TUGAS MANDIRI Penyelesaian Sengketa TUN

TUGAS MANDIRI
”Penyelesaian Sengketa TUN Terkait Pencabutan Keputusan Dirjen
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara

Disusun oleh :
Luluk AndrIyani

(2015020596)

Dosen Pengampu
Purgito , S.H.,M.H.

FAKULTAS HUKUM
Semester Ganjil 2015/2016
UNIVERSITAS PAMULANG
Jl. Surya Kencana no.1 Pamulang telp: (021) 7412566 – fax: (021) 7412566
Tangerang

KATA PENGANTAR

1|Page

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmatNya saya dapat menyelesaikan makalah “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara” ini.
Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberi
motivasi dan dorongan dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya.

Penulis

Pamulang, 30 September 2017

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................
2|Page

2


DAFTAR ISI....................................................................................................................................

3

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................................

4

1.1

Latar Belakang......................................................................................................

4

1.2

Rumusan Masalah...............................................................................................

4


BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................

5

2.1

Analisa Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara ....................................

5

2.2

Analisa Kasus.........................................................................................................

6

2.3

Apakah obyek gugatan termasuk wewenang PTUN..............................


6

2.4

Kompetensi Pengadilan tata Usaha Negara .............................................. 10

2.5

Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan........................................................... 11

2.6

Apakah Obyek Gugatan Termasuk dalam Ruang Lingkup Pasal
48 & 49 UU Peratun............................................................................................ 13

2.7

Persyaratan Formil Gugatan............................................................................ 15


2.8

Permohonan Penundaan KTUN ...................................................................... 15

2.9

Kepentingan Penggugat dan alasan gugatan ............................................ 17

2.10 Pembuktian dan Putusan Majelis Hakim ..................................................... 22
BAB III PENUTUP....................................................................................................................... 24
3.1

Kesimpulan............................................................................................................ 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 25

BAB I
PENDAHULUAN
3|Page


A. Latar Belakang Masalah
Bahwa salah satu karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
(HAPTUN) yaitu terletak pada obyek gugatan yang berupa Beschikking (Penetapan)
dan subyek gugatannya adalah orang pribadi atau Badan Hukum Perdata melawan
Pejabat Tata Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam keadaan yang tidak seimbang.
Mengenai obyek gugatan TUN yang berupa Beschikking (Penetapan), diatur dalam
ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.”
B. Rumusan Masalah
Pada makalah ini ada beberapa rumusan masalah mengenai
Usaha Negara pada sengketa ;
1. Mana Penggugat, tergugat dan obyek sengketa?
2. Siapa yang berwenang untuk memeriksa, memutus


Peradilan Tata

dan menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama?
3. Menggunakan Pasal apa saja dalam kasus terkait sengketa tersebut?
4. Apa saja sistem hukum yang dianut dalam peradilan acara TUN?

BAB II
A.

PEMBAHASAN

4|Page

ANALISA PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA
NOMOR 40/G/2008/PTUN-JKT
Para pihak :
Penggugat


: CV. MUTIARA

Tergugat

: Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan.

Obyek Sengketa

: Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tanggal 15
Februari

2008

Perlindungan

tentang

Hutan


dan

Pencabutan
Konservasi

Keputusan
Alam

Dirjen

Departemen

Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember
2000
Kasus Posisi :
1.

Bahwa CV. MUTIARA adalah pemegang izin pemanfaatan sarang burung wallet di
habitat alamnya di kawasan hutan Negara Goa-Goa di desa Tasuk dan desa Birang,

Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur
berdasarkan surat keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember
2000.

2.

Bahwa pada tanggal 15 Februari 2008 Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam

Departemen

Kehutanan

mengeluarkan

surat

keputusan


nomor

:

SK.17/IV/SET-3/2008 tentang Pencabutan Keputusan Dirjen Perlindugan Hutan
dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan nomor : 131/KPTS/DJ/-V/2000
tanggal 6 Desember 2000.
3.

Keputusan 131/KPTS/DJ/-V/2000 dicabut karena telah melanggar ketentuan
Pasal 5 PP No. 62 Tahun 1998 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 71
Tahun 1999

4.

Menurut penggugat prosedur pencabutan keputusan tersebut melanggar
peraturan perundang-undangan serta melanggar asas-asas umum pemerintahan
yang baik.

5|Page

5.

Dengan terbitnya surat keputusan nomor : SK.17/IV/SET-3/2008 tersebut
penggugat mengalami kerugian karena tidak dapat meneruskan kegiatan usahanya
dan harus melakukan PHK pekerjanya.

ANALISA KASUS:
1.

Apakah obyek gugatan termasuk wewenang PTUN
Salah satu karakteristik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN)

yaitu terletak pada obyek gugatan yang berupa Beschikking (Penetapan) dan subyek
gugatannya adalah orang pribadi atau Badan Hukum Perdata melawan Pejabat Tata
Usaha Negara (Pejabat TUN) dalam keadaan yang tidak seimbang. Mengenai obyek
gugatan TUN yang berupa Beschikking (Penetapan), diatur dalam ketentuan Pasal 1
butir 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo
Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5
Tahun 1986 yang berbunyi:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.”

Dari isi ketentuan Pasal 1 butir 3 tersebut dapat dirumuskan unsur-unsur sebagai
berikut:
a.

Penetapan Tertulis
Maksud dari kata “Penetapan Tertulis” menunjuk kepada isi yang ditetapkan

dalam keputusan TUN yang dapat berupa: 1

1

Subur, Fungsi, Tugas, Wewenang dan Mekanisme Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara

6|Page

-

Kewajiban-kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau untuk

-

membiarkan sesuatu
Pemberian suatu subsidi atau bantuan
Pemberian izin
Pemberian suatu status

Terkait dengan kasus, surat keputusan yang dikeluarkan oleh Dirjen Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008
merupakan Penetapan tertulis yang berisi hubungan hukum yaitu mencabut SK
131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 yang mengakibatkan tidak berlakunya
izin pemanfaatan sarang burung walet milik CV. MUTIARA.
b.

Badan atau pejabat Tata Usaha Negara
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan salah satu

instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN
dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan pemerintahan. Selanjutnya mengenai
apa dan siapa yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat,
disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan
Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila
yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja
yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu
Badan atau Pejabat TUN. Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah
segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan
tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak
terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja,
akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan
legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat

7|Page

dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di
Peratun2.
Terkait dengan kasus bahwa yang mengeluarkan Penetapan Tertulis berupa SK No.
17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 adalah Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam yang merupakan pejabat yang melaksanakan jabatannya dalam urusan
pemerintahan di bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
c.

Berisi tindakan hukum TUN
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah

satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian
selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau
menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. 3 Dengan kata lain untuk
dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu
harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan
suatu akibat hukum TUN.
Dalam kasus tersebut, Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 merupakan penetapan tertulis
yang berisi pencabutan Surat Keputusan terdahulu No. 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6
Desember 2000 yang berarti pula pencabutan terhadap izin pemanfaatan sarang burung
walet milik CV. MUTIARA.
d.

Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap

pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus
ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya
peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar
keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau
Pejabat TUN (pemerintah)4. Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa
wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan
2

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I dan II, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 166
3
Ibid., h. 171-172
4
Subur, Op.cit., h. 5

8|Page

pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam kasus tersebut, penerbitan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam No. 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 didasarkan pada
wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu
Undang-Undang No. 41 Tahun 1991 Jo. Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang
Kehutanan.
e.

Bersifat Konkret, Individual dan Final
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam

Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan 5.
Dalam kasus, SK Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 17/IV/SET3/2008 tanggal 15 Pebruari 2008 menetapkan pencabutan Izin Pemanfaatan sarang
burung walet. Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat
maupun hal yang dituju. Jadi sifat individual itu secara langsung mengenai hal atau
keadaan tertentu yang nyata dan ada. SK Dirjen tersebut ditujukan secara tegas kepada
CV. MUTIARA selaku pemilik izin. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan
serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah
menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum
yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum,
hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh
Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. Dalam kaitannya dengan kasus, maka
penerbitan SK Dirjen tersebut hanya berlaku terhadap pencabutan izin pemanfaatan
sarang burung walet milik CV MUTIARA.
f.

Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam

suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu
tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak
dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga
5

Indroharto, Op.cit., h.173

9|Page

bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis
harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang
telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum
yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Dalam kasus ini, bahwa dengan penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15
Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 maka
timbul akibat hukum yang membawa suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum
yang telah ada yaitu CV. MUTIARA sudah tidak memiliki izin pemanfaatan sarang
burung walet sehingga tidak berhak lagi melakukan pemanfaatan sarang burung walet.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK
17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000
tanggal 6 Desember 2000 merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi
obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang peradilan Tata Usaha Negara.
2.

Kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara

Kompetensi Absolut
Dengan terpenuhinya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang
Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor: 131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 sebagai Keputusan Tata
Usaha Negara yang merupakan obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang
Peradilan Tata Usaha Negara, maka berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 9 Tahun 2004 jo.
UU Nomor 5 Tahun 1986 secara absolut Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
pertama, dan berdasarkan putusan merupakan acara biasa.
Kompetensi Relatif
Menurut Pasal 54 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 jo. UU Nomor 5 Tahun 1986
bahwa gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang meliputi
10 | P a g e

daerah hukum tempat kedudukan tergugat. Pasal ini merupakan pencerminan dari asas
Actor Sequitor Forum Rei yang diatur juga dalam ketentuan Pasal 118 HIR.6
Dalam kasus ini, tindakan penggugat (CV. MUTIARA) dalam mengajukan surat
gugatan terhadap Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan Republik Indonesia berkedudukan di Gedung Manggala Wanabakti Blok I lt
8, Jalan Gatot Subroto – Jakarta 10270 ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta adalah
sudah tepat. Karena kedudukan tergugat telah diketahui secara jelas, berada di wilayah
hukum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Oleh sebab itu Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara gugatan tersebut.
3.

Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan
Tenggang waktu gugat adalah batas waktu atas kesempatan yang diberikan oleh

UU kepada seseorang atau Badan Hukum Perdata untuk memperjuangkan haknya
dengan cara mengajukan gugatan. Bila tenggang waktu tersebut tidak dipergunakan
maka kesempatan untuk mengajukan gugatan menjadi hilang dan gugatan akan
dinyatakan tidak diterima.7 Berdasarkan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tenggang waktu
mengajukan gugatan adalah 90 hari terhitung sejak diterimanya atau setelah
diumumkannya KTUN yang digugat.
Ketentuan Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 tidak perlu dibedakan antara penggugat
sebagai

alamat yang dituju, dengan penggugat

sebagai

pihak ketiga yang

berkepentingan. SEMA No. 2 Tahun 1991 Tanggal 3 Juli mendefinisikan tenggang waktu
pengajuan gugatan bagi pihak yang tidak dituju oleh suatu KTUN, tetapi merasa
kepentingannya dirugikan yaitu 90 hari dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa
kepentingannya dirugikan oleh KTUN yang bersangkutan dan mengetahui adanya KTUN
yang bersangkutan.
Berkaitan dengan penghitungan tenggang waktu maka KTUN dapat dibedakan
menjadi 2 yaitu8:
a. KTUN Positif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari tergantung pada
cara penyampaian KTUN kepada penggugat seperti melalui kurir, menerima
6

Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek,
(Bandung: Mandar Maju, 1995), h. 11
7
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktek Beracara di PTUN, (Jakarta: Primamedia PustakaGramedia, 1999), h. 2-3.
8
Indroharto, Op.cit., h. 55-60

11 | P a g e

langsung di kantor Badan/Jabatan TUN, melalui pos, dan melalui
pengumuman ditempat pengumuman atau media massa.

b. KTUN Negatif yaitu penghitungan tenggang waktu 90 hari terhitung setelah

lewatnya jangka waktu yang ditentukan peraturan dasarnya yang dihitung
sejak tanggal diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 dan setelah lewatnya batas waktu empat bulan
yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tersebut. 9
Dalam kasus ini, obyek gugatan merupakan KTUN positif yang diterbitkan pada
tanggal 15 Februari 2008. Maka tenggang waktu pengajuan gugatan oleh penggugat
adalah 90 hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannya KTUN tersebut. CV.
MUTIARA selaku pihak yang dituju oleh KTUN dan bertindak sebagai penggugat, telah
mendaftarkan gugatannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 14
April 2008. Maka gugatan penggugat diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.
Sehingga dapat dibuat ilustrasi sebagai berikut:
Jangka waktu pengajuan gugatan vide Pasal 55 UU No. 1986

15/02/2008

14/04/2008

14/052008

Pengajuan Gugatan oleh Penggugat
4.

Apakah obyek gugatan Termasuk Dalam Ruang Lingkup Pasal 48 dan 49 UU
Peratun?
Dalam pasal 48 UU PTUN setiap Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang

untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara terlebih dahulu
sebelum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Karena berdasarkan ayat (2) pasal 48
UU PTUN tersebut

Pengadilan baru berwenang

memeriksa,

memutus,

dan

menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan dan tidak menghasilkan kata sepakat.
Upaya Administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang
atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha
Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri atau terdiri
9

Indroharto, Op.cit., h. 55-60.

12 | P a g e

atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka prosedur
tersebut dinamakan “banding administratif”.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan
sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan itu,
maka prosedur yang ditempuh tersebut disebut “keberatan”. Berbeda dengan prosedur
di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka prosedur banding administratif atau prosedur
keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan hukum maupun
dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus.
Dalam Pasal 74 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menyebutkan bahwa:
“Penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (ayat (1))
dan apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan,
maka gugatan melalui pengadilan dapat dilakukan setelah tidak tercapai kesepakatan
antara para pihak yang bersengketa (ayat 2).” Berdasarkan bunyi pasal tersebut
terdapat ketentuan harus terdapat perundang-undangan bahwa penyelesaian sengketa
dalam bidang kehutanan dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan atau upaya lain
diluar pengadilan untuk mencapai kesepakatan bersama.
Dari ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara Nomor 40/G/2008/PTUN-JKT terdapat
point-point sebagai berikut:
1.

Objek gugatan dalam putusan PTUN No. 40 /G/2008/PTUN-JKT adalah Surat
Keputusan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam; SK
17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan Keputusan
Direktorat

Jenderal

Perlindungan

dan

Konversi

Alam

Nomor

131/KPTS/DJ/V/2000 tanggal 6 Desember 2000 tentang Pemberian Izin
Pemanfaatan Sarang Burung Walet di Habitat Alamnya di Kawasan Hutan Negara
pada Goa-Goa di Desa Tasuk, Kecamatan Gunung Tabur dan Desa Birang,
Kecamatan Gunung Tabur, Kabupaten Berau, Propinsi Kalimantan Timur kepada
CV. Mutiara.

13 | P a g e

2.

Dalam hal ini, pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang yaitu Direktorat
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam memiliki pilihan untuk
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara secara administratif sesuai dengan
Pasal 74 UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

3.

Pilihan yang diambil oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam kasus ini merupakan
pilihan penyelesaian sengketa melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dalam putusan pengadilan Tata Usaha Negara

Nomor 40/G/2008/PTUN-JKT ini para pihak tidak menggunakan upaya administratif
dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Sehingga obyek gugatan tersebut
tidak termasuk dalam ruang lingkup pasal 48 UU PTUN.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 40/G/2008/PTUN-JKT
tersebut, keputusan yang diambil merupakan keputusan Pejabat Tata Usaha Negara
berdasarkan pertimbangan atas adanya Surat Menteri Sekretaris Negara kepada
Menteri Kehutanan Republik Indonesia No B-263/M.Sesneg/SA/06/2007 bahwa
kewenangan pemberian ijin terhadap pemanfaatan sarang burut walet bukan lagi
menjadi kewenangan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konversi Alam
melainkan ijin dari Bupati/Walikota setempat.
Sehingga berdasarkan tersebut, Ketentuan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan
oleh Pejabat Tata Usaha Negara tersebut juga bukan merupakan keputusan yang
termasuk dalam ruang lingkup Pasal 49 UU PTUN yang menyatakan bahwa keputusan
yang disengketakan itu dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan
bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (ayat 1) dan atau dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 2).
5. Persyaratan Formil Gugatan
Gugatan harus dalam bentuk tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
menyertakan alasan-alasan berdasarkan hukum dan hal-hal yang diminta oleh
penggugat untuk diputuskan oleh hakim. Gugatan harus memuat identitas para pihak 10
serta memperhatikan tenggang waktu pengajuan gugatan.
Dalam kasus ini, gugatan diajukan CV. MUTIARA secara tertulis dalam bahasa
Indonesia pada 14 April 2008 di pengadilan TUN Jakarta melalui kuasa hukum tergugat
10

Pasal 56 ayat (1) huruf c UU No. 5 Tahun 1986

14 | P a g e

yaitu Sayid Machmud, S.H. dengan surat kuasa khusus nomor 11/CV.M/V/2008
tertanggal 10 April 2008 yang masih dalam tenggang waktu pengajuan gugatan. Dalam
gugatan tersebut menyebutkan para pihak yang bersengketa secara jelas dan lengkap.
Dengan demikian persyaratan formil gugatan telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan
Pasal 53, 54, 55 dan 56 Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.
6. Permohonan Penundaan KTUN
Penundaan pelaksanaan KTUN atas SK Nomor : SK17/IV/SET-3/2008 tgl 15 Feb
2008, dapat diajukan karena penundaan tersebut merupakan pelaksanaan di dalam
beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara sebab sesuai dengan ketentuan Pasal 67 UU
No. 5 Tahun 1986 antara lain:
“Ayat (1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan
Badan atau Pejabat TUN serta tindakan Badan atau Pejabat TUN yang digugat.”
Jadi apabila ketentuan tersebut dilaksanakan maka, jelas bahwa gugatan Penggugat
mengenai penundaan pelaksanaan KTUN tetap dilaksanakan maka untuk menggugat
tidak ada artinya lagi, sebelum gugatan di proses dan diputus berdasarkan Pasal 67 ayat
(2) UU No.5 Th 1986, Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan
KTUN ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara sedang berjalan,
sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
Cara mengajukan Penundaan
Dalam kasus ini, Penggugat (CV. Mutiara) mengajukan permohonan penundaan
KTUN yang dimaksud dengan cara mengajukannya bersama-sama dengan pengajuan
gugatan.
Alasan-alasan Permohonan
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Penggugat (CV Mutiara) dalam mengajukan
permohonan penundaan KTUN yang digugat yaitu:
1. Penggugat memanen hasil sarang burung walet milik Penggugat yang terdapat di
3 (tiga) lokasi goa sarang burung dengan keuntungan sekali panen di ketiga
lokasi tersebut sejumlah +Rp. 60 juta;

15 | P a g e

2. Penggugat masih memiliki kewajiban secara yuridis untuk memberikan upah
kepada karyawan/pekerja sejumlah 50 orang, dengan adanya SK yang menjadi
obyek sengketa maka Penggugat akan melakukan PHK terhadap pekerja tsb.
3. Penggugat telah kehilangan kesempatan dua kali untuk memanendan berarti
Penggugat telah merugi sekitar Rp.120 juta (keuntungan sekali panen Rp. 60
juta) sejak SK obyek sengketa diterbitkan (tanggal 15 Februari 2008 s/d 14 Mei
2008).
Untuk mencegah kerugian lebih banyak lagi dan berdasarkan pasal 67 ayat (2) UU
No. 5 Th 1986 jo. UU No.9 Th 2004, maka Penggugat mengajukan permohonan
penundaan KTUN tsb. Menurut Pasal 67 ayat (4) huruf a, permohonan penundaan KTUN
dapat dikabulkan hanya apabila keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan
kepentingan penggugat sangat dirugikan jika KTUN yang digugat tetap dilaksanakan.
Berdasarkan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN tersebut, Tergugat
dalam persidangan menyampaikan jawaban sebagai berikut :
- bahwa terhadap permohonan penundaan KTUN, menurut Pasal 67 ayat (4)
permohonan penundaan KTUN dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang
sangat mendesak mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika
KTUN tetap dilaksanakan.
- bahwa alasan karyawan yang dipakai dalam pertimbangan hukum adalah tidak
benar karena dari 220 karyawan hanya ada 10 karyawan yang merupakan
pegawai tetap, sehingga alasan terjadinya PHK tidak benar.
- bahwa alasan kerugian pemanenan yang diderita Penggugat pada intinya
bertentangan dengan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sarang
burung walet sebagaimana terdapat dalam Keputusan Menteri Kehutanan No.
449/Kpts-II/1999 jo. No.: 100/Kpts-II/2003.
- Bahwa penggugat melakukan pemanfaatan sarang burung walet telah memanen
sebelum waktunya, sehingga merusak kelestarian satwa burung walet.
Putusan Majelis Hakim
Namun berdasarkan pertimbangan majelis hakim menolak permohonan
penundaan penggugat karena gugatan dinyatakan ditolak dan tidak relevan untuk
16 | P a g e

dipertimbangkan.

Majelis hakim juga mempertimbangkan bahwa dalam masa

persidangan penggugat maupun kuasanya tidak

pernah hadir di persidangan tanpa

alasan yang sah, sehingga tidak terdapat satu (1) alat buktipun, baik surat maupun
saksi. Oleh karenanya majelis hakim berpendapat tidak terdapat cukup bukti untuk
membuktikan dalil penggugat dan penggugat adalah pihak yang tidak bersungguhsungguh dalam mengajukan gugatan.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka menurut Tergugat tidak terdapat kepentingan
mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986. jo. UU No. 9 Th
2004. Selain itu terdapat pertimbangan bahwa permohonan penundaan KTUN tidak
dapat

dikabulkan

apabila

kepentingan

umum

dalam

rangka

pembangunan

mengharuskan dilaksanakannya KTUN yang dimaksud (pasal 67 ayat (4) huruf b UU No.
5 Tahun 1986. jo. UU No. 9 Th 2004).
7. Kepentingan Penggugat dan alasan gugatan
“Majelis Hakim dalam ini memberikan pertimbangan sehubungan dengan
kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan dalam pertimbangannnya
berdasarkan bukti

salinan Keputusan Direktur Jenderal perlindungan

dan

konservasi alam No. 131/Kpts/DJ-V/2000, tanggal 6 Desember 2000 berupa izin
pengelola sarang burung walet kepada penggugat ternyata penggugat adalah
pemegang izin pengelolaan sarang burung walet di desa tasuk dan desa birang
kecamatan gunung tabur kabupaten daerah tingkat II Berau, Propinsi kalimantan
timur untuk jangka waktu 10 tahun yang berakhir sampai dengan tanggal 6
desember 2010, sehingga dengan terbitnya keputusan objek sengketa, penggugat
menjadi kehilangan haknya untuk melakukan pengelolaan sarang burung walet
tersebut sebagaimana dimaksud surat izin tersebut, termasuk menempuh jalur
hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan tata usaha negara sehingga
penggugat memenuhi ketentuan pasal 53 ayat 1 undang-undang nomor 5 tahun
1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9
tahun 2004”11
Kepentingan penggugat dalam mengajukan gugatan diatur dalam Pasal 53 ayat 1,
dengan alasan-alasan yang memenuhi persyaratan pada ayat 2 undang-undang nomor
11

Lihat Putusan PTUN Jakarta No. 40/G/2008/PTUN.JKT, h.23-24

17 | P a g e

5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang nomor 9
tahun 2004
Pasal 53 :
1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asasasas umum pemerintahan yang baik.
Apabila kita melihat pasal 53 ayat 1 maka, Alasan yang dikemukakan penggugat
dalam mengajukan gugatan yang “menganggap” keputusan yang di keluarkan oleh
tergugat merugikan kepentingan penggugat sudah memenuhi syarat, dibuktikan dengan
adanya kepentingan atas kerugian ekonomis berupa ekspektasi keuntungan yang akan
diperoleh dari bisnisnya namun sayangnya penggugat tidak mengajukan alat bukti yang
menguatkan gugatan tersebut, alat bukti yang dapat digunakan untuk menguatkan dalil
yang diajukan dapat berupa laporan keuangan penggugat atau tanda terima penjualan
yang dapat menunjukan keuntungan nyata yang diperoleh penggugat yang dapat
digunakan sebagai gambaran ekspektasi keuntungan dimasa datang.
Selanjutnya pada pasal yang sama pada ayat 2 menjelaskan dasar alasan yang
dapat digunakan dalam gugatan dengan analisa : Pada kasus ini sehubungan pada butir
a, “keputusan yang bertentangan dengan undang-undang”, Keputusan yang dikeluarkan
harus berdasarkan fakta-fakta yang lengkap, dalam kasus ini tergugat telah mengajukan
bukti-bukti yang memadai untuk membuktikan cukupnya syarat-syarat yang
melatarbelakangi pengambilan keputusan. Sehingga keputusan yang dibuat tergugat
tidak memenuhi syarat sebagai keputusan yang bertentangan dengan undang-undang
yang dapat dijadikan objek gugatan.
Namun yang juga harus dipertimbangkan adalah apabila yang dipermasalahkan
disini adalah prosedur dalam melakukan pencabutan SK , apakah pencabutan ini sudah
18 | P a g e

memenuhi tata cara sesuai dengan peraturan perundang-undangan,

seharusnya

tergugat harus juga memasukan bukti Keputusan Menteri Kehutanan No 069/KptsII/1984, tentang Pencabutan beberapa Perizinan di Bidang Kehutanan, yang menunjukan
apa yang dilakukan tergugat sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
sehingga selain dari bukti-bukti yang dilampirkan perlu juga dilampirkan bukti yang
dapat membuktikan bahwa yang dilakukan oleh tergugat dalam melakukan pencabutan
telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait.
Pada butir b, “bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik”
dalam penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik dijelaskan pada penjelasan Pasal 3 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme yang
dalam kita dapat melihat apakah unsur-unsur ini dapat dipenuhi sebagai alasan
diajukannya gugatan
Unsur Yang dimaksud dengan “Asas Kepastian Hukum” dan “Asas Tertib
Penyelenggaraan Negara” adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan Penyelenggara Negara, dalam kasus ini dicabutnya 131/KPTS/DJ-V/2000
dengan SK 17/IV/SET-3/2008 adalah berdasar atas Peraturan Pemerintah No.25 tahun
2000 tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah yang mengakibatkan
pemberian ijin tersebut dilakukan oleh bupati atau walikota, justru merupakan
perwujudan dari AAUPB dan dan demi tertibnya penyelenggaran negara sehingga
alasan gugatan yang justru beranggapan bahwa keputusan ini bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik tidak memenuhi kriteria untuk dijadikan
alasan gugatan
Demikian juga halnya dengan “Asas Keterbukaan” “Asas Akuntabilitas”, dalam
kasus ini pemerintah juga sudah melakukan pengundangan terhadap Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2000, yang menjadi dasar keputusan yang menjadi objek
sengketa, dalam hal adanya peraturan perundangan yang disahkan oleh pemerintah
masyarakat sudah dianggap tahu dengan logika dengan adanya persetujuan wakil-wakil
dari masyarakat yang ada di DPR, sehingga unsur ini pun tidak dapat dijadikan alasan
oleh penggugat
19 | P a g e

Ada unsur lain dalam AAUPB yang juga masuk kedalam alasan penggugat, jika
yang dimaksudkan oleh penggugat keseluruhan Asas-asas AAUPB maka dalam hal “Asas
Kepentingan Umum” adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif akomodatif dan selektif dan unsur “Asas Proporsionalitas” adalah asas yang
mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Maka alasan yang digunakan
penggugat dalam hal ini yang bersinggungan dengan kepentingan umum yaitu adanya
kerugian masyarakat apabila keputusan yang menjadi objek sengketa dilaksanakan,
seolah-olah penggugat bertindak mewakili kepentingan umum dalam melakukan
gugatan.
Hal ini tidak dapat diterima karena kepentingan umum dapat tetap dijaga tanpa
harus diakomodir oleh penggugat karena siapa saja berhak melakukan pengelolaan
sarang burung walet di kabupaten berau asalkan mendapatkan ijin dari bupati berau
berdasarkan Peraturan pemerintah No. 25 tahun 2000 yang ditindak lanjuti oleh
keputusan menteri dalam negeri No. 71 tahun 1999, akibat yang timbul adalah
pengelolaan sarang burung walet di prioritaskan pada penemu, hal ini didukung oleh
Surat Bupati Berau No. 180/204/HK/2006, sehingga terlihat pemerintah lebih
mengutamakan masyarakat sekitar tempat sarang burung walet berada (dengan
memberikan kesempatan kepada penemu sarang memperoleh hasil atas temuanya)
dibandingkan menyerahkannya pada kepentingan pribadi (CV Mutiara) karena
bagaimanapun keinginan besar untuk mensejahterakan masyarakat, pembentukan
sebuah usaha adalah pasti disertai tujuan untuk mengeruk keuntungan yang jumlahnya
lebih besar dari apa yang diberikan pada masyarakat sekitar.
Dari uraian analisa diatas terlihat kendati memenuhi kriteria tentang adanya
kepentingan atas kerugiannya (Pasal 53 ayat (1)) gugatan penggugat tidak memenuhi
alasan-alasan yang ada pada Pasal 53 ayat 2 UU No. 5 Tahun 1986, yang berhubungan
dengan

adanya

pelanggaran

terhadap

undang-undang

dan

asas-asas

umum

pemerintahan yang baik sehinnga sesungguhnya tidak cukup alasan bagi penggugat
untuk melakukan gugatan. Selain yang menjadi substansi dari permasalahan pada kasus
diatas terdapat juga makna pilihan terbuka yang tersirat pada kata “dapat” yang ada
pada Pasal 53 ayat 2 apakah kata “dapat” ini diartikan sebuah pilihan kebolehan atas
alasan gugatan yang hanya tercantun dalam angka a dan b saja, atau makna lain kalimat
terbuka “dapat” yang fakultatif menimbulkan konsekuensi bahwa alasan yang
digunakan untuk mengajukan gugatan sesuai dengan angka a dan b namun juga
20 | P a g e

dibolehkan menggunakan alasan lain sepanjang dapat memenuhi syarat yang ada pada
pasal 53 ayat 1 dan ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
Logika yang timbul adalah jika memang hanya ada 2 pilihan alasan pada pasal 53
ayat 2, Undang-undang ini akan memilih kata “harus” atau kata “wajib” dibandingkan
kata “dapat” yang merupakan kebolehan (mogen) sehingga akan menutup celah hukum
kepentingan atas kerugian yang mungkin oleh penggugat dinilai secara subjektif.
Sehingga sehubungan dengan kasus ini adalah apabila kata “dapat” kita artikan terbuka
(boleh menggunakan alasan pada huruf a dan atau b boleh juga tidak), maka sepanjang
dapat dibuktikan ada kepentingan dari penggugat, tentang keputusan yang merugikan
dirinya, alasan gugatan tidak harus merupakan keputusan yang bertentangan dengan
undang-undang dan atau bertentangan dengan asas asas umum pemerintahan yang
baik, dan alasan gugatan dalam kasus ini yang diajukan oleh penggugat menjadi dapat
diterima.
8. Pembuktian dan Putusan Majelis Hakim
Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk
menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara.
Hubungan hukum inilah yang harus dibuktikan kebenarannya di depan sidang
pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah semua peristiwa serta hak
yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang kebenarannya di bantah oleh pihak lain.
Pihak penggugat diberikan kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran
dalil gugatannya. Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan
kebenaran dalil sangkalannya.
Ada perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN
dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala sesuatu
yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan
oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan :12


Apa yang harus dibuktikan



Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri



Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian

12

lihat, pasal 107 UU No.5/1986

21 | P a g e



Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan
Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem

“Vrij bewijsleer”, yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh
kebenaran materiil. Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah
disimpulkan bahwa hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian bebas
yang terbatas.13 Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara
limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga dibatasi kewenangannya dalam
menilai sahnya pembuktian, yakni paling sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan
hakim. Sedangkan pembuktian dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka
memperoleh kebenaran formil.
Berkaitan dengan kasus, dalam proses pembuktian perkara, hakim telah
memberikan waktu yang cukup kepada para pihak untuk mengajukan alat bukti yang
menguatkan dalil-dalil yang disampaikannya. Namun pihak penggugat tidak pernah
hadir tanpa alasan yang sah di persidangan serta tidak mengajukan satupun alat bukti
yang dapat menguatkan dalil gugatannya. Sedangkan pihak tergugat telah mengajukan
bukti surat sebagaimana tercantum dalam putusan tersebut untuk menyangkal gugatan
penggugat.14 Dengan demikian adalah hal yang tepat jika hakim menolak seluruh
gugatan penggugat baik dalam pokok perkara maupun dalam permohonan penundaan
pelaksanaan obyek gugatan karena penggugat tidak dapat membuktikan dalil
gugatannya serta tidak bersungguh-sungguh untuk menggugat.

13

A. Pitto, Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, (Intermasa, Jakarta, 1978), h. 150

14

22 | P a g e

KESIMPULAN

1.

Bahwa Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam Nomor: SK 17/IV/SET-3/2008 tanggal 15 Februari 2008 tentang Pencabutan
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor:
131/KPTS/DJ/-V/2000 tanggal 6 Desember 2000 merupakan Keputusan Tata
Usaha Negara yang menjadi obyek gugatan yang termasuk dalam wewenang
peradilan Tata Usaha Negara.

2.

Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta berwenang untuk memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat pertama.

3.

Gugatan penggugat diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.

4.

Obyek gugatan termasuk dalam ruang lingkup Pasal 48 dan 49 UU UU No. 9 Tahun
2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.

5.

Persyaratan formil gugatan telah terpenuhi sesuai dengan ketentuan Pasal 53, 54,
55 dan 56 Pasal 55 UU No. 9 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 1986.

6.

Permohonan penundaan pelaksanaan obyek dinyatakan ditolak dan tidak relevan
untuk dipertimbangkan karena penggugat tidak dapat membuktikan dalilnya
sebagai dasar penundaan pelaksanaan obyek sengketa.

7.

Sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah pembuktian
bebas yang terbatas. Sehingga alasan gugatan tidak harus merupakan keputusan

23 | P a g e

yang bertentangan dengan undang-undang dan atau bertentangan dengan asas
asas umum pemerintahan yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

A. Pitto, Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, Intermasa, Jakarta, 1978.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I
dan II, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Soemaryono dan Anna Erliyana, Tuntunan Praktek Beracara di PTUN, Jakarta:
Primamedia Pustaka-Gramedia, 1999.
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata Dalam
Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 1995.
Subur (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang), Fungsi, Tugas, Wewenang dan
Mekanisme Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara.

24 | P a g e