-PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK RUMEN KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10% AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN ITIK BALI JANTAN UMUR 0-8 MINGGU.

(1)

i

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK

RUMEN KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10%

AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN

ITIK BALI JANTAN UMUR 0-8 MINGGU

I KADEK ANDIKA WICAKSANA

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK

RUMEN KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10%

AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN

ITIK BALI JANTAN UMUR 0-8 MINGGU

I KADEK ANDIKA WICAKSANA NIM. 1207105073

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK

RUMEN KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10%

AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN

ITIK BALI JANTAN UMUR 0-8 MINGGU

Skripsi untuk Memperoleh Gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar Bali

I KADEK ANDIKA WICAKSANA NIM. 1207105073

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

iv PENGARUH PEMBERIAN KULTUR BAKTERI SELULOLITIK RUMEN

KERBAU DALAM RANSUM MENGANDUNG 10% AMPAS TAHU TERHADAP PENAMPILAN ITIK BALI JANTAN

UMUR 0-8 MINGGU

I Kadek Andika Wicaksana

Program Studi Peternakan, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar E-mail: Andikawicaksana72@gmail.com

RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum yang mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu. Itik yang digunakan dalam penelitian ini adalah itik bali jantan umur 1 hari sebanyak 54 ekor dengan rata-rata bobot badan yang sama. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga perlakuan, yaitu ransum tanpa ampas tahu sebagai kotrol (A), ransum dengan 10% ampas tahu (B), ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau (C). Setiap perlakuan terdiri dari enam ulangan dan masing-masing ulangan menggunakan tiga ekor itik bali jantan dengan berat homogen sehingga terdapat 18 unit percobaan dan jumlah keseluruhan itik yang digunakan sebanyak 54 ekor. Variabel yang diamati yaitu bobot badan akhir, pertambahan bobot badan, konsumsi ransum, konsumsi air minum dan Feed Convertion Ratio (FCR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ransum dengan 10% ampas tahu dan ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum itik bali umur 0-8 minggu. Ransum dengan 10% ampas tahu dan ransum dengan 10% ampas tahu +0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau tidak berpengaruh terhadap konsumsi ransum dan air minum itik bali umur 0-8 minggu. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pemberian 10% ampas tahu tanpa atau dengan 0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum itik bali jantan umur 0-8 minggu.


(5)

v THE EFFECT OF CULTURE BACTERIA SELULOLITIK RUMEN OF

BUFFALO IN RATIONS CONTAINING 10% DREGS TOFU ON PERFORMANCE OF BALI DUCK MALE AGED 0-8 WEEKS

I Kadek Andika Wicaksana

Livestock Science, Faculty of Animal Husbandry, Udayana University, Denpasar E-mail: Andikawicaksana72@gmail.com

SUMMARY

This research aims to know the extent of the effect of bacteria cellulolytic rumen of buffalo in rations containing 10% dregs tofu on performance of bali duck male aged 0-8 weeks. Complete Randomized Design (CRD) methode used with three treatments, namely rations without dregs tofu as kotrol (A), rations with 10% dregs tofu (B), rations with 10% dregs tofu + 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of buffalo (C). Each treatment consisted of six replicates each repeat use three bali duck males age one day weighing homogeneous so there are 18 unit experiment and the total number of ducks that used as many as 54 tail. The variable were observed in this research is the final body weights, increase of body weight, consumption of rations, drinking water consumption and Feed Convertion Ratio (FCR). The results showed that rations with 10% dregs tofu and rations with 10% dregs tofu + 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of buffalo show the result can increase the weight of the final body, increase of body weights and FCR bali duck 0-8 weeks. rations with 10% dregs tofu and rations with 10% dregs tofu + 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of buffalo show the result were not can increase the consumption of rations and drinking water to the bali duck 0-8 weeks. From the results it can be concluded that the giving of 10% dregs tofu without or with a 0.20% culture bacteria cellulolytic rumen of Buffalo can increase weight of the final body, increase of body weights and efficient use of rations bali duck males aged 0-8 weeks


(6)

vi LEMBAR PENGESAHAN

Judul :

Nama Mahasiswa : I Kadek Andika Wicaksana

NIM : 1207105073

Fakultas : Peternakan

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL ………

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ir. I Gusti Nyoman Gede Bidura, MS Ir. Ida Ayu Putri Utami, M.Si

NIP. 196103191986011001 NIP. 195908071985032002

Mengetahui

Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana

Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS NIP. 195903121986011001

Pengaruh Pemberian Kultur Bakteri Selulolitik Rumen Kerbau dalam Ransum Mengandung 10% Ampas Tahu terhadap Penampilan Itik Bali Jantan Umur 0-8 Minggu


(7)

vii Skripsi ini telah diuji pada tanggal

Ketua : Prof. Dr. Ir. I Gusti Nyoman Gede Bidura, MS Sekretaris : Dr. Drh. I Gusti Agung Arta Putra, M.Si

Penguji Utama : Ir. Ida Ayu Putri Utami, M.Si Penguji Anggota :

Pertama : Ir. Tjokorda Istri Putri, MP


(8)

viii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada 7 Maret 1994 di Denpasar, Bali. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan I Nyoman Kembar dan Ni Kadek Kartiningsih.

Penulis menempuh pendidikan Taman Kanak-kanak di TK. Bumi Sari pada tahun 1999-2000, kemudian melanjutkan pendidikan dasar di SDN. 4 Tonja pada tahun 2000-2006. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP. Raj Yamuna pada tahun 2006-2009 dan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Denpasar pada tahun 2009-2012. Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa di Fakultas Peternakan Universitas Udayana pada tahun 2012 melalui jalur PMDK II.

Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Peternakan Universitas Udayana, penulis aktif diberbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh pihak fakultas maupun pihak universitas. Penulis aktif diberbagai kegiatan kepanitiaan seperti panitia LKMMTD, Student Day Fakultas, Bazaar dan yang lainnya.


(9)

ix UCAPAN TERIMA KASIH

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmatnya skripsi ini dapat tersusun tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul

“Pengaruh Pemberian Kultur Bakteri Selulolitik Rumen Kerbau dalam Ransum

Mengandung 10% Ampas Tahu terhadap Penampilan Itik Bali Jantan Umur 0-8 Minggu”.

Tidak lupa penulis ucapkan banyak-banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Gusti Nyoman Gede Bidura, MS selaku pembimbing pertama dan Ibu Ir. Ida Ayu Putri Utami, M.Si selaku pembimbing kedua yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama berlangsungnya penelitian maupun selama penyusunan skripsi ini.

2. Ibu Ir. Tjokorda Istri Putri, MP selaku penguji pertama dan ibu Dr. Dewi Ayu Warmadewi, S.Pt.,M.Si. selaku penguji kedua yang telah memberi masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik lagi.

3. Bapak Dr. Drh. I Gusti Agung Arta Putra, M.Si selaku Pembantu Dekan I sekaligus sebagai sekretaris dalam ujian skripsi yang telah memberikan saran serta masukan dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Ida Bagus Gaga Partama, MS selaku Dekan Fakultas Peternakan Universitas Udayana yang telah memberikan kemudahan-kemudahan dalam penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Peternakan yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah memberikan bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

6. Kedua orang tua I Nyoman Kembar dan Ni Kadek Kartiningsih atas dukungan moral dan bantuan material serta doa yang tulus sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.


(10)

x 7. Pendamping setia Ni Putu Rita Noviani yang telah memberikan motivasi dan

kesempatan untuk berkonsentrasi menyelesaikan skripsi ini.

8. Rekan-rekan satu kelompok dalam penelitian ini Wahyu, Lisa, Nining, Yosa, Nando, Janu, Dewa, Diki dan Soma yang telah memberikan bantuan serta dukungan selama penelitian berlangsung.

9. Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Udayana angkatan 2012 yang telah memberikan dukungan serta bantuan selama penelitian maupun selama penyusunan skripsi ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Denpasar, 18 Juli 2016


(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

RINGKASAN ... iv

LEMBAR PENGESAHAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

UCAPAN TERIMA KASIH ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Itik Bali ... 5

2.2 Pertumbuhan ... 5

2.3 Ampas Tahu sebagai Pakan Ternak ... 7

2.4 Konsumsi Pakan ... 8

2.5 Probiotik dan Pengaruhnya pada Unggas ... 10

BAB III. MATERI DAN METODE ... 13

3.1 Materi ... 13

3.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian... 13

3.1.2 Ternak Itik ... 13

3.1.3 Kandang dan Perlengkapan ... 13

3.1.4 Alat-alat ... 14

3.1.5 Ransum dan Air Minum ... 14


(12)

xii

3.2 Metode ... 15

3.2.1 Rancangan Penelitian ... 16

3.2.2 Prosedur Penelitian ... 16

3.2.3 Penyusunan Ransum ... 17

3.2.4 Pemberian Ransum dan Air Minum ... 17

3.2.5 Pencegahan Penyakit ... 17

3.2.6 Variabel yang Diamati ... 18

3.2.7 Analisis Statistik ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Hasil ... 20

4.1.1 Bobot Badan Akhir ... 20

4.1.2 Pertambahan Bobot Badan ... 21

4.1.3 Konsumsi Ransum ... 21

4.1.4 Konsumsi Air Minum ... 22

4.1.5 Feed Conversion Ratio (FCR) ... 22

4.2 Pembahasan ... 22

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 27

5.1 Simpulan ... 27

5.2 Saran ... 27

DAFTAR PUSTAKA ... 28


(13)

xiii DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

3.1. Komposisi Pakan dalam Ransum untuk Itik Umur 0-8 Minggu ... 14 3.2. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Itik Umur 0-8 Minggu ... 15 4.1 Pengaruh Pemberian Kultur Bakteri Selulolitik Rumen Kerbau pada

Ransum Mengandung 10% Ampas Tahu terhadap Penampilan


(14)

xiv DAFTAR LAMPIRAN

No Teks Halaman

1. Analisis Statistika Bobot Badan Akhir Itik bali ... 32

2. Analisis Statistika Pertambahan Bobot Badan Itik Bali ... 35

3. Analisis Statistika Konsumsi Ransum Itik Bali ... 37

4. Analisis Statistika Konsumsi Air Minum Itik Bali ... 38

5. Analisis Statistika Feed Convertion Ratio Itik Bali ... 39


(15)

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Di Indonesia ternak itik merupakan ternak unggas yang potensial untuk dikembangkan. Upaya optimalisasi usaha peternakan itik bali dilakukan dalam rangka membantu suplai pemenuhan kebutuhan daging nasional yang terus mengalami peningkatan seiring peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kesadaran pentingnya protein hewani bagi pertumbuhan dan kesehatan tubuh. Data konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia hanya mencapai angka 4,48% sementara angka rata-rata konsumsi protein hewani untuk negara Asia sekitar 20%. Diperkirakan bahwa untuk tahun 2016, suplai kebutuhan protein hewani berasal dari unggas sebesar 70%, terdiri dari ayam ras, ayam buras, itik dan bangsa unggas lainnya (Dirjenak, 2016).

Di Bali umumnya pemeliharaan itik dilakukan secara tradisional (ekstensif), namun dengan terbatasnya penggembalaan sebagai akibat dari pemakaian pestisida oleh petani, banyak itik yang mati akibat keracunan. Maka, pemeliharaan secara ekstensif bergeser menjadi pemeliharaan secara intensif. Pada pemeliharaan secara intensif, kendala utama yang dihadapi adalah tingginya biaya pakan, yaitu kira-kira 60%-70% dari biaya produksi (Rasyaf, 1988). Untuk menyiasatinya, perlu dilakukan suatu terobosan dengan menambahkan ampas tahu dan kultur bakteri selulolitikpada ransum sehingga terjadi peningkatan efisiensi penggunaan ransum. Ampas tahu merupakan limbah pembuatan tahu yang masih mengandung protein dengan asam amino lisin dan metionin, serta kalsium yang cukup tinggi. Kandungan serat kasar pada ampas tahu masih tinggi sekitar 19,94% sehingga menjadi faktor pembatas penggunaannya dalam ransum unggas (Mahfudz, 2006). Oleh karena itu, untuk memberdayakan ampas tahu perlu diberi perlakuan dan salah satunya adalah dengan bioteknologi probiotik (Bidura, 2007).


(17)

Penggunaan probiotik dalam ransum ternyata dapat meningkatkan daya cerna, sehingga zat-zat pakan lebih banyak diserap oleh tubuh untuk pertumbuhan maupun produksi (Barrow, 1992). Menurut Mahfudz (2006) penggunaan ampas tahu terfermentasi ragi oncom pada level 10%, 15% dan 20% dalam ransum ayam pedaging nyata meningkatkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, dan efisiensi penggunaan ransum.

Fraksi selulosa merupakan komponen yang paling besar sebagai penyusun dinding sel ampas tahu, yaitu sekitar 40-50% yang sangat sulit bahkan tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan itik. Agar dapat digunakan, maka selulosa terlebih dahulu harus diuraikan menjadi senyawa dengan berat molekul rendah seperti mono, di dan tri sakarida. Degradasi tersebut melibatkan kompleks enzim selulase yang dihasilkan oleh mikroba yaitu endo-beta-glucanase dan beta glucosidase (Wainwright, 2002),.

Berdasarkan hal tersebut, pemanfaatan mikroba selulolitik yang berasal dari rumen kerbau sebagai inokulan pendegradasi serat pada ampas tahu sebelum diberikan pada ternak itik sangat menarik untuk diamati. Hal ini dimungkinkan karena mikroba cairan rumen kerbau ternyata mempunyai aktivitas selulolitik yang paling tinggi dibandingkan dengan mikroba selulolitik lainnya seperti rayap, feses gajah dan sapi (Prabowo et al., 2007). Menurut Sudirman (2011), disamping sumber mikroba yang menentukan aktivitas pencernaan serat, juga sangat ditentukan oleh tepatnya dosis inokulum mikroba, keseragaman jenis dan populasi mikroba yang digunakan. Pemberian kultur mikroba cairan rumen kerbau pada itik diharapkan dapat menimbulkan efek sinergistik antara spesies mikroba rumen kerbau dengan mikroba saluran pencernaan itik, sehingga dapat menyebabkan kemampuan mencerna itik terhadap pakan serat meningkat.

Suplementasi 0,20%-0,40% kultur bakteri selulolitik isolat rumen kerbau nyata dapat meningkatkan bobot badan akhir, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum


(18)

pada itik (Siti et al., 2016). Penambahan 10% ampas tahu dan 0,20% kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum diharapkan dapat meningkatkan proses pencernaan pada ternak unggas sehingga tersedia sumber energi yang lebih tinggi untuk meningkatkan penampilan itik bali. Sehubungan dengan itu maka dilakukan penelitian mengenai pengaruh pemberian bakteri selulolitik rumen kerbau dalam ransum mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah apakah pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau dalam ransum yang mengandung 10% ampas tahu dapat memberikan pengaruh lebih baik terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dari pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum yang mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau dalam ransum yang mengandung 10% ampas tahu memberikan pengaruh lebih baik terhadap penampilan itik bali jantan umur 0-8 minggu dibandingkan dengan pemberian ransum tanpa ampas tahu dan kultur bakteri selulolitik.


(19)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para peternak mengenai pengaruh pemberian kultur bakteri selulolitik rumen kerbau pada ransum yang mengandung 10% ampas tahu terhadap penampilan itik bali jantan dalam kurun waktu 8 minggu. Selain itu dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi data ilmiah untuk penelitian selanjutnya.


(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Itik Bali

Itik bali merupakan itik lokal Indonesia yang juga sering disebut itik penguin, karena badannya yang tegak saat berjalan mirip dengan burung penguin (Rasyaf,1992). Pada umumnya itik bali mempunyai ketahanan hidup yang sangat tinggi dan jarang menimbulkan angka mortalitas yang tinggi (Murtidjo,1988). Rasyaf (1992) menyatakan bahwa ciri-ciri itik bali: 1) badan langsing, 2) berdiri tegak, 3) warna bulunya putih dan berwarna coklat keabu-abuan, 4) leher kecil dan panjang, 5) ekornya pendek.

Berat itik bali yang jantan berkisar antara 1,8-2 kg dan yang betina berkisar antara 1,6-1,8 kg. Itik bali memiliki telur yang cukup banyak dan kulit telurnya berwarna putih dengan berat berkisar antara 60-75 gram per butir. Dilihat dari ukuran keadaan seperti ini itik bali mempunyai peluang untuk dikembangkan sebagai itik dwiguna yaitu sebagai itik petelur atau diarahkan sebagai itik pedaging (Murtidjo, 1988).

2.2 Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah efek keseluruhan dari interaksi hereditas dengan lingkungan/ perlakuan dan sumbangan genetik terhadap penampilan sekitar 30% sedangkan sumbangan lingkungan sekitar 70% (Soeharsono, 1997). Pertumbuhan merupakan proses yang sangat kompleks, meliputi pertambahan berat badan, pertambahan ukuran semua bagian tubuh secara serentak dan merata (Maynard et al. 1979). Disebutkan pula bahwa pertumbuhan yang terjadi merupakan manifestasi dari perubahan-perubahan dalam unit pertumbuhan terkecil yaitu sel. Sel-sel ini mengalami peningkatan jumlah yang disebut hyperplasia serta peningkatan ukuran


(21)

selnya yang disebut hipertropi. Dengan terjadinya kedua mekanisme ini, maka akan menimbulkan pertambahan jumlah protein, lemak dan air di dalam tubuh.

Kecepatan pertumbuhan merupakan hal yang penting dalam usaha pemeliharaan ternak, karena faktor ini sangat besar pengaruhnya terhadap efisiensi penggunaan ransum. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik dan lingkungan (Zaenudin, 1996). Jenis kelamin juga dapat menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Dibandingkan dengan ternak betina, ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan pada umur yang sama, mempunyai bobot badan yang lebih tinggi. Perbedaan laju pertumbuhan antara kedua jenis kelamin tersebut dapat menjadi lebih besar sesuai dengan bertambahnya umur (Soeparno, 1994). Ternak yang kekurangan pakan atau gizi pertumbuhannya melambat atau berhenti dan kehilangan berat badan. Tetapi setelah mendapatkan pakan yang cukup dan sesuai kebutuhannya, ternak dapat tumbuh dengan cepat dan bisa melebihi kecepatan pertumbuhan normalnya. Lebih lanjut Murtidjo (1988) menyatakan, kekurangan zat makanan pada saat pertumbuhan dapat menyebabkan itik terlambat mencapai dewasa kelamin sehingga itik tidak dapat berproduksi pada umur yang diharapkan.

Kecepatan pertumbuhan (grow rate) pada unggas biasanya diukur melalui pertambahan bobot badan (Soeharsono, 1997). Pada umumnya pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot tubuh per satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai rerata pertambahan bobot badan per hari atau rerata kadar laju pertumbuhan (Soeparno, 1994). Menurut Rasyaf (1994) pengukuran bobot badan dilakukan dalam kurun waktu satu minggu sehingga untuk mendapatkan pertambahan bobot badan harian, yaitu bobot badan selama satu minggu dibagi tujuh.


(22)

Pola pertumbuhan tubuh secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Pada kondisi lingkungan yang ideal, bentuk kurve pertumbuhan postnatal untuk semua species ternak yang serupa, yaitu mengikuti pola kurve pertumbuhan sigmoid, yaitu pada awal kehidupan mengalami pertumbuhan yang lambat diikuti pertumbuhan yang cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi hingga berhenti setelah mencapai kedewasaan (Soeparno, 1994).

2.3 Ampas Tahu Sebagai Pakan Ternak

Ampas tahu dihasilkan dengan kandungan air yang cukup tinggi. Hal ini merupakan kendala, terutama bila harus diangkut ke tempat jauh. Tingginya kandungan air yang terdapat dalam ampas tahu menyebabkan produk tersebut cepat menjadi busuk. Oleh karena itu dalam pemanfaatannya untuk waktu yang cukup lama, disarankan agar dikeringkan. Kandungan gizi ampas tahu sangat bervariasi, tergantung cara yang digunakan dalam pembuatan tahu. Kadar protein kasar ampas tahu cukup tinggi 23-29% dari bahan kering (Mariyono et al., 1997).

Produk sampingan pabrik tahu ini apabila telah mengalami fermentasi dapat meningkatkan kualitas pakan dan memacu pertumbuhan ternak. Tetapi karena kandungan air dan serat kasarnya yang tinggi, maka penggunaannya menjadi terbatas dan belum memberikan hasil yang baik. Untuk mengatasi tingginya kadar air dan serat kasar pada ampas tahu maka dilakukan fermentasi.

Proses fermentasi dapat menggunakan ragi yang mengandung kapang Rhizopus Oligosporus dan R. Oryzae. Proses fermentasi akan menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan meningkatkan nilai gizinya. Bahan pakan yang telah mengalami fermentasi akan lebih baik kualitasnya dari bahan bakunya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan menurunkan kadar serat kasar


(23)

ampas tahu (Mahfudz et al., 1996). Analisis proksimat ampas tahu mempunyai kandungan nutrisi cukup baik sebagai bahan ransum sumber protein. Ampas tahu mengandung protein kasar 21,29%, lemak 9,96%, SK 19,94%, kalsium 0,61%, fospor 0,35%, lisin 0,80%, metionin 1,33% (Syaiful, 2002).

Teknologi probiotik dapat meningkatkan kualitas dari bahan pakan, khususnya bahan pakan yang memiliki serat kasar dan antinutrisi tinggi. Probiotik dapat meningkatkan kecernaan bahan pakan melalui penyederhanaan zat yang terkandung dalam bahan pakan oleh enzim yang diproduksi oleh mikroba (Bidura et al., 2008).

2.4 Konsumsi Pakan

Pemberian pakan pada ternak unggas harus diperhatikan dengan baik mengenai jumlah maupun zat-zat makanan yang terkandung didalamnya agar diperoleh produksi yang tinggi (Anggorodi, 1994). Pada umumnya zat-zat makanan yang diperlukan oleh ternak berupa protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup dan seimbang (Card dan Nesheim, 1972).

Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum. Konsumsi merupakan faktor dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah jenis ternak, makanan yang diberikan (palatabilitas), dan lingkungan tempat ternak dipelihara (Rahman, 2008). Kebutuhan ternak terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung pada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur, kelembaban nisbi udara) serta bobot badannya maka, setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda pula.


(24)

Winter dan Funk (1960) menyatakan bahwa konsumsi pakan pada unggas dipengaruhi oleh bangsa, kecepatan tumbuh, serta imbangan pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Matram (1984) menyatakan susunan pakan itik, bentuk maupun cara pemberiannya merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting dalam menentukan laju pertumbuhan dan produksi. Menurut Tilman et al. (1984) pertumbuhan ternak ditentukan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, makin banyak pakan yang dikonsumsi maka pertumbuhan menjadi semakin cepat.

Penelitian Yupardi dan Matram (1984), menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konversi ransum lengkap maupun terbatas pada masa pertumbuhan. Pada percobaan terhadap itik peking (Siregar et al., 1982) menyimpulkan bahwa ternak jantan lebih efisien dalam mengubah zat-zat makanan menjadi bobot badan dibandingkan dengan ternak betina. Anak itik umur empat minggu tampaknya lebih efisien dalam menggunakan pakan dibandingkan pada umur enam minggu sampai delapan minggu.

2.5 Probiotik dan Pengaruhnya terhadap Unggas

Probiotik dalam bahasa Yunani berarti kehidupan, menurut istilah yang didefinisikan oleh Gibson dan Fuller (2000), probiotik adalah suplemen pakan dari bakteri hidup yang memberikan keuntungan terhadap ternak dengan meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan. Menurut Hasan (2006), probiotik kultur tunggal ataupun campuran dari mikrobia hidup yang dikonsumsi manusia dan/ atau hewan, serta memiliki efek menguntungkan bagi inangnya (manusia maupun hewan) dengan cara menjaga keseimbangan mikroflora alami yang ada dalam tubuh. Probiotik merupakan salah satu pendekatan yang memiliki potensi dalam mengurangi infeksi unggas dan kontaminasi produk unggas (Ahmad, 2006). Mikroorganisme yang bisa dimanfaatkan sebagai probiotik adalah bakteri (Bakteri Asam Laktat, Genus


(25)

Lactobacillus dan Genus Bifidobacteria) dan fungi (Saccharomyces cerevisiae) (Trachoo dan Boudreaux, 2006).

Probiotik mampu meningkatkan intestinal homeostasis yang memungkinkan mekanisme destruksi atau degradasi kolesterol dapat dilakukan oleh mikroorganisme intestinal dengan mengkonversikan kolesterol menjadi asam empedu kholat, sehingga kadar kolesterol menurun. Probiotik dapat mengandung satu atau beberapa strain mikroorganisme (satu sampai sembilan strain) dan diberikan pada ternak dalam bentuk bubuk (diberikan langsung atau dibungkus kapsul), tablet, granula atau pasta (Wahyudi dan Hendraningsih, 2007).

Setelah probiotik diberikan, mikroba probiotik harus bertahan hidup dan tidak mati akibat mekanisme pertahanan inang, tergantung pada tempat dimana probiotik diberikan, mikroba harus bertahan pada kondisi spesifik. Contohnya, probiotik yang diberikan secara oral harus resisten terhadap enzim (amylase, lyzozyme, pepsin, dan lipase), kondisi asam (pH rendah akibat kensentrasi HCl yang tinggi) dalam lambung dan konsentrasi empedu, cairan pankreas serta mucus di intestine. Kondisi sepanjang saluran pencernaan merupakan pertimbangan utama dalam seleksi mikroba probiotik yang diberikan secara oral (Sudirman, 2011).

Mekanisme kerja probiotik jika diberikan pada unggas akan berkolonisasi di dalam usus, dan selanjutnya dapat dimodifikasi untuk sistem imunisasi/kekebalan hewan inang. Kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus ini akan menyebabkan mikroba-mikroba probiotika berkembang dengan baik dan mikroba-mikroba patogen terreduksi dari sel-sel usus hewan inang, sehingga perkembangan organisme-organisme patogen yang menyebabkan penyakit tersebut, seperti Eshericia coli, Salmonella thyphimurium dalam saluran pencernaan akan mengalami hambatan. Mikroba probiotik menghambat organisme patogenik dengan berkompetisi untuk mendapatkan sejumlah terbatas substrat bahan makanan untuk difermentasi. Bifdobacteria dan


(26)

kultur probiotik lainnya yang berkontribusi terhadap kesehatan manusia dan ternak melalui mekanisme seperti kompetisi dengan bakteri patogen, menstimulasi sistem imun, meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, mengontrol fungsi usus, mencegah kanker dan meningkatkan pencernaan dan penyerapan zat-zat nutrisi (Ziggers, 2000).

Pada ternak unggas probiotik akan bekerja secara efektif pada crop atau bagian awal saluran pencernaan dan bekerja secara langsung pada caeca (Sudirman, 2004). Pada kelompok pertama ini, kultur Lactobacillus diduga dapat membentuk koloni pada crop dan usus halus (Fuller, 1992). Kelompok ini diduga dapat menghasilkan pengaruh antibakteri yang menghambat bakteri pathogen dan juga dapat meningkatkan performans unggas secara keseluruhan.


(1)

selnya yang disebut hipertropi. Dengan terjadinya kedua mekanisme ini, maka akan menimbulkan pertambahan jumlah protein, lemak dan air di dalam tubuh.

Kecepatan pertumbuhan merupakan hal yang penting dalam usaha pemeliharaan ternak, karena faktor ini sangat besar pengaruhnya terhadap efisiensi penggunaan ransum. Pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain genetik dan lingkungan (Zaenudin, 1996). Jenis kelamin juga dapat menyebabkan perbedaan laju pertumbuhan. Dibandingkan dengan ternak betina, ternak jantan biasanya tumbuh lebih cepat dan pada umur yang sama, mempunyai bobot badan yang lebih tinggi. Perbedaan laju pertumbuhan antara kedua jenis kelamin tersebut dapat menjadi lebih besar sesuai dengan bertambahnya umur (Soeparno, 1994). Ternak yang kekurangan pakan atau gizi pertumbuhannya melambat atau berhenti dan kehilangan berat badan. Tetapi setelah mendapatkan pakan yang cukup dan sesuai kebutuhannya, ternak dapat tumbuh dengan cepat dan bisa melebihi kecepatan pertumbuhan normalnya. Lebih lanjut Murtidjo (1988) menyatakan, kekurangan zat makanan pada saat pertumbuhan dapat menyebabkan itik terlambat mencapai dewasa kelamin sehingga itik tidak dapat berproduksi pada umur yang diharapkan.

Kecepatan pertumbuhan (grow rate) pada unggas biasanya diukur melalui pertambahan bobot badan (Soeharsono, 1997). Pada umumnya pengukuran pertumbuhan ternak didasarkan pada kenaikan bobot tubuh per satuan waktu tertentu, yang dinyatakan sebagai rerata pertambahan bobot badan per hari atau rerata kadar laju pertumbuhan (Soeparno, 1994). Menurut Rasyaf (1994) pengukuran bobot badan dilakukan dalam kurun waktu satu minggu sehingga untuk mendapatkan pertambahan bobot badan harian, yaitu bobot badan selama satu minggu dibagi tujuh.


(2)

Pola pertumbuhan tubuh secara normal merupakan gabungan dari pola pertumbuhan semua komponen penyusunnya. Pada kondisi lingkungan yang ideal, bentuk kurve pertumbuhan postnatal untuk semua species ternak yang serupa, yaitu mengikuti pola kurve pertumbuhan sigmoid, yaitu pada awal kehidupan mengalami pertumbuhan yang lambat diikuti pertumbuhan yang cepat dan akhirnya perlahan-lahan lagi hingga berhenti setelah mencapai kedewasaan (Soeparno, 1994).

2.3 Ampas Tahu Sebagai Pakan Ternak

Ampas tahu dihasilkan dengan kandungan air yang cukup tinggi. Hal ini merupakan kendala, terutama bila harus diangkut ke tempat jauh. Tingginya kandungan air yang terdapat dalam ampas tahu menyebabkan produk tersebut cepat menjadi busuk. Oleh karena itu dalam pemanfaatannya untuk waktu yang cukup lama, disarankan agar dikeringkan. Kandungan gizi ampas tahu sangat bervariasi, tergantung cara yang digunakan dalam pembuatan tahu. Kadar protein kasar ampas tahu cukup tinggi 23-29% dari bahan kering (Mariyono et al., 1997).

Produk sampingan pabrik tahu ini apabila telah mengalami fermentasi dapat meningkatkan kualitas pakan dan memacu pertumbuhan ternak. Tetapi karena kandungan air dan serat kasarnya yang tinggi, maka penggunaannya menjadi terbatas dan belum memberikan hasil yang baik. Untuk mengatasi tingginya kadar air dan serat kasar pada ampas tahu maka dilakukan fermentasi.

Proses fermentasi dapat menggunakan ragi yang mengandung kapang Rhizopus Oligosporus dan R. Oryzae. Proses fermentasi akan menyederhanakan partikel bahan pakan, sehingga akan meningkatkan nilai gizinya. Bahan pakan yang telah mengalami fermentasi akan lebih baik kualitasnya dari bahan bakunya. Fermentasi ampas tahu dengan ragi akan mengubah protein menjadi asam-asam amino, dan secara tidak langsung akan menurunkan kadar serat kasar


(3)

ampas tahu (Mahfudz et al., 1996). Analisis proksimat ampas tahu mempunyai kandungan nutrisi cukup baik sebagai bahan ransum sumber protein. Ampas tahu mengandung protein kasar 21,29%, lemak 9,96%, SK 19,94%, kalsium 0,61%, fospor 0,35%, lisin 0,80%, metionin 1,33% (Syaiful, 2002).

Teknologi probiotik dapat meningkatkan kualitas dari bahan pakan, khususnya bahan pakan yang memiliki serat kasar dan antinutrisi tinggi. Probiotik dapat meningkatkan kecernaan bahan pakan melalui penyederhanaan zat yang terkandung dalam bahan pakan oleh enzim yang diproduksi oleh mikroba (Bidura et al., 2008).

2.4 Konsumsi Pakan

Pemberian pakan pada ternak unggas harus diperhatikan dengan baik mengenai jumlah maupun zat-zat makanan yang terkandung didalamnya agar diperoleh produksi yang tinggi (Anggorodi, 1994). Pada umumnya zat-zat makanan yang diperlukan oleh ternak berupa protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral dan air dalam jumlah yang cukup dan seimbang (Card dan Nesheim, 1972).

Tingkat konsumsi adalah jumlah makanan yang terkonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum. Konsumsi merupakan faktor dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah jenis ternak, makanan yang diberikan (palatabilitas), dan lingkungan tempat ternak dipelihara (Rahman, 2008). Kebutuhan ternak terhadap pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah kebutuhan nutrisi setiap harinya sangat bergantung pada jenis ternak, umur, fase (pertumbuhan, dewasa, bunting, menyusui), kondisi tubuh (normal, sakit) dan lingkungan tempat hidupnya (temperatur, kelembaban nisbi udara) serta bobot badannya maka, setiap ekor ternak yang berbeda kondisinya membutuhkan pakan yang berbeda pula.


(4)

Winter dan Funk (1960) menyatakan bahwa konsumsi pakan pada unggas dipengaruhi oleh bangsa, kecepatan tumbuh, serta imbangan pakan yang dikonsumsi akan mempengaruhi pertambahan bobot badan. Matram (1984) menyatakan susunan pakan itik, bentuk maupun cara pemberiannya merupakan salah satu faktor lingkungan yang penting dalam menentukan laju pertumbuhan dan produksi. Menurut Tilman et al. (1984) pertumbuhan ternak ditentukan oleh jumlah pakan yang dikonsumsi, makin banyak pakan yang dikonsumsi maka pertumbuhan menjadi semakin cepat.

Penelitian Yupardi dan Matram (1984), menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan konversi ransum lengkap maupun terbatas pada masa pertumbuhan. Pada percobaan terhadap itik peking (Siregar et al., 1982) menyimpulkan bahwa ternak jantan lebih efisien dalam mengubah zat-zat makanan menjadi bobot badan dibandingkan dengan ternak betina. Anak itik umur empat minggu tampaknya lebih efisien dalam menggunakan pakan dibandingkan pada umur enam minggu sampai delapan minggu.

2.5 Probiotik dan Pengaruhnya terhadap Unggas

Probiotik dalam bahasa Yunani berarti kehidupan, menurut istilah yang didefinisikan oleh Gibson dan Fuller (2000), probiotik adalah suplemen pakan dari bakteri hidup yang memberikan keuntungan terhadap ternak dengan meningkatkan keseimbangan mikroflora dalam saluran pencernaan. Menurut Hasan (2006), probiotik kultur tunggal ataupun campuran dari mikrobia hidup yang dikonsumsi manusia dan/ atau hewan, serta memiliki efek menguntungkan bagi inangnya (manusia maupun hewan) dengan cara menjaga keseimbangan mikroflora alami yang ada dalam tubuh. Probiotik merupakan salah satu pendekatan yang memiliki potensi dalam mengurangi infeksi unggas dan kontaminasi produk unggas (Ahmad, 2006). Mikroorganisme yang bisa dimanfaatkan sebagai probiotik adalah bakteri (Bakteri Asam Laktat, Genus


(5)

Lactobacillus dan Genus Bifidobacteria) dan fungi (Saccharomyces cerevisiae) (Trachoo dan Boudreaux, 2006).

Probiotik mampu meningkatkan intestinal homeostasis yang memungkinkan mekanisme destruksi atau degradasi kolesterol dapat dilakukan oleh mikroorganisme intestinal dengan mengkonversikan kolesterol menjadi asam empedu kholat, sehingga kadar kolesterol menurun. Probiotik dapat mengandung satu atau beberapa strain mikroorganisme (satu sampai sembilan strain) dan diberikan pada ternak dalam bentuk bubuk (diberikan langsung atau dibungkus kapsul), tablet, granula atau pasta (Wahyudi dan Hendraningsih, 2007).

Setelah probiotik diberikan, mikroba probiotik harus bertahan hidup dan tidak mati akibat mekanisme pertahanan inang, tergantung pada tempat dimana probiotik diberikan, mikroba harus bertahan pada kondisi spesifik. Contohnya, probiotik yang diberikan secara oral harus resisten terhadap enzim (amylase, lyzozyme, pepsin, dan lipase), kondisi asam (pH rendah akibat kensentrasi HCl yang tinggi) dalam lambung dan konsentrasi empedu, cairan pankreas serta mucus di intestine. Kondisi sepanjang saluran pencernaan merupakan pertimbangan utama dalam seleksi mikroba probiotik yang diberikan secara oral (Sudirman, 2011).

Mekanisme kerja probiotik jika diberikan pada unggas akan berkolonisasi di dalam usus, dan selanjutnya dapat dimodifikasi untuk sistem imunisasi/kekebalan hewan inang. Kemampuan menempel yang kuat pada sel-sel usus ini akan menyebabkan mikroba-mikroba probiotika berkembang dengan baik dan mikroba-mikroba patogen terreduksi dari sel-sel usus hewan inang, sehingga perkembangan organisme-organisme patogen yang menyebabkan penyakit tersebut, seperti Eshericia coli, Salmonella thyphimurium dalam saluran pencernaan akan mengalami hambatan. Mikroba probiotik menghambat organisme patogenik dengan berkompetisi untuk mendapatkan sejumlah terbatas substrat bahan makanan untuk difermentasi. Bifdobacteria dan


(6)

kultur probiotik lainnya yang berkontribusi terhadap kesehatan manusia dan ternak melalui mekanisme seperti kompetisi dengan bakteri patogen, menstimulasi sistem imun, meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, mengontrol fungsi usus, mencegah kanker dan meningkatkan pencernaan dan penyerapan zat-zat nutrisi (Ziggers, 2000).

Pada ternak unggas probiotik akan bekerja secara efektif pada crop atau bagian awal saluran pencernaan dan bekerja secara langsung pada caeca (Sudirman, 2004). Pada kelompok pertama ini, kultur Lactobacillus diduga dapat membentuk koloni pada crop dan usus halus (Fuller, 1992). Kelompok ini diduga dapat menghasilkan pengaruh antibakteri yang menghambat bakteri pathogen dan juga dapat meningkatkan performans unggas secara keseluruhan.