihan Umum Pasal 65 Ayat 1,

(caleg), namun kondisi ini kurang ditunjang oleh bahwa “Setiap partai politik peserta pemilu dapat

adanya pendidikan pemilih untuk mendukung mengajukan anggota DPR, DPRD, Provinsi dan

caleg perempuan. Akibatnya, pemilih perempuan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah

tetap memilih laki-laki untuk duduk di badan pemilihan dengan memperhatikan Keterwakilan

legislatif. Pendidikan politik pada awal-awal Perempuan sekurang-kurangnya 30%”.

Indonesia merdeka, memang menjadi faktor yang Terlepas dari sifat rumusan yang sukarela,

krusial sebagai salah satu kendala pergerakkan dicerminkan dengan kata “dapat” dan tidak adanya

demokrasi di tanah Pertiwi.

sanksi, namun ini berarti jaminan keterwakilan Namun seperti disinyalir Permana, bahwa perempuan (JKP) merupakan kebutuhan nyata

diskursus teoretis maupun praktis kepolitikan di untuk meningkatkan representasi perempuan,

Indonesia masih berkesan menafikan keterlibatan khususnya di DPR/DPRD dan DPD. Sekalipun

sosok perempuan. Masih jarang—kalau tidak mau dalam kenyataannya, diakomodasinya JKP untuk

dikatakan sama sekali tidak ada—pemikiran dan daftar calon legislatif dalam UU Pemilu, tidak

kiprah politik kaum perempuan sebagai penentu otomatis meningkatkan jumlah anggota legislatif

arah, kecenderungan atau realitas perpolitikan perempuan.

nasional 4 .

Dalam konteks ini, maka penguatan Sebagai suatu proses budaya, mengembang- pemberdayaan perempuan melalui kan dan memajukan pendidikan politik memang “pengarusutamaan gender” atau PUG merupakan

tidak dapat bersifat sekali jadi (instant). Bila ingin strategi untuk mencapai kesetaraan dan keadilan

melihat hasilnya (outcome), maka pendidikan gender melalui kebijakan dan program yang

politik memerlukan waktu yang tidak sebentar memperhatikan pengalaman, aspirasi, kebutuhan

untuk menghasilkan kematangan dan kedewasaan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke

politik. Proses evolusi pendidikan dan transformasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan

nilai-nilai demokrasi yang bersifat simultan dan dan evaluasi dari seluruh kebijakan dan program

berkesinambungan akan membentuk tingkat di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan

kecerdasan politik kaum perempuan sebagai (Inpres Nomor 9/2000 tentang Pengarusutamaan

manusia politik dan warga bangsa. Gender Dalam Pembangunan Nasional dan

Memang, hingga berpuluh tahun kemudian Panduan Pelaksanaannya).

sejak Pemilu 1955, persoalan pendidikan pemilih Strategi tersebut dilatarbelakangi oleh

menjelang Pemilu 1999, kembali dibicarakan gagalnya perencanaan pembangunan, untuk

dan dipandang belum optimal bagi perempuan. mengenali secara sistematis terhadap kontribusi

Padahal mayoritas pemilih--diperkirakan sejumlah perempuan dalam proses pembangunan, baik

57%-- berasal dari kalangan perempuan; dan dalam tahap penentuan kebijakan pembangunan

dalam praktiknya pendidikan pemilih cenderung yang diawali pada tahap perencanaan, pelaksanaan

hanya dilakukan di perkotaan yang karakristik (implementasi) dan evaluasi; demikian pula dampak

dan tingkat kepolitikannya dianggap jauh lebih pembangunan terhadap perempuan.

maju.

Bangsa Indonesia sudah beberapa kali Kelemahan lain, karena tahapan pendidikan mengadakan pemilu sebagai sarana demokrasi.

pemilih sebagai edukasi politik dilaksanakan Namun pelaksanaan pemilu di negara ini

secara sporadis dan hampir tanpa persiapan. cenderung sebagai sebuah ‘pesta politik’ daripada

Akibatnya, perempuan tidak mendapat informasi sebagai sebuah ‘kerja” demokrasi. Selayaknya

tentang penggunaan hak pilih untuk mendukung pembangunan politik berorientasi pada upaya

perempuan dan mengubah sistem politik Indonesia yang terus-menerus untuk meningkatkan

yang lebih baik dari sebelumnya. Keadaan ini pun kinerja politik dan demokrasi itu sendiri. Belajar

dipengaruhi pula oleh pemahaman tradisional 5 dari Pemilu 1955 dinilai para ahli ilmu politik

dan ajaran agama yang menyatakan hanya paling demokratis dan memungkinkan untuk

laki-laki yang pantas menjadi pimpinan dan

4 Lihat Setia Permana, 2007, “Kanibalisme Politik: Manusia Indonesia dalam Pergulatan Kekuasaan”, Bandung: Yayasan Indonesia Masa Depan bekerja sama dengan PT Kiblat 5 Buku Utama, hal. 225. T.O. Ihromi (Penyunting), 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. xii.

menentukan pilihan. Banyak perempuan belum

C. LANDASAN TEORITIS

bisa menentukan pilihan sendiri. Perempuan Boulding (1971:6), mengemukakan bahwa dipengaruhi suami, bapak, saudara, atau mertua

advokasi yaitu “pandangan atau persepsi sangat laki-laki.

berpengaruh, bahkan dalam hal menentukan Begitu banyak rintangan untuk mewujud-

pembentukan kebijaksanaan politik”. Selanjut- kan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif.

nya di dalam buku terbitan Insist Pers (2002) yang Rintangan tersebut, pada dasarnya terkait

berjudul “Kisah-kisah advokasi di Indonesia” dengan permasalahan internal dan eksternal.

secara eksplisit membenarkan pengertian advokasi Secara internal permasalahannya ada dalam

sebagai aksi-aksi sosial, politik dan kultural perempuan itu sendiri antara lain berkaitan

yang dilakukan secara sistematis, terencana dan dengan kepercayaan masyarakat terhadap

dilakukan secara kolektif, melibatkan berbagai kepemimpinan perempuan masih rendah, dimana

strategi termasuk lobby, kampanye, bangun koalisi, kapasitas caleg perempuan sering dianggap belum

tekanan aksi massa serta penelitian yang ditujukan meyakinkan publik; dan permasalahan eksternal

untuk mengubah kebijakan dalam rangka yakni kepercayaan masyarakat terhadap parpol

melindungi hak-hak rakyat dan menghindari cenderung menurun, sehingga ada banyak kaum

bencana buatan manusia.

pemilih yang cenderung tidak menggunakan hak Kaminski dan Walmsley (1995) men- pilihnya pada waktu pemilu.

jelaskan bahwa advokasi adalah satu aktivitas Keadaan ini, tentunya kalau tidak

yang menunjukkan keunggulan pekerjaan diantisipasi akan berpengaruh pada legitimasi

sosial berbanding profesi lain. Selain itu, banyak anggota dewan dan pemilu itu sendiri. Kelompok

defenisi yang diberikan mengenai advokasi. buruh misalnya, mulai mempertanyakan

Beberapa di antaranya mendefinisikan advokasi manfaat pemilu. Akibatnya, demokrasi pemilu

adalah adalah suatu tindakan yang ditujukan di Indonesia selalu memunculkan masalah.

untuk mengubah kebijakan, kedudukan atas program dari suatu institusi. Kemudian, Zastrow

(1982) memberikan pengertian advokasi sebagai Metode penelitian dalam membahas masalah

B. METODE

aktivitas menolong klien untuk mencapai kiprah perempuan dalam kehidupan politik

layanan ketika mereka ditolak suatu lembaga ini, menggunakan metode deskriptif dimana

atau suatu sistem layanan, dan membantu dan pengumpulan datanya dilakukan dengan studi

memperluas pelayanan agar mencakup lebih dokumenter. Dengan meng gunakan metode

banyak orang yang membutuhkan. deskriptif, dimaksudkan untuk mengeksplorasi

Mengacu kepada beberapa pengertian di dan mengklarifikasi suatu fenomena atau

atas, dapat diambil suatu interpretasi bahwa kenyataan sosial mengenai aktualisasi politik

advokasi merupakan serangkaian aksi sosial, perempuan dengan jalan mendeskripsikan

politik dan gerakan kultural yang dilakukan sejumlah variabel yang berkenaan dengan

oleh warga negara untuk mempengaruhi masalah dan unit yang diteliti. Dalam hal ini ingin

dan mengubah suatu kebijakan, di mana melihat bagaimana advokasi kebijakan mengenai

hal tersebut dilakukan secara sistematis, peran perempuan dalam kehidupan politik, dan

terencana dan dilakukan secara kolektif dengan bagaimana pula hal-hal yang dapat dilakukan agar

melibatkan berbagai strategi termasuk lobby, advokasi keterwakilan perempuan di lembaga

kampanye, membangun koalisi, melakukan legislatif dapat diwujudkan.

tekanan melalui aksi massa yang mempunyai Metode deskriptif bertujuan untuk

keperdulian yang sama mengenai suatu menyajikan gambaran lengkap mengenai setting

masalah politik dan kebijakan publik. Ini social, atau mengenai suatu kenyataan sosial.

berarti, pendekatan penguatan diri perempuan Studi dokumenter yaitu merupakan salah satu

tidak berarti ‘pengambilalihan kekuasaan oleh teknik pengumpulan data dengan menghimpun

kaum perempuan di mana kaum perempuan dan menganalisis dokumen-dokumen, baik

mengembangkan hubungan gender yang dokumen tertulis, gambar, maupun elektronik.

timpang dalam bentuk baru’, melainkan suatu Dokumen yang telah diperoleh kemudian

usaha untuk mengubah hubungan gender yang dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan

lebih setara 6 .

(sintesis), sehingga membentuk suatu hasil Dalam pengantar buku “Pedoman kajian yang sistematis padu dan utuh.

Advokasi” (2005), mengutip Webster’s New

6 Siti Hidayati Amal, ”Penelitian yang Berperspektif Perempuan”, T.O. Ihromi (Penyunting), 1995, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 118.

Collegiate Dictionary, pengertian advokasi adalah hukum yang terbaik, sekaligus yang tertinggi sebagai tindakan atau protes untuk membela

dalam rangka memberdaulatkan rakyat sebagai atau memberi dukungan. Dalam makna

fondamen utama demokrasi. memberikan pembelaan atau dukungan kepada

Mengacu kepada teori demokrasi klasik kelompok masyarakat yang lemah itu advokasi

Schumpeter (1942), Huntington (1995), bahwa digiatkan oleh individu, kelompok, lembaga

rumusan demokrasi dikenal dengan istilah swadaya masyarakat atau organisasi rakyat

kehendak rakyat (the will of the people) dan yang mempunyai kepedulian terhadap masalah-

kebaikan bersama (the common good). Ini senapas masalah hak asasi manusia (HAM), lingkungan

dengan Gould (1993), bahwa demokrasi lebih hidup, kemiskinan, dan berbagai bentuk

dari sekadar sarana mencapai nilai-nilai dasar. ketidakadilan. Relevan dengan hal tersebut,

Demokrasi merupakan bentuk kelembagaan Topatimasang (2000) mengatakan bahwa

yang terbaik dan benar, yang mengekspresikan advokasi adalah upaya untuk memperbaiki,

nilai-nilai kehidupan dan kebebasan positif membela (confirmatio) dan mengubah (policy

yang sama.

reform) kebijakan sesuai dengan kepentingan Sebagai suatu instrumen demokrasi, prinsip-prinsip keadilan.

maka penyelenggaraan pemilu misalnya, Berdasarkan uraian di atas, tampak

harus dipahami tidak semata-mata soal bahwa advokasi meliputi aksi strategis yang

teknis-administratif. Ia merupakan persoalan dilakukan oleh banyak orang yang concern

bagaimana perjalanan kedewasaan suatu mengenai sesuatu permasalahan umum ter-

bangsa dalam berdemokrasi semakin baik tentu, dan dalam pelaksanaannya terbentuk

dari waktu ke waktu. Sekalipun dalam melalui konstruksi sosial yang mengakomodasi

kenyataan nya kelemahan pemilu sebagai kerja dukungan publik dalam upaya menyelesaikan

demokrasi terus berulang: tidak saja dalam masalah tertentu.

aspek prosedural-formal, tapi juga substantif- Hal tersebut relevan dengan pendapat esensial, yakni kegagalan pemilu sebagai sebuah

Sheila Espine-Villaluz yang berpendapat instrumen demokrasi dalam menahan derasnya bahwa advokasi diartikan sebagai aksi strategis

efek sinisme politik yang hadir pascapemilu. dan terpadu yang dilakukan perorangan dan

Hal tersebut sejalan dengan pandangan kelompok untuk memasukkan suatu masalah

Dahl (1992), demokrasi hakikatnya bukan (isu) kedalam agenda kebijakan, mendorong

tujuan pada dirinya, akan tetapi sebuah sarana para pembuat kebijakan untuk menyelesaikan

untuk mencapai tujuan yang lebih agung dan masalah tersebut, dan membangun basis

mulia, yaitu kebebasan, perkembangan manusia dukungan atas kebijakan publik yang diambil

dan nilai manusia. Pernyataan ini merujuk pada untuk menyelesaikan masalah tersebut.

pentingnya ketersediaan ruang bagi setiap Bahkan dalam hubungan ini, Wolf

warga negara (citizen) untuk berpartisipasi Wolfensberger menyatakan bahwa advokasi

secara politik.

adalah berbicara, bertindak dan menulis dengan Sebab, jika tidak, akibatnya bisa timbul sedikit konflik kepentingan atas nama kepentingan

sinisme politik yang akut. Sinisme seperti dianggap tulus dari orang atau kelompok yang

didefinisikan Robert Agger dkk. (1961), yaitu kurang beruntung untuk mempromosikan,

”kecurigaan yang buruk dari sifat manusia”. Hal melindungi dan mem pertahankan kesejahteraan

ini menunjukkan bahwa sukses pemilu tidak dan keadilan oleh: 1) berada di pihak mereka dan

sekadar keberhasilan dalam pelaksanaannya, tidak ada orang lain, 2) yang terutama berkaitan

namun jauh lebih penting, seharusnya menukik dengan kebutuhan dasar mereka, 3) tetap setia dan

kepada ”membuang” jauh-jauh sikap sinis bagi bertanggung jawab kepada mereka dengan cara

siapa pun yang melontarkannya. yang tegas dan penuh semangat.

Orientasi atas pemahaman makna di atas, Keberadaan ruang publik merupakan

mengisyaratkan bahwa perempuan tidak hanya konsep kunci dalam demokrasi. Kehadiran

dijadikan “objek” pemenuhan suara pada ruang publik dalam kerangka demokrasi

suatu agenda politik nasional; atau sekadar merupakan sesuatu hal yang niscaya sebagai

sebagai “ceruk” politik untuk mendulang arena mempertemukan pelbagai aspirasi yang

suara berkaitan dengan suksesi kepemimpinan berkembang di dalam masyarakat dalam rangka

nasional, tetapi semestinya menjadi peluang menghasilkan keputusan demokratis. Ungkapan

dan juga kesempatan untuk menyatakan hak tersebut berdiri di atas asumsi, bahwa demokrasi

bersuara sekaligus menyuarakan kepentingan- mengandaikan kehendak rakyat merupakan

kepentingan perempuan di ranah politik.

Dimensi pemolitikan perempuan mem- Sebagaimana diketahui, bahwa visi pem- bongkar prasangka budaya, sosial dan politik

berdayaan perempuan Indonesia adalah dalam tataran strategis. Menjotos mitos

“Ter wujud nya kesetaraan dan keadilan perempuan sekadar sebagai betina (female),

gender dalam kehidupan berkeluarga, ber- sebaliknya memajukan eksistensi sebagai

masyarakat, berbangsa dan bernegara” 8 . manusia (human) yang memiliki civic competence.

Sedangkan misi sebagai agenda pokok nasional Secara politis, agenda keadilan gender

dalam pemberdayaan perempuan adalah: melalui kuota sangat berkaitan erat dengan agenda

1) Peningkatan kualitas hidup perempuan, demokratisasi dan perubahan sosial di mana

2) Penggalakan sosialisasi kesetaraan dan yang satu sangat mendukung misi perjuangan

keadilan gender; 3) Penghapusan segala yang lain. Logika yang bisa dikemukakan adalah

bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan; bahwa salah satu pencapaian proses demokratisasi

4) Penegakkan hak-hak azasi manusia bagi tergantung pula kepada pencapaian perjuangan

perempuan; 5) Peningkatan kesejahteraan

dan perlindungan anak; serta 6) Kemampuan Ini berarti, tiada demokrasi tanpa keter-

menegakkan keadilan gender 7 .

dan peningkatan kemandirian lembaga dan wakilan perempuan; sekalipun laki-laki dan

organisasi perempuan dan peduli anak 9 . perempuan memang beda, namun tidak

Dalam hubungan ini, Noor 10 (Jurnal boleh dibeda-bedakan, karena setiap bentuk

Demokrasi dan HAM , No. 1) mengemukakan ketidakadilan gender menyebabkan kesenjangan

tinjauan kritis yang didasarkan pada hasil gender, dan itu akan menjadi pukulan utama

inventarisasi isu-su hukum dan landasan tidak berlangsungnya demokrasi empiris.

normatif, yang kemudian mendasari formulasi substansi atau isu strategi pemberdayaan

perempuan, antara lain: 1) isu-isu konstitusional Akses dan dinamika kiprah perempuan

D. PEMBAHASAN

(isu persamaan, hak-hak asasi manusia, hak sipil dalam politik memiliki dasar dan jaminan

dan hak politik); 2) isu-isu ekonomi (mencakup konstitusional yang kuat dalam peraturan

hak-hak ekonomi, antara lain: kredit, pemilikan perundang-undangan yang ada. Ruang publik/

dan kontrol atas properti, dan warisan); 3) ruang politik yang luas bagi perempuan, bukan

isu-isu ketenagakerjaan (upah, kondisi kerja, untuk tujuan bersifat praktis-pragmatis. Tidak

kesempatan kerja, perlindungan hukum, juga untuk euforia politik dan perebutan kekuasaan

dll); 4) hubungan keluarga (perkawinan, misalnya untuk segelintir perempuan elite. Apalagi

perceraian, pengasuhan anak, reproduksi, dll) sekadar melanggengkan kekuasaan yang dimiliki

5) kesehatan (jaminan kesehatan, pengaturan, melalui proses reinkarnasi politik atas nama

kelahiran, aborsi); 6) kekerasan dan eksploitasi privelese, motif dan vested interest tertentu.

(pemerkosaan, tindak kekerasan pada Di sisi lain, terdapat fenomena dan kasus

perempuan, pelacuran dan pornografi) yang menarik di pentas politik Indonesia, di

Pemberdayaan perempuan ditujukan agar mana dalam perhelatan pilkada langsung, tidak

perempuan dapat melakukan peningkatan sedikit bursa bakal calon wali kota/bupati

karier di segala bidang; sehingga mereka dapat muncul dari internal keluarga (istri) bupati/

menolong dirinya sendiri dan pada gilirannya wali kota incumbent. Muncul kesan ‘politik

dapat melakukan kesetaraan gender dengan dinasti’. Konstitusi dan hak asasi memang

kaum laki-laki melalui aktualisasi aktivitasnya. tidak melarang, namun jangan pula menafikan

Reformasi dan demokratisasi telah akan kemungkinan sesuatu yang “tidak elok”

efektifitas bagi dari perspektif fatsoen, etika politik juga nilai-

ber hasil

memfasilitasi

operasionalisasi makna egaliterianisme melalui nilai pluralisme. Bila dinasti politik semakin

tersedianya ruang publik yang terbuka bagi tidak terkendali, maka ekskluvisme politik akan

terekspresinya kesetaraan gender: kebebasan, menampilkan dirinya secara terang sebagai sifat

kemandirian dan kemajuan kaum perempuan haus kekuasaan dalam politik; sementara di sisi

mengaktualisasikan dirinya. Reformasi dan lain tak dapat mempertahankan kompetensi,

demokratisasi yang semakin kencang memberi kapasitas dan kapabilitas sebagai figur politik.

keyakinan bahwa permasalahan mendasar

8 Dadi J Iskandar, “Demokratisasi Peran Politik Perempuan”, artikel, Purbawisesa, edisi April 2007. 9 Lihat GBHN 1999-2000 dan Kepres Nomor 134 Tahun 1999. 10 Ibid. Ida Ruwaida Noor, “Agenda Demokratisasi oleh dan untuk Perempuan”, dalam Demokratisasi dan Pilihan-pilihan Kelembagaan, Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No. 1,

Mei-Agustus 2000, hal. 123.

mengenai dinamika peran, pemampuan dan laki-laki. Alih-alih, untuk mewujudkan pemberdayaan perempuan dalam pembangunan

keinginan tersebut, para suami tidak sedikit bangsa, akan teraktualisasikan secara bermakna.

yang menikah lagi dengan alasan ingin Sayangnya, sejalan dengan angin reformasi

mendapatkan anak laki-laki. Padahal, boleh jadi yang berembus kencang yang diikuti dengan

hanya “memuaskan kebutuhan libidonya saja?” adanya perubahan dalam konstelasi sosial

Kondisi ini semakin “kusut”, karena politik di negeri ini, persoalan gender ternyata

perangkat hukum dan peraturan perundang- tidak bisa serta merta terpecahkan secara

undangan ternyata bernuansa diskriminatif mudah, semudah membalikan telapak tangan.

terhadap perempuan (bias gender). Padahal, Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa

revisi tersebut sangat penting sebagai langkah ketimpangan aktualisasi diri, kesenjangan dan

normatif untuk melindungi perempuan dari rendahnya partisipasi perempuan di sektor

ketidakadilan. Sehingga akan lebih terbuka, publik, praktik diskriminasi dan penghargaan

jika kita berwacana perihal perempuan dan terhadap kaum perempuan, merupakan kondisi

demokratisasi. Khususnya membicarakan obyektif yang nyata eksis dalam spektrum

eksistensi, posisi dan peran perempuan dalam nasional. Akibatnya upaya mencari “kesetaraan”

mewujudkan masyarakat yang demokratis dan dan “kesebandingan” peran dengan laki-laki

egaliter.

Kenyataan masih menunjukkan rendahnya Hal tersebut sering terkendala dengan

bukan merupakan pekerjaan mudah 11 .

aktivitas atau kiprah perempuan di bidang beragam hal yang melatarbelakanginya, seperti

politik, merupakan fakta yang sulit dibantah. nilai sosial dan budaya patriarkhi yang dipegang

Perempuan dan aktivitas politik memang oleh sebagian besar masyarakat, produk dan

“lazim” digambarkan ibarat dua kutub yang peraturan perundang-undangan yang masih

terpisah jauh.

bias gender, pemahaman ajaran agama yang

Tabel 2. Representasi Perempuan di Parlemen

tidak komprehensif dan cenderung parsial, kelemahan dari kaum perempuan sendiri yaitu

Periode

Perempuan Laki-laki

kurang percaya diri, kurangnya tekad dan

1950-1955 (DPR

inkonsistensi dalam memperjuangan nasibnya,

Sementara)

serta perbedaan persepsi dan pemahaman para

1955-1960

pengambil keputusan, tokoh masyarakat, tokoh

1956-1959 (Konstituante)

agama terhadap konsep kesetaraan gender.

1971-1977

Sebagian masyarakat Indonesia, misalnya,

1977-1982

masih memiliki budaya yang membedakan

1982-1987

antara anak laki-laki dengan anak perempuan,

1987-1992

di mana peran perempuan cenderung dikaitkan

1992-1997

dengan kodratnya. Adanya anggapan bahwa

1997-1999

anak perempuan tidak dapat melanjutkan nama

1999-2004

keluarga dan keturunan, tanpa disadari, secara

2004-2009

sistemik menempatkan kaum perempuan pada

2009-2014

posisi yang tidak menguntungkan. Karena itu, peningkatan peran perempuan dalam berbagai

Sumber: Puskapol FISIP Universitas Indonesia

dimensi pembangunan mempunyai nilai penting Menurut Suyanto (1995) Wanita dan dan stratejik untuk terus diaktualisasikan,

politik merupakan dua hal yang masih sulit terlebih lagi kenyataan menunjukkan masih

dibayangkan, terutama pada negara-negara ada ketimpangan aktualisasi peran dan

berkembang. Hal ini disebabkan manusia ketidakadilan dalam berbagai kiprah kehidupan

telah dibentuk oleh budayanya masing-masing bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

yang menekankan bahwa kedudukannya atau Memang, anggapan tersebut kini cenderung

peranan wanita berkisar dalam lingkungan mencair dengan munculnya pemahaman

keluarga seperti mengurus suami, anak-anak, baru bahwa mempunyai anak laki-laki atau

memasak, dan sebagainya.

perempuan sama saja. Meskipun kenyataan tak Sedangkan politik yang digambarkan bisa dibantah masih saja ada orang yang merasa

sebagai sesuatu yang berkenaan dengan ‘power’ kecewa apabila tidak mendapatkan keturunan

atau kekuasaan, dari sejak dahulu, adalah bidang

11 Dadi J Iskandar dan Anita Afriana, “Mengaktualisasikan Pemberdayaan Perempuan” artikel di harian Pelita Indonesia, edisi 28 Juni 2005.

yang selalu dikaitkan dengan dunia laki-laki, dan Sebenarnya, pencantuman ketentuan seakan ‘tabu’ dimasuki oleh perempuan. Sosialisasi

jaminan keterwakilan perempuan telah memiliki dalam keluarga, baik di masyarakat Barat maupun

dasar konstitusional yang kuat. Di dalam Pasal Timur, selama berabad-abad, telah menempatkan

28 H ayat 2 UUD 1945 menyebutkan, bahwa perempuan di luar masalah-masalah yang

“setiap orang berhak mendapatkan kemudahan berkaitan dengan politik dan kekuasaan.

dan perlakuan khusus untuk memperoleh Di Indonesia, political will tentang penting-

kesempatan sama dalam mencapai persamaan nya pemberdayaan, pemampuan dan penguatan

dan keadilan”.

perempuan dalam proses politik sudah lama Selain itu, di dalam Undang-Undang digemakan. Namun entah bagaimana sosok

Nomor 39/1999 dan Undang-Undang Nomor perempuan belum "mewarnai" secara bermakna

7/1984 tentang Ratifikasi Konvensi Peng­ pentas kepolitikan nasional, apalagi menjadi

hapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap penentu arah" (trend-setter) kehidupan bangsa.

Perempuan, juga mengakui pentingnya Penyebabnya. barangkali terletak pada soal

jaminan keterwakilan perempuan. Secara komitmen dalam hal political actions.

eksplisit Pasal 46 Undang-Undang Nomor Sebaliknya, di era Orde Baru, misalnya,

39/1999 menyatakan “sistem pemilihan umum, Presiden Soeharto pernah mencanangkan tahun

kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif 1992 sebagai Tahun Wanita. Katanya, ini sebagai

dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif wujud kesungguhan pemerintah meningkatkan

dan yudikatif harus menjamin keterwakilan harkat dan martabat kaum perempuan demi

wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”. kesamaan hak dan kesejajaran kedudukan

Tabel 3. Representasi Perempuan di DPR dan

dengan pria. Bahkan secara internasional,

DPRD Hasil Pemilu 2009

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menetapkan tanggal 8 Maret sebagai peringatan

DPR

Hari Wanita Internasional, di mana dunia

18 persen secara khusus memberi dukungan pada seluruh

Perempuan

82 persen perjuangan kaum perempuan di muka bumi

Laki-laki

DPRD Provinsi

dalam sehari-hari, juga bagi pemberdayaan dan

16 persen kesetaraan dalam berbagai kesempatan.

Kuota Perempuan dalam UU Politik

DPRD Kab/Kota

12 persen an atau kemitrasejajaran peran antara pria dan

Mengoperasionalisasikan konsep kesetara-

Perempuan

88 persen wanita adalah sebuah kemauan politik yang

Laki-laki

Sumber: Puskapol FISIP Universitas Indonesia.

secara bermakna bertujuan mengembangkan, Selanjutnya, pada Pasal 4 ayat I Konvensi emansipasi politik kemanusiaan yang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi partisipatoris-demokratis, yakni menciptakan Terhadap Perempuan yang diratifikasi melalui kondisi yang kondusif bagi pemberdayaan Undang-Undang Nomor 7/1984 memberi aktivitas, sikap dan perilaku politik perempuan. kewajiban kepada negara membuat peraturan Konsep ini arah lintasannya menuju khusus guna mempercepat persamaan de facto kepada terwujudnya akses, akselerasi dan antara laki-laki dan perempuan. Peraturan ini dinamika kontribusi politik perempuan yang akan diberhentikan apabila tujuan persamaan mampu memberi energi yang makin bermakna kesempatan dan perlakuan telah tercapai. dalam demokratisasi politik nasional suatu Bahkan di dalam Undang-Undang Nomor negara-bangsa. Sehingga peranan perempuan

31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, BAB V dalam kehidupan politik dan kenegaraan, dapat Pasal 7 huruf e ditegaskan, “rekruitmen politik teraktualisasikan, baik di sektor masyarakat dalam proses pengisian jabatan politik melalui (input) sebagai penyalur aspirasi, maupun mekanisme demokrasi dengan memperhatikan dalam proses pelahiran dan pengambilan kesetaraan dan keadilan gender”. Lantas di keputusan politik (political decision). Konsep dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun politik kesetaraan, intinya menggugat eksistensi 2003 tentang Pemilihan Umum Pasal 65 Ayat perempuan yang selama ini sebagai nonfaktor

12 dalam kehidupan politik bangsa 1 menyebut, “Setiap partai politik peserta .

12 Dadi J Iskandar, “Kemitrasejajaran: Mitos Vs Tuntutan Peran”, Majalah Wanita Kartini, No. 586, Tahun 2001.

pemilu dapat mengajukan anggota DPR, DPRD, dan tidak baik membawa persoalan tersendiri Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk

bagi para ibu yang melakukan pekerjaan di luar setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan

rumah. Di samping melakukan pekerjaan di luar Keterwakilan Perempuan sekurang-kurangnya

rumah sebagai perempuan karier, juga masih 30%”.

dituntut melakukan pekerjaan domestiknya. Berbagai Kebijakan tersebut di atas,

Tolok ukur untuk menyandang citra ditentukan guna mendorong terwujudnya

ibu rumah tangga yang baik ditentukan pada peningkatan representasi perempuan di bidang

beberapa hal, seperti apakah ia memasak untuk politik, dengan klausul khusus tentang jaminan

anak dan suaminya. Apakah ia membersihkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya

rumah dan mengatur rumah tangga dengan 30% di lembaga perwakilan (DPR, DPRD dan

sebaik-baiknya. Lain halnya para suami (laki- DPD) dalam UU Pemilu (Pasal 65 ayat 1). Jika

laki); dia mempunyai kekuasaan penuh dan dalam UU Pemilu disebutkan DPD diwakili

kedudukan lebih tinggi dari anggota keluarga empat orang, maka sekurang-kurangnya satu

lainnya. Seorang suami yang merasa berkuasa di antaranya harus perempuan. Di samping

akan memukul anak dan istrinya apabila itu UU Parpol harus mewajibkan sekurang-

mereka tidak mau menuruti perintah. kurangnya 30% perempuan kader partai

Kondisi ini menggambarkan betapa duduk di kepengurusan partai. Hal demikian

minim dan tidak setara hubungan segitiga dapat mendorong partai menciptakan kader

di dalam keluarga, sehingga mengakibatkan kepemimpinan perempuan.

ketidaksetaraan hak dalam pengambilan Ditinjau dari sisi yuridis, kesetaraan laki-laki

keputusan di dalam rumah tangga. Jika sudah dan perempuan, baik di muka hukum maupun

demikian, persoalan yang berkaitan dengan pemerintahan, memang dijamin UUD’45.

kepentingan dan usulan pemikiran ibu rumah Namun realitasnya hingga kini kesetaraan

tangga menjadi terabaikan, misalnya dalam itu tidak pernah tercapai. Kebijakan politik

hal pendidikan anak-anak dan perencanaan Orde Baru justru meminggirkan perempuan

keluarga. Di dalam masyarakat, kepala keluarga dari posisi-posisi politik yang strategis dalam

diberi hak istimewa. Rapat-rapat lingkungan pengambilan keputusan. Akibatnya sebagian

dan pemilihan RT dan RW hanya dihadiri besar produk kebijakan sangat diskriminatif

kepala keluarga. Hal ini mengakibatkan segala terhadap perempuan.

urusan yang berkaitan dengan lingkungan Tampaknya kompleksitas persoalan diputuskan tanpa adanya usulan dari ibu hukum, sosial dan budaya yang sangat mem-

rumah tangga. Padahal segala persoalan yang pengaruhi representasi perempuan di dalam

mereka putuskan itu sangat berkaitan dengan lembaga-lembaga pengambil keputusan. Di

kepentingan ibu rumah tangga. dalam masyarakat kita, laki-laki ditempatkan

Realitas terebut menunjukkan sejak awal sebagai figur sentral; sementara perempuan

posisi perempuan di dalam proses pengambilan sebaliknya. Akibatnya, laki-laki mendapat

keputusan memang telah dipinggirkan. Akibat- kesempatan luas berkiprah di wilayah publik;

nya berbagai produk kebijakan tidak cukup sedangkan perempuan yang berpredikat sebagai

mengakomodasi kepentingan perempuan. ibu rumah tangga cukup beraktivitas di wilayah

Kondisi demikian menimbulkan dampak lebih domestik.

luas, yakni keterwakilan perempuan dalam Pembagian peran tersebut dilegitimasi oleh

lembaga-lembaga pengambil keputusan. negara melalui Pasal 31 dan 34 Undang-undang

Representasi perempuan di lembaga eksekutif, Perkawinan. Di samping melakukan pembagian

legislatif, dan yudikatif masih sangat minim. peran laki-laki dan perempuan, Undang-undang

Analisa data keterwakilan perempuan di DPR Perkawinan Nomor 1/1974, contohnya, juga

dan DPRD menunjukkan jumlah perempuan membakukan struktur keluarga yang terdiri atas

yang menduduki posisi anggota legislatif di kepala keluarga dan anggota keluarga. Struktur

DPR Pusat 8,8%, DPRD I 7%, DPRD II 2% 13 . ini membawa akibat pada tugas, wewenang, dan

Apabila ditampilkan dalam gambar, tanggung jawab yang berbeda. Dalam keluarga,

persentase ini berbentuk piramida terbalik ibu mempunyai tugas mengasuh anak dan lain-

yang artinya semakin rendah tingkat lembaga lain. Pencitraan ibu rumah tangga yang baik

perwakilan akan semakin kecil pula persentase

13 Ieke Sartika Iriany, “Kebijakan Pemerintah untuk Meningkatkan Perempuan dalam Politik Menuju Keterwakilan Politik Perempuan dalam Pemilu 2004”, Makalah yang disampaikan pada Seminar Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI Kabupaten Garut, tahun 2003.

keterwakilan perempuan. Padahal lembaga perwakilan di tingkat terendah paling dekat dengan masyarakat yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan melalui penyusunan peraturan daerah dan pengalokasian dana pembangunan.

Kemudian Pasal 4 ayat I Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan yang diratifikasi melalui UU No 7/1984 memberi kewajiban kepada negara membuat peraturan khusus guna mempercepat persamaan de facto antara laki- laki dan perempuan. Peraturan ini tidak berlaku lagi apabila tujuan persamaan kesempatan dan perlakuan telah tercapai.

Pada waktu isu perempuan dalam politik mencuat, legislatif aktif membahas paket undang- undang politik guna mendorong terwujudnya peningkatan representasi perempuan di bidang politik. Para aspiran menghendaki agar badan legislatif seharusnya merumuskan klausul jaminan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30% di lembaga perwakilan (DPR, DPRD dan DPD) dalam UU Pemilu. Jika dalam RUU Pemilu disebutkan DPD diwakili empat orang, maka sekurang-kurangnya satu di antaranya harus perempuan. Di samping itu UU Parpol harus mewajibkan sekurang- kurangnya 30% perempuan kader partai duduk di kepengurusan partai. Hal demikian dapat mendorong partai menciptakan kader kepemimpinan perempuan.

Lagi-lagi, dalam konteks ini persoalannya ada dalam ranah partai politik yang danggap banyak pihak tidak melakukan fungsi dan peranan yang seharusnya, seperti komunikasi politik, sosialisasi politik, agregasi kepentingan, dan rekrutmen politik, termasuk seleksi kepemimpinan. Akibatnya, minat politik warga negara (khususnya kaum perempuan) cenderung rendah, sehingga otomatis rekrutmen kader di lembaga legislatif pun “macet”. Aktivitas parpol lebih dominan “ke atas’: kepada kekuasaan, dan menjadikan parpol sekadar alat untuk meraih ambisi tertentu, atau sebagai “kendaraan politik” bagi mobilitas vertikal para elite politik yang bersaing.

Advokasi Kebijakan Keterwakilan Perempuan di Legislatif

Demokrasi yang diandaikan sebagai partisipasi sejajar seluruh komponen warga negara hanya terwujud ketika dominasi dan subordinasi antarindividu atau antarkelompok terhapus. Menyuarakan tuntutan keterwakilan

politik perempuan seharusnya tidak dimaknai sebagai tindakan berlebihan yang hanya berpihak pada kepentingan perempuan an sich . Tuntutan ini harus pula disadari-- selain dianggap sebagai bentuk hak asasi manusia- -porsi keterwakilan politik perempuan juga merupakan tindakan strategis untuk mengurangi hambatan individu dalam berkiprah.

Kuota merupakan instrumen yang efektif untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktik kehidupan politik dan kemasyarakatan, khususnya di sektor publik. Apalagi, sistem kuota yang diberlakukan dalam lembaga-lembaga politik strategis, seperti partai, parlemen dan birokrasi, secara langsung dapat mempengaruhi kebijakan dan out put proses politik yang dihasilkan.

Tabel 4. Persentase Perolehan Kursi Perempuan Berdasarkan Nomor Urut

No Urut 1

DPR

44 persen

DPRD Provinsi

41 persen

DPRD Kab/Kota

41 persen

No Urut 2

DPR

29 persen

DPRD Provinsi

20 persen

DPRD Kab/Kota

23 persen

No Urut 3 DPR

20 persen

DPRD Provinsi

24 persen

DPRD Kab/Kota

18 persen Sumber: Puskapol FISIP Universitas Indonesia.

Oleh karena itu, betapa pentingnya arti advokasi kebijakan, sehingga Dye (1995: 6) mengatakan: Policy advocacy learns about “what governments ought to do or bringing about changes in what they do. Policy advocacy requires the skill of rhetoric, persuasion, organization, and activism”.

Advokasi kebijakan merupakan setiap upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mempraktikan apa pun dari suatu keputusan sebagai pilihan institusional. Hal tersebut mencakup tingkat keikutsertaan aktif warga Negara dalam menyuarakan dan memperjuangkan pandangan atau berbagai tindakan secara terbuka dan bermakna politis. Aktivitas-aktivitas advokasi kebijakan menyentuh secara langsung bagai para pembuat keputusan atau terhadap mereka yang mungkin saja hanya mencari atau mempengaruhi Advokasi kebijakan merupakan setiap upaya untuk mempengaruhi kebijakan publik dan mempraktikan apa pun dari suatu keputusan sebagai pilihan institusional. Hal tersebut mencakup tingkat keikutsertaan aktif warga Negara dalam menyuarakan dan memperjuangkan pandangan atau berbagai tindakan secara terbuka dan bermakna politis. Aktivitas-aktivitas advokasi kebijakan menyentuh secara langsung bagai para pembuat keputusan atau terhadap mereka yang mungkin saja hanya mencari atau mempengaruhi

daerah seharusnya merumuskan klausul maksud memberikan suara atau dengan cara

jaminan representasi perempuan dalam menyebarkan model alternatif lain kebijakan.

organisasi tingkat desa/kelurahan. Klausul Hal tersebut, sejalan dengan ungkapan Casey

ini perlu dicantumkan karena situasi dan (2011) yang menyatakan: “Advocacy is any attempt to

kondisi belum memungkinkan berkompetisi. influence public policy and practice or any other decisions

Di dalam masyarakat rapat-rapat lingkungan of institutional elite. It involves the active espousal of a

hanya dihadiri laki-laki. Guna mendorong point of view or a course of action and can include high

keterwakilan perempuan dalam organisasi profile legal challenges and other openly political actions,

tingkat desa/kelurahan maka di dalam perda as well as less visible, more subtle processes of influence.

yang mengatur tentang BPD perlu disebutkan Advocacy activities maybe aimed directly at the decision

jika kepengurusan BPD berjumlah 12 orang, makers or they may be seek to influence indirectly

sekurang-kurangnya empat orang harus dari through shaping public opinion and voter intentions

unsur perempuan.

or by disseminating alternative models of policy and Di samping mendesakkan diberlakukannya practices”.

kuota perempuan, upaya lain yang harus dilakukan Advokasi kebijakan mengacu pada

dalam memperjuangkan peran perempuan adalah suatu proses yang mencakup suatu rangkaian

merubah konsep kepemimpinan dalam keluarga. tindakan politis dalam mana para warga negara

Karena hanya dengan demikian perempuan dapat melakukan tindakan terorganisir dalam konteks

memiliki akses di setiap proses pengambilan perwujudan suatu hubungan kekuasaan yang

keputusan, baik dalam lingkup keluarga maupun lebih baik. Tujuan advokasi kebijakan harus

lembaga pengambilan keputusan. Jika tidak mencapai perubahan kebijakan spesifik di mana

ada jaminan terhadap peningkatan representasi mendapat manfaat bagi siapa pun yang terlibat

perempuan di bidang politik, jangan pernah dalam proses ini.

berharap negara ini akan menjadi negara yang Perubahan ini bisa berlangsung dalam

demokratis dan berkeadilan.

sektor publik ataupun swasta. Keefektifan Solusi yang diusulkan organisasi advokasi kebijakan sangat tergantung dari

perempuan dan beberapa partai politik adanya suatu perencanaan strategis dan

untuk mengatasi keterwakilan perempuan di melakukannya sesuai dengan batasan waktu

lembaga-lembaga pengambil keputusan adalah layak. Hal tersebut, sejalan dengan pendapat

menetapkan kuota bagi perempuan. Tindakan Sharma (n.d): “Advocacy is a set of targeted actions

khusus bersifat sementara merupakan tindakan directed at decision makers in support of a specific

strategis yang harus diambil untuk mempercepat policy issue. Advocacy is first and foremost a process,

peningkatan representasi perempuan dalam occurring over unspecified of time, sometimes brief

bidang politik. Pencantuman ketentuan jaminan and often lengthy. Advocacy is also strategic and

keterwakilan perempuan telah memiliki dasar targets well-designed activities to key stakeholders

konstitusional yang kuat.

and decision makers. And lastly, advocacy is always Ketentuan Pasal 28 H ayat 2 UUD 1945 directed at influencing policy, laws, regulations,

menyebutkan setiap orang berhak men- programs, or funding--decisions made at the upper-

dapatkan kemudahan dan perlakuan khusus

untuk memperoleh kesempatan sama dalam Di level daerah, peranan perempuan di

most levels of public or private sector institutions” 14 .

mencapai persamaan dan keadilan. UU No dalam proses pengambilan keputusan dapat

39/ 1999 dan UU No 7/1984 tentang Ratifikasi diperjuangkan melalui melalui perumusan

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk peraturan daerah, misalnya yang mengatur

Diskriminasi Terhadap Perempuan juga tentang Badan Perwakilan Desa (BPD). Ketentuan

mengakui pentingnya jaminan keterwakilan Pasal 3 dan 4 Keppres Nomor 49/2001 tentang

perempuan. Secara eksplisit Pasal 46 UU No Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

39/1999 menyatakan “sistem pemilihan umum, memberikan peluang kepada masyarakat luas

kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif (laki-laki dan perempuan) untuk terlibat dalam

dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif proses pembentukan organisasi tingkat desa/

dan yudikatif harus menjamin keterwakilan kelurahan.

wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.

14 Ritu R Sharma, An Introduction to Advocacy: Training Guide, Support for Analysis and Research in Africa (SARA) Health and Human Resources Analysis for Africa (HHRAA) U.S. Agency for International Development, Africa Bureau, Office of Sustainable Development.

Di samping terus mendorong diberlaku- Sungguhpun begitu, komitmen politik yang kannya kuota perempuan, upaya lain yang

berwawasan kesetaraan ini tidak seharusnya harus dilakukan dalam memperjuangkan

hilang dari semangat egaliterianisme politik peran perempuan adalah merubah konsep

termasuk oleh berbagai kendala subyektif- kepemimpinan dalam keluarga. Karena hanya

obyektif yang melingkunginya. Semua pihak dengan demikian perempuan dapat memiliki

seharusnya merespons keinginan bangsa untuk akses di setiap proses pengambilan keputusan

mengembangkan kehidupan politik yang baik dalam lingkup keluarga maupun lembaga

berperspektif gender, dan mewujudkannya pengambilan keputusan. Jika tidak ada jaminan

dalam praktik demokrasi empiris yang terhadap peningkatan representasi perempuan

emansipatif-partisipatoris.

di bidang politik, jangan pernah berharap negara Berbagai tantangan menjadi pemicu dan ini akan menjadi negara yang demokratis dan

pemacu menguatnya peran perempuan dalam berkeadilan.