Bila Militer Kembali ke Gelanggang Politik Nasional.

~6iID
Piki'8an
Rakyat
· 0 0 0 0

e
1

1.,

Senin

2

3

18

4

19


_0 Jan 0

Peb

Rabu

Selasa
5

20

6

21

7

22


Jumat

Kamis

8

23

9

10

24

11

@

26


G Mar 0 Apr _Mei 0 Jun 0 Jul 0 Ags

OS:!btu
12
13
27
28
OSgp

OOkt

-

.Bila Militer J{embali

k~ Gelanggang Politik--Nasiond!.
------

--


IM sukses ketiga kandidat
capres-cawapres dalarn
Pemilu 2009 dirarnaikan
jenderal purnawirawan TNI. Tim
sukses pasangan Yudhoyono-Boediono dipimpin Marsekal (Pum.)
Djoko Suyanto, mantan Panglima
TNI; tim pasangan Kalla-Wiranto
dipimpin Mayjen (Purn) Fachrul
Razi, mantan Wakil Panglima
ABRI; sedangkan pasangan
Megawati-Prabowo dipimpin Mayjen (Pum) Theo Sjafei, mantan
Pangdarn Udayana
Reformasi yang digelorakan mahasiswa tahoo 1997-1998 bernuansa ingin mengembalikan pemerintah ke dalam supremasi sipil. Namun kenyataannya, kurang dari
sepuluh tahun dari reformasi, penguasaan militer terhadap pemerintahan harnpir sempuma.

T

MURADI. *

--


.

Gejalan seperti apakah ini, berikut petikan wawancara "PR" dengan Muradi, dosen lImu Pemerintahan FISIP Unpad yang kini sedang "
studi doktoral di Flinders Asia Cen- I'
tre School of Political and International Studies Flinders University,
Australia.
.

Kehadiranpara mantanjenderal dalam kancah politik, inifenom-

ena dan gejala apa?

tingan negara, terlepas partai mana

,

·

ataupoo calon mana yang mereka

dukung.
Fenomena yang satu ini banyak
teIjadi di negara-negara dengan tradisi demokrasi yang tengah berkembang. Sebut saja misalnya Filipina,
Nigeria, ataupoo Venezuela, di
mana ada hasrat politik dari para
jenderal dan mantan tantara untuk
diaktualisasikan dalarn kanal demokrasi yang tersedia. Salah satunya
melalui pemilu atau pilkada, baik
sebagai kandidat atau tim sukses.
Sekadar garnbaran, misalnya Fidel
Ramos mantan Presiden Filipina
dan mantan jenderal, serta Obasanyo, mantan presiden Nigeria tim
suksesnya banyak dari mantan kolega di militer.
Kedua, fenomena ini bisa diasumsikan sebagai upaya kembalinya kiprah tentara ke gelanggang politik. Bedanya, pada masa
Orde Barn, keterlibatan tentara
dalarn berpolitik itu melekat dalarn
konteks Dwi Fungsi ABRI, sekarang
mereka mencoba peruntungan
dalarn berbagai kontestasi politik,
baik lokal maupun nasional, pileg,


YlIdhoyono-Boediono
1.
2.
3.
4.

Marsekal (Purn.) Djoko Suyanto, mantan Panglima TNI
Letjen (Purn.) Suyono, mantan Kasum TNI
Letjen (Purn.) Agus Wijoyo, mantan Kaster TNI
Mayjen (Purn.) Abikusno, mantan Asisten Logistik Panglima TNI
5. Mayjen(Purn.)Sardan Marbun
Ketua Tim Sukses: Hatta Radjasa

Kalla-Wlranto
1. Mayjen (Purn) Fachrul Razi, mantan Wakil Panglima ABRI
2. Letjen (Purn) Suady Marasabessy, mantan Kasum TNI
3. Laksda (Purn) Abu Hartono, mantan Ketua Fraksi ABRI
4. Marsda (Purn) Basri Sidehabi, mantan Komandan Sesko ABRI
5. Letjen (Purn) Ary Mardjono, mantan Sekjen Partai Golkar

6. Letjen (Purn) Soemarsono, Sekjen Golkar
Ketua Tim Sukses: Fahmi Idris

Megawati-Prabowo
1. Mayjen (Purn.) Theo Sjafei, mantan Pangdam Udayana
2. Mayjen (purn.) Muchdi Purwoprandjono,
mantan Deputi Kepala BIN
3. Mayjen (Purn.) Kivlan zen, mantan Pangdiv Kostrad
4. Letjen (Purn.) Hartoyo PS, mantan Kasospol ABRI
5. Letjen (Purn.) Farid Zainudin, mantan Kepala BAIS
6. Letjen (Purn.) Yogi Supardi
7. Mayjen (Purn.) Glenny Kairupan
Ketua Tim Sukses: Theo Sjafei

\

f

Kehadiran para mantanjenderal'l
baiksebagai capres (Yudhoyono),

wapres (W'lrallto dan Prabowo),
maupun tim suksesnya harus dilihat ~I
'I
dari dua sisi. Pertama, keterlibatan
'.
mereka merupakan bagian yang
I
tidak terpisahkan dari partisipasi
politik dalarn ruang demokrasi. Ini
sangat positif, mengingat kehadiran
mereka sebagai elemen bangsa yang
tidak putus mengabdi bagi kepen-

yangmenjadikendaraanpolitik,

Susunan Tim Sukses dari Militer

;.

~


~--- ._Kllplng

-

-

Humas

Unpad

--

2009

- pilpres, pilkada, ataupun hanya sebagai tirn sukses. Langkah ini tidak
bertentangan dengan esensi demokrasi, namun hams dilihat sebagai
peringatan bagi elite politik sipil.
Dalam konteks ini juga makin
kental asumsi bahwa tentara ataupun mantan tantara itu memiliki

berbagai keahlian yang tidak dimiliki politikus sipil, baik soal disiplin,
strategi, dan dalam menjalankan
visi-misi serta program. Hams disadari hal tersebut diakui masyarakat.
Sekadar ilustrasi bila dibandingkan
dengan Habibie, Gus Dur dan
Mega, Yudhoyono dianggap paling
mumpuni oleh masyarakat, sebagai
presiden pasca-Soeharto. Indikatornya adalah naiknya perolehan
kursi Partai Demokrat sebesar
300% pada pemilu legislatif. ltu semata-mata pengakuan masyarakat
atas kepemimpinan Yudhoyono,
bukan karena mesin politik PD
yang bekeIja.
Dampaknya terhadap proses
pilpres?
Secara teoretik, hampir tidak berdampak terhadap proses pilpres,
kecuali mungkin secara praktis
akan teIjadi perang strategi. Tapi,
ini justru "menggairahkan" secara
politik. Ketiganya memilOO ahli
strategi yang mungkin berpengaruh
dalam menarik dukungan, dengan
berbagai cara. Hanya saja, ini yang
hams digarisbawahi, dampak
negatif yang akan muncul bagi sipil
adalah mereka akan cenderung
menjadi operator di lapangan,
sedangkan yang men-drive ya para
mantan tentara tersebut. Mungkin
Iyang lebih parah adalah sipil akan
hanyajadi penonton.
Bagi saya, ini anomali, satu sisi
pelembagaan demokrasi beIjalan
sangat baik. Di sisi yang lain, ada
"pengerdilan" sipil secara politik.
Karena, yang muncul adalah aktor
"sipil" yang mantan tentara, dengan
membawa gerbong, kolega dan kultur militer dalam gelanggang politik. lni kurang baik bagi penguatan

--

demokrasi di Indonesia.
Dampaknya terhadap
demokrasi?
Seperti penjelasan saya di awal,
ada dua sisi mata uang terkait kehadiran mantan tantara dalam politik. Meski keberadaan mereka
bukan ancaman bagi demokrasi,
tapi ancaman bagi sipil. lni tamparan bagi sipil. Sebab setelah penyelenggaraan pemilu yang ketiga,
cuma pada Pilpres 1999 yang benar-benar hajat sipil. Dna pilpres
terakhir sipil justru sibuk dengan
berbagai konflik internal partainya.
Ini sangat menyedihkan, dan masyarakat melihat sebagai generalisasi ketidakmampuan sipil untuk
memimpin negara, bagaimana bisa
mengurus negara, mengurus partainya saja tidak heeus, penuh kontlik. Tak heran bila kemudian aktor
politik mantan jenderal melihatnya
sebagai peluang. Kenyataannya, kemenangan Yudhoyono pada Pilpres
2004 adalah titik pijak pembangunan kepercayaan tantara untuk come
back ke gelanggang politik. Parahnya, itu diakui oleh dua calon lain.
Mereka mencoba peruntungan dengan memasang cawapresnya dari
kalangan mantan tentara.
Namun hams digarisbawahi juga, hal itu juga segaris lurus dengan
budaya politik masyarakat yang
masih dipengaruhi oleh karisma,
pencitraan politik, dan lain sebagainya. Masyarakat masih melihat
pemimpin sebagai figur yang enak
dilihat, hams menjaga image atau
jaim, dan lain sebagainya. Mereka
hampir tidak perduli dengan platform partai, ideologi, dan bahkan
program. lni bagian yang hams dilihat oleh sipil sebagai tantangan
untuk melakukan pendidikan poli-

tik ke masyarakat.Bisajadi orang
seperti Yudhoyono, dan para mantan tantara tersebut masuk dalam
kriteria yang dilihat dan diharapkan
masyarakat.
Mengingat tidak sedikitjuga
dari mereka yang piawai berin-

.

telije;:;;;;;nkahnantiberpen-I
garuh terhadap proses kampanye
dan pendulangan sllara?
Pasti akan berpengaruh. Sekadar
ilustrasi, kegagalan Mega dalam
Pilpres putaran ke-2 tah4n 2004,
karena strategi mengooptasi
masyarakat dengan berbagai hal
yang berbau calon yang didukung
oleh para mantan jenderal tersebut.
Hams diakui, waktu itu tirn sukses
Yudhoyono banyak diisi kolega dan
mantan tentara. Dalam Pilpres
2009 ini saya pikir, para ahli strategi dan intelijen ketiganya berimbang, masing-masing mempunyai
kekurangan dan kelebihan. Tapi
catatan penting yang hams digarisbawahi adalah tim sukses dari
kalangan mantan tentara di kubu
Yudhoyono tidak sesolid tahun
2004. Mereka menyebar ke calon
yang lainnya.
Artinya akan sangat menarik dan
tentunya bukan hanya faktor tirn
sukses dari kalangan mantan tantara, tapi juga akan dipengaruhi oleh
momentum, dinamika di lapangan,
serta mesin politik. Ketiganya bisa
saling melengkapi dengan strategi
intelijen yang kemungkinan digunakan untuk memenangkan calon
masing-masing. Dengan kata lain,
kiprah mantan jenderal dalam pilpres ini hams dilihat sebagai bagian
dari proses pendewasaan demokrasi. Artinya, saya sangat sangsi terhadap tirn sukses tersebut, khususnya dari mantan jenderal itu akan
menghalalkan segala cara untuk
memenangkan calonnya masingmasing. Karena, mereka aktif
dalam politik tidak semata-mata
kekuasaan, mela4tkan juga memastikan bahwa negara ini tidak terpecah belah oleh konflik yang disebabkan politik. Dan saya poor,
NKRI adalah harga mati. Artinya,
beda calon yang didukung, tapi
tetap NKRI, itu 'Yang ada di kepala
para mantan jenderal tersebut
sesungguhnya. (Una Nursanty/"PR")***