Peran perempuan Militer dalam Politik

Peran Militer dalam Politik
Makalah ini Ditujukan Untuk Memenuhi Mata Kuliah:
Dasar Ilmu Politik

Dosen Pengampu:
Andar Nubowo, DEA

Oleh :
Zahra - 11141130000055

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA
2014

Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Tuhan
yang telah memberikan segala macam nikmat serta bimbingan sehingga pemakalah dapat
menyelesaikan tugas kelompok “Pengantar Ilmu Politik” yang berjudul “Politik dalam
Militer”. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah
membimbing ummat kepada jalan yang diridhai Allah SWT.

Makalah ini dibuat dengan sebaik-baiknya sehingga menghasilkan karya yang dapat
dipertanggungjawabkan hasilnya. Pemakalah mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait
yang telah membantu dalam menyelesaikan berbagai tantangan penyusunan makalah ini.
Pemakalah menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karna itu, pemakalah mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini. Atas perhatian pembaca,
pemakalah mengucapkan terima kasih.

Ciputat, November 2014
Pemakalah

2

Daftar Isi
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...............................................................................................................iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................1

B. Rumusan Masalah ....................................................................................2
C. Tujuan dan Manfaat .................................................................................2
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................2
E. Kerangka Teori .........................................................................................2
F. Metode Penelitian Makalah ......................................................................3

BAB II

PEMBAHASAN
A. Sejarah Militer di Indonesia ................................................................4
B. Kapabilitas Negara dan Kebijakan Luar Negeri .......................................0
C. Proses Perumusan Kebijakan Luar Negeri ...............................................0
D. Model Kebijakan Luar Negeri ..................................................................0
a. Faktor Psikologi dalam Kebijakan Luar Negeri..............................0
b. Rational Decision Actor Making Model...............................................0
1. Rational Actor Model...............................................................0
2. Organizational Process Models................................................0
3. Bureaucratic Political Models..................................................0
c. Faktor Domestik..................................................................................0
a) James N. Rosenau..........................................................................0

b) Alex Mintz...................................................................................15
d. Faktor Sistem Internasional dalam Kebijakan Luar Negeri................16

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................19
B. Saran ......................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA

iii

3

BAB I
Pendahuluan
A.

Latar Belakang

Satu cara yang sudah merupakan mode untuk menjelaskan ambruknya
demokrasi barat di negeri yang dinamakan Dunia Ketiga adalah meletakkan sebagian
besar dari kesalahannya kepada campur tangan militer dalam politik. Memasuki
dasawarsa 1960-an, negara-negara Dunia Ketiga mengalami krisis

politik

berkepanjangan yang membuka jalan bagi masuknya tentara mengambil alih
kepemimpinan politik nasional.
Dalam sejarah politik di Indonesia, hubungan antara partai politik dan militer
tidak selamanya berjalan mulus. Sebelum pemerintahan membentuk secara resmi
angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 5 Oktober 1945, tidak sedikit partai
politik yang membentuk laskar-laskar yang akhirnya menjadi bagian dari BKR
(Badan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TNI (Tentara Nasional
Indonesia), atau APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang kemudian lebih
dikenal dengan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Dalam perjalanannya, militer regular dan professional yang berasal dari KNIL
(Koninklijke Nederlands-Indische Leger) dan Peta (Pembela Tanah Air) lebih
mendominasi kehidupan militer di Indonesia daripada para pejuang pelajar dan laskar
partai politik yang sebagian besar terkena kebijakan pemerintah mengenai

reorganisasi TNI pada akhir 1940-an dan awal 1950-an.
Namun demikian, dalam kaitan hubungan partai politik dan militer, partai
politik pernah mendominasi dan mengontrol militer secara subjektif, terutama pada
masa Demokrasi Parlementer. Dengan kata lain, control subjektif sipil terhadap
militer telah mencampuri secara mendalam urusan urusan internal militer, termasuk
dalam penentuan masalah penentuan posisi jabatan di dalam struktur TNI-AD. Hal ini
menimbulkan rasa tidak suka dan dendam terhadap militer, khususnya TNI-AD,
terhadap para politisi sipil.
Dalam beberapa kasus, rasa ketidaksukaan dimanifestasikan melalui bentuk
perlawanan militer terhadap pemerintah sipil, seperti dalam peristiwa 17 Oktober
1952, ketika sepasukan elit TNI-AD mengarahkan moncong meriam ke Istana
4

Merdeka untuk memaksa Presiden Sukarno membubarkan konstituante karena
dianggap terlalu banyak mengintervensi urusan militer.
Ketika militer, khususnya TNI-AD, mendapatkan kesempatan turut serta
dalam politik, sebagai pembalasan rasa dendam, mereka kemudian mengintervensi
kehidupan kepartaian di Indonesia, khususnya sejak masa transisi dari Demokrasi
Parlementer ke Demokrasi Terpimpin (Periode 1957-1959), masa Demokrasi
Terpimpin, dan mendapatkan kesempatan yang lebih besar pada masa Demokrasi

Pancasila.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan paparan yang dijelaskan di atas, agar pembahasan tidak melebar,
rumusan masalah akan dikerucutkan kedalam beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
1.

Mengapa tentara terdorong untuk terlibat dalam politik di Indonesia?

2.

Apa kebijakan strategis yang bisa diambil oleh pemerintahan demokratis
untuk profesionalisasi tentara?

C.

Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari penyusunan makalah ini, untuk membahas dan menganalisa
perkembangan peran militer dari sebab-sebab kemunculannya sebagai alternatif

sistem politik paska kemerdekaan hingga kejatuahn sistem politik otoriter yang dipicu
oleh gerakan-gerakan demokratisasi. Sedangkan manfaat makalah ini, untuk
menambah wawasan bagi akademisi, baik itu mahasiswa dan dosen, tentang dinamika
perkembagan militer dalam perpolitikan di Indonesia berkiatan sehingga dapat
dipelajari kebaikan dan keburukan pada masa itu.

D.

Tinjauan Pustaka
Dalam menjelaskan tiap bagian dalam makalah, pemakalah mengambil dari
informasi utama berupa buku dari beberapa tokoh dan sejarawan lain yang dapat
dipertanggungjawabkan keaslian sumbernya, selain buku-buku yang pemakalah
dapat, pemakalah juga menggunakan jurnal dari berbagai media massa agar dapat
memperkuat tinjauan pemakalah.

5

E.

Kerangka Teori

Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisa kasus-kasus yang berfokus
pada peran militer dalam politik di Indonesia, sehingga perlu dijelaskan secara
terperinci tentang sejarah militer dan keterlibatannya dalam politik di Indonesia, apa
yang mendorong militer terlibat dalam kegiatan politik, dan kebijakan-kebijakan
strategis yang dapat diambil untuk profesionalisme tentara. Kerangka teori dan
sejarah diambil dari tokoh-tokoh termuka dalam buku-buku yang terlampir pada
daftar pustaka serta sejarawan lain yang dapat dipertanggungjawabkan keaslian
sumbernya. Sehingga memudahkan pemakalah menganlisis setiap pembahasan yang
ada.

F.

Metode Penelitian Makalah
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, sebab pemaparan
dalam penelitian ini berbentuk penggambaran secara rinci dan mendalam,
serta

menganalisisnya


dalam

bentuk

kalimat.

Interpretasi

penelitian

berdasarkan fakta dan literatur yang telah dikumpulkan.
2. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data studi literatur. Literatur
di antaranya buku, jurnal, dan lain-lain. Sebagai sumber penelitian yang
menjadi patokan dalam pembahasan data. Di samping itu, internet sebagai
tambahan yang tidak ada dalam literatur, dan pendukung data yang sudah
disumbangkan sumber utama.

6


BAB II
Pembahasan
A.

Dorongan Tentara untuk Terlibat dalam Politik di Indonesia
a.

Dorongan Internal dan Eksternal
Militer merupakan kelompok kunci dalam dinamika politik di negara
sedang berkembang pada umumnya, khususnya di negara dunia ketiga, seperti
Indonesia. Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang faktor
penyebab campur tangan militer dalam politik. Kelompok pertama melihat
bahwa campur tangan itu lebih disebabkan oleh faktor internal. Dengan
demikian, militer dianggap sebagai kelompok kelas kepentingan. Sementara
kelompok kedua melihat hal itu diakibatkan oleh struktur politik dan institusional
masyarakatnya. Penjelasan kelompok kedua ini, seperti yang pernah ditulis oleh
Huntington, menandakan bahwa keterlibatan itu sebagai akibat rapuhnya struktur
politik dan institusi masyarakat. Kenyataannya tidaklah demikian sebab tarik ulur
politik antara sipil dengan militer di Indonesia sudah muncul sejak masa awal
kemerdekaan dan disebabkan oleh baik faktor internal maupun eksternal ABRI.

Dari sisi internal, sejak awal sudah ada keinginan ABRI untuk memainkan peran
dalam politik Indonesia dan tidak hanya menjadi alat kekuasaan sipil seperti yang
berlaku di negara barat. Ini juga didukung oleh rapuhnya kekuatan elit sipil yang
menjadi penguasa pada era sukarno.
Dorongan internal terhadap keinginan peran militer dalam politik
Indonesia semakin besar karena adanya intervensi politik sipil terhadap masalah
internal ABRI. Ini tampak dari kian retaknya hubungan elite militer-sipil pada era
Demokrasi Parlementer yang kemudian memunculkan peristiwa 1952. Peristiwa
tersebut merupakan penolakan militer secara tegas atas intervensi partai politik
dalam masalah internalnya. Ini juga menunjukkan bahwa, bagaimanapun, militer
merupakan kelompok kepentingan institusional yang tak bisa diabaikan dalam
percaturan politik di Indonesia. Saat keadaan darurat diberlakukan di berbagai
wilayah pada 1957 akibat terjadi pemberontakan daerah, sebagian besar
komposisi struktur politik diisi oleh kalangan militer. Fakta ini memperkuat

7

argumentasi bahwa campur tangan militer dalam politik lebih terdorong oleh
kepentingan politik tentara.
Di masa selanjutnya, campur tangan ABRI dalam masalah sipil terus
berlanjut.1 Pada masa transisi dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi
Terpimpin (1957-1959), peran militer dalam politik semakin mendapatkan
tempatnya karena diberikan kesempatan oleh Sukarno. Selanjutnya, pada era
Demokrasi Terpimpin inilah militer mulai leluasa memainakan peran politik
militer pada masa itu tidak hanya terjadi cikal bakal dominasi militer dalam
perpolitikan Indonesia, tetapi kemudian juga menjadi model pada era berikutnya.
Pada era tersebut, ABRI sebagai garda revolusi diberi peran yang sangat luas
dalam penyelenggaraan negara dan pengambilan perusahaan-perusahaan asing.2
Pada masa transisi dari Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila,
terutama pada saat terjadinya pengambilalihan kekuasaan di Indonesia, 19651968, militer semakin mendominasi politik Indonesia. Memang, ada argumentasi
bahwa peralihan kekuasaan dari sukarno ke Suharto bukanlah suatu “kudeta
militer”. Akan

tetapi,

sebagian

pengamat

politik

mensinyalir

adanya

kecenderungan itu. Alasan ABRI mengambil alih kekuasaan karena situasi politik
dan ekonomi Indonesia saat itu sangat parah. Untuk mencegah kesan bahwa
penguasa Orde Baru adalah suatu rezim militer, militer berupaya untuk
menggandeng mitra politik sipil, yaitu dengan membentuk Sekretariat Bersama
Golongan Karya yang kemudian menjadi Golongan Karya (GolKar). Koalisi
untuk membangun jaringan politik agar tetap berkuasa, tampaknya merupakan
kepentingan utama pada masa itu. Ini berlanjut dengan dilucutinya kekuatan
politik partai lama.
Trauma politik kalangan militer atas peran partai politik era Demokrasi
Terpimpin dan Demokrasi Terpimpin membawa dampak diterapkannya struktur
politik yang didominasi oleh militer. Sejak saat itu, mulailah fase marginalisasi
partai politik melalui restrukturalisasi politik orde baru, terutama untuk
menyongsong pemilihan umum 1971. Sementara itu, kelompok militer, masih
belum menemukan jaringan dan patronase untuk membuat partai politik yang
kuat, melawan partai lama. Mengantisipasi hal ini, sejak 1967-1969, ABRI mulai
1 Adam Schwarz, A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s, Australia: Allen & Unwin
Pty. Ltd, 1994, h. 299.
2 A.H Nasution, “The Dual Function of ABRI: Origins and Current Situation”, dalam
Prisma , no. 20, Maret 1981, h. 41

8

terlibat aktif menyusun kekuatan melalui partai politik dengan mengaktifkan
sekber golkar yang dulu pernah ada. Di banyak tempat, strukturnya cukup unik
karena di daerah tingkat II diketuai oleh dandim (komandan distrik militer),
sementara di tingkat kecamatan diketuai oleh danramil (komandan rayon militer).
Pada fase itulah ABRI sebagai pemegang kunci kekuatan politik melawan
komunisme, menentukan konsep-konsep politik melalui seminar Angkatan Darat
I, dan lebih-lebih pada seminar Angkatan Darat II yang sebagian besar
rumusannya dijadikan acuan dalam membuat struktur politik baru. Munculah
struktur politik bayangan antara struktur ABRI dengan struktur Departemen
Dalam Negeri.
Fase berikutnya yang menarik adalah munculnya upaya untuk
mempertahankan kekuasaan itu. Dengan demikian, ABRI, dalam kenyataan itu,
telah berubah tidak hanya melindungi kepentingan kelas elit, tetapi juga sangat
menentukan jalur politik, birokrasi, ekonomi, dan sosial. Peran ABRI akhirnya
berubah menjadi bagaimana mempertahankan keamanan dan stabilitas politik
agar status quo semakin terjaga. Hubungan semacam ini lalu disebut oleh banyak
kalangan sebagai sistem otoriter birokratis, yaitu ketika seluruh struktur politik,
terutama tempat-tempat strategis dalam proses politik, dimasukinya, sebagai
bagian dari strategi stabilitas politik dan pembangunan ekonomi.
Partai politik pada akhirnya hanya sebagai bagian dari marginalisasi
struktur politik, bahkan boleh dikatakan tidak mendapatkan tempat terhormat.
Campur tangan pun kerap dilakukan terhadapnya. Pola inilah yang terus
dikembangkan. Bahkan untuk mendapatkan legitimasi politik dari negara, partai
kerap kali harus meminta campur tangan pihak militer, setiap kali mereka dilanda
konflik. Tidak hanya sekadar itu, pola rekayasa dan manajemen konflik pun
diterapkan sebagai upaya agar partai politik, kecuali Golkar, semakin lemah.
Bermula dari kebijakan penyederhanaan parpol dari 10 sampai 3 partai, secara
sistematis militer mengebiri kekuatan partai politik. Ini termasuk kebijakan
deparpolisasi dan depolitisasi masyarakat, yang tampak dari kebijakan massa
mengambang dan monoloyalitas birokrasi.
Selain itu, militer juga memainkan peranan yang amat besar dalam
manajemen konflik internal partai paska-fusi 1973. Kasus yang menimpa PDI
dan PPP paska-fusi menunjukkan kecenderungan ini. Terakhir, kasus yang cukup
mengejutkan adalah munculnya peristiwa 27 Juli 1996, setelah sebelumnya
9

berbagai rangkaian kejadian untuk mengusir Megawati dari panggung politik
Orde Baru dilakukan. Dengan demikian, cap bahwa parpol hanya sekadar
stempel demokrasi kerap kali dipakai sebagai dasar analisis kepolitikan di
Indonesia.
Tidak hanya partai. Lembaga perwakilan rakyat pun mengalami nasib
yang sama. Fungsi ditetapkannya pengangkatan ABRI di DPR semata-mata
bertujuan agar deideologi semakin lancar diterapkan. Umumnya, mereka
berargumen bahwa ABRI duduk di DPR dalam rangka mengamankan UUD ’45
dan Pancasila. Mekanisme ini digunakan sebagai upaya untuk menggusur partai
agar tidak terlalu merepotkan dalam pelaksanaan SU-MPR. Dari sinilah muncul
anggapan bahwa ABRI menjadi kekuatan penentu dan penyeimbang agar status
quo tetap bertahan. Cara-cara yang dilakukan adalah melalui tindakan represif,
campur tangan dalam politik, dan pengendalian proses politik. Salah satu ciri
rezim Suharto adalah tidak diperbolehkannya oposisi dan dibatasinya partisipasi
politik rakyat. Di mata rezim Suharto, kekuatan partai politik oposisi,
kebebabasan pers, kebebasan bersuara, dan kebebasan berorganisasi dianggap
menghambat pembangunan ekonomi, mengganggu stabilitas politik, dan dapat
menimbulkan disintegrasi nasional.
Ketika krisis ekonomi mulai muncul pada 1997 dan terus berlanjut hingga
1999, berbagai tuntutan reformasi politik dan penghapusan peran militer dalam
politik pun muncul ke permukaan. Ada dua kecenderungan umum, yaitu,
pertama, keinginan agar perombakan struktur politik dilakukan sebagai bagian
dari transisi politik. Kedua, tuntutan agar dwifungsi ABRI dihapuskan,
ditiadakannya wakil ABRI di DPR, dan ABRI hanya memiiki wakilnya di MPR.
Pada masa ini pula muncul kecenderungan bangkitnya kembali era partai politik,
seperti yang terjadi pada masa awal kemerdekaan hingga masa transisi ke
Demokrasi Terpimpin.
b.

Perspektif Teoritis
Sebagai salah satu kekuatan utama dalam politik Indonesia, ABRI sangat
menentukan state formation.3 Wujud dominasi ABRI tersebut tercermin pada,
pertama, struktur politik Indonesia pada masa pemerintahan Suharto, khususnya

3 A.H. Nasution, “Ke Arah Masyarakat yang Lebih Demokratis”, Kompas, 5 Oktober 1993,
h. 3

10

pada lembaga birokrasi, terutama departemen dalam negeri. Kedua, pada
lembaga parlemen, partai politik, dan kelompok kepentingan yang posisinya
sangat lemah. Dan ketiga, pada tingkatan masa melalui kebijakan masa
mengambang.4 Dalam kategori MacFarling, yang mengutip dari Pamudji,
disebutkan bahwa ada dua model struktur politik, yaitu, pertama, suprastruktur
yang terdiri atas lembaga tinggi negara, lembaga tertinggi negara, para menteri
serta para agen pemerintah. Kedua, infrastruktur, yang terdiri atas partai politik,
kelompok fungsional, figur-figur politik (kepemimpinan informal), kelompok
kepentingan, media massa, dan massa mengambang.
Campur tangan atau keterlibatan ABRI dalam struktur politik Indonesia,
terutama pada masa pemerintahan Suharto, sebagaimana terjadi di banyak negara
dunia ketiga lainnya, Nampak keterlibatan militer yaitu:
-

administrasi pemerintahan

-

membuat atau memiliki partai politik

-

pemerintahan sipil seperti mengisi birokrasi, dll.

-

Wasit politik ketika ada konflik

-

Terbentuk oligarki militer

-

Militer pretorian otoriter

Sementara itu, menurut S.E. Finer, model intervensi dilakukan oleh
militer melalui:
-

Saluran konstitusi yang resmi

-

Kolusi atau kompetisi dengan otoritas sipil

-

Intimidasi terhadap otoritas sipil

-

Ancaman nonkooperasi dengan atau kekerasan terhadap otoritas sipil

-

Penggunaan kekerasan pada otoritas sipil

Dari model diatas, hampir semuanya dilakukan oleh militer dala sejarah
perpolitikan di Indonesia, mulai dari masa darurat perang (SOB) hingga pada
berlangsungnya pemerintah Suharto yang akhirnya jatuh. Angka penjatahan di
dalam parlemen (DPR/MPR) melalui mekanisme pengangkatan dilakukan
debagai suatu upaya agar militer dapat mengontrol lembaga perwakilan sehingga
kepentingan untuk tetap “berkuasa” tidak mengalami gangguan. Model struktur
politik demikian ini lalu dianggap relevan dengan model birokratik-otoriter.
4 Bilveer Singh, Dwifungsi ABRI: Asal-Usul, AKtualisasi, dan Implikasinya bagi stabilitas
dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, h. 149

11

Akan tetapi, berbeda dengan yang dikatakan oleh Huntington bahwa
dominasi militer di dalam plitik diakibatkan oleh faktor struktur politik dan
masyarakat5. Tampaknya untuk kasus di Indonesia kurang relevan. Untuk kasus
di Indonesia, pernyataan Huntington itu tidak tepat. Doktrin maupun ideologinya
dibangun sebagai bagian integral dari sistem politik Indonesia pada masa-masa
awal 1966-1970. Peluang berkuasa didapat kelompok militer ketika sipil telah
kehilangan kepercayaan dan atau legitimasi untuk memerintah, sebagai akibat
krisis politik dan ekonomi yang terjadi pada era pemerintahan Sukarno.
Sebaliknya, pada masa setelah jatuhnya Suharto –kini militer pun mengalami
nasib yang sama, peran militer digugat oleh beberapa kalangan polisi sipil dalam
menentukan struktur politik baru era reformasi.
Dari konteks ini, argumen bahwa masuknya militer dalam politik sebagai
akibat dari struktur politik dan masyarakat adala kurang relevan untuk kasus
Indonesia. Tampaknya, yang agak relevan adalah militer sebagai kepentingan
kelas (yang) mencoba untuk menguasai politik dalam jenis dan kategori yang
tersebut di atas. Kemudian, ketika mereka memiliki kesempatan untuk
melakukan intervensi secara luas dalam bidang politik, mereka menyusun
struktur politik baru, seperti yang tampak pada era paska runtuhnya pemerintahan
Sukarno.
1.1 Faktor Intervensi Militer dalam Politik
Faktor
Internal ABRI

Penjelasan
o Perwira-perwira
intervensionis

terutama

didorong oleh motivasi untuk membela atau
memajukan kepentingan militer yang berlawanan
dengan norma konstitusional.
o Intervensi militer didorong oleh kepentingan
kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi
kelas menengah yang darinya mereka berasal.
o Kemahiran profesional di kalangan militer
menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa
mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan
nasional dibandingkan dengan kelompok sipil.
o Intervensi militer dalam politik sebagai sebab
ambisi

pribadi

perwira-perwira

yang

haus

5 Schwarz, A Nation …, h.303

12

wibawa dan kuasa.
o Intervensi militer dalam politik sebagai akibat

Eksternal ABRI

dari struktur politik masyarakat yang masih
rendah dan rentan.
o Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang
memerintah (untuk kasus Indonesia yang terjadi
pada

masa

Demokrasi

Parlementer

dan

Demokrasi Terpimpin dan pada 1965) atau
kelompok

sipil

dipandang

tidak

mampu

memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas
politik.
o Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam
melakukan modernisasi ekonomi.
o Terjadinya disintegrasi nasional.
Sumber : Modifikasi dari Ulf Sundhaussen, politik militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi
ABRI, Jakarta: LP3S, 1986, hh. 440-437

Karena alasan ini, dipengaruhi oleh faktor eksternal pada perdebatan awal
perombakan struktur politik militer, dua perwira militer (Ali Moertopo dan
Soedjono Hoemardani) membentuk kelompok pemikir, yang berkoalisi dengan
para intelektual muda katolik, yaitu Center of Strategic and International Studies
(CSIS). Militer juga menjadi penentu dan atau wasit dalam setiap konflik yang
terjadi pada internal partai politik, organisasi kemasyarakatan, dan menguasai
jaringan struktur politik bayangan (struktur militer/angkatan darat) –yang sejajar
atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan struktur politik Departemen
Dalam Negeri. Struktur politik demikianlah yang menurut Finer, mempunyai
pengaruh sangat tinggi bagi munculnya intervensi militer dalam politik. Seperti
pada tabel dibawah ini:
1.2 hubungan sistem politik dan intervensi militer
Tingkat
Intervensi
Tinggi
Rendah

Matang
Tidak
Ya

Sistem Politik/Kebudayaan Politik
Sudah Maju
Rendah
Tidak
Ya

Ya
Tidak

Minim
Ya
Tidak

Dengan demikian, peluang bagi peran politik ABRI di Indonesia secara
umum, khususnya pada persoalan partai politik, salah satunya disebabkan oleh
13

masih rendah dan minimnya sistem politik/budaya politik yang berlaku. Yang
agak lain ialah bahwa sistem politik yang memberikan ruang intervensi terlalu
besar bagi militer di bidang politik disebabkan oleh fakta bahwa yang dominan
menata dan membuat struktur politik di masa orde baru adalah kaum militer
sendiri. Ciri sistem politik yang otoriter, paternalistik, serta neopolistik, yang juga
berdasarkan pada pola patron-client menyebabkan militer menjadi pengayom
hampir semua kegiatan politik (organsasi maupun ormas), sementara struktur
keamanan mereka ikut mengawasi birokrasi dengan model struktur pemerintahan
ganda atau bayangan. Pemikiran Huntington dan Finer tentang ciri-ciri spesifik
struktur politik dan institusi masyarakat yang melahirkan intervensi militer,
ditunjukan dalam tabel dibawah ini:
Struktur
Politik/Institusi

Ciri-ciri yang menonjol dan Intervensi Militer

Masyarakat

Tidak

Tidak

Tidak

Sudah Maju

Ya

Ya

Ya

Ya

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Rendah

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Minim

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

Ya

Ya

Ya

Ya

Dari table 1.3 terlihat bahwa sistem politik Indonesia yang terbentuk oleh
tim pemikir militer ternyata membawa hasil yang cukup memuaskan bagi
kelompoknya, terutama adanya peluang bagi militer untuk mendominasi hamper
seluruh kehidupan politik yang ada. Dati kategorisasi table 1.2 dan 1.3, tampak
bahwa struktur politik orde baru memberi peluang struktural bagi intervensi
peran politik militer di dalamnya masih dalam kategori rendah dan minim.
Kategori rendah dan minim terlihat pada table 1.3 dengan ciri tidak adanya
otonomi politik, kompleksitas, koherensi, dan adaptabilitas. Sementara itu,
14

Korps

Tidak

Keamanan

Ya

Politik
Perusahaan

Tentara Politik

Ya

Pemerintah

Adaptabilitas

Ya

Birokrasi

Koherensi

Ya

Politik

Kompleksitas

Otonomi Politik

Matang

kecenderungan yang tampak ialah kuatnya tentara/militer dalam intervensi
politik, birokrasi politik, perusahaan pemerintah yang didonminasi oleh kaum
militer, dan korps keagamaan politik yang semuanya dikontrol oleh penguasa
melalui cara-cara korporatis/penyeragaman.
B.

Kebijakan strategis yang diambil oleh pemerintahan demokratis untuk
profesionalisasi tentara
ABRI memang sudah menentukan empat paradigma baru untuk menyikapi peran
sosial-politiknya, yaitu, pertama, mengubah posisi dan metode untuk tidak selalu
harus di depan;6 kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi; ketiga,
mengubah cara-cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak langsung;
keempat, kesediaan untuk melakukan political and role sharing (kebersamaan dalam
pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen
bangsa lainnya.7 Maka dari itu, setelah reformasi, segera dibentuk peraturan atau
Undang-undang yang mengatur tentang TNI.
TNI harus dan senantiasa tunduk pada setiap kebijaksanaan dan keputusan politik
yang ditetapkan presiden melalui proses pengambilan keputusan dalam sistem
ketatanegaraan yang berlaku. Panglima Jenderal Sudirman menekankan bahwa
prajurit TNI harus pantang menyerah, menyatu dengan rakyat, cinta tanah air, dan
mempunyai semangat juang yang tinggi. Prajurit yang dedikatif akan taat kepada
pimpinannya, merasakan apa yang ditugaskan merupakan kewajiban yang harus
dikerjakan dengan semangat berbakti, loyal, serta setia kepada negara dan bangsanya.
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 UU Nomor 34/2004 tentang TNI, tugas
pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesai 1945, serta melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan
terhadap keutuhan bangsa dan negara. Untuk melaksanakan tugas pokok TNI tersebut,
TNI melaksanakan Operasi Militer untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang.

6 ABRI Abad XXI-Redefinisi dan Reaktualisasi Peran ABRI dalam Kehidupan Bangsa, hh.
16-17
7 Republika 17 September 1999.

15

Selain itu, pemerintah menerbitkan dua Undang-undang, UU nomor 24 tahun
2004 tentang TNI telah mengatur fungsi, peran, dan tugas TNI, serta UU nomor 3
tahun 2002 tentang pertahanan negara, mengatur posisi TNI dalam sistem pertahanan
negara. Dengan terbitnya dua undang-undang ini, maka ditindaklanjuti dengan
reformasi TNI yang terus berlangsung guna menemukan maknanya yang substansial.
Reformasi internal ABRI yang dilakukan selain dari adanya peraturan
perundang-undangan, tidak lepas dari perkembangan lingkungan strategis pada
lingkungan global, regional, dan nasional. Namun secara konsisten, TNI tetap
menunju kea rah pembangunan TNI sebagai alat pertahanan negara dalam tatanan
yang lebih demokratis. Reformasi internal TNI yang sudah dan sedang dalam proses
perwijidan, antara lain adalah:
1. TNI telah meninggalkan politik praktis dan berkonsentrasi kepada tugas
pokok.
2. Penugasan prajurit TNI di luar institusi TNI didahului dengan pension atau
alih status.
3. Likuidasi sospol ABRI dan Babinkar ABRI, penghapusan sospoldam,
Babinkardam, Sospolrem, dan Sospoldim.
4. Penghapusan materi sospol ABRI dari kurikulum pendidikan TNI.
5. Likuidasi fraksi-Polri di DPR dan DPRD tahun 2004, dan keberadaannya di
MPR yang seharusnya sampai dengan tahun 2009 telah ditinggalkan tahun
2004.
6. Pemisahan TNI dan Polri.
7. Penyelesaian peraturan perundang-undangan tentang TNI.
8. Validasi organisasi TNI.
9. Revisi Doktrin TNI.
10. Revisi Piranti Lunak.

16

TNI juga berkomitmen untukmelepaskan diri dari kegiatan bisnis sesuai
amanat UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. Pemerintah telah membentuk badan
yang bertugas untuk menyelesaikan pelepasan bisnis yang selama ini dikelola TNI.
TNI dalam hal ini akan bersikap pasif untuk mengkuti keputusan yang ditetapkan.
Terkait dengan masalah ini maka peningkatan kesejahteraan prajurit harus menjadi
salah satu prioritas yang perlu diperjuangkan bersama-sama antara DPR dan
pemerintah.

17

BAB III
Penutup
Kesimpulan
Sejarah menunjukkan bahwa hubungan militer dan partai politik di Indonesia
pada masa lalu dipenuhi oleh keinginan salah satu pihak untuk mengontrol pihak lain,
ketika mereka berkuasa. Hal itu didasari keinginan untuk balasa dendam daripada
oleh pertimbangan rasional dan objektif demi perbaikan sistem politik di Indonesia
menuju demokrasi yang sejati.
Peran politik ABRI di Indonesia secara umum, khususnya pada persoalan
partai politik, salah satunya disebabkan oleh masih rendah dan minimnya sistem
politik/budaya politik yang berlaku. Yang agak lain ialah bahwa sistem politik yang

18

memberikan ruang intervensi terlalu besar bagi militer di bidang politik disebabkan
oleh fakta bahwa yang dominan menata dan membuat struktur politik di masa orde
baru adalah kaum militer sendiri.
Maka dari itu, di masa depan, peranan sosial politik ABRI/militer di Indonesia
akan ditetapkan dengan undang-undang politik (dan struktur politik/kekuasaan) yang
dibuat di parlemen. Langkah-langkah yang kemudian diperlukan keberanian untuk
memenuhi hakikat kedaulatan rakyat oleh semua pihak, khususnya ABRI, dalam
memandang mekanisme berdemokrasi sesuai yang dicita-citakan bersama. Cita-cita
kedaulatan rakyat itu adalah cermin kebutuhan negara bangsa bahwa anggota DPR
sebagai perwujudan pengemban amanat konstitusi hanya diisi oleh mereka yang
diangkat oleh presiden.
Dengan ini, tak ada tempat bagi militer aktif untuk duduk di kabinet,
perusahaan negara (Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah),
perusahaan swasta, atau yayasan yang bergerak di bidang kebutuhan masyarakat,
kecuali bila ia melepas baju dan atribut kemiliterannya. Tantangan bagi sipil untuk
mencapai sistem politik demokrasi yang ideal itu, antara lain, adalah bagaimana sipil
dapat mengatur negara dengan baik, memahami dan menguasai aspek-aspek
pertahanan dan keamanan, memahami kebutuhan anggaran belanja dan kesejahteraan
militer, dan memahami aspirasi rakyat secara keseluruhan.

19