Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(1)

IDENTIFIKASI TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN BANK SEBAGAI UPAYA

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

SUSI. H. PARDEDE NIM : 110200225

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

IDENTIFIKASI TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN BANK SEBAGAI UPAYA

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

SUSI. H. PARDEDE NIM : 110200225

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.H. NIP: 195703261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Madiasa Ablisar, S.H., M.S. Nurmalawaty, S.H., M.Hum.

NIP : 196104081986011002 NIP : 196209071988112001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Kasih dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”

Adapun penulisan skripsi ini bertujuan untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/mahasiswi yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Penulis dalam pembuatan skripsi ini tidak sendirian, ada banyak pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH., MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.O.K. Saidin, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH., MH, selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH., M.S, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membimbing, mengarahkan dan mendukung penulis selama masa penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

8. Ibu Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah membimbing, mengarahkan, dukungan, ide, waktu dan sarannya selama penulisan skripsi ini.

9. Seluruh keluarga tercinta yang telah mendukung dan memberikan motivasi dalam penulisan skripsi ini, terkhusus kepada kedua orang tua saya bapak Hulman Pardede dan Ibu Pita Ambarita yang saya sangat cintai terimakasih buat kasih sayang, pengorbanan, dan perhatian yang sangat banyak diberikan kepada penulis.

10.Sahabat-sahabat saya selama perkuliahan David, Erma, Rendi, Novliana, Daniel, Deea, Fetricya, Dian dan teman-teman lainnya yang memberikan dukungan serta semangatnya kepada penulis.

Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... vi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Tindak Pidana ... 10

2. Pengertian Tindak Pencucian Uang ... 14

3. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan ... 17

4. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan (PJK) ... 19

F. Metode Penelitian... 21

G. Sistematika Penulisan ... 24

BAB II. UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang ... 26


(6)

B. Objek dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 33 C. Alasan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang... 43 D. Pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

(PPATK) ... 51 1. Tugas, Fungsi dan Kewenangan PPATK ... 53 2. Peranan PPATK dalam Mencegah dan Memberantas Tindak

Pidana Pencucian Uang ... 58

BAB III. IDENTIFIKASI TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN BANK

A. Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan ... 70 B. Peranan Penyedia Jasa Keuangan Bank ... 76 C. Prinsip Mengenali Pengguna Jasa ... 83 D. Tujuan Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Oleh

Penyedia Jasa Keuangan Bank ... 90 E. Tata Cara Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh

Penyedia Jasa Keuangan Bank ... 92 1. Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa ... 93 2. Analisis Transaksi Pengguna Jasa ... 96 3. Penetapan Transaksi sebagai Transaksi Keuangan

Mencurigakan (TKM) ... 98 F. Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK oleh


(7)

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 108 B. Saran ... 109


(8)

ABSTRAK

Susi. H. Pardede* Madiasa Ablisar **

Nurmalawaty ***

Pencucian uang merupakan upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harata kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Berdasarkan undang- undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dilakukan dengan membentuk PPATK. PPATK sebagai suatu badan yang berwenang melakukan analisis terhadap segala transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi terjadinya tindak pidana pencucian uang memiliki kewenangan membentuk peraturan bagi penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor, peraturan tersebut adalah Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan. Peraturan tersebut menjadi acuan bagi penyedia jasa keuangan bank maupun non-bank dalam mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan bank.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data diolah secara kualitatif.

Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dilakukan dengan pembentukan undang–undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta dengan pembentukan PPATK yaitu suatu lembaga yang tugas pokoknya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam menjalankan tugasnya bekerjasama dengan penyedia jasa keuangan bank sebagai salah pihak pelapor, laporan dari penyedia jasa keuangan bank akan dianalisa oleh PPATK untuk mengetahui apakah transaksi yang dilaporkan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi adanya tindak pidana pencucian uang atau tidak. Dalam pelaksanaan kerja sama tersebut PPATK memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tentang bagaimana mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang tepat serta peraturan tersebut menjadi acuan bagi penyedia jasa keuangan bank dalam memberikan laporan berkualitas kepada PPATK.

*Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(9)

ABSTRAK

Susi. H. Pardede* Madiasa Ablisar **

Nurmalawaty ***

Pencucian uang merupakan upaya untuk mengaburkan asal usul harta kekayaan dari hasil tindak pidana sehingga harata kekayaan tersebut seolah-olah berasal dari aktivitas yang sah. Berdasarkan undang- undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dilakukan dengan membentuk PPATK. PPATK sebagai suatu badan yang berwenang melakukan analisis terhadap segala transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi terjadinya tindak pidana pencucian uang memiliki kewenangan membentuk peraturan bagi penyedia jasa keuangan sebagai pihak pelapor, peraturan tersebut adalah Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan. Peraturan tersebut menjadi acuan bagi penyedia jasa keuangan bank maupun non-bank dalam mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan bank.

Metode penelitian yang digunakan pada penulisan ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan khususnya perundang-undangan dan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi. Data sekunder yang berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku karya ilmiah pendapat sarjana, artikel-artikel, dan sebagainya. Kemudian data diolah secara kualitatif.

Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dilakukan dengan pembentukan undang–undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang serta dengan pembentukan PPATK yaitu suatu lembaga yang tugas pokoknya mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK dalam menjalankan tugasnya bekerjasama dengan penyedia jasa keuangan bank sebagai salah pihak pelapor, laporan dari penyedia jasa keuangan bank akan dianalisa oleh PPATK untuk mengetahui apakah transaksi yang dilaporkan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi adanya tindak pidana pencucian uang atau tidak. Dalam pelaksanaan kerja sama tersebut PPATK memiliki kewenangan untuk membuat peraturan tentang bagaimana mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang tepat serta peraturan tersebut menjadi acuan bagi penyedia jasa keuangan bank dalam memberikan laporan berkualitas kepada PPATK.

*Penulis, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***Pembimbing II, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kejahatan pencucian uang atau dalam bahasa Inggris disebut money laundering merupakan salah satu kejahatan yang berkembang pesat seiring dengan peradaban manusia. Dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan pencucian uang sedemikian besar dan luas, sehingga menjadikannya sebagai salah satu tantangan internasional.1

Sifat dasar tindak pidana pencucian uang itu sendiri secara umum adalah berupaya memperoleh keuntungan keuangan dari tindak pidana yang dilakukannya. Sementara, pelaku tindak pidana berupaya untuk menjadi sosok yang baik dan tidak ada seorangpun yang diharapkannya beranggapan bahwa dirinya telah melakukan tindak pidana. Untuk itulah, pelaku tindak pidana akan selalu melakukan berbagai upaya agar keuntungan ataupun dana yang diperoleh dari hasil tindak pidana dapat dinyatakan berasal dari aktivitas yang legal.2 Tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, tidak hanya melalui sistem keuangan, investasi lansung tetapi juga disembunyikan dalam bentuk harta benda seperti properti, kendaraan, perhiasan dan lain sebagainya.3

Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan dewasa ini, banyak bank telah menjadi sasaran utama untuk kegiatan pencucian uang mengingat sektor inilah yang banyak menawarkan jasa instrumen

1

Yusup Saprudin, Money Laundring (kasus L/C fiktif BNI 1946), Jakarta : Pensil-324, 2006, hal.1.

2

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Jakarta : Ghalia Indonesia, 2010, hal.3.

3


(11)

dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul suatu dana. Dengan adanya globalisasi perbankan, dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang pada umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan.4

Kegiatan money laundering hampir selalu melibatkan perbankan karena adanya globalisasi perbankan sehingga melalui sistem pembayaran terutama yang bersifat elektronik (electronic funds transfer), dana hasil kejahatan yang pada umumnya dalam jumlah besar akan mengalir atau bahkan bergerak melampaui batas negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang oleh bank pada dasarnya merupakan penyimpangan dari tradisi memegang teguh rahasia bank. Terdapat suatu prinsip yang berlaku secara universal yang menyatakan larangan kepada bankir untuk memberikan informasi tentang nasabahnya kepada pihak ketiga termasuk kepada otoritas yang berwenang, kecuali dimungkinkan oleh undang-undang yang berlaku.5

Cara pencucian uang yang dilakukan dengan melewatkan uang yang diperoleh secara illegal melalui serangkaian transaksi finansial yang rumit adalah guna menyulitkan pihak berwenang untuk mengetahui asal-usul uang tersebut. Kebanyakan orang beranggapan transaksi derivatif merupakan cara yang paling

4

Muammar Zia Nasution, “Analisis Yuridis Peran Dan Tanggung Jawab PPATK Sebagai Intelligence Unit Dalam Sistem Perbankan Indonesia, dalam Jurnal Hukum Ekonomi”, Vol.1, No.2, 2013, hal.2.

5

Erdiansah, “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Bentuk Peranan Bank Dalam Mengantisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Pada PT Bank

Negara Indonesia (Persero) TBK Cabang Pekanbaru”, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Vol.3, No.1,


(12)

disukai karena kerumitannya dan daya jangkauanya menembus batas-batas yuridiksi. Kerumitan inilah yang merupakan kekhususan dari tindak pidana pencucian uang yang kemudian dimanfaatkan para pelaku guna melakukan tahap proses pencucian uang.

Tindak pidana pencucian uang dalam perkembangannya semakin kompleks, melintasi batas yuridiksi, menggunakan modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga keuangan di luar sistem keuangan, bahkan telah merambah keberbagai sektor. Oleh karena itu, dibutuhkan peran serta dari berbagai pihak untuk melakukan pengenalan, pencegahan, dan pemberantasan terhadap tindak pidana pencucian uang.6

Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong maraknya kegiatan pencucian uang disuatu negara, antara lain:7 Globalisasi sistem keuangan, kemajuan di bidang teknologi, ketentuan rahasia bank yang sangat ketat, penggunaan nama samaran atau anonim, penggunaan electonic money ( e-money), praktik pencucian uang secara layering, berlakunya ketentuan hukum terkait kerahasiaan hubungan antara lawyer dan akuntan dengan kliennya masing-masing, serta pemerintah di suatu negara kurang bersungguh-sungguh untuk memberantas praktik pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan.

Selain itu, tindakan pencucian uang juga sangat berdampak negatif secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian suatu negara. Adapun dampak-dampak negatif pencucian uang ialah:8

1. Menghambat sektor swasta yang sah

6

Juni Sjafrein Jahja, Melawan Money Laundering, Jakarta : Visimedia, 2012, hal.14. 7

Ibid.,hal. 70. 8


(13)

2. Menghemat integritas pasar-pasar keuangan

3. Hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi 4. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi

5. Hilangnya pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak 6. Merusak reputasi negara

7. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi

Berbagai dampak tersebutlah yang membuat negara-negara di dunia dan organisasi internasional sangat memperhatikan upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan ini. Upaya memberantas pencucian uang, pada awalnya dilakukan secara bilateral diantara negara yang menjadi tempat asal dana kejahatan dengan negara yang diduga menjadi tempat pencucian uang. Dalam perkembangannya, pemberantasan pencucian uang secara bilateral dirasakan tidak memadai dan efektif, sehingga perlu diperluas ke tingkat multilateral.

Kerja sama multilateral dimaksudkan untuk mempersempit dan membuka blog spot wilayah-wilayah anti pencucian uang dimana pun di dunia ini. Pada saat ini, pencucian uang atau money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan tantangan internasional. Semua negara sepakat, bahwa pencucian uang merupakan suatu tidak kejahatan yang harus dihadapi dan diberantas melalui kerjasama antar negara.9

Secara yuridis untuk menanggulangi tindak pidana pencucian uang di Indonesia diawali dengan diundangkannya undang-undang nomor 15 tahun 2002, yang kemudian diubah dengan undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang dan kemudian diubah dengan undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

9


(14)

Pencucian Uang (selanjutnya disebut UU TPPU).10 Bersamaan dengan disahkannya undang-undang nomor 15 tahun 2002 pada tanggal 17 April 2002 telah dibentuk suatu lembaga yang dimaksudkan sebagai upaya Indonesia ikut serta bersama dengan negara-negara lain dalam memberantas kejahatan lintas negara yang terorganisir seperti terorisme dan pencucian uang, lembaga yang dimaksud ialah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (selanjutnya disebut PPATK).11

PPATK adalah lembaga yang independen yang dalam melaksanakan tugasnya yaitu dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Dalam menjaga ke independenannya, ketentuan mengenai PPATK dalam hubungannya dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang melarang setiap orang untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang PPATK. Di sisi lain, PPATK wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun.12 Penanggulangan tindak pidana pencucian uang, merupakan tugas yang berat bagi PPATK, terutama untuk medeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, dan tindak pidana lanjutannya. Sehingga pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan mekanisme yang sistematis dan kompherensif, yang mencangkup pendeteksian dan proses hukum.

10

Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan Pembiayaan Terorisme, Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti,2004, hal.153.

11

Yusup Saprudin,Op.Cit., hal.54. 12


(15)

Tugas pokok PPATK adalah membantu aparatur penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada PPATK. Laporan tersebut dianilisis oleh PPATK, pihak pelapor yang dimaksud adalah Penyedia Jasa Keuangan (selanjutnya disebut PJK) baik itu PJK bank maupun PJK non-bank, PPATK berkewajiban untuk membuat pedoman bagi PJK dalam mendeteksi perilaku pengguna jasa keuangan yang melakukan transaksi keuangan yang mencurigakan.13

Tujuan pedoman tersebut adalah untuk memberikan gambaran umum mengenai anti money laundering yang dapat digunakan sebagai acuan bagi setiap PJK termasuk PJK bank untuk membantu mendeteksi kegiatan pencucian uang. Selain itu juga untuk memberikan pemahaman yang sama kepada setiap penyedia jasa keuangan atau pihak yang yang terkait dalam penanganan tindak pidana pencucian uang.14

Banyaknya kesulitan yang dialami PJK dalam mendeteksi ketidakwajaran transaksi keuangan pengguna jasa atau nasabah membuat PPATK perlu menetapkan suatu aturan yang berkenaan dengan identifikasi terhadap transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK sehingga PJK mempunyai pedoman dalam mengidentifikasi transaksi yang berindikasi transaksi keuangan mencurigakan. Sehubungan dengan hal tersebut PPATK telah mengeluarkan peraturan mengenai pedoman tersebut yaitu Keputusan Kepala PPATK Nomor:

13

Bismar Nasution, Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia, Bandung : BooksTerrace & Library, 2008, hal.471.

14


(16)

2/4/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan bagi Penyedia Jasa Keuangan. Pedoman ini dikeluarkan dalam rangka memberikan pemahaman dan acuan bagi setiap PJK termasuk PJK Bank tentang bagaimana melakukan identifikasi transaksi keuangan mencurigakan dengan tepat.15 Namun, peraturan tersebut dianggap tidak sesuai lagi dengan standar internasional yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF) dan belum mencangkup perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, khususnya dengan bertambahnya pihak pelapor baru. Dengan demikian PPATK memandang perlu untuk menyempurnakan peraturan pedoman mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK yang mengakomodir perubahan ketentuan dan perkembangan tipologi pencucian uang.

Peraturan yang telah dibuat oleh PPATK sebagai upaya penyempurnaan pedoman tersebut ialah Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan dalam artian peraturan ini berlaku bagi PJK secara keseluruhan baik untuk PJK bank maupun PJK non-bank. Dengan adanya peraturan tersebut dimaksudkan agar PJK dapat memberikan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang lebih berkualitas kepada PPATK.16 Sehingga akan

15

Ibid.,hal.504. 13

Penjelasan umum Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014.


(17)

mempermudah PPATK dalam menjalankan tugasnya yaitu untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

Hal inilah yang mendorong Penulis untuk membahas tentang “Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang‟‟.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Bagaimana upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang menurut undang-undang nomor 8 Tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang ?

2. Bagaimana identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh penyedia jasa keuangan bank ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Setiap karya ilmiah memiliki tujuan, yang akan diperoleh berdasarkan suatu permasalahan yang ada. Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah antara lain :

1. Untuk mengetahui mengenai upaya yang dilakukan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia.

2. Untuk mengetahui secara garis besar mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK khususnya PJK Bank.


(18)

3. Untuk mengetahui tata cara identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK khususnya PJK Bank sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh PPATK.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Untuk memberikan informasi, sumbangan pemikiran serta untuk menambah khasanah dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan untuk memberikan informasi, sumbangan pemikiran serta menambah khasanah tentang identifikasi transaksi keuangan mencurigakan oleh PJK Bank berdasarkan UU TPPU dan berdasarkan peraturan yang dibuat oleh PPATK sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang pada khususnya. Sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana pada umumnya dan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh PPATK dengan membuat peraturan tentang identifikasi transaksi keuangan mencurigakan bagi PJK bank pada khususnya.

b. Manfaat Praktis

1. Untuk memberikan masukan bagi masyarakat mengenai pentingnya identifikasi transaksi keuangan mencurigakan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan perannya dalam mencegah dan


(19)

memberantas tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan pemberian informasi tentang adanya transaksi keuangan mencurigakan sebagai indikasi tindak pidana pencucian uang kepada PPATK.

2. Untuk memberikan masukan bagi aparat penegak hukum untuk dapat meningkatkan profesionalisme kerjanya dalam upaya membantu PPATK dalam memberantasan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi dengan judul “Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh

Penyedia Jasa Keuangan Bank Sebagai Upaya Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” belum pernah ditulis oleh siapapun sebelumnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Pada prinsipnya dalam penulisan karya ilmiah ini penulis memperolehnya berdasarkan literatur yang ada, baik dari perpustakaan, maupun media elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Tindak Pidana

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang ada kalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari Recht.17 Dalam KUHPid ( Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ) tidak diberikan defenisi terhadap istilah tindak pidana

17

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005, hal.24.


(20)

atau strafbaarfeit. Karenanya, para penulis hukum pidana telah memberikan pendapat mereka masing-masing untuk menjelaskan tentang arti dari istilah tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang pelakunya seharusnya dipidana. Tindak pidana dirumuskan dalam undang-undang, antara lain dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ).18

Menurut Moeljatno, pengertian hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:19

1. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenai atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

2. Menentukan dengan cara bagaimana penggunaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

Mengenai definisi dari tindak pidana ada 2 (dua) pandangan yang berbeda dari para sarjana yakni pandangan dualisme dan pandangan monisme. Pertama, Pandangan dualisme adalah pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan orang yang melakukan. Salah satu sarjana terkenal penganut pandangan ini adalah Moeljatno.20

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang hukum dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan pada

18

Frans Maramis, Hukum Pidana umum dan tertulis di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal.57.

19

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 1993, hal.1. 20


(21)

perbuatannya (yaitu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang, sedang ancaman pidananya ditujukan pada orang yang menimbulkan kejahatan).21

Kedua, pandangan monisme adalah pandangan yang tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatan dengan unsur-unsur mengenai diri orangnya. Salah satu sarjana terkenal yang menganut pandangan ini adalah Simon.22

Simon merumuskan strafbaarfeit itu adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.Alasan dari Simon mengapa strafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena:23 1. Untuk adanya suatu srafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu

tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan Undang-Undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewjiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum, maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan oleh Undang- Undang.

3. Setiap strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut Undang-Undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

Suatu perbuatan dapat dikatan sebagai suatu perbuatan pidana tentunya ada unsur-unsur dari suatu yang dikatakan tindak pidana telah dilakukan oleh yang bersangkutan. Adapun unsur-unsur dari tindak pidana adalah sebagai berikut.

a. Unsur Objektif

21

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal.7. 22

Adami Chazawi, Op.Cit., hal.75. 23


(22)

Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari : (1) Sifat melanggar hukum, (2) Kualitas dari si pelaku. Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP. Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sabagai akibat.24

b. Unsur Subjektif

Unsur subjektif ialah unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang dihubungkan dengan diri si pelaku termasuk didalamnya segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari :25

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan ( dolus atau culpa).

2. Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP.

3. Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.

4. Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.

5. Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.

Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut azas yang dinamakan azas legalitas (principle of legality), yakni suatu perbuatan hanya merupakan tindak pidana, jika ditentukan terlebih dahulu dalam suatu ketentuan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP). Dalam bahasa latin, berbunyi: Nullum delictum nulla poena sine previa legi

24

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Pers, 2102, hal.50. 25


(23)

poenalli (tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu).26

2. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang

Tidak ada defenisi yang seragam dan komprehensif meneganai pencucian uang atau money laundering. Masing-masing negara memiliki defenisi mengenai pencucian uang sesuai dengan terminologi kejahatan menurut hukum negara yang bersangkutan. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, dan negara-negara maju mempunyai defenisi sendiri mengenai pencucian uang berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda, tetapi semua negara sepakat, bahwa pemberantasan pencucian uang sangat penting untuk melawan tindak pidana yang bekenaan dengan tindak pidana pencucian uang.27 Terdapat beberapa pengertian tentang pencucian uang (money laundering), namun secara umum pengertian atau defenisi tersebut tidak jauh berbeda satu sama lain. Departemen Perpajakan Amerika Serikat ( tahun 1960) mendefenisikan bahwa:

Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang, yang secara akal sehat dipercayai berasal dari tindak pidana, yang dialihkan, ditukarkan, atau disatukan dengan dana yang sah, dengan tujuan untuk menutupi ataupun mengaburkan asal, sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun kepemilikan dari proses tersebut.

Tujuan dari proses pencucian uang adalah membuat dana yang berasal dari atau diasosiasikan dengan kegiatan yang tidak jelas menjadi sah.28 Pencucian uang pada dasarnya merupakan upaya memproses uang hasil kejahatan dengan

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Refika Aditama, 2003, hal.2.

27

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Op.Cit., hal.10. 28


(24)

bisnis yang sah sehingga uang tersebut bersih atau tampak sebagai uang halal, dengan demikian asal uang itu pun tertutupi.29

Dalam Black’s Law Dictionary, istilah Money Laundering diartikan : Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drung transaction, and other illegal sources into legitimate

channels so that it’s original sources can not be traced. Money laundering

is a federal crime.

Istilah ini menggambarkan bahwa pencucian uang adalah penyetoran/penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan/pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-sumber lain yang illegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat diketahui/dilacak.30

Tidak jauh berbeda dengan pengertian itu, Sarah N.Welling mengemukakan pengertian money laundering sebagai proses yang dilakukan oleh seseorang menyembunnyikan keberadaan, sumber ilegal atau aplikasi ilegal dari pendapatan dan kemudian menyamarkan pendapatan itu menjadi sah. Sarah N. Welling menekankan bahwa pencucian uang adalah suatu proses mengaburkan, menyembunyikan uang-uang ileegal melalui sistem keuangan sehingga ia akan muncul kembali sebagai uang yang sah.31

Berdasarkan pengertian money laundering yang terdapat di dalam Black’s Law Dictionary diatas, secara umum yang menjadi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang adalah sebagai berikut :32

29

Philips Darwin, Money Laundering- Cara Memahami Dengan Tepat Dan Benar Soal Pencucian Uang, Sinar Ilmu, 2002, hal.9.

30Black’s Law Dictionary

dalam Juni Sjafrein Jahja, Op.Cit., hal. 4. 31

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Log.Cit.

32Black’s Law Dictionary


(25)

a. Adanya uang (dana) yang merupakan hasil yang illegal.

b. Uang haram tersebut diproses dengan cara-cara tertentu melalui kelembagaan yang legal (sah).

c. Dengan maksud menghilangkan jejak, sehingga sumber asal uang tersebut tidak dapat atau sulit diketahui dan dilacak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Peraturan perundang-undangan tersebut, dan telah disempurnakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang, menyebutkan bahwa tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dengan ketentuan dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang-undang ini. Hal-hal yang tergolong dan dimasukkan sebagai hasil tindak pidana pencucian uang dapat ditemukan dalam pasal 2 ayat (1) yang dikenal sebagai tindak pidana asal.33 Dari beberapa defenisi dan penjelasan mengenai tindak pidana pencucian uang, dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pencucian uang

adalah: “Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh

seseorang atau organisasi terhadap uang haram, yaitu uang yang berasal dari tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara lain dan terutama memasukkan

33


(26)

uang tersebut kedalam sistem keuangan sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.34

3. Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan

Transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Sedangkan Transaksi Keuangan adalah Transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.35

Undang-undang tindak pidana pencucian uang menggunakan istilah “Transaksi Keuangan Mencurigakan”, istilah “mencurigakan” memiliki konotasi bahwa transaksi keuangan tersebut seolah-olah sudah pasti terkait dengan tindak pidana sehingga dapat menimbulkan kesulitan dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Pada dasarnya yang dimaksud dengan istilah transaksi keuangan mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan dan tidak wajar dan selalu terkait dengan tindak pidana tertentu.

Istilah “transaksi keuangan mencurigakan” atau suspicious transaction

dalam terminologi anti pencucian uang digunakan pertama kali oleh the Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dalam the Forty Recomendations tentang pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam prakteknya setiap negara dapat menggunakan istilah yang berbeda. Istilah yang digunakan tidak hanya „transaksi keuangan mencurigakan”, tetapi juga dengan

34

Yusup Saprudin, Op.Cit.,hal.16. 35

Pasal 1 ayat (4),(5), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor PER-04/1.02/PPATK/03/2014.


(27)

istilah lainnya seperti “transaksi yag menyimpang dari kebiasaan” atau unsual transaction.36 Berdasarkan peraturan yang telah dibuat oleh PPATK, mendefenisikan bahwa transaksi keuangan mencurigakan (selanjutnya di singkat dengan TKM), adalah:37

a. Transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

b. Transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Pengertian transaksi keuangan mencurigakan dalam undang-undang nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah :38

a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karateristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Penggguna Jasa yang bersangkutan:

b. Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan

menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana ; atau,

d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk diaporkan oleh Pihak Pelapor karea melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari transaksi

36

Bismar Nasution, Op.Cit., hal 506 37

Pasal 1 ayat (6), Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuagan Nomor PER-04/1.02/PPATK/03/2014.

38

Pasal 1 Ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(28)

keuangan mencurigakan yang dapat dijadikan acuan, yaitu:39 a. Tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas

b. Menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang diluar kewajaran

c. Diluar kebiasaan dan kewajaran aktivitas transaksi nasabah.

Apabila diperlukan PJK dapat melakukan klarifikasi atau meminta dokumen pendukung transaksi yang dilakukan oleh nasabah, dalam menetapkan transaksi keuangan mencurigakan. Dalam pelaporan transaksi keuangan mencurigakan, yang menjadi objek kecurigaaan lebih dominan pada transaksi itu sendiri, bukan orang atau nasabah yang melakukan transaksi.

4. Pengertian Penyedia Jasa Keuangan (PJK)

Penyedia Jasa Keuangan (PJK) adalah setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan, termasuk tapi tidak terbatas pada bank tetapi juga lembaga non-bank. PJK termasuk sebagai pihak pelapor yaitu pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK apabila terdapat indikasi transaksi yang mencurigakan.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 butir 5 memberikan defenisi tentang PJK, yaitu :40

bahwa PJK ialah setiap pihak yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelolaan reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.

Defenisi PJK besifat luas, mencangkup semua PJK yang bergerak di bidang keuangan, baik berada didalam sistem keuangan maupun yang diluar itu.

39

Bismar Nasution, Loc.Cit 40


(29)

Namun yang menjadi tumpuan dalam penulisan skripsi ini ialah PJK yang bergerak dalam sistem keuangan bank. Bank merupakan suatu bentuk usaha yang memiliki keleluasaan dalam menghimpun dan menyalurkan dana sehingga sangat strategis digunakan sebagai sarana pencucian uang. Pada Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kerdit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka menerapkan taraf hidup rakyat banyak.41

Sedangkan berdasarkan SK Menteri Republik Indonesia Nomor 792 tahun 1990 pengertian bank adalah suatu badan yang kegiatannya di bidang keuangan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna untuk membiayai investasi perusahaan. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bank adalah lembaga keuangan yang kegiatannya menghimpun dan menyalurkan dana dari dan kepada masyarakat yang memiliki fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.42

Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat dilakukan apabila penyedia jasa keuangan melaksanakan kewajibannya dalam melaporkan setiap transaksi keuangan mencurigakan. Laporan disampaikan kepada PPATK sebagai lembaga yang memiliki tugas dan kewenangan sesuai UU TPPU yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Laporan yang disampaikan oleh PJK termasuk PJK Bank kepada PPATK akan menjadi bahan analisis bagi PPATK dan hasil analisis tersebutlah yang

41

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan 42


(30)

kemudian akan menentukan apakah laporan tersebut akan diserahkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti atau tidak. Sehingga, PJK adalah pihak yang paling berperan sebagai unjung tombak dalam melacak transaksi keuangan mencurigakan.43

F. Metode Penelitian

Untuk mengumpulkan bahan-bahan di dalam penyusunan skripsi ini dipergunakan suatu cara atau metode yaitu :

1. Jenis Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian yuridis normatif. Penelitian hukum normativ merupakan penelitian yang mengkaji studi dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat berupa pendapat para sarjana.44

2. Bahan Hukum

Sebagaimana umumnya, penelitian normativ dilakukan dengan penelitian pustaka, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mempelajari bahan pustaka atau data sekunder. Data sekunder diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan

43

Ibid., hal.262. 45

Bambang Sunggono,Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003, hal.67.


(31)

undangan yang diurut berdasarkan hirarki,45seperti peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan PPATK yakni:

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,

2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,

4. Peraturan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan,

5. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.46 Dalam hal penulisan sikripsi ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku teks tentang Pencucian Uang (money laundering), Tindak Pidana Pencucian Uang

46

Jhony Ibrahim, Teori dan Penelitian Metodologi Hukum Normatif, Surabaya : Bayumedia, 2008, hal.282.

47


(32)

(TPPU),tentang Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan tentang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.47 Misalnya kamus-kamus (hukum), ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya yang relevan dengan skripsi ini. Agar diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan permasalahannya, maka kepustakaan yang dicari dan dipilih harus relevan dan mutakhir.48

3. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research), yakni melakukan penelitian menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.

4. Analisis Bahan Hukum

Data-data yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut diatas dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif. Analisa kualitatif ini ditujukan untuk mengungkapkan secara mendalam tentang pandangan dan konsep yang diperlukan dan akan diuraikan secara komprehensif untuk menjawab berbagai permasalahan yang telah dirumuskan dalan skripsi ini.

47Ibid

48


(33)

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 (empat) bab, dan masing-masing terdiri dari beberapa sub-sub bab. Adapun susunannya adalah :

BAB I : Bab ini berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan skripsi, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terdapat dalam judul untuk memberi batasan dalam pemahaman mengenai istilah-istilah tersebut, metode penelitian dan terakhir diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Bab ini berisikan tentang Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan yang dalam garis besarnya dituangkan dalam 4 (empat) sub, yaitu : Sejarah Terjadinya Pencucian Uang, Objek dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang, Alasan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, Pembentukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

BAB III: Bab ini berisikan tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank. Dalam Bab ini Penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan, yang dalam garis besarnya dituangkan ke dalam 6 (enam ) sub, yaitu: Identifikasi


(34)

Transaksi Keuangan Mencurigakan, Peranan Penyedia Jasa Keuangan Bank, Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah, Tujuan Penerapan Prinsip Mengenali Nasabah Kepada Penyedia Jasa Keuangan, Tata Cara Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank, Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK oleh Penyedia Jasa Keuangan Bank.


(35)

BAB II

UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang

Istilah pencucian uang atau money laundering baru diperkenalkan kurang lebih pada tahun 1920-an, meskipun perbuatan pencucian uang sesungguhnya telah ada sejak abad ke-17, perbuatan ini dilakukan oleh bangsawan Prancis yang membawa uangnya dari hasil kejahatan untuk disimpan di Swiss, berkat pertolongan bangsawan Swiss, harta tersebut dapat dinikmati oleh bangsawan Prancis dengan tenang. Pada tahun 1920-an, para pelaku kejahatan terorganisasi di Amerika Serikat, mencuci uang hasil kejahatannya melalui usaha binatu (laundry). Mereka banyak mendirikan usaha binatu sebagai tempat atau kedok untuk menyembunyikan uang hasil kejahatannya.49

Tahun 1980-an adalah masa perkembangan bisnis haram di berbagai negara. Perdagangan narkotika dan obat bius, misalnya mampu menghasilkan omset yang sangat besar. Dari sinilah mulai muncul istilah narco dollar untuk menyebut uang haram yang dihasilkan dari perdagangan narkotika. Fenomena tersebut merupakan pemantik lahirnya istilah “Pencucian Uang”. Istilah ini mulai digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1986, kemudian dipakai secara internasional serta konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1988.50

49

J.E Sahetapy, Bisnis Uang Haram, Jakarta : KHN, 2003, hal.11. 50


(36)

Berdasarkan prosesnya, pencucian uang dalam sejarahnya dibedakan menjadi :51

a. Cara modern, yaitu yang umumnya dilakukan melalui tahap placement, layering, dan integration.

b. Cara Tradisional, yaitu dilakukan melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat tertutup, misalnya bank rahasia hui (hoi) atau The Chinese Chip (Chop) di China, sistem pengiriman uang tradisional yang disebut hawala di India, dan hundi di Pakistan.

Menurut Billy Steel, istilah money laundering berasal dari Laundromats, nama sebuah tempat pencucian pakaian secara otomatis di Amerika Serikat. Perusahaan yang dimiliki oleh kelompok mafia ini dipilih untuk menyamarkan uang haram menjadi uang sah.52 Kalangan mafia memperoleh penghasilan besar dari bisnis pemerasan, prostitusi, perjudian, dan penyelundupan minuman keras.

Mereka kemudian membeli atau mendirikan perusahaan yang bergerak dibidang bisnis halal untuk mengaburkan asal usul uang dari bisnis haram.53 Sejak itulah, perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang hasil kejahatan disebut dengan money laundering. Money laundering merupakan sebuah istilah yang pertama kali digunakan di Amerika Serikat untuk menunjuk kepada pencucian hak milik mafia, yaitu hasil usaha yang diperoleh secara gelap dicampurkan dengan maksud menjadikan seluruh hasil tersebut seolah diperoleh dari sumber yang sah. Singkatnya, istilah money laundering pertama kali digunakan dalam konteks hukum dalam sebuah kasus di Amerika Serikat tahun 1982 menyangkut denda terhadap pencucian uang hasil penjualan kokain Colombia.

51

Ibid. 52

Billy Steel dalam Philips Darwin, Money Laundering-cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian uang, Sinar Ilmu, 2010, hal.12.

53


(37)

Dalam perkembangannya, proses yang dilakukan lebih kompleks lagi, dan sering menggunakan cara mutakhir sedemikian rupa sehingga seolah benar secara alami. Dengan cara demikian, membuat suatu kejelasan pembenaran untuk pengawasan atau kepemilikan uang yang dicuci.54 Pengaturan hukum tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam undang-undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif. Perubahan dalam undang-undang ini, antara lain meliputi :55

a. Cangkupan pengertian penyedia jasa keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa dibidang keuangan, tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada dimasyarakat. b. Pengertian transaksi keuangan mencurigakan diperluas dengan

mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga hasil tindak pidana. c. Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp.500.000.000,00 atau

lebih atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus karena tidak sesuai lagi dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.

d. Cangkupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana, tetapi perbuatan tersebut tidak dipidana.

e. Jangka waktu penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 hari kerja setelah penyedia jasa keuangan mengetahui adanya unsur transaksi keuangan mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar harta kekayaan yang

54

Arief Amrullah, Money Laundering, Malang : Bayumedia, 2004, hal.9. 55

Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008, hal.9.


(38)

diduga berasal hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.

f. Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektivitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

g. Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama timbal balik tersebut merupakan bukti bahwa pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasioanl untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral, tetapi juga regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisasi.

Pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.56 Dalam perkembangannya tindak pidana pencucian uang semakin kompleks, melintasi batas-batas yuridiksi dan berbagai modus yang semakin variatif, memanfaatkan lembaga di luar sistem keuagan bahkan telah merambah ke berbagai sektor. Peraturan yang telah ada yang mengatur tentang tindak pidana pencucian uang ternyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pegeseran beban pembuktian, keterbatasan informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jesnis pelaporannya serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari pelaksana undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang

56


(39)

ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional perlu disusun undang-undang tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang.

Perubahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut, antara lain:57

1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang ;

2. Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang ;

3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi adaministratif ;

4. Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa ; 5. Perluasan pihak pelapor ;

6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedian barang dan/atau jasa lain ;

7. Penataan mengenai pengawasan kepatuhan ;

8. Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi; 9. Perluasan kewenangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain kedalam atau ke luar daerah pabean;

10.Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;

11.Perluasan instansi yag berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;

12.Penataan kembali kelembagaan PPATK;

13.Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi;

14.Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang;dan

15.Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

57

Penjelasan Umum Undang-Undang nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(40)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Pasal 1 ayat (1), yang dimaksud dengan pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.58 Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pemerintah seperti pembentukan undang-undang tindak pidana pencucian uang masih belum bisa sepenuhnya mencegah dan mengatasi kejahatan pencucian uang hal ini disebabkan berbagai aspek, yaitu :59

1. Lemahnya penegakan hukum, terlepas dari korupsi yang dilakukan oleh para pejabat publik, masalah serius lainnya dalam menangani pencucian uang dan pelanggaran hukum. Dalam hal narkoba misalnya, para pengguna dan pemasok narkoba tidak benar-benar takut tertangkap karena hukuman maksimal terhadap para pengedarnya jarang dijatuhkan.

2. Kurangnya kesadaran masyarakat, pada umumnya kesadaran masyrakat umum tentang tindak pidana pencucian uang masih sangat rendah. Hanya sedikit orang yang memahami bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana.

3. Lambatnya hukum badan legislatif, hal ini terlihat jelas, dimana Indonesia menolak untuk mengesahkan rancangan undang-undang pada tahun 1996. Terdapat kekhawatiran bahwa pemberlakuan undang-undang dan peraturan mengenai pencucian uang secara tergesa-gesa akan menimbulkan resiko kaburnya modal investor ke luar negeri dan mengancam perekonomian nasional.

Kendala lainnya dalam penegakan hukum atas kejahatan pencucian uang adalah persoalan pembuktian yang harus dilakukan oleh Jaksa. Undang-undang tindak pidana pencucian uang menganut sistem pembuktian terbalik, dimana justru terdakwa yang diwajibkan untuk membuktikan bahwa ia bersalah. Ketentuan ini menyimpang dari prinsip “jaksa membuktiakan”, yaitu prinsip hukum pidana yang menganut bahwa jaksa diwajibkan membuktikan dalil-dalil

58

Aziz Syamsuddin, Op.Cit. hal.21. 59


(41)

dakwaan yang diajukan. Namun, adanya hak terdakwa demikian tidak berarti bahwa jaksa penuntut umum tidak lagi mengajukan pembuktian sebaliknya, namun bagi jaksa penuntut umum diberikan tetap keawajiban untuk membuktikan dakwaannya. Pembuktian terdakwa hanya merupakan fakta yang menguntungkan dirinya, pembuktian seperti ini lah yang disebut pembuktian terbalik terbatas.60

Menurut Raj Bhala, terdapat dua hal mendasar dalam setiap penuntutan pencucian uang yang merupakan tugas Jaksa.

Pertama, pemahaman unsur-unsur tindak pidana pencucian uang yang sangat rumit. Permasalahan akan semakin meningkat manakala kejahatan itu melibatkan pengguna jasa wire system akiabat tuntutan efesiensi, kecenderungan ekonomi, teknologi dan tuntutan kebutuhan pasar terbuka. Kedua, saat ini hampir semua negara telah menerapkan wire transfer system secara internal antar-bank dan lembaga keuangan. Ini merupakan cara memindahkan dana ilegal dengan cepat dan tidak mudah dilacak oleh jangkauan hukum, sekaligus pada saat yang sama terjadilah pencucian uang dengan cara mengacaukan audit trail.61

Pada umumnya unsur yang harus dibuktikan dalam ketentuan anti-pencucian uang adalah unsur subyektif (mens rea) dan unsur obyektifnya (actus reus). Dalam mens rea, yang harus dibuktikan adalah knowledge (mengetahui atau patut diduga) dan intended (bermaksud). Hal-hal mendasar yang telah disebutkan berkaitan dengan terdakwa yang mengetahui dana tersebut berasal dari hasil kejahatan dan terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk melakukan transaksi. Namun pembuktian ini sulit karena apabila terdakwa sangat mungkin dapat menyembunyikan hasil kejahatannya secara baik. Oleh karena penegakan hukum progresif menjadi faktor yang sangat penting dalam mencegah TPPU.62

60

Yusup Saprudin, Op.Cit., hal.89 61

Raj Bhala dalam Philips Darwin, Money laundering –cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian Uang,Penerbit Sinar Ilmu,2021,hal. 99.

62


(42)

B.Objek dan Tahapan Tindak Pidana Pencucian Uang 1. Objek Pencucian Uang

Pencucian uang merupakan kejahatan bawaan (derifative crime) yang selalu didahului oleh kejahatan asal (predicate crime). Karena sifatnya yang demikian, maka pencucian uang tidak akan pernah terjadi kecuali didahului oleh kejahatan asal. Harta hasil dari kejahatan asal itulah yang menjadi objek dari pencucian uang, di mana harta tersebut diproses sedemikian rupa sehingga asal-usulnya tidak pernah diketahui dan akhirnya menjadi harta yang sah. Objek pencucian uang mula-mula dilakukan hanya terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotika. Namun kemudian objek pencucian uang diperlukan pula untuk dilakukan terhadap harta-harta yang diperoleh dari sumber-sumber kejahatan lain.63

Sarah N. Welling, menyatakan bahwa adanya pencucian uang dimulai dengan adanya dirty money (uang kotor). Uang dapat menjadi kotor yaitu melalui dua cara yaitu melalui cara pengelakan pajak dan cara melanggar hukum.64

Kedua cara tersebut ialah antara lain :65

1. Proses penghasilan uang tersebut melalui pengelakan pajak (tax evasion). Dalam kejahatan ini, seseorang atau perusahaan memberikan laporan pembayaran pajak lebih sedikit dari jumlah uang sebenarnya yang mereka peroleh dari bisnis yang legal.

Status uang dalam perbuatan ini dibedakan menjadi : (1) Asal usul uang

63

Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit, hlm. 7. 64

Sarah N. Welling dalam Andrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, Bandung : PT Citra aditya Bakti, hal.16.

65


(43)

itu adalah halal tetapi kemudian menjadi haram karena tidak dilaporkan kepada otoritas pajak; (2) Uang itu sejak semula merupakan uang haram karena diperoleh melalui cara-cara illegal. Praktik-praktik pencucian uang memang awalnya dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang. Namun pencucian uang kemudian dilakukan terhadap uang-uang yang diperoleh dari sumber-sumber kejahatan lain.

2. Memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum.

Uang kotor dapat diperoleh melalui cara-cara yang melanggar hukum, seperti korupsi, perdagangan narkotika, perjudian gelap, penyuapan, terorisme, prostitusi, perdagangan senjata illegal, penyelundupan minuman keras, bisnis pornografi, dan kejahatan kerah putih (white collar crime), termasuk korupsi. Uang haram inilah yang kemudian diproses sedemikian rupa melalui pencucian uang sehingga tampak sebagai uang halal.

Undang-undang tentang pencucian uang di berbagai negara juga telah memperluas objek pencucian uang tidak hanya yang berasal dari perdagangan narkotika saja. Begitu pula di negara Indonesia, objek pencucian uang juga diperluas seperti yang termuat dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jadi objek pencucian uang adalah dirty money (uang kotor) yang dihasilkan dari kejahatan asal, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang.


(44)

Tindak pidana yang dimaksud ialah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, yaitu :66

a. Korupsi b. Penyuapan c. Narkotika d. Psikotropik

e. Penyelundupan tenaga kerja f. penyelundupan imigran g. di bidang perbankan h. di bidang pasar modal i. di bidang perasuransian j. Kepabeanan

k. Cukai

l. perdagangan orang

m. perdagangan senjata gelap n. terorisme

o. Penculikan p. Pencurian q. Penggelapan

r. penipuan, pemalsuan uang s. perjudian, prostitusi t. di bidang perpajakan

u. di bidang kehutanan di bidang lingkungan hidup v. di bidang kelautan dan perikanan

w. atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih,

yang dilakukan diwilayah negara kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Dikenal dengan asas double criminality (kriminalitas ganda) yaitu tindak pidana tersebut dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana itu juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Walaupun tidak dapat diketahui pasti nilai uang yang dicuci setiap tahun melalui pencucian uang, tetapi jumlahnya diperkirakan sangat besar. Itulah sebabnya pencucian uang menjadi

66

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.


(45)

industri terbesar ketiga didunia. Perkiraan paling mutakhir menunjukkan bahwa nilai dari aktivitas pencucian uang di seluruh dunia adalah sekitar satu triliun dolar pertahun. Sedangkan, pencucian uang yang berasal dari perdagangan narkotika sendiri bernilai 300-500 miliar dolar.67

2. Tahapan dalam Tindak Pidana Pencucian uang

Secara sederhana aktivitas pencucian uang dapat dilakukan melalui perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan lainnya terhadap hasil suatu tindak pidana, baik itu pelakunya organisasi maupun individu yang melakukan tindak pidana dengan maksud menyembunyikan atau menaburkan asal-usul uang tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang halal. Instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan sistem keuangan seperti perbankan. 68

Perbankan merupakan alat utama yang paling menarik digunakan dalam pencuciana uang mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan. Pemanfaan bank dalam pencucian uang dapat berupa :69

1. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu.

2. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro. 3. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih

besar atau yang lebh kecil. 4. Menggunakan fasilitas transfer.

5. Melakukan transaksi eksport-import fiktif dengan menggunakan L/C dengan memalsukan dokumen bekerja sama dengan oknum terkait;

6. Pendiri/pemanfaatan bank gelap.

67

Philips Darwin, Op.Cit.,hal.17. 68

Edi Setiadi, Rana Yulia, Hukum Pidana Ekonomi, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010, hal.154.

69


(46)

Pencucian uang biasanya termanifestasi dalam transaksi yang berkali-kali dan sering kali dilakukan secara simultan, jika demikian maka kegiatan tersebut wajib diwaspadai oleh semua pihak.70 Pada dasarnya tindak pidana pencucian uang tersebut terdiri dari tiga tahapan yang masing-masing tahapan berdiri sendiri, tetapi seringkali dilakukan bersama-sama, tahapan pencucian uang tersebut adalah:71

1. Placement (Penempatan Uang)

Placement adalah penempatan dana yang dihasilkan dari perbuatan kriminal atau tahap awal dari pencucian uang haram. Uang/aset ditempatkan pada sistem financial (keuangan) atau diselundupkan ke luar negeri, tujuannya untuk memindahkan uang/asset tersebut dari sumber asalnya. Untuk menghindari pengawasan pihak berwajib dan kemudian mengkonversikannya kedalam bentuk aset yang berbeda atau modus operandinya adalah dana ditempatkan jauh dari lokasi kejahatan. Dana tunai yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana dalam bentuk yang lebih mudah untuk dipindahkan dan tindak dicurigai untuk selanjutnya diproses dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan, sehingga jejak seputar asal-usul dana tersebut dapat dihilangkan.72

Penempatan dana juga dapat dilakukan dengan perdagangan efek dengan pola yang dapat menyembunyikan asal muasal dari uang tersebut. Penempatan uang tersebut biasanya dilakukan dengan pemecahan sejumlah besar uang tunai menjadi jumlah kecil yang tidak mencolok untuk ditempatkan dalam sistem keuangan baik dengan menggunakan rekening simpanan bank, atau dipergunakan

70

Ivan Yustiavanda, Arman Nefi dan Adiwarman, Op.Cit., hal. 58. 71

Imam Sjahputra, Money Laundering (Suatu Pengantar), Harvarindo, 2006, hal. 3. 72


(47)

untuk membeli sejumlah instrument keuangan yang akan ditagih dan selanjutnya didepositokan di rekening bank yang berada dilokasi lain.

Placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan uang tunai yang bersal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang sah. Proses placement merupakan titik paling lemah dalam perbuatan tindak pidana pencucian uang.73 Bermacam-macam cara dapat dilakukan bagi kepentingan placement, yaitu seperti :74 pembukaan rekening efek pada perusahaan efek dan pembelian unit penyertaan pada instrument reksadana, penyelundupan uang, penukaran mata uang, dan pembelian aset.

2. Layering ( Transfer )

Layering adalah upaya untuk menstransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan terutama bank sebagai hasil upaya penempatan ke penyedia jasa keuangan lainnya. Transfer harta kekayaan hasil kejahatan ini dilakukan berkali-kali, melintasi negara, memanfaatkan semua wahan investasi.75

Jumlah dana yang sangat besar dan ditempatkan pada suatu Bank tentu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan pihak otoritas moneter negara bersangkutan akan asal-usulnya. Karena itu, pelaku melakukan layering melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk memutuskan atau memisahkan hubungan antara dana yang tersimpan di bank dan tindak pidana yang menjadi sumber dana tersebut. Adanya jumlah uang yang berbeda-beda dengan frekuensi

73

Ivan Yustiavandana, Arman Nefi, Adiwarman, Op.Cit., hal.58 74

Ibid., hal 59 75


(48)

transfer dana yang tinggi semakin mempersulit proses pelacakan. Perpindahan dana tersebut tidak dilakukan satu kali saja melainkan berkali-kali dengan tujuan mengacaukan alur transaksi, sehingga tidak dapat dikejar ataupun diikuti alurnya.76 Dalam kegiatan ini, terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil penempatan ketempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain: (1) Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/Negara; (2) pengiriman simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah; (3) memindahkan uang tuani lintas batas negara melalui jaringan kegiatan yang sah atau shell company. 77

3. Integration (menggunakan harta kekayaan)

Tahap akhir dalam tindak pidana pencucian uang ialah tahap integration (menggunakan harta kekayaan). Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan kedalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang, sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati atau

76

Aziz Syamsuddin,Op.Cit., hal.20. 77


(1)

Pengaturan perlindungan terhadap pihak pelapor dalam peristiwa tindak pidana pencucian uang adalah sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum dan kurang kompherensifnya pengaturan mengenai perlindungan pihak pelapor sehingga menyebabkan keengganan bagi pihak pelapor dan saksi untuk melaksanakan kewajibannya. Pelapor akan enggan melaporkan mengenai apa yang diketahui terkait dugaan terjadinya tindak pidana meskipun undang-undang mewajibkan untuk melaporkannya kepada instansi berwenang.

Pengaturan mengenai perlindungan yang sudah diatur dan tetap dipertahankan ialah jaminan perlindungan oleh undang-undang artinya bahwa perlindungan yang diberikan telah secara tegas diatur dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang dan perlindungan karena pelaksanaan undang-undang artinya adanya suatu perlindungan apabila pelaksanaan kewajiban oleh pihak pelapor diterapkan dengan konsisten.183

183


(2)

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan dan diuraikan didalam skripsi ini, maka dapat diberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa upaya untuk mencegah dan memberantas kejahatan pencucian uang di Indonesia dilakukan dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Serta dengan membentuk PPATK yang tugas pokoknya adalah membantu aparatur penegak hukum dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang dengan cara menyediakan informasi intelijen yang dihasilkan dari analisis tehadap laporan-laporan yang disampaikan oleh pihak pelapor.

2. Penyedia Jasa Keuangan bank selaku salah satu pihak pelapor kepada PPATK harus berpedoman kepada beberapa peraturan seperti Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Juncto Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan dan peraturan Bank Indonesia Nomor: 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum untuk dapat menghasilkan laporan suatu transaksi keuangan


(3)

mencurigakan sebagai indikasi adanya tindak pidana pencucian uang yang berkualitas dan tepat kepada PPATK.

B. Saran

1. Perlu adanya kerjasama yang lebih baik antara PPATK dengan aparat penegak hukum, serta dengan lembaga sejenis PPATK di luar negeri dalam rangka sharing informasi dalam penanggulangan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang di Indonesia karena tindak pidana pencucian uang kebanyakan dilakukan oleh transnational organized crime yang melintasi batas-batas negara.

2. Perlu adanya kerjasama yang baik antara PJK Bank dengan PPATK serta lebih meningkatkan kerjasamanya dalam mencegah tindak pidana pencucian uang yang sering terjadi di dalam sistem perbankan Indonesia. Bank tidak boleh ragu-ragu dalam menyampaikan transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh nasabahnya dan PPATK dengan sungguh-sungguh memantau dan menganalisis transaksi mencurigakan yang diterimanya untuk segera dilanjutkan ketingkat selanjutnya sehingga dapat terciptanya sistem keuangan yang kuat dan stabil serta mampu mendukung pertumbuhan sektor perekonomian masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber dari buku

Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

Darwin, Philips. 2012. Money Laundering – Cara memahami dengan tepat dan benar soal pencucian uang. Sinar Ilmu

Gunawan, Andri, Erwin Natosmal Oemar, dan Refki Saputra. 2013. Membatasi Transaksi Tunai – peluang dan tantangan. Jakarta : Indonesian Legal Roundtable

Husein, Yunus. 2008. Negeri Sang Pencuci Uang. Jakarta : Pustaka Juanda Tigalima

Halim, Pathorang. 2013. Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Pencucian Uang di Era Globalisasi Uang. Yogyakarta : Total Media

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika

Ibrahim, Jhony. 2008. Teori dan Penelitian Metedologi Hukum Normatif. Surabaya : Bayumedia

Maramis, Frans. 2013. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : Rineka Cipta

Nasution, Bismar. 2005. Rejim Anti-Money Laundering di Indonesia. Bandung : Books Terrace & Library

Nurastuti, Wiji. 2011. Teknologi Perbankan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Prasetyo, Teguh. 2012. Hukum Pidana. Jakarta : Rajawali Pers

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung : Refika Aditama

Remy Sjahdaini, Sutan. 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Jakarta : PT. Pustaka Utama


(5)

Sjahfrein Jahja, Juni. 2012. Melawan Money Laundering – Mengenal, Mencegah & Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta : Visimedia

Soetikno, Eko, 2011. Kiat Mencegah Kejahatan Dan Penanggulangannya. Jakarta : Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara Republik Indonesia (LPPNRI) Saprudin, Yusup. 2006. Money Laudring (kasus L/C Fiktif BNI 1946). Jakarta :

Pensil-324

Syamsuddin, Aziz. 2011. Tindak Pidana Khusus. Jakarta : Sinar Grafika

S. Soetiono, Kusumaningtuti. 2014. Mengenal Otoritas Jasa Keuangan dan Industri Jasa Keuangan. Jakarta : OJK

Sungono, Bambang. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada

Setiadi, Edi, dan Rana Yulia. 2010. Hukum Pidana Ekonomi. Yogyakarta: Graha Ilmu

Sjahputra, Imam. 2006. Money Laundering (Suatu Pengantar). Harvarindo

Sutedi, Adrian. 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang. Bandung : PT. Citra Aditya

Sahetapy, JE. 2003. Bisnis Uang Haram. Jakarta : KHN

Wiryono, R.2014. Pembahasan Undang-Undang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta : Sinar Grafika

Yustiavandana, Ivan, Arman Nefi, dan Adiwarman.2010. Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal. Jakarta : Ghalia Indonesia

2. Sumber dari Jurnal/Skripsi/Makalah

Erdiansah. 2011. “Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Sebagai Bentuk Peranan Bank dalam Mengantisipasi Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Pada PT Bank Negara Indonesia (Persero) TBK Cabang Pekanbaru”. Jurnal Ilmu hukum. Pekanbaru. Vol.3, No.1

Halif.2104. Buku Ajar Tindak Pidana Pencucian Uang. Jember : Universitas Jember

Timin, Idham, Andi Sofyan dan H.M. Djafar Saidi.2008. “Kedudukan PPATK

Dalam Kaitan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Jurnal Hukum.


(6)

Triwidayati, Utami. 2009. Peranan PPATK Dalam Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta: Universitas Indonesia

Zia Nasution, Muammar. 2013. “Analisis Yuridis Peran dan Tanggung Jawab PPATK Sebagai Intelligence Unit Dalam Sistem Perbankan Indonesia.

Jurnal Hukum Ekonomi”. Medan. Vol.1, No.2 3. Sumber dari Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegaha Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum

Peraturan Kepala PPATK Nomor : PER-11/1.02/PPATK/06/2013 Junto Peraturan Kepala PPATK Nomor : PER-04/1.02/PPATK/03/2014 tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.