Isolasi, identifikasi bakteri selulolitik rumen kerbau sebagai agensia probiotik untuk tingkatkan produktivitas ternak itik yang diberi ransum berbasis limbah tahu.

(1)

ISOLASI BAKTERI SELULOLITIK RUMEN KERBAU SEBAGAI PROBIOTIK UNTUK MENINGKATKAN KECERNAAN AMPAS TAHU

N. W. SITI, I. A. P. UTAMI, DAN I.G.N.G. BIDURA Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar-Bali

Jl. PB. Soedirman, Denpasar E-mail: : siti_fapetunud@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suplementasi kultur probiotik bakteri selulolitik yang diseleksi dari rumen kerbau untuk meningkatkan kualitas nutrisi ampas tahu. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan dan enam kali ulangan dengan satu ekor itik per ulangan (kandang individual). Ketiga perlakuan tersebut adalah ampas tahu tanpa terfermentasi sebagai kontrol (A); ampas tahu terfermentasi dengan 0,30% kultur isolat bakteri selulolitik rumen kerbau (B); dan ampas tahu terfermentasi dengan 0,60% kultur isolat bakteri selulolitik rumen kerbau (C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berhasil mendapatkan lima isolat bakteri selulolitik (B-3, B-6, B-7, B-10, and S-13) dari rumen kerbau yang telah lolos uji asam dan garam empedu (probiotik). Ke lima isolate bakteri selulolitik tersebut mampu tumbuh pada berbagai level suhu (200-550C), asam (3.0-6.5), asam dan garam empedu (0,20-0,60 NaDC). Kelima isolat adalah potensial sebagai probiotik, namun yang terbaik adalah isolat bakteri selulolitik B-6. Implementasi isolat bakteri selulolitik B-6 sebagai inokulan fermentasi ampas tahu secara nyata (P<0,05) dapat meningkatkan bahan kering, bahan organic, protein kasar, dan serat kasar ampas tahu, serta secara nyata (P<0,05) meningkatkan kandungan energy termetabolis ampas tahu. Disimpulkan bahwa implementasi isolate bakteri selulolitik B-6 sebagai inokulan fermentasi ampas tahu nyata dapat meningkatkan kecernaan nutrient ampas tahu sebagai pakan itik.

Kata kunci: Selulolitik, probiotik, ampas tahu, serat kasar

ISOLATION OF CELLULOLYTIC BACTERIA FROM RUMEN LIQUIT OF BUFFALO AS A PROBIOTICS PROPERTIES TO IMPROVE NUTRIENT

QUALITY OF SOYBEAN DITELLERY BY-PRODUCT AS FEED

ABSTRACT

This experiment was carried out to study implementation of Cellulolytic bacteria culture (isolation from rumen liquit of buffalo samples) as a probiotics agent can be used in order to alleviate the negative effect of soybean ditellery by-product as feed. Eighteen of male Bali duckling was assigned to three treatments in a completely randomized design. Each treatment has six replications with one bird per replication (individual cage). The treatments were (i) unfermented soybean ditellery by-product as control; (ii) fermented soybean ditellery by-product by 0.30% Cellulolytics bacteria culture; and (iii) 0.60% Cellulolytics bacteria culture, respectively. The report on the first experiment showed that five isolates of cellulolytic bacteria (B-3, B-6, B-7, B-10, and S-13) were isolated from isolation from rumen liquit of buffalo samples in the first experiment. The whole isolates of cellulolytic bacteria showed resistant grew on both in different temperature (200-550C), acid conditions (3.0-6.5), and bile salt. All of isolates were potensial as probiotics sources, but isolates cellulolytics bacteria B-6 was was the best. The study showed that implementation of isolates Cellulolytics bacteria B-6


(2)

culture as fermented inokulan of soybean ditellery by-product could improve significantly differences (P<0.05) on digestibility of its dry matter (DM), organic matter (OM), crude protein (CP), crude fibre (CF), and increased its metabolizable energy of soybean ditellery by-product. It was concluded that fermentation of soybean distillery by-product by Cellulolytics bacteria B-6 isolate culture (isolation from rumen liquit of buffalo samples)could increase digestibility of soybean ditellery by-product as feed. Key words: Cellulolytic bacteria, probiotics, soybean ditellery by-product, crude fiber

PENDAHULUAN

Ampas tahu merupakan limbah pembuatan tahu, masih mengandung protein dengan asam amino lysin dan metionin, serta kalsium yang cukup tinggi. Namun, kandungan serat kasarnya tinggi, sehingga menjadi faktor pembatas penggunaannya dalam ransum itik (Mahfudz, 2006). Ketersediaan ampas tahu cukup banyak, khususnya pada sentra industri rumah tangga pembuatan tahu. Terkadang ampas tahu ini sering menimbulkan dilema bau yang kurang sedap, sehingga menggangu lingkungan. Hal ini logis karena kandungan air ampas tahu sangat tinggi, sehingga mudah membusuk. Akan sangat bijak bila ampas tahu tersebut dimanfaatkan sebagai pakan ternak itik. Sebelum diberikan, terlebih dahulu difermentasi dengan inokulan unggulan yang mampu berperan sebagai mikroba probiotik dalam saluran pencernaan itik (lolos uji pH, suhu, asam dan garam empedu). Oleh karena itu, untuk memberdayagunakan ampas tahu perlu diberi perlakuan dan salah satunya adalah dengan bioteknologi probiotik.

Fraksi selulosa merupakan komponen yang paling besar sebagai penyusun dinding sel ampas tahu, yaitu sekitar 40-50% yang sangat sulit/tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan ternak itik. Supaya dapat digunakan, maka selulosa terlebih dahulu harus diuraikan menjadi senyawa dengan berat molekul rendah, seperti mono, di, dan tri sakarida. Degradasi tersebut melibatkan kompleks enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba (Wainwright, 2002), yaitu endo-beta-glucanase dan beta glucosidase.

Berdasarkan hal tersebut, menarik untuk diamati adalah pemanfaatan jasa mikroba selulolitik yang berasal dari cairan rumen kerbau sebagai inokulan pendegradasi serat pada ampas tahu sebelum diberikan kepada ternak itik. Hal ini dimungkinkan karena mikroba cairan rumen kerbau ternyata mempunyai aktivitas selulolitik yang paling tinggi dibandingkan dengan mikroba selulolitik ternak lainnya, seperti rayap, feses gajah, dan sapi (Prabowo et al., 2007). Menurut Sudirman (2011), disamping sumber mikroba yang menentukan aktifitas pencernaan serat, juga sangat ditentukan oleh tepatnya dosis inokulum mikroba, keseragaman jenis, dan populasi mikroba yang digunakan. Pemberian kultur mikroba cairan rumen kerbau kepada itik


(3)

diharapkan dapat menimbulkan efek sinergistik antara species mikroba rumen kerbau dengan mikroba saluran pencernaan itik, sehingga dapat menyebabkan kemampuan mencerna itik terhadap pakan serat meningkat.

Fermentasi dengan mikroba selulolitik dapat menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan meningkatkan nilai gizinya, serta mengubah protein kompleks menjadi asam amino sederhana yang mudah diserap (Mahfudz et al., l996). Proses fermentasi yang tidak sempurna tampaknya menyebabkan berkembangnya bakteri lain yang bersifat pathogen yang menimbulkan gangguan kesehatan dan kematian ternak. Oleh karena itu, pemilihan mikroba sebagai inokulan dalam proses fermentasi perlu dicermati.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suplementasi kultur mikroba selulolitik yang diseleksi dari rumen kerbau untuk meningkatkan kualitas nutrisi ampas tahu.

MATERI DAN METODE Tempat dan Lama Penelitian

Penelitian lapangan di laksanakan di Stasiun Penelitian, Fakultas Peternakan Kampus Bukit Jimbaran, Universitas Udayana, Denpasar. Sedangkan analisis laboratorium dilaksanakan di laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, dan Lab. Biosain Universitas Udayana, Denpasar. Penelitian berlangsung selama enam bulan.

Pengambilan dan Penyiapan Sampel Sumber Mikrobia

Cairan rumen kerbau diperoleh pada rumah pemotongan hewan di daerah Sangeh, Kabupaten Badung. Cairan rumen kerbau segera diambil setelah ternak dipotong. Sampel dimasukkan ke dalam termos yang sebelumnya berisi penuh air hangat (temperatur sekitar 390C) yang isinya telah dikeluarkan. Termos di isi penuh sampel, kemudian ditutup rapat hingga terbebas dari kontaminasi udara dan segera digunakan untuk penelitian.

Ampas Tahu

Ampas tahu diperoleh dari industri rumah tangga pembuatan tahu di daerah Ubung Kaja, Denpasar Barat.

Bahan/Substrat dalam Isolasi Bakteri Selulolitik Cairan Rumen Kerbau

Bahan yang digunakan sebagai sumber isolat adalah sampel cairan rumen kerbau, larutan pengencer (medium No. 14 Bryant dan Burkey, sesuai dengan Ogimoto


(4)

dan Imai, 1981), medium pertumbuhan selektif cair/padat (medium No. 6 dalam Ogimoto dan Imai, 1981) dengan CMC dan atau avicel sebagai substrat, ekstrak cairan rumen kerbau (sebagai sumber nutrient medium), larutan mineral yaitu formula No. 32 Bryant and Burkey dalam Ogimoto dan Imai, 1981), reagensia uji kemampuan probiotik untuk isolat dan reagensia uji morfologi dan biokemis isolat, serta reagensia untuk analisis biologi molekuler (PCR).

Sampel yang telah disiapkan (cairan rumen kerbau) harus terbebas dari oksigen dan segera digunakan di laboratorium. Sebanyak 45 ml larutan pengencer (Medium No. 14, Bryant and Burkey dalam Ogimoto and Imai, 1981) ditempatkan pada tabung steril dan dialiri gas CO2 serta ditambahkan 5 gram sampel limbah isi rumen kerbau (sampel

sumber mikroba selulolitik) sambil dialiri gas CO2. Larutan 10-1 ini diaduk/divortek

selama 5 menit. Selanjutnya sampel diencerkan menjadi 10-2, 10-3, 10-5, 10-7, 10-8 dan 10-9 sambil tetap dialiri CO2. Untuk mendapatkan hasil yang baik diinokulasikan 0,50

ml isolate dari pengenceran tabung pengencer 105 kedalam medium selektif bakteri dan diinkubasi padat pada temperature 390C selama 5-7 hari.

Pembuatan ekstrak Cairan Rumen Sebagai Nutrien

Cairan rumen disentrifuse selama 10 menit pada 3.000 rpm, selanjutnya disaring dengan kain kassa dobel.

Pembuatan Medium Pertumbuhan Selektif Bakteri Seluolitik

Medium pertumbuhan selektif dibuat menggunakan formula No. 6 Bryant and Burkey (Ogimoto dan Imai, 1981) dengan metode Hungate, menggunakan Carboxy Methyl Cellulosa/CMC sebagai substrat. Medium selektif dibuat dengan mencampur 400 ml cairan rumen, 20 g agar, 1 ml larutan rezasurin 0,1%, 150 ml larutan mineral I, 150 ml larutan mineral II, 250 ml aquadest, dan 2 g substrat dalam tabung Erlenmeyer 1000 ml. Selanjutnya campuran dipanaskan pada temperature 1000C selama 5 menit untuk menghomogenkan campuran sambil dialiri gas CO2. Temperatur selanjutnya

dijaga pada suhu 450C dalam water bath. Suasana anaerob tercapai ditandai dengan hilangnya warna pink. Campuran kemudian ditambahkan 32,3 ml sodium karbonat dan 16,7 ml HCl-cistein. Sebanyak 4 ml medium dimasukkan ke dalam tiap tabung Hungate sambil terus dialiri gas CO2 dan selanjutnya disterilisasi dengan autoklaf pada


(5)

Isolasi Bakteri Selulolitik

Isolasi bakteri selulolitik dilakukan dengan metode Wahyudi dan Masduqie (2004), yaitu terlebih dahulu mengkultur sumber isolate/mikroba pada medium Fluid Theoglicollate Broth padat (medium No. 6 dalam Ogimoto and Imai, 1981) menggunakan metode Hungate, dimana 1 ml larutan mikroba dalam pengencer 105-109 diinokulasikan segera ke dalam tabung yang telah berisi medium pertumbuhan cair pada temperature 39-400C dan diisi gas CO2 menggunakan pipet steril. Kemudian tabung

ditutup rapat dan diaduk sampai homogeny, selanjutnya dibiarkan dalam suhu ruang sambil terus dialiri gas CO2 sampai kondisi agar memadat. Kultur selanjutnya

diinkubasi pada temperature 390C selama 7 hari. Koloni bakteri yang tumbuh diamati morfologinya dan dimurnikan dengan metode streak quadrant pada medium pertumbuhan selektif pada cawan petri. Kegiatan dilakukan berulang sampai isolate bakteri yang dihasilkan merupakan kultur tunggal.

Zona bening disekeliling koloni sebagai ciri khas mikroba selulolitik tidak tampak nyata meskipun dapat dibedakan dengan kolomi jenis lain. Pada hari ke tujuh inkubasi, zona bening mulai tampak lebih jelas.

Koloni berbentuk bulat dengan diameter antara satu sampai dua milimiter, warna krem atau putih kecokelatan, dan tidak tembus pandang. Koloni lain yang tumbuh pada medium roll tube berwarna putih terang dan cokelat kemerahan dengan posisi tumbuh melintang berlawanan dengan permukaan agar. Namun sebagian besar adalah berwarna putih dengan diameter kurang dari 1 mm dengan posisi sejajar dengan permukaan medium agar.

Isolat murni bakteri selulolitik murni yang diperoleh hasil isolasi, selanjutnya di seleksi kemampuannya sebagai agensia probiotik, yaitu uji kemamuan tumbuh pada berbagai level pH dan garam empedu.

Seleksi Kemampuan Isolat Bakteri Selulolitik Tumbuh pada Berbagai Variasi pH Seleksi kemampuan tumbuh isolate pada berbagai variasi pH khususnya pada pH rendah dilakukan dengan cara memasukkan sebanyak 500 µl kultur isolate bakteri selulolitik murni ke dalam tabung eppendorf berisi 900 µl medium pertumbuhan selektif cair dengan variasi pH 3.0; 4.0; 5.0; dan 6,5. Kemudian diinkubasi dalam water bath pada suhu 390C selama 3 jam, selanjutnya disentrifuse pada 7000 rpm selama 5 menit dan supernatannya dibuang. Pellet isolate dicuci dua kali dengan 1500 µl larutan salin. Pellet selanjutnya disuspensikan dalam 1500 µl larutan salin dan sebanyak 50 µl


(6)

suspensi tersebut diinokulasikan ke dalam 6,5 ml medium pertumbuhan selektif pada pH 7.0 dan diinkubasi selama 24 jam pada temperature 390C. Pertumbuhan isolate diamati dari Optical Dencity/DO dengan spektrofotometer.

Uji Kemampuan Isolat Bakteri Selulolitik Tumbuh pada Berbagai Konsentrasi garam Empedu

Uji atau seleksi kemampuan tumbuh isolate pada berbagai konsentrasi garam empedu dilakukan dengan cara memasukkan 5 ml medium pertumbuhan cair ke dalam 4 tabung reaksi, kemudian diinokulasikan dengan 50 µl kultur isolate bakteri selulolitik murni. Pada tabung reaksi pertama (sebagai kontrol) tidak ditambahkan Natrium Dioksilat/NaDC, sedangkan pada tabung reaksi kedua, ketiga, dan keempat, masing-masing ditambahkan 10 µl, 20 µl, dan 30 µl NaDC 100 mM (setara dengan 0,20 mM; 0,40 mM, dan 0,60 mM NaDC). Kemudian diinkubasi pada temperature 390C selama 24 jam. Selanjutnya diamati optical dencity/DO menggunakan spektrofotometer.

Kemampuan Isolat Mendegradasi Substrat

Kemampuan isolate mendegradasi substrat ditentukan dari diameter zona bening yang terbentuk pada medium yang mengandung substrat Carboxy Methyl Cellulosa/CMC. Kegiatan reaksi dilakukan dengan cara sebagai berikut: Isolat murni pada medium roll tube dipindahkan ke dalam medium selektif cawan petri secara anaerob dengan metode overlay (Lowe, 1986). Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada temperature 390C selama 7 hari dalam anaerobic jar yang diisi anaerobic generating kit. Setelah inkubasi, diameter zona bening yang terbentuk diamati dan diukur dengan menggunakan jangka corong.

Adanya zona bening disekeliling koloni menunjukkan bahwa mikroba tersebut mempunyai aktivitas enzim selulase ekstraseluler kuat. Besar kecilnya zona bening dan jelas tidaknya zona bening, merupakan indikator kemampuan mikroba tersebut untuk merombak selulosa, demikian juga cepat dan lambatnya timbul zona bening tersebut (Van Devoorde dan Verstraete, 1987).

Rancangan Percobaan

Rancangan yang dipergunakan dalam penelitian force feeding ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam macam perlakuan dan enam kali ulangan. Tiap ulangan (individual cage) menggunakan masing-masing satu ekor itik Bali jantan dewasa dengan berat badan homogen. Ke enam perlakuan tersebut adalah sebagai berikut:


(7)

 Ampas tahu terfermentasi dengan 0,00% kultur bakteri selulolitik unggulan sebagai kontrol (A).

 Ampas tahu terfermentasi dengan 0,30% kultur bakteri selulolitik unggulan (B),  Ampas tahu terfermentasi dengan 0,60% kultur bakteri selulolitik unggulan (C) Fermentasi Ampas Tahu

Fermentasi ampas tahu oleh kultur mikroba selulolitik terpilih dengan prosedur sebagai berikut. Ampas tahu yang sudah dalam bentuk tepung ditambah air sebanyak 50% (volume/berat), kemudian diaduk secara merata, lalu dikukus selama 45 menit, dihitung sejak air mendidih. Setelah dikukus, selanjutnya didinginkan, kemudian diinokulasi dengan inokulum kultur mikroba selulolitik terpilih pada dosis 0,30% dan 0,60% dari berat pakan yang difermentasi, selanjutnya dimasukkan ke dalam ember plastik yang sudah biberi lubang-lubang kecil dibagian penutupnya, selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang dengan ketebalan 2 cm selama 3 hari. Setelah 3 hari, pakan fermentasi dikeringkan selama 24 jam pada suhu 500C (Wahyuni et al., 2008) dan siap digunakan untuk keperluan analisis berikutnya.

Penentuan Kecernaan dengan Metode Force Feeding

Penentuan kecernaan dengan metode ini, terlebih dahulu dipersiapkan masing-masing 6 ekor itik dewasa untuk setiap pakan (sebagai ulangan) yang akan dicobakan. Semua itik dipuasakan pakan (air minum tetap diberikan) selama 16 jam dan

ditempatkan dalam kandang metabolis (”individual cage”). Selanjutnya ampas tahu yang sudah dan belum mengalami fermentasi dimasukkan kedalam tembolok itik secara hati-hati dengan bantuan tangan dan slang air. Banyaknya pakan yang diberikan, terlebih dahulu ditimbang sebanyak 50 g.

Sampel pakan dan Ekskreta (feses) selanjutnya dianalisis proksimat dengan metode AOAC (l994). Kandungan protein kasar ditentukan dengan metode Kjeldahl (AOAC, 1994). Sedangkan kandungan serat kasar ditentukan dengan metode Van Soest et al. (l991).

Metabolizable energy (ME) = energi yang dikonsumsi – energi ekskreta

Gross energi dihitung dengan menggunakan adiabatic oxygen bomb calorimeter. Analisis Statistik

Data yang terkoleksi dianalisis dengan sidik ragam sesuai dengan rancangan percobaan yang digunakan. Bila hasil analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) diantara perlakuan maka dilanjutkan dengan analisis uji Jarak


(8)

Berganda Duncan pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1989) untuk mengetahui perbedaan rataan peubah respons pada semua perlakuan.

HASIL

Zona bening disekeliling koloni sebagai ciri khas mikroba selulolitik tidak tampak nyata meskipun dapat dibedakan dengan kolomi jenis lain. Pada hari ke tujuh inkubasi, zona bening mulai tampak lebih jelas. Koloni berbentuk bulat dengan diameter antara satu sampai dua milimiter, warna krem atau putih kecokelatan, dan tidak tembus pandang. Koloni lain yang tumbuh pada medium roll tube berwarna putih terang dan cokelat kemerahan dengan posisi tumbuh melintang berlawanan dengan permukaan agar. Namun sebagian besar adalah berwarna putih dengan diameter kurang dari 1 mm dengan posisi sejajar dengan permukaan medium agar. Adanya zona bening disekeliling koloni menunjukkan bahwa mikroba tersebut mempunyai aktivitas enzim selulase ekstraseluler kuat. Besar kecilnya zona bening dan jelas tidaknya zona bening, merupakan indikator kemampuan mikroba tersebut untuk merombak selulosa, demikian juga cepat dan lambatnya timbul zona bening tersebut (Van Devoorde dan Verstraete, 1987).

Hasil pemeriksaan Gram menunjukkan bahwa reaksi kimia pewarnaan akhir menghasilkan warna ungu. Hal ini menunjukkan bahwa koloni selulolitik termasuk kelompok bakteri gram positif. Sedangkan hasil pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa bentuk bakteri selulolitik adalah bulat (coccus).

Seperti terlihat pada Tabel 1, semua isolate bakteri selulolitik menunjukkan pertumbuhan yang baik (dengan nilai absorbansi antar 0,8-1,5) pada medium yang mengandung NaDC sampai konsentrasi 0,6 mM. Walaupun tidak dianalisis pada penelitian ini, toleransi yang baik terhadap garam empedu diduga berhubungan erat dengan peranan enzim-enzim yang mampu mendegradasi garam empedu. Peran enzim pendegradasi garam empedu, seperti bile salt hydrolase pada bakteri asam laktat pernah dilaporkan oleh Smet et al. (1995). Enzim ini mampu mengubah kemampuan fisik dan kimia yang dimiliki oleh garam empedu, sehingga tidak bersifat racun bagi bakteri asam laktat. Mekanisme resisten yang ditunjukkan oleh beberapa isolate bakteri pada Tabel 5.1, kemungkinan terjadi melalui mekanisme yang dijelaskan di atas. Berdasarkan pada sifat resisten yang ditunjukkan oleh isolat pada Tabel 1, mengindikasikan bahwa


(9)

strain-strain tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai calon probiotik lokal, walaupun beberapa uji lanjutan masih harus dilalui oleh isolat-isolat tersebut.

Tabel 1. Uji kemampuan tumbuh isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari rumen kerbau pada berbagai konsentrasi garam empedu

Isolat Bakteri Selulolitik Rumen Kerbau

Nilai Absorben OD (panjang gelombang/ʎ 570 nm 0,0 NaDC 0,2 NaDC 0,4 NaDC 0,6 NaDC

Medium CMC (blanko) 0,256 0,252 0,273 0,295

Isolat B-1 1,051 1,103 1,297 1,506

Isolat B-2 1,812 1,772 1,530 1,857

Isolat B-3 1,671 1,313 1,637 1,651

Isolat B-4 1,160 1,403 1,593 1,797

Isolat B-5 1,361 1,402 1,333 1,528

Isolat B-6 1,310 1,327 1,455 1,733

Isolat B-7 1,303 1,411 1,567 1,650

Isolat B-8 1,102 1,236 1,519 1,529

Isolat B-9 1,365 1,822 1,831 1,506

Isolat B-10 1,361 1,323 1,485 1,666

Isolat B-11 1,187 1,323 1,476 1,623

Isolat B-12 1,205 1,296 1,371 1,582

Isolat B-13 1,095 1,369 1,475 2,003

Isolat B-14 1,108 1,329 1,404 1,581

Isolat B-15 1,219 1,361 1,507 1,618

Isolat B-16 1,232 1,285 1,573 1,426

Walaupun tidak terjadi pada isolat yang diperoleh pada penelitian ini, kematian mikroba pada lingkungan yang mengandung NaDC (garam empedu) dalam konsentrasi tertentu umumnya disebabkan oleh kegagalan mikroba tersebut dalam mempertahankan permeabilitas membrannya setelah terpapar dalam waktu yang cukup lama oleh garam empedu. Menurut Farida (2006) dan Surono (2004), kematian sel pada lingkungan yang terpapar NaDC disebabkan oleh peningkatan aktivitas enzim β-galactosidase terhadap garam empedu, karena aktivitas yang tinggi dari enzim ini dapat membatasi sel untuk mengontrol metabolismenya. Hal ini dapat berakibat terekstraksinya materi-materi intraseluler, seperti sitoplasma dan ribosom, sehingga sel mengalami lisis dan akhirnya mati.

Ketahanan isolate bakteri selulolitik terhadap pH rendah merupakan salah satu karakteristik yang diperlukan atau harus dipenuhi oleh kandidat probiotik agar dapat dikembangkan menjadi probiotik potensial. Pada uji ini pH medium diatur sebesar 3,0; 4,0; 5,0; dan 6,5. Empat unit pH dengan menggunakan HCl (asam klorida), karena HCl


(10)

memiliki karakteristik yang mirip dengan asam lambung. Sifat resisten terhadap asam sangat perlu dimiliki oleh kandidat probiotik, karena dalam penerapannya nanti kandidat probiotik ini harus melewati lambung yang kondisinya sangat asam, sebelum mencapai kolon.

Tabel 2. Uji kemampuan tumbuh isolat bakteri selulolitik yang diisolasi dari rumen kerbau pada berbagai variasi pH

Isolat Bakteri Selulolitik

Nilai Absorben OD (panjang gelombang/ʎ 570 nm

pH 6,5 pH 5,0 pH 4,0 pH 3,0

Medium CMC (blanko) 1,027 0,925 0,613 0,319

Isolat B-1 1,907 (++) 1,538 (++) 0,984 (+) 0,517 (+) Isolat B-2 1,816 (++) 1,491 (++) 0,925 (+) 0,532 (+) Isolat B-3 1,939 (++) 1,672 (++) 1,182 (++) 0,936 (++) Isolat B-4 1,821 (++) 1,574 (++) 0,973 (+) 0,697 (+) Isolat B-5 1,783 (++) 1,539 (++) 0,878 (+) 0,575 (+) Isolat B-6 1,972 (++) 1,738 (++) 1,128 (++) 0,993 (++) Isolat B-7 1,981 (++) 1,687 (++) 1,165 (++) 0,874 (++) Isolat B-8 1,893 (++) 1,601 (++) 0,852 (+) 0,565 (+) Isolat B-9 1,947(++) 1,685 (++) 0,795 (+) 0,513 (+) Isolat B-10 1,983 (++) 1,702 (++) 1,005 (+) 0,994 (++) Isolat B-11 1,871 (++) 1,390 (+) 0,961 (+) 0,531 (+) Isolat B-12 1,739 (++) 1,571 (++) 0,938 (+) 0,596 (+) Isolat B-13 1,946 (++) 1,685 (++) 1,312 (++) 0,891 (++) Isolat B-14 1,825 (++) 1,492 (++) 0,958 (+) 0,501(+) Isolat B-15 1,902 (++) 1,468 (++) 0,881 (+) 0,507 (+) Isolat B-16 1,817 (++) 1,595 (++) 0,976 (+) 0,566 (+) Keterangan :

-

= A < 0,1 (tidak tahan asam)

+ = A 0,1 – 0,5 (sedikit tahan asam) ++ = A 0,5 – 1,0 (tahan asam)

+++ = A > 1,0 (sangat tahan asam)

Pada penelitian ini sebanyak 16 isolate bakteri selulolitik yang diisolasi rumen kerbau diuji ketahanannya pada medium pH sampai rendah. Hasil uji ditunjukkan pada Tabel 2. Data pada Tabel 2 sangat jelas menunjukkan bahwa semua isolat yang uji dapat tumbuh pada medium pH 3,0, pH 4,0; pH 5,0; dan pH 6,5, walaupun terjadi sedikit penurunan nilai optical density (OD) jika dibandingkan dengan kontrol (pH 6,5), setelah diinkubasi selama 3 jam dalam waterbath. Waktu inkubasi selama 3 jam ditujukan untuk menyesuaikan dengan waktu yang diperlukan oleh makanan untuk melewati lambung ternak unggas setelah makanan tersebut ditelan (Oozer et al., 2006). Terjadinya pertumbuhan yang normal ditunjukkan oleh nilai absorbansi antara 0,5-1,0.


(11)

Kemampuan isolate bakteri selulolitik tumbuh dengan baik pada pH 3,0 hanya lima isolat, yaitu isolate B-3; B-6; B-7; B-10; dan B-13.

Kemampuan kelompok bakteri dapat tahan hidup pada kondisi pH yang ekstrim akan sangat memungkinkan kelompok bakteri ini untuk dikembangkan menjadi kandidat probiotik potensial. Mekanisme yang dilakukan bakteri untuk dapat bertahan pada pH rendah masih belum banyak dikaji. Namun beberapa peneliti melaporkan bahwa kemampuan mikroba bertahan pada lingkungan pH sangat rendah sangat erat kaitannya dengan kemampuan mikroba tersebut mempertahankan pH internalnya selalu lebih tinggi daripada pH lingkungan sekitarnya (Hutkins dan Nannen, 1993).

Gambar 2. Zona bening (aktivitas CMC-ase) isolat bakteri selulolitik

Kemampuan isolate mendegradasi substrat ditentukan dari diameter zona bening yang terbentuk pada medium yang mengandung substrat Carboxy Methyl Cellulosa/CMC. Medium CMC umumnya adalah untuk mengetahui aktivitas enzim endoglukonase. Isolat bakteri selulolitik yang di uji aktivitas enzim endoglukonasenya adalah isolate bakteri selulolitik yang telah lolos uji asam dan garam empedu (syarat mikroba probiotik) adalah isolat bakteri selulolitik B-3; B-6; B-7; B-10; dan B-13.

Hasil penelitian menunjukkan, ternyata kelima isolate bakteri selulolitik menunjukkan aktivitas CMC-ase dengan menunjukkan zona bening dengan diameter yang berbeda-beda. Isolat bakteri selulolitik B-6 menunjukkan aktivitas selulolitik (CMC-ase) yang paling tinggi dibandingkan dengan isolate lainnya. Lebih jelasnya tersaji pada Gambar 2.

Uji CMC-ase adalah uji kemampuan isolat bakteri selulolitik dalam mendegradasi serat kasar. Hal ini dapat diukur dari diameter zona bening yang dihasilkan (Gambar 2). Dari hasil penelitian ini ternyata hanya isolat bakteri selulolitik B-6 yang mempunyai

Isolat bakteri selulolitik B-6

Isolat bakteri selulolitik B-3 Isolat bakteri


(12)

kemampuan paling besar dalam mencerna serat. Terlihat isolat isolat bakteri selulolitik B-6 mempunyai zona bening yang paling lebar, sedangkan isolat bakteri selulolitik B-3 memiliki zona bening paling sedikit. Hal ini berarti bahwa isolat bakteri selulolitik B-6 mempunyai kemampuam dalam mencerna serat kasar paling tinggi dibandingkan isolate lainnya. Lebih rinci, perbedaan diameter zona bening yang dihasilkan oleh ketiga isolate tersebut tersaji pada Gambar 2.

Tabel 3. Kemampuan isolate bakteri selulolitik mendegradasi substrat (ditentukan dari diameter zona bening yang terbentuk) pada medium yang mengandung substrat Carboxy Methyl Cellulosa/CMC

Variabel Isolat Bakteri Selulolitik Rumen Kerbau

B-3 B-6 B-7 B-10 B-13

Diameter zona bening (mm) 1,75 4,19 1,93 2,64 3,17

Uji kemampuan isolat bakteri selulolitik B-6 sebagai inokulan fermenasi ampas tahu untuk meningkatkan nilai nutrisi ampas tahu tersaji pada Tabel 4. Isolat bakteri selulolitik yang digunakan adalah isolate bakteri selulolitik B-6, merupakan isolate bakteri selulolitik yang diisolasi dari rumen kerbau dan telah lolos uji asam dan garam empedu, serta mempunyai aktivitas CMC-ase yang paling tinggi dibandingkan isolate lainnya (Tabel 3).

Table 4. Pengaruh penggunaan isolate bakteri selulolitik B-6 sebagai inokulan fermentasi ampas tahu terhadap kecernaan ampas tahu (% bahan kering)

Parameters

Level kultur isolate bakteri selulolitik B-6

SEM

0.0% 0.30% 0.60%

Kecernaan zat makanan (%):

Kecernaan bahan kering (%) 46.72b 49.92a 50.17a 0.503 Kecernaan bahan organik (%) 47.81b 50.03a 50.38a 0.629 Kecernaan protein kasar (%) 45.75b 54.84a 54.95a 1.507

Kecernaan serat kasar (%) 16.07b 22.18 22.31a 1.075

Energi termetabolis (Kkal/kg) 2708.36b 3058.60a 3075.62a 50.925 Keterangan

 SEM = Standart Error of The Treatment means

 Nilai dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05)


(13)

Koefisien cerna bahan kering (KCBK) ampas tahu yang terfermentasi dengan kultur isolat bakteri selulolitik B-6 pada level 0,30% dan 0,60% menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Koefisien cerna bahan kering ampas tahu yang mengalami fermentasi oleh kultur isolat bakteri selulolitik B-6 pada level 0,30% dan 0,60% meningkat masing-masing: 6,85% dan 7,38% lebih tinggi daripada kontrol.

Koefisien cerna bahan organik (KCBO) ampas tahu yang terfermentasi dengan kultur isolat bakteri selulolitik B-6 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Koefisien cerna bahan organik ampas tahu yang mengalami fermentasi oleh kultur isolat bakteri selulolitik B-6 meningkat masing-masing: 4,64% dan 5,38% lebih tinggi daripada kontrol.

Koefisien cerna protein kasar ampas tahu yang terfermentasi dengan kultur isolat bakteri selulolitik B-6 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Koefisien cerna protein kasar ampas tahu yang mengalami fermentasi oleh kultur isolat bakteri selulolitik B-6 meningkat masing-masing: 19,87% dan 20,11% lebih tinggi daripada kontrol.

Fermentasi ampas tahu dengan kultur isolat bakteri selulolitik B-6 secara nyata (P<0,05) meningkatkan kecernaan serat kasar ampas tahu masing-masing: 38,02% dan 38,83% lebih tinggi dibandingkan dengan ampas tahu kontrol.

Penggunaan kultur isolat bakteri selulolitik B-6 secara nyata (P<0,05) meningkatkan kandungan energi termetabolis ampas tahu masing-masing: 12,93% dan 13,56% lebih tinggi daripada kandungan energi termetabolis ampas tahu kontrol (ampas tahu tanpa fermentasi)

DISKUSI

Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa dari beberapa sampel rumen kerbau, berhasil diisolasi 16 jenis isolate bakteri selulolitik. Koloni mulai terlihat pada hari ketiga inkubasi pada temperatur 390C dalam media agar roll tube. Zona bening disekeliling koloni sebagai ciri khas khamir bakteri selulolitik. tidak tampak nyata meskipun dapat dibedakan dengan koloni jenis lain. Pada hari ketujuh inkubasi, zona bening mulai tampak lebih jelas. Koloni berbentuk bulat dengan diameter antara satu sampai dua milimiter, warna krem atau putih kecokelatan, dan tidak tembus pandang. Isolat bakteri selulolitik adalah yang membentuk koloni dengan zona jernih, uji katalase negatif, dan pengecetatan Gram positif. Hasil pengamatan secara morfologis


(14)

menunjukkan, ternyata bakteri selulolitik yang diisolasi dari rumen kerbau mempunyai bentuk oval berwarna putih/krem.

Ketahanan bakteri selulolitik terhadap pH rendah merupakan salah satu karakteristik yang diperlukan atau harus dipenuhi oleh kandidat probiotik agar dapat dikembangkan menjadi probiotik potensial. Menurut Ahmad (2005), suhu lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan khamir adalah 25-30oC dan suhu maksimum 35-47oC.

Secara umum, bakteri probiotik mampu hidup di dalam saluran pencernaan ternak unggas dan bermutualisme dengan tubuh inangnya (ternak unggas) pada pH antara 2 - 4. Mikroba probiotik tidak mengakibatkan hal yang negatif pada tubuh inang, tidak patogen, umumnya tidak membentuk spora, saccharolytic, anaerob, tidak mengganggu ekosistem tubuh, serta hidup dan tumbuh didalam usus (Fuller, 1989).

Hasil penelitian menunjukan bahwa bahwa hanya 5 isolat bakteri selulolitik rumen kerbau yang berpotensi sebagai agensia probiotik dan mempunyai aktivitas CMC-ase. Ke lima isolat tersebut menunjukkan ketahanan terhadap asam dan garam empedu yang merupakan karakteristik dari bakteri probiotik. Bakteri selulolitik merupakan mikroorganisme bersel satu tidak berklorofil, tumbuh baik pada suhu 39oC dan pH 3-6,5. Menurut Hidayat (2010), nilai pH pada saluran pencernaan unggas pada setiap organ pencernaan adalah: tembolok (pH 4.5), proventrikulus (pH 4.4), gizzard (pH 2.6), duodenum (pH 5.7-6.0), jejunum (pH 5.8), ileum (pH 6.3), kolon (pH 6.3), ceca (pH 5.7), dan empedu (H 5.9).

Menurut Ahmad (2005), suhu lingkungan yang optimum untuk pertumbuhan bakteri selulolitik adalah 25-39oC dan suhu maksimum 35-55oC. Beberapa kelebihan bakteri selulolitik dalam proses fermentasi yaitu mikroorganisme ini cepat berkembang biak, tahan terhadap suhu yang tinggi, mempunyai sifat stabil dan cepat mengadakan adaptasi.

Ketahanan isolat mikroba terhadap garam empedu digunakan untuk mengkaji kemampuan isolat bertahan pada saluran pencernaan yang terdapat garam empedu pada permukaan atas usus. Probiotik akan berhadapan dengan lingkungan dalam usus halus, dimana didalamnya terdapat bile atau garam empedu yang dilepas oleh hati melalui kandung empedu, setelah berhasil melewati kondisi asam di lambung. Oleh karena itu, dalam proses pengembangan probiotik baru, atau calon probiotik baru harus mampu melewati uji ketahanan terhadap bile atau garam empedu yang dilakukan secara in vitro.


(15)

Berdasarkan sifat resisten yang ditunjukan oleh beberapa isolat, mengidikasikan bahwa strai-strain tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi calon probiotik.

Aktivitas enzim CMC-ase (endo-1,4-b-glukonase) adalah adanya zona bening disekeliling koloni yang menunjukkan bahwa mikroba tersebut mempunyai aktivitas enzim selulase ekstraseluler kuat. Besar kecilnya zona bening dan jelas tidaknya zona bening, merupakan indikator kemampuan mikroba tersebut untuk merombak selulosa, demikian juga cepat dan lambatnya timbul zona bening tersebut (Van Devoorde dan Verstraete, 1987). Khamir selulolitik mampu memproduksi enzim endo 1,4 b-glukonase, ekso 1,4 b-b-glukonase, dan beta-glukosidase yang dapat mendegradasi komponen serat kasar menjadi karbohidrat terlarut (Howard et al., 2003)

Efektivitas koloni isolat bakteri selulolitik tertinggi terlihat pada pada hari ke 3, baik pada bakteri selulolitik B-6 maupun isolate bakteri selulolitik B-3; B-7; B-10 dan B-13. Bidura (2007) menyatakan bahwa salah satu syarat yang dimiliki oleh mikroba probiotik adalah mudah dikembangbiakkan dan jumlahnya tidak menurun apabila kultur tersebut disimpan dalam kurun wajtu tertentu sebelum digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah koloni bakteri selulolitik B-6 pada hari ketiga setelah penanaman cukup tinggi. Seperti dilaporkan oleh Fuller (1989) bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki oleh kultur probiotik dalam setiap gramnya yang layak digunakan sebagai agensia probiotik adalah 106 CFU/gram.

Proses biofermentasi diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa, dan penurunan kadar lignin. Bakteri yang bersifat lignolitik juga mampu mendegradasi lignin melalui pembentukan sekumpulan miselia kemudian berkembang biak secara aseksual melalui spora (Erika, 1998). Fermentasi ampas tahu dengan kultur bakteri selulolitik B-6 ternyata dapat meningkatkan biomassa mikroba, sehingga kandungan protein kasar ampas tahu meningkat (Bidura et al., 2012; Sutama, 2008). Dilaporkan juga bahwa keberhasilan proses fermentasi dipengaruhi oleh jenis dan jumlah mikroba yang digunakan, jenis substrat, pH, dan suhu selama proses fermentasi. Biomassa merupakan wujud massa dari hasil proses biologis dari mikroorganisme. Mikroorganisme mampu mengkonversi bahan menjadi protein. Proses fermentasi mempunyai tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, tekstur, dan nilai biologis yang lebih baik, serta menurunkan zat antinutrisi.


(16)

Proses fermentasi dapat meningkatkan protein kasar ampas tahu. Peningkatan protein dikarenakan adanya proses perubahan NPN oleh bakteri menjadi nitrogen menjadi protein tubuh mikrobial, sehingga protein ampas tahu menjadi meningkat. Demikian pula kandungan abu, Ca, dan P pada produk pakan terfermentasi lebih tinggi dari pakan aslinya (Suparjo et al., 2003). Mangisah et al. (2008) melaporkan bahwa proses fermentasi pakan secara signifikan dapat meningkatkan kandungan protein pakan (meningkat 65,41%). Menurut Pangestu (l997), kandungan protein dan energi termetabolis meningkat masing-masing: 16,00% dan 48,40%

Peningkatan kandungan protein dan energi pada pakan terfermentasi disebabkan karena adanya kemampuan bakteri untuk memanfaatkan zat makanan pada ampas tahu untuk membentuk protein tubuhnya (protein mikrobial). Sesuai dengan pendapat Suparjo et al. (2003) yang menyatakan bahwa fermentasi dedak padi dengan 0,20% kultur Aspergillus niger selama tiga hari nyata dapat meningkatkan kandungan protein dan fosfor dedak padi. Sabini et al. (2000) menyatakan bahwa kapang T. reesei mampu mendegradasi polisakarida mannan menjadi mannotriosa, mannobiosa, dan monnosa.

Chen et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan 0.20% complex probiotik (L. acidophilus and S. cerivisae) dalam ransum nyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering pakan. Enzim peroksidase ekstraseluler bekerja secara aktif pada aktivitas lignolisis, sehingga ikatan lignoselulosa putus, dan fraksi lignin terurai menjadi CO2.

Biofermentasi dengan menggunakan jasa mikroba dapat meningkatkan kecernaan zat makanan pakan (Arsyad et al., 2001; Bidura dan Suastina, 2002). Hong et al. (2004) melaporkan bahwa fermentasi pakan dengan menggunakan Aspergilus oryzae nyata meningkatkan kecernaan bahan kering dan protein kasar pakan. Menurut Jaelani et al. (2008), terjadinya peningkatan kandungan ME bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) sebagai akibat fermentasi oleh kapang T. reesei dari 1.824,13 kkal/kg menjadi 1930,44 kkal/kg diduga karena adanya degradasi polisakarida mannan yang ada pada ungkil inti sawit oleh kapang T. reesei menjadi bentuk yang lebih sederhana (monosakarida) yang menghasilkan nilai energi yang cukup baik dibandingkan dalam bentuk polisakarida mannan. Hal senada dilaporkan juga oleh Sabini et al. (2000) yang menyatakan bahwa kapang T. reesei mampu mendegradasi polisakarida mannan menjadi mannotriosa, mannobiosa, dan monnosa. Menurut Jaelani et al. (2008), fermentasi bungkil inti sawit nyata dapat meningkatkan kandungan protein kasar bungkil inti sawit dibandingkan dengan tanpa fermentasi.


(17)

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berhasil diisolasi lima isolat bakteri selulolitik (isolate bakteri selulolitik B-3; B-6; B-7; B-10; dan B-13) dari rumen kerbau yang berpotensi sebagai sumber probiotik (lolos uji suhu, asam dan garam empedu. Penggunaan kultur bakteri selulolitik B-6, sebagai inokulan fermentasi ampas tahu nyata dapat meningkatkan kecernaan nutrien ampas tahu.

UCAPAN TERIMAKASI

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Rektor dan Ketua LPPM Universitas Udayana, atas dana yang diberikan melalui dana penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, sehingga penelitian dapat dilaksanakan. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. I M. Mudita, SPt., MSi dan analis Laboratorium Kimia Nutrisi, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam analisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander. 1977. Introduction to soil Microbiology. 2nd Ed. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Assocciation of Official Analytical Chemists (l994). Official Methods of Analysis. 15th Edition. Associoation of Analytical Chemists, Arlington, Virginia pp. 1230 BachKnudsen, K. E. 2001. The nutritional significance of “dietary fiber” analysis.

Anim. Feed Sci. Tech. 90 : 3-20

Belaich, J.P. C. Tardif, A. Belaich and C. Gaudin. 1997. The cellulolytic system of Clostridium cellulolyticum. J. Biotechnol 57: 3-14

Brashears M.M and S.E. Gilland. 1995. Survival during frozen and subsequent refrigated storage of Lactobacillus acidophilus cells an influenzced by the growth phase. J. Dairy Sci. 78:2326-2335).

Bidura, I.G.N.G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Udayana University Press, Unud., Denpasar

Bidura, I.G.N.G., T. G. O. Susila, dan I. B. G. Partama. 2008. Limbah, Pakan Ternak Alternatif dan Aplikasi Teknologi. Udayana University Press, Unud., Denpasar Chen-fei, D., C. Qing-sheng, W. Cai-lin, J. Harada, K. Nemotos, and S. Yi-xin. 2008.

QTL analysis for traits assosiated with feeding value of straw in rice (Oryza sativa L.). Rice Science 15 (3): 195-200

Chen. J. and P. J. Weimer. 2001. Competition among three predominant ruminal cellulolytic Bacteria in the Absence or Presence on non-cellulolytic Bacteria. J. Environ. Microbial. 147: 21 - 30


(18)

Gunawan, A. Dickey, dan S. Lukman. 2003. Sapi Bali, Potensi Produktivitas dan Nilai Ekonomi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Jaelani, A., W.G. Piliang, Suryahadi, dan I. Rahayu. 2008. Hidrolisis bungkil inti sawit (Elaeis guineensis Jacq) oleh kapang Trichoderma reesei pendegradasi polisakarida mannan. Animal Production Vol. 10 (1): 42-49

Judoamidjojo, R.M., E.G. Said, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Kamra, D. N. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special section: Microbial Diversity. Current Sciences. Vol 89 (1): 124-135 (cited 2007 December,20). Available from: URL:http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf.

Leng, R. A. 1997. Three Foliage in Ruminant Nutrition. Food and Agriculture Organization. http://www.Fao.org/docrep/003/w7448e/W7448E00.htm

Lowe, S.E. 1986. The Physiology and Cytology of anaerobic Rumen Fungus. A Thesis. Submitted to The University of Manchester for The Degree of Ph.D. Departementy of Botany, Faculty of Science

Madigan, T. M., M. John and P. Jack. 2003. Brock Biology of Microorganisms. Pearson Education, Inc. New York. Pp. 103-108

Mahaputra, S., P. Kurniadhi, Rokhman, dan Kadiran. 2003. Analisis biaya pemeliharaan sapi dengan complete feed. Buletin teknik Pertanian 8 (2): 47-48

Mahfudz, L. D. 1997. Ampas Tahu Fermentasi sebagai Bahan pakan Ayam Pedaging. Caraka Tani, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol 21 (1): 39 – 45.

Mahfudz, L. D. 2006. Efektifitas Oncom Ampas Tahu sebagai Bahan Pakan Ayam. Jurnal Produksi Ternak Vol. 8 (2): 108 – 114

Mahfudz, L. D., K. Hayashi, M. Hamada, A. Ohtsuka, and Y. Tomita. 1996. The Effective Use of Shochu Ditellery By-Product as Growth Promoting Factor for Broiler Chicken. Japanese Poult. Sci. 33 (1): 1 – 7

Mahfudz, L. D., K. Hayashi, K. nakashima, A. Ohtsuka, and Y. Tomita. 1997. A Growth Promoting Factor for Primary Chicks Muscle Cell Culture From Shochu Distillery By-Product. Biosecience, Biotechnology and Biochemistry, December 58: 715-720.

McAllister, T. 2000. Development of Ruminal Microflora in Goat (Capra hircus). Thesis, Program Pascasarjana, Universtas Philipina, Los Banos

Ogimoto, K. And S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Societies Poress, Tokyo


(19)

Orpin, C. G. And K. N. Joblin. 1988. The Rumen Anaerobic fungi. In. The Rumen Micribial Ecosystem. Ed. P. N. Hobson. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 129-149

Pangestu E. 2003. Evaluasi potensi nutrisi fraksi pucuk tebu pada ternak ruminansia. Media Peternakan 5 : 65-70

Panjono, Harmadji, E. Baliarti, dan Kustono. 2000. Performan induk dan pedet sapi peranakan ongole yang diberi ransum jerami padi dengan suplementasi daun gamal. Bulletin. Peternakan 24 (2): 76-81

Prabowo, A., S. Padmowijoyo, Z. Bachrudin dan A. Syukur. 2007. Potensi selulolitik campuran dari ekstrak rayap, larutan feses gajah, dan cairan rumen kerbau. J. of The Indonesian Tropical Anim. Agric. 32 (3): 151-158

Pramono, Y.B., E.S. Rahayu, Suparmo, dan T. Utami. 2007. Perubahan mikrobiologis, fisik, dan kimiawi cairan bakal petis daging selama fermentasi kering spontan. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol 32 (4) : 213-221

Rahayu, K., Kuswanto, dan S. Sudarmadji. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sabini, E., K.S. Wilson, M. Siika-aho, C. Boisset and H. Chanzy. 2000. Digestion of single crystals of mannan I by an endo-mannanase from Trichoderma reesei. EuropeJournal Biochemestry 267:2340-2344

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. l989. Principles and Procedures of Statistics. 2nd Ed. McGraw-Hill International Book Co., London.

Sudirman. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan feses kerbau sebagai

pengganti cairan rumen.

http:www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artukel645 (akses, 19 April 2012) Sujono, M. 1990. Simbiosis Ruminansia. PAU-Bioteknologi, UGM, Yogyakarta.

Sumarsih, S., C. I. Sutrisno, dan E. Pangestu. 2007. Kualitas nutrisi dan kecernaan daun eceng gondok amoniasi yang difermentasi dengan Trichoderma viride pada berbagai lama pemeraman secara in vitro. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol 32 (4) : 257-261

Suryani, N.N. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali yang Diberi Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

Sutrisno, C.I., Nurwantoro, dan Widyawati-Slamet 2004. Daya hidup mikrobia isi rumen sapi yang dikeringkan.Protein, Jurnal Ilmiah Peternakan dan Perikanan Vol 11 (2): 173-180


(20)

Trisyulianti, F., Suryahadi, dan N. Rakhma. 2003. Pengaruh penggunaan mollases dan tepung gaplek sebagai bahan perekat terhadap sifat fisik wafer ransum komplit. Media Peternakan 26: 35-40

Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid, dan D. Suherman. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cerna dan ekosistem rumen sapi. JITV Vol. 5 (1): 276281

Trotter, D. C. 1990. Biotechnology in The Pulp Paper Industry. A Review Part 1. J. Tappi. 198 – 202

Vallie, K., J. Barry, Brock, K. Dinesh, and J. H. Michael. 1992. Degradation of 2.4 toluen by the Lignin-Degrading Fungi Phanerochaete chrysosporium. J. Appl. And Env. Microbiol. 8 : 221 – 228

Vanadianingrum, E. S. 2008. Isolasi dan karakterisasi Bakteri Penghasil Enzim Xilanase dari Cairan Rumen Kambing dan Domba dan Sumber Air Panas di Cipanas. Skripsi. PS. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor. (akses 2 November 2011). Available from URL: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3226

Van Soest, P. J. l991. Difinition of Fibre Animal, In. W. Haresign and D.J.A. Cole Ed. Recent Advences in Animal Nutrition. Butterworths. pp. 55 - 70.

Wainwright, M. 2002. An Introduction to Fungal Biotechnology. John Wiley & Sons Ltd. Baffins Lane, Chichester, West Sussex PO19 IUD, England.

Wahyudi, A. dan Z. B. Masduqie. 2004. Isolasi mikroba selulolitik cairan rumen beberapa ternak ruminansia (Kerbau, sapi, kambing, dan domba). Protein, Jurnal Ilmiah Peternakan dan Perikanan Vol. 11 (2) : 181-186

Wahyuni, S.H.S., J. Wahju, D. Sugandi, D.J. Samosir, N.R. Anwar, A.A. Mattjik, dan B. Tangenjaya. 2008. Implementasi dedak padi terfermentasi oleh Aspergillus ficuum dan pengaruhnya terhadap kualitas ransum serta performans produksi ayam petelur. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol. 33 (4) :255-261 Wang, Y. And T. A. McAllister. 2002. Rumen microbes, enzymes and feed digestion-A

Review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol. 15 (11): 1659-1676

Widiawati, Y. dan M. Winugroho. 2007. Aktivitas isolate mikroba kerbau yang disimpan pada suhu rendah. Makalah Seminar dan Lokakarya nasional Kerbau 2009. Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

Yasin, S. 1988. Pemanfaatan isi rumen sebagai pakan ternak. Swadaya Peternakan Indonesia, jakarta 38: 25-26


(1)

Berdasarkan sifat resisten yang ditunjukan oleh beberapa isolat, mengidikasikan bahwa strai-strain tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi calon probiotik.

Aktivitas enzim CMC-ase (endo-1,4-b-glukonase) adalah adanya zona bening disekeliling koloni yang menunjukkan bahwa mikroba tersebut mempunyai aktivitas enzim selulase ekstraseluler kuat. Besar kecilnya zona bening dan jelas tidaknya zona bening, merupakan indikator kemampuan mikroba tersebut untuk merombak selulosa, demikian juga cepat dan lambatnya timbul zona bening tersebut (Van Devoorde dan Verstraete, 1987). Khamir selulolitik mampu memproduksi enzim endo 1,4 b-glukonase, ekso 1,4 b-b-glukonase, dan beta-glukosidase yang dapat mendegradasi komponen serat kasar menjadi karbohidrat terlarut (Howard et al., 2003)

Efektivitas koloni isolat bakteri selulolitik tertinggi terlihat pada pada hari ke 3, baik pada bakteri selulolitik B-6 maupun isolate bakteri selulolitik B-3; B-7; B-10 dan B-13. Bidura (2007) menyatakan bahwa salah satu syarat yang dimiliki oleh mikroba probiotik adalah mudah dikembangbiakkan dan jumlahnya tidak menurun apabila kultur tersebut disimpan dalam kurun wajtu tertentu sebelum digunakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah koloni bakteri selulolitik B-6 pada hari ketiga setelah penanaman cukup tinggi. Seperti dilaporkan oleh Fuller (1989) bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki oleh kultur probiotik dalam setiap gramnya yang layak digunakan sebagai agensia probiotik adalah 106 CFU/gram.

Proses biofermentasi diharapkan akan merombak struktur jaringan kimia dinding sel, pemutusan ikatan lignoselulosa, dan penurunan kadar lignin. Bakteri yang bersifat lignolitik juga mampu mendegradasi lignin melalui pembentukan sekumpulan miselia kemudian berkembang biak secara aseksual melalui spora (Erika, 1998). Fermentasi ampas tahu dengan kultur bakteri selulolitik B-6 ternyata dapat meningkatkan biomassa mikroba, sehingga kandungan protein kasar ampas tahu meningkat (Bidura et al., 2012; Sutama, 2008). Dilaporkan juga bahwa keberhasilan proses fermentasi dipengaruhi oleh jenis dan jumlah mikroba yang digunakan, jenis substrat, pH, dan suhu selama proses fermentasi. Biomassa merupakan wujud massa dari hasil proses biologis dari mikroorganisme. Mikroorganisme mampu mengkonversi bahan menjadi protein. Proses fermentasi mempunyai tujuan untuk menghasilkan suatu produk (bahan pakan) yang mempunyai kandungan nutrisi, tekstur, dan nilai biologis yang lebih baik, serta menurunkan zat antinutrisi.


(2)

Proses fermentasi dapat meningkatkan protein kasar ampas tahu. Peningkatan protein dikarenakan adanya proses perubahan NPN oleh bakteri menjadi nitrogen menjadi protein tubuh mikrobial, sehingga protein ampas tahu menjadi meningkat. Demikian pula kandungan abu, Ca, dan P pada produk pakan terfermentasi lebih tinggi dari pakan aslinya (Suparjo et al., 2003). Mangisah et al. (2008) melaporkan bahwa proses fermentasi pakan secara signifikan dapat meningkatkan kandungan protein pakan (meningkat 65,41%). Menurut Pangestu (l997), kandungan protein dan energi termetabolis meningkat masing-masing: 16,00% dan 48,40%

Peningkatan kandungan protein dan energi pada pakan terfermentasi disebabkan karena adanya kemampuan bakteri untuk memanfaatkan zat makanan pada ampas tahu untuk membentuk protein tubuhnya (protein mikrobial). Sesuai dengan pendapat Suparjo et al. (2003) yang menyatakan bahwa fermentasi dedak padi dengan 0,20% kultur Aspergillus niger selama tiga hari nyata dapat meningkatkan kandungan protein dan fosfor dedak padi. Sabini et al. (2000) menyatakan bahwa kapang T. reesei mampu mendegradasi polisakarida mannan menjadi mannotriosa, mannobiosa, dan monnosa.

Chen et al. (2005) melaporkan bahwa penambahan 0.20% complex probiotik (L. acidophilus and S. cerivisae) dalam ransum nyata dapat meningkatkan kecernaan bahan kering pakan. Enzim peroksidase ekstraseluler bekerja secara aktif pada aktivitas lignolisis, sehingga ikatan lignoselulosa putus, dan fraksi lignin terurai menjadi CO2. Biofermentasi dengan menggunakan jasa mikroba dapat meningkatkan kecernaan zat makanan pakan (Arsyad et al., 2001; Bidura dan Suastina, 2002). Hong et al. (2004) melaporkan bahwa fermentasi pakan dengan menggunakan Aspergilus oryzae nyata meningkatkan kecernaan bahan kering dan protein kasar pakan. Menurut Jaelani et al. (2008), terjadinya peningkatan kandungan ME bungkil inti sawit (palm kernel cake/meal) sebagai akibat fermentasi oleh kapang T. reesei dari 1.824,13 kkal/kg menjadi 1930,44 kkal/kg diduga karena adanya degradasi polisakarida mannan yang ada pada ungkil inti sawit oleh kapang T. reesei menjadi bentuk yang lebih sederhana (monosakarida) yang menghasilkan nilai energi yang cukup baik dibandingkan dalam bentuk polisakarida mannan. Hal senada dilaporkan juga oleh Sabini et al. (2000) yang menyatakan bahwa kapang T. reesei mampu mendegradasi polisakarida mannan menjadi mannotriosa, mannobiosa, dan monnosa. Menurut Jaelani et al. (2008), fermentasi bungkil inti sawit nyata dapat meningkatkan kandungan protein kasar bungkil inti sawit dibandingkan dengan tanpa fermentasi.


(3)

SIMPULAN

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa berhasil diisolasi lima isolat bakteri selulolitik (isolate bakteri selulolitik B-3; B-6; B-7; B-10; dan B-13) dari rumen kerbau yang berpotensi sebagai sumber probiotik (lolos uji suhu, asam dan garam empedu. Penggunaan kultur bakteri selulolitik B-6, sebagai inokulan fermentasi ampas tahu nyata dapat meningkatkan kecernaan nutrien ampas tahu.

UCAPAN TERIMAKASI

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada Rektor dan Ketua LPPM Universitas Udayana, atas dana yang diberikan melalui dana penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, sehingga penelitian dapat dilaksanakan. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. I M. Mudita, SPt., MSi dan analis Laboratorium Kimia Nutrisi, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam analisis sampel.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander. 1977. Introduction to soil Microbiology. 2nd Ed. John Wiley and Sons, Inc., New York.

Assocciation of Official Analytical Chemists (l994). Official Methods of Analysis. 15th Edition. Associoation of Analytical Chemists, Arlington, Virginia pp. 1230 BachKnudsen, K. E. 2001. The nutritional significance of “dietary fiber” analysis.

Anim. Feed Sci. Tech. 90 : 3-20

Belaich, J.P. C. Tardif, A. Belaich and C. Gaudin. 1997. The cellulolytic system of Clostridium cellulolyticum. J. Biotechnol 57: 3-14

Brashears M.M and S.E. Gilland. 1995. Survival during frozen and subsequent refrigated storage of Lactobacillus acidophilus cells an influenzced by the growth phase. J. Dairy Sci. 78:2326-2335).

Bidura, I.G.N.G. 2007. Aplikasi Produk Bioteknologi Pakan Ternak. Udayana University Press, Unud., Denpasar

Bidura, I.G.N.G., T. G. O. Susila, dan I. B. G. Partama. 2008. Limbah, Pakan Ternak Alternatif dan Aplikasi Teknologi. Udayana University Press, Unud., Denpasar

Chen-fei, D., C. Qing-sheng, W. Cai-lin, J. Harada, K. Nemotos, and S. Yi-xin. 2008. QTL analysis for traits assosiated with feeding value of straw in rice (Oryza sativa L.). Rice Science 15 (3): 195-200

Chen. J. and P. J. Weimer. 2001. Competition among three predominant ruminal cellulolytic Bacteria in the Absence or Presence on non-cellulolytic Bacteria. J. Environ. Microbial. 147: 21 - 30


(4)

Gunawan, A. Dickey, dan S. Lukman. 2003. Sapi Bali, Potensi Produktivitas dan Nilai Ekonomi. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Jaelani, A., W.G. Piliang, Suryahadi, dan I. Rahayu. 2008. Hidrolisis bungkil inti sawit (Elaeis guineensis Jacq) oleh kapang Trichoderma reesei pendegradasi polisakarida mannan. Animal Production Vol. 10 (1): 42-49

Judoamidjojo, R.M., E.G. Said, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Pusat Antar Universitas Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor

Kamra, D. N. 2005. Rumen Microbial Ecosystem. Special section: Microbial Diversity. Current Sciences. Vol 89 (1): 124-135 (cited 2007 December,20). Available from: URL:http://www.ias.ac.in/currsci/jul102005/124.pdf.

Leng, R. A. 1997. Three Foliage in Ruminant Nutrition. Food and Agriculture Organization. http://www.Fao.org/docrep/003/w7448e/W7448E00.htm

Lowe, S.E. 1986. The Physiology and Cytology of anaerobic Rumen Fungus. A Thesis. Submitted to The University of Manchester for The Degree of Ph.D. Departementy of Botany, Faculty of Science

Madigan, T. M., M. John and P. Jack. 2003. Brock Biology of Microorganisms. Pearson Education, Inc. New York. Pp. 103-108

Mahaputra, S., P. Kurniadhi, Rokhman, dan Kadiran. 2003. Analisis biaya pemeliharaan sapi dengan complete feed. Buletin teknik Pertanian 8 (2): 47-48

Mahfudz, L. D. 1997. Ampas Tahu Fermentasi sebagai Bahan pakan Ayam Pedaging. Caraka Tani, Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Vol 21 (1): 39 – 45.

Mahfudz, L. D. 2006. Efektifitas Oncom Ampas Tahu sebagai Bahan Pakan Ayam. Jurnal Produksi Ternak Vol. 8 (2): 108 – 114

Mahfudz, L. D., K. Hayashi, M. Hamada, A. Ohtsuka, and Y. Tomita. 1996. The Effective Use of Shochu Ditellery By-Product as Growth Promoting Factor for Broiler Chicken. Japanese Poult. Sci. 33 (1): 1 – 7

Mahfudz, L. D., K. Hayashi, K. nakashima, A. Ohtsuka, and Y. Tomita. 1997. A Growth Promoting Factor for Primary Chicks Muscle Cell Culture From Shochu Distillery By-Product. Biosecience, Biotechnology and Biochemistry, December 58: 715-720.

McAllister, T. 2000. Development of Ruminal Microflora in Goat (Capra hircus). Thesis, Program Pascasarjana, Universtas Philipina, Los Banos

Ogimoto, K. And S. Imai. 1981. Atlas of Rumen Microbiology. Japan Scientific Societies Poress, Tokyo


(5)

Orpin, C. G. And K. N. Joblin. 1988. The Rumen Anaerobic fungi. In. The Rumen Micribial Ecosystem. Ed. P. N. Hobson. Elsevier Applied Science, London and New York. Pp. 129-149

Pangestu E. 2003. Evaluasi potensi nutrisi fraksi pucuk tebu pada ternak ruminansia. Media Peternakan 5 : 65-70

Panjono, Harmadji, E. Baliarti, dan Kustono. 2000. Performan induk dan pedet sapi peranakan ongole yang diberi ransum jerami padi dengan suplementasi daun gamal. Bulletin. Peternakan 24 (2): 76-81

Prabowo, A., S. Padmowijoyo, Z. Bachrudin dan A. Syukur. 2007. Potensi selulolitik campuran dari ekstrak rayap, larutan feses gajah, dan cairan rumen kerbau. J. of The Indonesian Tropical Anim. Agric. 32 (3): 151-158

Pramono, Y.B., E.S. Rahayu, Suparmo, dan T. Utami. 2007. Perubahan mikrobiologis, fisik, dan kimiawi cairan bakal petis daging selama fermentasi kering spontan. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol 32 (4) : 213-221

Rahayu, K., Kuswanto, dan S. Sudarmadji. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sabini, E., K.S. Wilson, M. Siika-aho, C. Boisset and H. Chanzy. 2000. Digestion of single crystals of mannan I by an endo-mannanase from Trichoderma reesei. EuropeJournal Biochemestry 267:2340-2344

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. l989. Principles and Procedures of Statistics. 2nd Ed. McGraw-Hill International Book Co., London.

Sudirman. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan feses kerbau sebagai

pengganti cairan rumen.

http:www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artukel645 (akses, 19 April 2012)

Sujono, M. 1990. Simbiosis Ruminansia. PAU-Bioteknologi, UGM, Yogyakarta.

Sumarsih, S., C. I. Sutrisno, dan E. Pangestu. 2007. Kualitas nutrisi dan kecernaan daun eceng gondok amoniasi yang difermentasi dengan Trichoderma viride pada berbagai lama pemeraman secara in vitro. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol 32 (4) : 257-261

Suryani, N.N. 2012. Aktivitas Mikroba Rumen dan Produktivitas Sapi Bali yang Diberi Pakan Hijauan dengan Jenis dan Komposisi Berbeda. Disertasi, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana, Denpasar.

Sutrisno, C.I., Nurwantoro, dan Widyawati-Slamet 2004. Daya hidup mikrobia isi rumen sapi yang dikeringkan.Protein, Jurnal Ilmiah Peternakan dan Perikanan Vol 11 (2): 173-180


(6)

Trisyulianti, F., Suryahadi, dan N. Rakhma. 2003. Pengaruh penggunaan mollases dan tepung gaplek sebagai bahan perekat terhadap sifat fisik wafer ransum komplit. Media Peternakan 26: 35-40

Thalib, A., J. Bestari, Y. Widiawati, H. Hamid, dan D. Suherman. 2000. Pengaruh perlakuan silase jerami padi dengan mikroba rumen kerbau terhadap daya cerna dan ekosistem rumen sapi. JITV Vol. 5 (1): 276281

Trotter, D. C. 1990. Biotechnology in The Pulp Paper Industry. A Review Part 1. J. Tappi. 198 – 202

Vallie, K., J. Barry, Brock, K. Dinesh, and J. H. Michael. 1992. Degradation of 2.4 toluen by the Lignin-Degrading Fungi Phanerochaete chrysosporium. J. Appl. And Env. Microbiol. 8 : 221 – 228

Vanadianingrum, E. S. 2008. Isolasi dan karakterisasi Bakteri Penghasil Enzim Xilanase dari Cairan Rumen Kambing dan Domba dan Sumber Air Panas di Cipanas. Skripsi. PS. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. IPB, Bogor. (akses 2 November 2011). Available from URL: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/3226

Van Soest, P. J. l991. Difinition of Fibre Animal, In. W. Haresign and D.J.A. Cole Ed. Recent Advences in Animal Nutrition. Butterworths. pp. 55 - 70.

Wainwright, M. 2002. An Introduction to Fungal Biotechnology. John Wiley & Sons Ltd. Baffins Lane, Chichester, West Sussex PO19 IUD, England.

Wahyudi, A. dan Z. B. Masduqie. 2004. Isolasi mikroba selulolitik cairan rumen beberapa ternak ruminansia (Kerbau, sapi, kambing, dan domba). Protein, Jurnal Ilmiah Peternakan dan Perikanan Vol. 11 (2) : 181-186

Wahyuni, S.H.S., J. Wahju, D. Sugandi, D.J. Samosir, N.R. Anwar, A.A. Mattjik, dan B. Tangenjaya. 2008. Implementasi dedak padi terfermentasi oleh Aspergillus ficuum dan pengaruhnya terhadap kualitas ransum serta performans produksi ayam petelur. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis Vol. 33 (4) :255-261

Wang, Y. And T. A. McAllister. 2002. Rumen microbes, enzymes and feed digestion-A Review. Asian-Aust. J. Anim. Sci. Vol. 15 (11): 1659-1676

Widiawati, Y. dan M. Winugroho. 2007. Aktivitas isolate mikroba kerbau yang disimpan pada suhu rendah. Makalah Seminar dan Lokakarya nasional Kerbau 2009. Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002

Yasin, S. 1988. Pemanfaatan isi rumen sebagai pakan ternak. Swadaya Peternakan Indonesia, jakarta 38: 25-26