Chapter II Pendugaan Cadangan Karbon Above Ground Biomass (Agb) Di Kecamatan Lumbanjulu Kphl Model Toba Samosir Unit XIV

TINJAUAN PUSTAKA
Penginderaan Jarak Jauh
Lillesand dan Kiefer (1997), mendefenisikan penginderaan jauh sebagai
“ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala
dengan jalan menganalisis data yang diperoleh tanpa kontak langsung dengan
objek, daerah atau gejala yang dikaji”. Penginderaan jauh biasanya menghasilkan
beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasi guna
membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi bidang pertanian, arkeologi,
kehutanan, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya (Purbowaseso, 1995).
Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah
adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya.
Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh
seperti : radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near
sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang
dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro. Setiap
material pada permukaan bumi juga mempunyai reflektansi yang berbeda
terhadap cahaya matahari. Sehingga material-material tersebut akan mempunyai
resolusi yang berbeda pada setiap band panjang gelombang (Thoha, 2008).
Berdasarkan resolusi yang digunakan, citra hasil penginderaan jarak jauh
bisa dibedakan atas (Jaya, 2002):
1. Resolusi spasial

Merupakan ukuran terkecil dari suatu bentuk (feature) permukaan bumi
yang bisa dibedakan dengan bentuk permukaan disekitarnya, atau sesuatu yang
ukurannya bisa ditentukan. Kemampuan ini memungkinkan kita untuk
3

4

mengidentifikasi (recognize) dan menganalisis suatu objek di bumi selain
mendeteksi (detectable) keberadaannya.
2. Resolusi spektral
Merupakan dimensi dan jumlah daerah panjang gelombang yang sensitif
terhadap sensor.
3. Resolusi radiometrik
Merupakan ukuran sensitifitas sensor untuk membedakan aliran radiasi
(radiation flux) yang dipantulkan atau diemisikan suatu objek oleh permukaan
bumi.
4. Resolusi Temporal
Merupakan frekuensi suatu sistem sensor merekam suatu areal yang sama
(revisit). Seperti Landsat TM yang mempunyai ulangan setiap 16 hari, SPOT 26
hari dan lain sebagainya.

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dengan menggunakan citra
satelit seperti Landsat TM mampu mendeteksi pola penggunaan lahan di muka
bumi. Informasi yang diperoleh dari citra satelit tersebut dapat digabungkan
dengan data-data lain yang mendukung ke dalam suatu sistem informasi geografis
(SIG). hambatan dalam pemantauan penutupan lahan dapat dikurangi dengan
adanya teknologi penginderaan jauh (remote sensing) (Sulistiyono, 2008).
Menurut Lillesand dan Kiefer (1992) dalam Wijaya (2004) penginderaan
jauh meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisa data. Elemen
proses pengumpulan data meliputi : a) sumber energi, b) perjalanan energi melalui
atmosfer, c) interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, d) sensor
wahana pesawat terbang dan/atau satelit, e) hasil pembentukan data dalam

4

5

pembentukan data dalam bentuk piktoral dan/atau bentuk numerik. Singkatnya,
kita menggunakan sensor untuk merekam berbagai variasi pancaran dan pantulan
energi elektromagnetik oleh kenampakan di muka bumi. Proses analisis data
meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat

pengamatan untuk menganalisis data piktoral, dan computer untuk menganalisis
data sensor numerik dengan dibantu oleh data rujukan tentang sumberdaya yang
dipelajari.
Relasi antara nilai NDVI dan cadangan karbon, secara khusus dapat
dikatakan berbentuk kurva lengkung (curvilinear). Dengan memperhatikan hal
tersebut, diperlukan proses transformasi logaritmik terhadap nilai cadangan
karbon, sehingga didapatkan kesesuaian dengan asumsi analisa regresi standar
untuk keragaman mutlak (uniform variability). Walaupun kerapatan karbon terus
meningkat seiring dengan pertumbuhan biomassa kayu dan riap tegakan, nilai
NDVI menunjukkan saturasi pada nilai 70 dimana index area daun (leaf area
index) mencapai optimum. Secara keseluruhan, hanya 54% variasi nilai logaritmik
kerapatan karbon yang dapat diwakili oleh nilai NDVI. Perlunya relasi yang
dibangun secara bertahap, sebagaimana diindikasikan oleh data, dilakukan dengan
memisahkan nilai NDVI yang >60. Pemisahan ini memperbaiki keseragaman
terhadap keragaman data, walaupun disisi lain, mengurangi kemungkinan
terwakilinya seluruh tingkat keragaman (Widayati, 2004).
Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah sistem komputer yang memiliki
4 (empat) kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis yaitu
masukan, keluaran, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data),


5

6

analisis dan manipulasi data. Dengan keempat kemampuan tersebut maka Sistem
Informasi Geografis dapat digunakan untuk mengidentifikasi daerah yang rawan
terhadap bencana (Prahasta, 2005).
Sistem Informasi Georafis atau Georaphic Information Sistem (GIS)
merupakan suatu sistem informasi yang berbasis komputer, dirancang untuk
bekerja dengan menggunakan data yang memiliki informasi spasial (bereferensi
keruangan). Sistem ini merekam, mengecek, mengintegrasikan, memanipulasi,
menganalisa, dan menampilkan data yang secara spasial mereferensikan kepada
kondisi bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi-operasi umum database,
seperti query dan analisa statistik, dengan kemampuan visualisasi dan analisa
yang unik yang dimiliki oleh pemetaan. Kemampuan inilah yang membedakan
SIG dengan sistem informasi lainnya yang membuatnya menjadi berguna berbagai
kalangan untuk menjelaskan kejadian, merencanakan strategi, dan memprediksi
apa yang terjadi (Sukojo dan Diah, 2003).
Teknologi GPS (Global Positioning System) menyampaikan informasi

penting yang dibutuhkan dan merupakan salah satu bentuk data spasial dalam
pengolahan data SIG. Data atau informasi yang dihasilkan dari GPS biasanya
berbentuk data vektor. Puntodewo et al. (2003) diacu dalam Budiyanto (2005)
menyebutkan bahwa teknologi GPS memberikan terobosan yang sangat penting
dalam menyediakan data untuk SIG karena keakuratan data yang diberikan oleh data
GPS sangat tinggi.

GIS mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data
padasuatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan
akhirnyamemetakan hasilnya. Data yang akan diolah pada SIG merupakan data
spasial yaitu sebuah data yang berorientasi geografis dan merupakan lokasi yang
6

7

memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar referensinya. Sehingga aplikasi
SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi, kondisi, trend,
poladan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG

dari


sistem

informasi lainnya (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007).

Komponen Penyusun Cadangan Karbon di Tingkat Lahan

Menurut Hairiah, 2011 menyatakan bahwa pada ekosistem daratan,
cadangan karbon disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu:
1. Bagian hidup (biomasa): masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu
batang, ranting dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya), tumbuhan
bawah atau gulma dan tanaman semusim.
2. Bagian mati (nekromasa): masa dari bagian pohon yang telah mati baik yang
masih tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di
permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (seresah) yang
belum terlapuk.
3. Tanah (bahan organik tanah): sisa makhluk hidup (tanaman, hewan dan
manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya
dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2
mm.

Berdasarkan keberadaannya di alam, ketiga komponen karbon tersebut
dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
a. Karbon di atas permukaan tanah, meliputi:
• Biomasa pohon Proporsi terbesar cadangan karbon di daratan umumnya
terdapat pada komponen pepohonan. Untuk mengurangi tindakan perusakan
selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi dengan menggunakan

7

8

persamaan allometrik yang didasarkan pada pengukuran diameter batang (dan
tinggi pohon, jika ada).
• Biomasa tumbuhan bawah.Tumbuhan bawah meliputi semak belukar yang
berdiameter batang < 5 cm, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan atau gulma.
Estimasi biomasa tumbuhan bawah dilakukan dengan mengambil bagian
tanaman (melibatkan perusakan).
• Nekromasa Batang pohon mati baik yang masih tegak atau telah tumbang dan
tergeletak di permukaan tanah, yang merupakan komponen penting dari C dan
harus diukur pula agar diperoleh estimasi cadangan karbon yang akurat.

• Seresah. Seresah meliputi bagian tanaman yang telah gugur berupa daun dan
ranting-ranting yang terletak di permukaan tanah.
b. Karbon di dalam tanah, meliputi:
• Biomasa akar. Akar mentransfer karbon dalam jumlah besar langsung ke
dalam tanah, dan keberadaannya dalam tanah bisa cukup lama. Pada tanah
hutan biomasa akar lebih didominasi oleh akar-akar besar (diameter > 2 mm),
sedangkan pada tanah pertanian lebih didominasi oleh akar-akar halus yang
lebih pendek daur hidupnya. Biomasa akar dapat pula diestimasi berdasarkan
diameter akar (akar utama), sama dengan cara untuk mengestimasi biomasa
pohon yang didasarkan pada diameter batang.
• Bahan organik tanah.Sisa tanaman, hewan dan manusia yang ada di
permukaan dan di dalam tanah, sebagian atau seluruhnya dirombak oleh
organisme tanah sehingga melapuk dan menyatu dengan tanah, dinamakan
bahan organik tanah

8

9

Karbon atau zat arang adalah salah satu unsur yang terdapat dalam bentuk

padat maupun cairan di dalam perut bumi, di dalam batang pohon, atau dalam
bentuk gas di udara (atmosfer). Hairiah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa
karbon yang terdapat di atas permukaan tanah terdiri atas biomassa pohon,
biomassa tumbuhan bawah (semak belukar, tumbuhan menjalar, rumput-rumputan
atau gulma), nekromassa (batang pohon mati) dan serasah (bagian tanaman yang
telah gugur dan ranting yang terletak di permukaan tanah). Sedangkan karbon di
dalam tanah meliputi biomassa akar serta bahan organik tanah (sisa tanaman,
hewan dan manusia yang telah menyatu dengan tanah akibat pelapukan). Lebih
lanjut Hairiah dan Rahayu (2007) menjelaskan bahwa hutan alami yang
keanekaragaman spesiesnya tinggi dengan serasah melimpah merupakan gudang
penyimpanan karbon yang baik.
Kegiatan di sektor kehutanan yang secara potensial dapat menekan
terjadinya perubahan iklim dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu konservasi,
peningkatan pengambilan karbon dan subtitusi penggunaan bahan bakar fosil
dengan biomass. Kegiatan konservasi meliputi perlindungan hutan dari deforestasi
dan degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan pengambilan karbon (rosot)
dilakukan melalui kegiatan perluasan luas hutan dengan penanaman pohon di
lahan kritis, gundul atau semak belukar dalam kawasan hutan (reforestasi) dan
bukan hutan (afforestasi) serta pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem
pengelolaan yang berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi

biomass akan mengurangi emisi GRK secara langsung akibat dari penurunan
tingkat konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong untuk
memproduksi biomassa (Boer, 2001). Selama pertumbuhannya, pohon menyerap

9

10

C dari atmosfer melalui proses fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa.
Pada perkembangan tegakan, kematian disebabkan oleh persaingan atau bencana
alam menghasilkan perpindahan beberapa cadangan C pada pohon ke bahan
organik yang mati atau ke atmosfer. Pemanenan hutan, melepaskan C dalam
jumlah yang besar, namun tidak seluruhnya. Sebagian dari biomassa yang dipanen
tersebut digunakan untuk menghasilkan energi (menggantikan bahan bakar fosil),
sementara yang lainnya digunakan untuk berbagai produk kayu dengan waktu
penggunaan tertentu (Ter-Mikaelian, et al., 2008).
Canadell (2002) mengatakan bahwa untuk memperoleh penyerapan karbon
yang maksimum, maka perlu ditekankan pada kegiatan peningkatan biomassa
diatas permukaan tanah, bukan pada biomassa yang ada dalam tanah, karena
biomassa yang terdapat didalam tanah relatif kecil dan masa keberadaannya

singkat, tetapi hal ini tidak berlaku pada tanah gambut (van Noodwijk et al., 1997;
Paustian et al., 1997).
Secara umum, metode pendugaan cadangan karbon ada dua kategori,
yakni metode destruktif dan metode non destruktif. Metode destruktif dapat
dilakukan dengan (1) menebang semua pohon, (2) menebang beberapa pohon
yang mewakili kelas tegakan dan (3) menebang satu pohon dan membuat model
hubungan biomassa dengan parameter pohon yang mudah diukur, seperti diameter
atau tinggi. Metode konvensional dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Sedangkan metode non destruktif tidak merusak pohon. Pendekatannya dilakukan
dengan menggunakan citra satelit. (Kale dan Roy, 2002).

10

11

Secara garis besar, tahapan pendugaan cadangan karbon yang dilakukan
adalah sebagai berikut:
1. Pengolahan awal data satelit; mencakup koreksi atmosfer, koreksi radiometrik,
dan koreksi geometri.
2. Klasifikasi data satelit berdasarkan tutupan lahannya; memilih sistem
klasifikasi tutupan lahan yang sesuai dengan kondisi studi area. Kelas tutupan
lahan yang umum digunakan adalah hutan primer, hutan sekunder,
perkebunan/semak/ belukar, dan lahan terbuka.
3. Perhitungan indeks vegetasi dari citra untuk menganalisa kondisi vegetasi,
misalnya NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dan EVI (Enhanced
Vegetation Index).
4. Survei vegetasi untuk mengetahui jumlah biomasa di lapangan berdasarkan
kelas hasil klasifikasi tutupan lahan. Inventarisasi biasanya dilakukan pada
plot-plot pengukuran lapangan untuk mendapatkan jumlah biomassa diatas dan
dibawah permukaan tanah.

Umumnya pendugaan biomassa di lapangan

dilakukan dengan menggunakan persamaan allometrik. Biomassa yang diukur
umumnya berupa biomassa pohon tegakan (diatas permukaan tanah) yang
dihitung berdasarkan penjumlahan biomassa batang, cabang, dan daun.
5. Analisa data survei vegetasi untuk mendapatkan rata-rata biomasa berbagai
jenis tutupan lahan.
6. Penghitungan karbon untuk seluruh jenis tutupan lahan (berdasarkan hasil
klasifikasi data satelit) dan analisa potensi biomasa.
7. Korelasi antara NDVI dan data survei vegetasi.

11

12

Hasil pengideraan jauh dengan resolusi sedang mungkin sangat
bermanfaat untuk membagi area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relatif
homogen. Hasil pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survei dan
pengambilan data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan
tingkat keakuratan yang baik memerlukan hasil pengideraan jauh dengan resolusi
yang tinggi, tetapi hal ini akan menjadi metode alternatif dengan biaya yang besar
(Roswiniarti, 2008).

Citra Landsat 8
Seperti dipublikasikan oleh USGS, satelit landsat 8 terbang dengan
ketinggian 705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x
183 km (mirip dengan landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan
satelit landsat versi terbarunya ini mengemban misi selama 5 tahun beroperasi
(sensor OLI dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Tidak menutup
kemungkinan umur produktif landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang
dicanangkan sebagaimana terjadi pada landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan
hanya beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi.
Satelit landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land Imager (OLI)
dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal sebanyak 11 buah.
Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada OLI dan 2 lainnya
(band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki spesifikasi mirip
dengan landsat 7. Dibandingkan versi-versi sebelumnya, landsat 8 memiliki
beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki
maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap.
Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3 warna dasar,

12

13

yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin banyaknya band sebagai
penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi.

Indeks Vegetasi (IV)
Perhitungan tingkat kehijauan dengan metode TCT hanya bisa diaplikasikan
dengan data Landsat saja. Metode lain untuk menentukan tingkat kehijauan adalah
Indeks Vegetasi. Indeks vegetasi merupakan perhitungan secara kuantitatif yang
digunakan untuk menghitung biomassa atau kondisi vegetasi.
Umumnya dibuat dengan menggunakan kombinasi dari beberapa band
spektral. Indeks vegetasi yang paling sederhana adalah rasio antara pantulan near
infrared (NIR) dan sinar merah. Terdapat banyak metode untuk menghitung
indeks vegetasi. Indeks vegetasi yang umum dan banyak digunakan adalah
Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) (Ray, 1995). Indeks ini
sederhana dan mempunyai nilai range yang dinamis dan sensitif yang paling
bagus terhadap perubahan tutupan vegetasi, dengan persamaan sebagai berikut:
Menurut Shifoyati dan Kuncoro (2007) cara perhitungan NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index) adalah sebagai berikut:
NDVI = (NIR – R) / (NIR + R)
Keterangan:
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
NIR
= Near Infra Red
R
= Red

Perhitungan perbandingan sifat respon objek terhadap pantulan sinar
merah dan NIR dapat menghasilkan nilai dengan karakteristik khas yang dapat
digunakan untuk memperkirakan kerapatan atau kondisi kanopi/kehijauan
tanaman. Tanaman yang sehat berwarna hijau mempunyai nilai indeks vegetasi

13

14

tinggi. Hal ini disebabkan oleh hubungan terbalik antara intensitas sinar yang
dipantulkan vegetasi pada spektral sinar merah dan NIR.
Menurut CCRS (2007), nilai indeks vegetasi terdiri dari lima jenis tutupan
lahan yang dapat dilihat pada Tabel 1 sedangkan pada Tabel 2 menunjukkan nilai
cadangan karbon pada beberapa jenis penggunaan lahan.
Tabel 1. Nilai indeks vegetasi pada berbagai jenis tutupan lahan
Jenis tutupan lahan
Nilai Indeks Vegetasi
Non vegetasi
-1 ─ 0
Sawah dan rumput
0 ─ 0,164063
Kebun teh, semak, dan rumput
>0,164063 ─ 0,328125
Semak, kebun, dan sawah
>0,328125 ─ 0,492188
Pohon dan semak
>0,492188 ─ 0,99218
Tabel 2. Rata-rata cadangan karbon di atas permukaan tanah pada berbagai penggunaan
lahan
Jenis penggunaan lahan
Hutan primer
Hutan bekas tebangan 0-10 tahun
Hutan bekas tebangan 11-30 tahun
Hutan bekas tebangan 31-50 tahun
Jakaw 0-10 tahun
Jakaw >10 tahun
Agroforestri 0-10 tahun
Agroforestri 11-30
Padi

Cadangan karbon
230.1
206.8
212.9
184.2
19.4
58.0
37.7
72.6
4.8

Persentase(%)
100
90
92
80
8
25
16
31
2

Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL)
Kegiatan pengelolaan hutan yang bertujuan memproduksi hasil hutan
umumnya melibatkan kegiatan-kegiatan seperti inventarisasi hutan, tata hutan
dengan membentuk blok dan petak, pelaksanaan silvikultur, seperti penanaman,
penjarangan, pemotongan. Didalam sebuah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH),
manajemen sumberdaya hutan tidak terbatas pada kegiatan-kegiatan tersebut,
karena di dalam KPH dimungkinkan adanya perusahaan mandiri dan kelompok
masyarakat pengelola hutan. Manajemen sumberdaya hutan dalam lingkup KPH
dimulai dengan penetapan rencana jangka panjang. Tujuan dalam rencana jangka

14

15

panjang tersebut akan diselaraskan dengan tujuan Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam rencana jangka panjang ini akan dipastikan
arah jangka panjang para pemegang izin, dan pengelolaan hutan lainnya dalam
KPH tersebut, serta kebijakan dan strategi penanganan masalah yang dihadapi
dalam mewujudkan rencana jangka panjang tersebut. Dalam prakteknya,
pengelola KPH perlu mempertimbangkan kebutuhan bersama semua pihak di
dalam KPH, seperti aksesibilitas dan infrastruktur, tenaga kerja, penyelesaian
konflik, pendampingan, dll. Itulah sebabnya berbagai instansi pemerintah,
pemegang izin (jika ada), masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar hutan,
lembaga swadaya masyarakat dan akademisi perlu dilibatkan dalam penyusunan
rencana jangka panjang dan rencana kerja tahunan. Partisipasi mereka diharapkan
meningkatkan peluang terjadinya sinergi kegiatan semua pihak dalam KPH
tersebut.
Unit-unit Pengelolaan Hutan terdiri dari Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) tergantung pada fungsi hutan
dominan yang terdapat dalam kawasan. Pada setiap Kesatuan Pengelolaan Hutan
dibentuk institusi pengelola. Menteri Kehutanan menetapkan organisasi KPHK,
sedangkan untuk KPHP dan KPHL ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 61 Tahun 2010. Untuk KPHP dan KPHL yang penetapan
wilayahnya lintas Kabupaten ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi
dan bertanggung jawab kepada Gubernur, sedangkan untuk KPHP dan KPHL
yang berada dalam wilayah Kabupaten ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
Kabupaten dan bertanggungjawab kepada Bupati (Kemenhut, 2011).

15

16

Penginderaan Jauh untuk Estimasi Stok Karbon
Cadangan karbon dalam hutan dapat juga dievaluasi dengan menggunakan
penginderaan jauh yakni satelit atau potret udara. Namun, tidak ada instrument
penginderaan jauh yang dapat mengukur cadangan karbon secara langsung, sehingga
dibutuhkan data lapangan sebagi tambahan. Metodologi penginderaan jauh
memperlihatkan keberhasilannya dalam menduga cadangan karbon di hutan boreal
dan hutan musim dan pada tegakan muda dengan kerapatan karbon yang rendah
(Gibbs, et al., 2007).
Adanya perubahan tutupan lahan di suatu wilayah dapat mengindikasikan
dinamika cadangan karbon di wilayah tersebut. Misalnya, aktivitas konversi hutan
menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya menyebabkan terjadinya penurunan jumlah
cadangan karbon. Kuantifikasi perubahan lahan yang terjadi dalam satu rentang
waktu, dapat dilakukan dengan menganalisa citra satelit (misalnya Landsat) dari
waktu pengambilan yang berbeda yang didukung oleh peta tutupan lahan, topografi,
tanah dan sebagainya (Hairiah, 2011).
Saat ini terdapat tiga pendekatan untuk menduga atau memonitor biomassa,
yaitu modeling, pengukuran lapangan, dan penginderaan jauh. Diantara tiga
pendekatan, pengukuran langsung di lapangan dipertimbangkan lebih dapat dipercaya
dan lebih teliti dibandingkan dengan dua pendekatan lainnya. Meskipun demikian,
pendekatan ini mahal dan resolusi spasial data dalam studi di lapangan terbatas.
Dengan memadukan data spasial dan atribut kedalam SIG, maka integrasinya
(Penginderaan Jauh dan SIG) akan menawarkan suatu metoda untuk menduga
biomassa pada skala wilayah yang sangat besar, dimana ketersediaan data kehutanan
terbatas.

16

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB ORANG TUA MENIKAHKAN ANAK PEREMPUANYA PADA USIA DINI ( Studi Deskriptif di Desa Tempurejo, Kecamatan Tempurejo, Kabupaten Jember)

12 105 72

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

IbM Peningkatan Kesehatan Gigi dan Mulut Petani Kakao Kecamatan Bangsalsari

5 96 57