Laporan Skenario 3 Geriatri 200413

LAPORAN TUTORIAL
SKENARIO 3 BLOK GERIATRI
IMOBILISASI PADA PASIEN GERIATRI

Disusun oleh:
Bani Zakiyah

(G0010037)

Dewantari Saputri

(G0010055)

Engine Rabindra A. (G0010073)
Ivan Setiawan

(G0010105)

Kevin Wahyudy P.

(G0010109)


Firstiafina Tiffany

(G0010081)

Nurlatifah Febriana (G0010143)
Shelly Lavenia S.

(G0010175)

Viola Belivia

(G0010193)

Winda Aisyah P.

(G0010197)

Tutor:
Dr. Adi Prayitno, drg., M.Kes


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Imobilisasi adalah suatu keadaan tidak bergerak atau tirah baring
selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat
perubahan fisiologik. Imobilisasi menjadi suatu masalah yang cukup besar
di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah
psikososial yang diderita. Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang
akan memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan,
serta dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para
mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Adapun kasus dalam
skenario kali ini sebagai berikut:
MBAH SURO MOGOK MAKAN

Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak
mau makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak buang air
besar. Hampir 2 minggu, Mbah Suro tiduran terus, karena lemas dan
batuk, berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri
dada. Dan tidak mau dibawa berobat.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/70
mmHg, RR 30x/ menit, T 36oC, HR 108x/ menit. Pada pemeriksaan paru
sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan
fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran
4x5cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9. Hasil lab: leukosit
7.500. Foto thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah
kanan.
Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan.
Kemudian dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur
dekubitus. Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

2

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam skenario ini antara lain:

1. Bagaimanakah patosisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien?
2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaannya?
3. Apa saja indikasi terapi yang diberikan kepada pasien?
4. Bagaimanakah hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien?
5. Bagaimanakah mekanisme respon imun pada lansia?
6. Apa saja indikasi rehabilitasi medik pada geriatri?
7. Apakah ada hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai antara lain mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien.
2. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaannya.
3. Menjelaskan indikasi terapi yang diberikan kepada pasien.
4. Menjelaskan hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien.
5. Menjelaskan mekanisme respon imun pada lansia.
6. Menjelaskan indikasi rehabilitasi medik pada geriatri.
7. Menjelaskan hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami.
D. Manfaat
Adapun manfaat yang didapatkan antara lain, mahasiswa:
1. Memahami patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien.
2. Memahami interpretasi hasil pemeriksaannya.

3. Memahami indikasi terapi yang diberikan kepada pasien.
4. Memahami hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien.
5. Memahami mekanisme respon imun pada lansia.
6. Memahami indikasi rehabilitasi medik pada geriatri.
7. Memahami hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami.

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Imobilisasi
Imobilisasi didefinisikan sebagai hilangnya gerakan anatomi karena
perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari mungkin lebih
dikenal sebagai bed rest atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas di
tempat tidur, dan berpindah tempat (Laksmi et al, 2008).
Dalam praktek medis dan rehabilisasi medis, istilah imobilisasi
diterapkan untuk menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis akibat
berkurangnya aktivitas. Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi
yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat dari perubahan
tekanan gravitasi dan penurunan fungsi motorik. Organ yang sering terkena

antara lain muskuloskeletal (osteoporosis, penurunan masa tulang, penurunan
masa otot), kardiovaskuler (peningkatan heart rate, penurunan perfusi
myocardium,

penurunan

volume

plasma,

hiperkoagulasi),

integumen

(dekubitus), metabolik (hiperkalsiuri, resistensi insulin, hiperlipidemia),
gastrointestinal (inkontinensia urin dan alvi, gangguan pengosongan vesika
urinaria, konstipasi), neurologi dan psikiatri (depresi, psikosis, penurunan
kognitif) (Laksmi et al, 2008).
Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama
tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha.

Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan
pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu
pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional,
dan pembuatan rencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang
diperlukan untuk mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi bila terjadi
infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin
terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/ kondisi penyerta lainnya.
Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat

4

menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau
dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan
dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis
terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,
aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (iosotonik,
isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi
terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan

ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus
konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten. Lakukan
remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit
atau dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk mobilitas yang adekuat
bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen (Carpenito, 1999).
Komplikasi pada pasien-pasien imobilisasi antara lain:
1. Trombosis vena dalam, merupakan salah satu gangguan vaskular
perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan
lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risko trombosis
vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau
pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan
berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik
di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan
adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala
trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak,
kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai (Craven dan Hirnle, 2000).
2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu
refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan
nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan

oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis
vena dalam, emboli paru disebabkan oleh karena trombosis yang
biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan

5

mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang
dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan
penyebab kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia (Craven dan
Hirnle, 2000).
3. Kelemahan Otot
Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran
dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari.
Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi
berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh (Craven
dan Hirnle, 2000).
4. Kontraktur Otot dan Sendi
Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami
kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul
nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan

sendi yang kontraktur tersebut (Craven dan Hirnle, 2000).
5. Osteoporosis

timbul

sebagai

akibat

ketidakseimbangan

antara

reabsorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan
resabsorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi
PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan
kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya
resorpsi tulang (Craven dan Hirnle, 2000).
6. Ulkus Dekubitus
Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi

pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat
mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25
mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus pada kulit
atau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi
pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan
mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara
permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan

6

mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya
terbentuk luka akibat tekanan (Craven dan Hirnle, 2000).
7. Hipotensi Postural
Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg
dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang
sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi
berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh
inferior

terutama

tungkai.

Penyebaran

cairan

tubuh

tersebut

menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan
volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak
30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan
vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan
tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor
menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan
mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri
dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia
(Craven dan Hirnle, 2000).
8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)
Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi
pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan
interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada
juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan
pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat
tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih.
Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami
imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang
tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung
kemih (Craven dan Hirnle, 2000).
9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)
Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin
yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.

7

Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar
plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga
menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak
beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi
nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia (Craven dan Hirnle,
2000).
10. Konstipasi dan Skibala
Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.
Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih
besar sehingga feses akan menjadi lebih keras (Craven dan Hirnle,
2000).
B. Ulkus Dekubitus
1.

Definisi
Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti

merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi
penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam
(Sabandar, 2008). Potter & Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan
nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak
tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam
jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan
mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan
nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor
yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan
cara

mengurangi

atau

menghilangkan

sirkulasi

jaringan

yang

menyebabkan iskemi jaringan.
2.

Faktor Risiko Dekubitus
Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada

pasien yaitu:
a. Gangguan Input Sensorik

8

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri
dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit
daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi
sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah
satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar,
sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau
meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).
b. Gangguan Fungsi Motorik
Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi
tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan
tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada
pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan
motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang
mengalami cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan
komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab
kematian pada 8% populasi ini (Potter dan Perry, 2005).
c. Perubahan Tingkat Kesadaran
Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.
Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi
tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien
koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke
posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan
tingkat kesadaran lebih mudah menjadi bingung. Beberapa contoh adalah
pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif
dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).
d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya.
Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena
adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek

9

pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips
pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.
Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan
pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus
merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan
Perry, 2005).
e. Nutrisi Buruk
Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan
subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi
sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh
karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry,
2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein
dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C.
Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan
sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi
buruk biasa mengalami hipoalbuminemia (level albumin serum dibawah
3g/ 100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).
Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya
dibawah 3g/ 100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah
dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar
albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral,
tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua
kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).
Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka
dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/ 100 ml menurunkan tekanan
osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan
oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan
yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain
itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang
menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005).

10

Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat,
hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel ke
dalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan risiko
terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema
menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan
tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005).
3.

Patogenesis Dekubitus
Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:
a. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler
b. Durasi dan besarnya tekanan
c. Toleransi jaringan
Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan

tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).
Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.
Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan
menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan
sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi.
Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari
tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan
trombosis. Saat tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi
pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia
reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk
mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan
iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke
epidermis (Potter dan Perry, 2005).
Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya
gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area
sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga
dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.

11

Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan
tempatnya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi
secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang
mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik
tekanan mengalami gangguan (Potter dan Perry, 2005).
4.

Klasifikasi Luka Dekubitus
Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan

dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan:
a. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang
diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat
menjadi indikator.
b. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis
dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti
abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.
c. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan
subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar ke bawah tapi
tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara
klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa
merusak jaringan sekitarnya.
d. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi
ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau
struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis,
subkutaneus, otot dan kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).
5.

Komplikasi Luka Dekubitus
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,

walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar
(2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain:
a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun
anaerobik.

12

b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan
osteotitis.
c. Septikemia
d. Anemia
e. Hipoalbuminemia
f. Kematian
6.

Tempat terjadinya Luka Dekubitus
Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah

sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trochanter besar, dan tuberostis iskial.
Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka
dekubitus adalah:
a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang
kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.
b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala
(terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit
pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki.
c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang
iga, dan lutut.
7.

Penatalaksanaan Dekubitus
Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk

mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi
terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobili dan
konfusio. Usaha untuk meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain
dengan memakai sistem skor Norton. Skor Norton adalah skala pengkajian
dekubitus untuk memprediksi timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut.
Skala ini diciptakan berdasarkan pengalaman klinik yang mencakup lima
variabel yaitu kondisi fisik, kondisi mental, aktifitas, mobilitas dan
inkontinensia. Maksimum skor yang dapat dicapai pada skala ini adalah
20. Skor lebih dari 18 berarti risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko
sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10 termasuk kategori sangat
tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh beberapa studi dengan

13

menampilkan sensivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-beda.
Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk digunakan dan
tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya. Dengan
evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan
berikutnya adalah menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan
memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok
dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan
tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah,
semua ekskreta/ sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agar tidak
menyebabkan lecet pada kulit penderita (Hidayat et al, 2009).
Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan
maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:
a. Meningkatkan status kesehatan penderita.
Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya
anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi
yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan,
mengatasi/ mengobati penyakit-penyakit yang ada pada penderita,
misalnya DM (Hidayat et al, 2009).
b. Mengurangi/ memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran
darah.
1)

Alih posisi/ alih baring/ tidur selang seling, paling lama tiap
dua jam. Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan
pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat
kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita
bahkan menyakitkan.

2)

Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi
pada tubuh penderita, misalnya kasur dengan gelembung
tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya
dapat diatur.

14

3)

Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi
darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain:
a.)

Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada
tempat tidurnya atau duduk dikursi.

b.)

Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal
kecil utuk menahan tubuh penderita.

c.)

Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan
bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita
(Hidayat et al, 2009).

Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita,
khususnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua
usaha-usaha diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki
iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringan upaya
penyembuhan akan lebih rumit (Hidayat et al, 2009).
Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik
menyesuaikan apa yang dihadapi:
a. Dekubitus derajat I
Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit
yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun,
diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/ hari.
b. Dekubitus derajat II
Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus
memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah
bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara
hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan
salep topikal, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan
muda/ granulasi. Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu
sering karena malahan dapat merusak pertumbuhan jaringan yang
diharapkan.
c. Dekubitus derajat III

15

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus
otot dan sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan
eksudat diusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu
tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk
masukknya udara/oksigen dan penguapan.
Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah
regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan
NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.
d. Dekubitus derajat IV
Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula
diserta jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap
dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab akan
menghalangi pertumbuhgan jaringan/ epitelisasi.
Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan
tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang
juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang
dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.
Beberapa

usaha

mempercepat

adalah

antara

lain

dengan

memberikan oksigenisasi pada daerah luka. Tindakan dengan
ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah
dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas
dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40% (Hidayat et al, 2009).
C. Skor Norton
Skor Norton merupakan skor untuk mengukur resiko dekubitus,
terdiri dari 5 komponen yaitu kondisi fisik umum, kesadaran, aktivitas,
mobilitas, dan inkotinensia (Pranarka, 2011).
Skor Norton untuk mengukur risiko dekubitus

16

NAMA PENDERITA
Kondisi fisik umum:
- Baik
- Lumayan
- Buruk
- Sangat buruk
Kesadaran:
- Komposmentis
- Apatis
- Konfus/Soporis
- Stupor/Koma
Aktivitas :
- Ambulan
- Ambulan dengan bantuan
- Hanya bisa duduk
- Tiduran
Mobilitas :
- Bergerak bebas
- Sedikit terbatas
- Sangat terbatas
- Tak bisa bergerak
Inkontinensia :
- Tidak
- Kadang-kadang
- Sering Inkontinentia urin
- Sering Inkontinentia alvi dan urin
skor total

SKOR

TANGGAL

4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1
4
3
2
1

Keterangan:
Skor < 14: risiko tinggi terjadinya ulkus dekubitus
Skor < 12: peningkatan risiko 50x lebih besar terjadinya ulkus dekubitus
Skor 12-13: risiko sedang
Skor >14 : risiko kecil (Pranarka, 2011).
D. Pneumonia
1.
Definisi
Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru, distal dari
bronkiolus terminalis, dan alveoli yang dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri, virus, parasit, dan jamur. Pneumonia menjadi bentuk infeksi
saluran napas bawah yang paling sering dijumpai (Stoppler, 2013).
2.
Patogenesis

17

Pneumonia dapat ditularkan melalui droplet yang mengandung
organisme penyebab pneumonia. Patogen yang paling sering dijumpai
adalah kuman Streptococcus pneumonia. Patogen dapat masuk ke trakea
terutama dari aspirasi bahan orofaring dan menyebabkan infeksi pada
parenkim paru setelah melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya
tahan mekanik (epitel silia dan mukus), humoral (antibodi dan
komplemen), dan seluler (makrofag, limfosit, dan sitokinnya). Mekanisme
lain penyebaran adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru dan secara
hematogen (Sudoyo et al, 2009). Patogen yang masuk ke paru-paru akan
berkolonisasi di alveoli sehingga terjadi akumulasi cairan dan pus pada
area ini sebagai bentuk mekanisme perlawanan tubuh terhadap infeksi
(Stoppler, 2013).
3.
Gejala dan Diagnosis
Gejala klinis yang timbul antara lain sesak napas, demam,
menggigil, batuk berdahak, malaise, anoreksia, dan penurunan berat
badan. Pneumonia virus ditandai dengan batuk kering dan non produktif,
mialgia, dan malaise (Sudoyo et al, 2009).
Diagnosis
pneumonia
berdasarkan

gejala-gejala

klinis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tanda fisis pada
pneumonia yaitu tanda konsolidasi paru yang meliputi perkusi paru pekak,
suara napas tambahan ronki nyaring, dan suara napas bronkial. Sedangkan
pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan radiologis,
laboratorium, dan kultur kuman dari sputum bila patogen kausa adalah
bakteri. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan kesuraman homogen
pada lobus paru akibat adanya infiltrat. Distribusi infiltrat pada lobus
inferior sugestif untuk kuman aspirasi seperti Staphylococcus. Infiltrat
pada lobus superior sering ditimbulkan Klebsiella spp. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan leukositosis yang menandai adanya infeksi
bakteri. Leukosit yang normal/ rendah disebabkan infeksi virus atau pada
infeksi berat sehingga tidak terjadi respons leukosit seperti pada orang tua
(Sudoyo et al, 2009).
4.
Pneumonia pada usia lanjut

18

Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya
pneumonia karena adanya imobilitas pada lansia. Retensi sputum dan
aspirasi mudah terjadi pada pasien geriatri akibat imobilisasi. Pada posisi
berbaring, otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik
sehingga gerakan dinding dada terbatas sehingga sputum sulit keluar.
Selain itu, daya pegas elastik alveoli pada lansia menurun sehingga terjadi
perubahan tekanan penutup saluran udara kecil. Kondisi tersebut
memudahkan lansia mengalami pneumonia (Sudoyo et al, 2009).
5.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah pemberian obat untuk
menghilangkan agen infeksi. Bakteri menjadi penyebab tersering
pneumonia sehingga biasanya pemberian antibiotik dilakukan sambil
menunggu hasil pemeriksaan penunjang keluar. Antibiotik yang diberikan
biasanya adalah kombinasi golongan beta laktam dan macrolide. Golongan
beta laktam (penisilin G, amoxicillin, dan lain-lain) merupakan antibiotik
spektrum luas yang akan mengganggu proses sintesis dinding sel kuman.
Golongan macrolide (azitromisin, eritromisin, dan sebagainya) memiliki
mekanisme pengikatan dengan subunit ribosom 50s dan menghambat
disosiasi peptidil tRNA dari ribosom sehingga sintesis protein tergantung
RNA terganggu (Kamangar, 2011).
6.
Komplikasi
Komplikasi yang dapat

terjadi

antara

lain

pneumonia

ekstrapulmoner seperti meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis,
peritonitis, dan empiema (Sudoyo et al, 2009).

E. Rehabilitasi Medik pada Lansia
Program rehabilitasi medik diberikan pada penderita secara
bersama-sama

oleh

seorang

dokter

spesialis

rehabilitasi

medik,

fisioterapis, okupasiterapis, terapi wicara, ortotis-prostetis, petugas sosial
medik, dan psikolog. Dengan mengevaluasi kemajuan penderita maka
program bisa berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penderita,

19

yang masing-masing individu berbeda. Di bawah ini contoh program
terapi yang sering diberikan pada lansia, antara lain:
1.
Program Fisioterapi
Dalam penanganan terapi latihan untuk lansia dimulai dengan
aktifitas fisik ringan kemudian bertahap hingga maksimal yang dapat
dicapai individu. Misalnya:
a. Aktifitas di tempat tidur: positioning, alih baring, latihan aktif

2.

b.

dan pasif lingkup gerak sendi.
Mobilisasi: latihan bangun sendiri, duduk, pindah tempat,

c.

berdiri, berjalan.
Melakukan aktifitas sehari-hari: mandi, makan, berpakaian

(Ambarwati, 2009).
Program Okupasi
Latihan ditunjukkan untuk mendukung aktifitas kehidupan seharihari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau
langsung pada aktifitas yang diinginkan (Ambarwati, 2009).
3.
Program Ortotik-Prostetik
Bila diperlukan alat bantu dalam mendukung aktifitas lansia maka
seorang ortotis-prostetis akan membuat alat penopang, atau alat pengganti
bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita
(Ambarwati, 2009).
4.
Program Terapi Wicara
Program ini bukan hanya untuk wicara saja, tetapi juga ditujukan
untuk latihan menelan kalau ada kelemahan otot-otot sekitar tenggorok
(Ambarwati, 2009).
5.
Program sosial-medik
Petugas sosial medik memerlukan data pribadi, keluarga, kondisi
rumah, tingkat sosial ekonomi. Hal ini penting untuk mendukung program
lain, misalnya seorang lansia yang tinggal di rumah yang banyak anak
tangga, sebisa mungkin dibuat landai atau kamar dibuat dekat kamar
mandi (Ambarwati, 2009).
6.
Program Psikologi
Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan kondisi
emosionalnya, yang mempunyai ciri-ciri khas pada lansia, misalnya tipe
agresif, atau konstruktif. Diperlukan juga motivasi agar lansia mau
melakukan latihan, mau berkomunikasi, dan bersosialisasi. Hal ini

20

diperlukan dalam pelaksanaan program lain agar hasilnya bisa lebih baik
(Ambarwati, 2009).
F. Sistem Imunitas pada Lansia
BINDRA

21

BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario didapatkan bahwa pasien dibawa ke UGD RS Moewardi
karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah serta sudah 5 hari
tidak buang air besar. Umur pasien adalah 80 tahun, hal ini menunjukkan bahwa
pasien termasuk dalam golongan lanjut usia dimana sudah terjadi banyak
perubahan dan penurunan dalam beberapa aspek termasuk aspek kesehatannya.
Tidak mau makan adalah gejala yang sering dialami oleh lansia. Hal ini
disebabkan oleh beberapa hal termasuk diantaranya adalah penurunan indra
penciuman dan perasa serta ketidakseimbangan neurotransmitter. Karena pasien
tidak mau makan, kebutuhan energinya pun tidak mencukupi sehingga pasien
nampak lemas. Kesulitan BAB dapat disebabkan oleh sudah menurunnya fungsi
pleksus mesenterikus ditambah dengan adanya imobilisasi sehingga menyebabkan
lamanya feses transit di kolon. Feses mengalami peningkatan absorbsi air dan
menjadi keras.
Hampir 2 minggu pasien tiduran terus, karena lemas dan batuk
berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada dan
tidak mau berobat. Batuk berdahak dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah
satunya adalah infeksi pada paru dan saluran pernapasan. Adaknya infeksi pada
paru

akan

mengaktifkan

mediator

inflamasi

yang

akan

meningkatkan

permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan eksudat
plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial. Eksudat atau dahak ini akan
merangsang saluran nafas untuk mengeluarkannya melalui suatu mekanisme yaitu
batuk. Tidak adanya darah dalam dahak menunjukkan bahwa tidak terjadi
perlukaan pada saluran napas. Tidak adanya demam sering terjadi pada kasus
infeksi yang dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya
adalah karena terjadi penurunan produksi endogen pirogen dan berkurangnya
sensitifitas reseptor endogen pirogen di hipotalamus. Penurunan sensifitas
reseptor

rangsang

nyeri

serta

penurunan

menyebabkan pasien tidak mengalami nyeri.

22

produksi

mediator

inflamasi

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/ 70 mmHg,
RR 30x/ menit, T 36°C, HR 108x/ menit. Kesadaran apatis dalam Glaslow
Coma Scale (GSC) bernilai antara 12-13, berada di antara compos mentis dan
somnolen. Tekanan darah 120/ 70 mmHg dalam batas normal. Respiration rate
terdapat peningkatan (normal 14-20x/ menit), temperatur dalam batas normal
(suhu oral rata-rata usia lanjut 36°C). Heart rate terdapat peningkatan (normal 60100x/ menit). Berbagai studi menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih
rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi,
penyakit, dan obat-obatan.
Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah
kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi
basah kasar dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru (contoh: pneumonia)
maupun karena abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar
merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan
intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba
meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Ketiga hasil pemeriksaan
paru tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda
konsolidasi paru meliputi perkusi redup/ pekak pada daerah paru dengan kelainan,
ronkhi basah kasar, dan suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga
peningkatan frekuensi nafas ≥ 24x/menit dan dapat disertai syok septik dengan
gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran.
Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar
luka kemerahan. Skor Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi
ulkus dekubitus pada pasien. Punggung bawah merupakan salah satu predileksi
ulkus dekubitus karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian derajat
dilakukan dengan melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat
I), dermis/ subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan
sudah terlihat otot dan tulang (derajat IV). Skor Norton merupakan alat untuk
menilai risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor ≤ 12 menunjukkan
bahwa terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan
risiko 50x lebih besar.

23

Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (400011.000/ mm3). Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang
normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis.
Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul.
Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan
terapi cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada
pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah
dehidrasi dan hipoglikemi, serta untuk indikasi adanya peningkatan frekuensi
pernafasan, dimana pemberian oksigenasi ini diberikan jika frekuensi pernafasan
> 24 kali/ menit. Sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati
infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan
antibiotik empirik bersprektum luas yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi
penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil
menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis
antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat
proses menua serta komorbid yang ada pada lansia yang seluruhnya akan
berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan
interaksi obat. Untuk pasien pneumonia yang dirawat dirumah sakit dapat
diberikan klindamisin dan seftazidim.
Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien
disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat,
selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai derajatnya
seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.
Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi
rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas
dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain.
Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien.
Pertama, latihan rehabilitasi medik meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan
sistem muskuloskeletal, yang termasuk pengkondisian program latihan harian
baik kontraksi otot isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi
untuk meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.

24

Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang
gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan ketergantungan
minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki) mencegah
pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang
normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta menghilangkan sekresi.
Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat. Terakhir, pemeliharaan fungsi
urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan nutrisi dan struktur
lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi eliminasi.

25

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit
majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani,
kondisi sosial yang bermasalah.
2. Imobilisasi pada pasien geriatri menjadi suatu masalah yang cukup besar
di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah
psikososial yang diderita. Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang
akan memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan,
serta dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para
mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai
imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya.
3. Pemeriksaan-pemeriksaan pada geriatri sangatlah diperlukan untuk
menentukan diagnosis penyakit yang ada pada di skenario ini.
B. Saran
1. Diskusi tutorial diharapkan berjalan lebih interaktif dan mahasiswa
mendapatkan feedback yang positif dari tutor.
2. Dalam jalannya tutorial, tutor sebagai pemandu dan mahasiswa harus lebih
dominan dalam jalannya tutorial.

26

DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati E (2009). Rehabilitasi medik komprehensif pada lanjut usia. Dalam:
Martono HH, Pranarka (eds). Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri (ilmu
kesehatan usia lanjut) edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 758-770.
Carpenito LJ (1999). Nursing care plans and documentation: nursing diagnoses
and collaborative problems 3rd edition. Philadelphia: Lippincott.
Craven, RF, Hirnle CJ (2000). Fundamentals of nursing: concepts, process, and
practice 5th edition. California: Addison, Wesley Publishing Co.
Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H (2009). Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri
(ilmu kesehatan usia lanjut) edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Kamangar

N

(2011).

Bacterial

pneumonia

medication.

http://emedicine.medscape.com/article/300157-medication#showall.
Diakses pada tanggal 15 April 2013.
Laksmi PW, Harimurti K, Setiati S, Soejono CH, Aries W, Roosheroe AG (2008).
Management of immobilization and its complication for elderly. Acta
Med Indones, 40(4), p 233-240.
Pranarka K (2011) Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri (ilmu kesehatan usia
lanjut) edisi ke 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Potter PA, Perry A (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses,
dan praktik edisi ke 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sabandar AO (2008). Ulkus dekubitus. Available from: http://Alfonso de Oncrotte.
Ulkus Dekubitus.mht. Diakses pada tanggal 16 April 2013.
Stoppler

MC

(2013).

http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.htm.
tanggal 17 April 2013.

27

Pneumonia.
Diakses

pada

Sudoyo AW, et al (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi 5. Jakarta: Interna
Publishing.

28