MODEL PERAMPASAN ASSET TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN DARI HAS KEJAHATAN PENCUCIAN UANG.

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah
Pendekatan anti-money laundering pertama kali diperkenalkan Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) sejak dengan disahkannya Konvensi Wina tentang perdagangan gelap, narkotika
dan psikotropika pada tahun 1988. United Nation Convention Againts Illicit Trafic in Narcotic,
Drugs and Psycotropic Subtances of 1988 tersebut sudah diratifikasi oleh Indonesia dengan

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997 tentang Pengesahan Convention Againts Illicit Trafic in
Narcotic, Drugs and Psycotropic. Negara-negara penandatangan konvensi tersebut diharuskan

untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu kejahatan dan mengambil langkahlangkah agar pihak yang berwajib dapat mengindentifikasi, melacak dan membekukan atau
menyita hasil perdagangan obat bius.1
Pada tahun 2000 dikeluarkan pula Konvensi Palermo (the International Convention
Against Transnational Organized Crimes) di Plaermo , Italy. Sehubungan dengan aktivitas

pencucian uang, Konvensi Palermo Mewajibkan Negara yang sudah meratifikasi untuk:2
a.


b.

c.

d.

Mengkriminalisasi pencucian uang yang meliputi seluruh tindak pidana berat (serious
crime) yang dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, dimana tindak pidana berat
(serious crime) diartikan dengan hukuman minimal empat tahun,
Membentuk rezim dibidang pengaturan dan pengawasan untuk mencegah dan mendeteksi
pencucian uang antara lain melalui penerapan prinsip mengenal nasabah, kewajiban
memilihara arsip transaksi keuangan dan kewajiban melaporkan transaksi keuangan
mencurigakan,
Mengatur kerjasama dan pertukaran informasi antar berbagai instansi baik di dalam
maupun di luar negeri dan mendirikan financial intellligent unit yang menerima laporan,
menganalisis dan meneruskannya kepada penegak hukum,
Mendorong kerjasama internasional.
Upaya internasional yang lain yang cukup monumental dalam upaya mencegah dan


memberantas pencucian uang terjadi pada tahun 1989 yaitu pada saat Negara-negara maju yang
tergabung dalam G-7 countries menyepakati dibentuknya Financial Action Task Force on Money
Laundering (FATF), sebagai suatu gugus tugas dengan tugas menyusun rekomendasi

internasional untuk memerangi dan memberantas pencucian uang. 3 Pentingnya Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan perang terhadap kejahatan pencucian uang melalui Konvensi

1

Yunus Husein, Negeri Sang Pencuci Uang, Pustaka Juanda Tigalima, Cet. 1, Jakarta, 2008, hlm. 88
Ibid, hlm. 13-14
3
Ibid, hlm. 14
2

Wina tentang United Nation Convention Againts Illicit Trafic in Narcotic, Drugs and
Psycotropic Subtances of 1988 dan Finacial Action Task Force on Money laundering, Konvensi

Palermo (the International Convention Against Transnational Organized Crimes) dan
kesepakatan Negara-negara maju yang tergabung dalam G-7 countries menyepakati dibentuknya

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) karena dampak dari kejahatan

pencucian uang tersebut sangat berbahaya bagi peradaban umat manusia. Menurut Departement
of Justice Canada sebagaimana yang dikutip oleh Adrian Sutedi, dampak dari pencucian uang

tersebut adalah:4
1.

2.

3.

Pencucian uang memungkinkan para penjual dan pengedar narkoba, para penyelundup
dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan
meningkat biaya penegakan hukum untuk memberantas dan biaya perawatan serta
pengobatan kesehatan bagi para korban dan pecandu narkotika.
Kegiatan pencucian uang mempunyai potensi untuk merongrong keuangan masyarakat
(financial community) sebagai akibat besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan
tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peradaran
jumlah uang haram yang sangat besar.

Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung
merugikan pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
Selain itu menurut Peter J. Quick beberapa dampak terhadap makroekonomis terhadap

pencucian uang adalah distribusi pendapatan. Kegiatan mengalihkan pendapatan dari para
penyimpan dana terbesar (high saver) kepada penyimpan dana terendah (low saver) dari
investasi yang sehat kepada investasi yang berisiko dan berkualitas rendah. Hal ini membuat
pertumbuhan ekonomi terpengaruh. Misalnya terdapat bukti bahwa dana yang berasal dari tax
evasions di Amerika Serikat cenderung disalurkan kepada investasi yang berisiko tinggi di sektor

bisnis kecil. Beberapa tax evasions yang terjadi di sektor ini terutama pada kecurangan (fraud),
penggelapan (embezzlement) dan perdagangan saham melalui orang dalam (insider trading) yang
berlangsung secara cepat dan merupakan bisnis yang menguntungkan. Dampak tidak langsung
makroekonomi (indirect macroeconomic effects) dari kejahatan pencucian uang ini juga menurut
Peter J Quick adalah transaksi yang ilegal dapat mencegah orang melakukan transaksi-transaksi
yang legal karena terkontaminasi. Misalnya, beberapa transaksi yang melibatkan pihak-pihak
luar negeri, meskipun sepenuhanya legal, telah kurang diminati akibat pengaruh pencucian uang.
Pada umumnya, kepercayaan pasar dan kepada peranan efisiensi terhadap keuntungan telah

4


Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi dan Kepailitan,
Sinar Grafika, Cetakan Ketiga, Jakarta, 2010, hlm. 18

terkikis oleh meluasnya perdagangan melalui orang dalam (insider trading), kecurangan (fraud)
dan penggelapan (embezzlement).5
Akumulasi dana yang dicuci berdasarkan statistik IMF, hasil kejahatan yang dicuci
melalui bank-bank diperkirakan hampir mencapai nilai sebesar US$ 1500 Milliar per-tahun.
Sementara itu, menurut Associated Press, kegiatan pencucian uang hasil perdagangan obat bius,
prostitusi, korupsi dan kejahatan lainnya sebagian besar di proses melalui perbankan untuk
kemudian dikonversikan menjadi dana legal dan diperkirakan dana kegiatan ini mampu
menyerap nilai US$ 600 Milliar per tahun.

Direktur Menejer IMF Michael Camdenssus

memperkirakan bahwa volume dari cross-border money laundering antara 2-5% Gross Domestic
Product (GDP) dunia. Sementara menurut Financial Action Task Force (FATF) perkiraan uang

yang dicuci setiap tahun di seluruh dunia dari perdagangan gelap narkotika (illcit drugs trade)
berkisar antara US$ 300 Milliar dan UU$ 500 Milliar.6 Di Indonesia, menurut Boby Makaginto,

diperkirakan dari tahun 2013-2014 ada ribuan trilliun transaksi keuangan yang mencurigakan
yang terindikasi kejahatan pencucian uang.7
Banyaknya transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang
membuat Negara Indonesia mengambil tindakan yang cepat untuk membangun rezim anti
pencucian uang, selain dari tekanan FATF tahun 2001 karena telah memasukkan Negara
Indonesia ke dalam daftar Negara yang tidak kooperatif di dalam pemberantasan tindak pidana
pencucian uang (Non-Cooperative Countries and Territories-NCCTs. Indonesia di masukkan ke
dalam daftar NCCTs tersebut karena memiliki 4 (empat) dispcrepencies terhadap 40
recommendation FATF on money laundering. Keempat dispcrepencies adalah, Pertama, tidak

adanya ketentuan yang menempatkan money laundering sebagai tindak pidana. Kedua, tidak
adanya ketentuan prinsip mengenal nasabah (know your customer) untuk lembaga keuangan non
bank. Ketiga, rendahnya kapasitas dalam penanganan pencucian uang. Keempat, kurangnya
kerjasama internasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang.
Dalam rangka menyikapi kelemahan-kelemahan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan
antara lain telah mengesahkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucia Uang, membentuk Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan focal point penanganan money
laundering di Indonesia, regulator dan pengawas penyidia jasa keuangan, mengeluarkan
5


Ibid, hlm. 52-53
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm. 18
7
Wawancara dengan Boby Makaginto Staff Humas PPATK tanggal 25 Agustus 2014 di Gedung PPATK

6

ketentuan prinsip mengenal nasabah (know your customer), melakukan kerjasama dengan FIU
Negara lain, mewajibkan setiap penyedia jasa keuangan untuk menyampaikan laporan transaksi
keuangan yang mencurigakan dan laporan transaksi tunai yang nilainya lima ratus juta atau lebih.
Upaya perbaikan yang dilakukan tersebut berbuah hasil, pada tahun 2005 Indonesia telah
dikeluarkan dari NCCTs karena FATF mengganggap Indonesia telah mematuhi 40+9
recommendation.8

Pekerjaan rumah Indonesia tidak lantas berhenti setelah FATF mengeluarkan Indonesia
dari daftar Non-Cooperative Countries and Territories-NCCTs. Indonesia terus melakukan
pembenahan dari aturan hukum yang dimulai dari Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 25 tahun 2013 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Salahsatu pembenahan materi perampasan asset
transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang dari Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
diberikannya kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal pencucian uang untuk melakukan
perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang.
Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan perampasan asset transaksi keuangan yang
mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang apabila dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
tersangkanya tidak ditemukan. Hal ini bia dilihat dalam Pasal 67 ayat 2 Undang-Undang Nomor
8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
mengatakan bahwa, “dalam hal yang diduga pelaku tindak pidana tidak dapat ditemukan dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri
untuk memutuskan harta kekayaan tersebut sebagai asset Negara atau dikembalikan kepada yang
berhak”.
Artinya penyidik dapat melakukan perampasan asset terhadap harta kekayaan dari
transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang apabila keinginan
tersebut ada. Penyidik yang mempunyai kewenangan penyidikan perampasan asset transaksi
keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang adalah penyidik yang berasal
dari KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Ditjen Pajak dan Ditjen
8


Yunus Husein, Op.Cit, hlm. 89-91

Bea dan Cukai.9 Akan tetapi upaya perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan
dari hasil kejahatan pencucian uang tersebut tidak dilakukan oleh penyidik untuk melakukan
penyidikan terhadap laporan dari PPATK terkait transaksi keuangan yang mencurigakan dari
hasil kejahatan pencucian uang. Hal ini dapat dilihat dari laporan PPATK Januari 2013-2013
yaitu, Kepolisian menerima laporan transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan
pencucian uang sebanyak 1789 HA (Hasil Analisis), KPK sebanyak 439 HA, Kejaksaan
sebanyak 1756 HA, BNN sebanyak 26 HA, Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai sebanyak 39
HA.10 Adapun dugaan tindak pidana asalnya adalah, Korupsi 1143, Penyuapan 86, Narkotika
90, Perbankan 63, Pasar Modal 1, Perasuransian 1, Kepabeanan 13, Terorisme 40, Pencurian 8,
Penggelapan 71, Penipuan 532, Pemalsuan uang 6, Perjudian 27, Protitusi 4, Perpajakan 40,
Kehutanan 10, tindak pidana lain yang diancam dengan hukuman 4 tahun lebih 13, tidak
teridentifikasi 30311.
Seperti yang diketahui bahwa, model perampasan asset yang saat ini berlaku di Indonesia
yaitu adanya beban kerja yang berlebih dari salahsatu institusi penegakan hukum. Institusi
tersebut adalah KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Ditjen Pajak
dan Ditjen Bea dan Cukai. Kelebihan beban kerja tersebut dapat dilihat dari tidak pernah adanya
institusi KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Ditjen Pajak dan
Ditjen Bea dan Cukai untuk membawa transaksi keuangan yang mencurigakan ke pengadilan.

Institusi KPK, Kepolisian, Kejaksaan, BNN (Badan Narkotika Nasional) dan Ditjen Pajak dan
Ditjen Bea dan Cukai saat ini masih nyaman melakukan perampasan asset hasil kejahatan
pencucian uang dengan menggabungkan tindak pidana asal serta menemukan tersangkanya
terlebih dahulu. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah contoh pelaku yang telah di vonis oleh
pengadilan, yaitu terhadap Herman Ali12, Deden Bactiar13, Dennyes Guntur Esmet Bin dadah
Esmet14, Raden Mas Johanes Sarwono Dkk15, Selvira Tambayong Binti Maorits Tambayong16,
Caesar Muhni Rizal Bin Rizal Mahjudi17, Pieter Neke Dhey18.
9

Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
10
Laporan tahunan 2013, Januari 2014 www.ppatk.go.idfilesLAPTAH2013_Versi_PDF0.pdf hlm, 18 di
akses Jam 22.40 tgl 16 mei 2014
11
Ibid, hlm. 16
12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 K/PID.SUS/2014 Tahun 2014
13
Putusan Mahkamah Agung Nomor 36 PK/PID.SUS/2014 Tahun 2014

14
Putusan Mahkamah Agung Nomor 978 K/Pid.Sus/2014 Tahun 2014
15
Putusan Mahkamah Agung Nomor 535 K/Pid.Sus/2014 Tahun 2014

Padahal, perampasan asset yang dilakukan penegak hukum selama ini sangat berbeda
sekali dengan perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan. Perampasan asset
transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang tidak mensyaratkan
bahwa, penyidik harus menemukan pelakunya untuk dibawa ke pengadilan. Hal ini
membuktikan bahwa model yang saat ini berlaku tidak dapat lagi dipertahankan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Model Perampasan Asset Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan Dari Hasil
Kejahatan Pencucian Uang”

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini ialah:

1.

Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi tidak terlaksananya perampasan asset transaksi
keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang?

2.

Bagaimanakah model perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil
kejahatan pencucian uang?

C.

Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:

1.

Tujuan Objektif
16

Putusan Mahkamah Agung Nomor 2335 K/Pid.Sus/2013 Tahun 2014
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1024 K/PID.SUS/2014 Tahun 2014
18
Putusan Mahkamah Agung Nomor 823 K/Pid.Sus/2014 Tahun 2014
17

a. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi tidak terlaksananya perampasan
asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang.

b. Untuk mengusulkan model perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan
dari hasil kejahatan pencucian uang.
2.

Tujuan Subjektif
Untuk menginventarisir serta mengembangkan pengetahuan dan pemahaman tindak
pidana pencucian uang terutama perampasan asset transaksi keuangan yang
mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang.

D.

Kontribusi Penelitian
Kontribusi Penelitian ini diharapkan dapat memiliki nilai guna untuk:

1.

Secara teoritis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dan berguna dalam rangka
pengembangan studi ilmu hukum dan pembangunan ilmu hukum secara interdisiplin,
terutama yang berkaitan model perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan
dari hasil kejahatan pencucian uang.

2.

Manfaat praktis, diharapkan dapat memberikan masukan / rekomendasi secara riil bagi
penegak hukum dalam rangka perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan
dari hasil kejahatan pencucian uang.