ERYTHEMA ELEVATUMDIUTINUM YANG MENYERUPAI LOBOMIKOSIS PADA SEORANG PASIEN DENGAN INFEKSI HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

  Laporan Kasus

ERYTHEMA ELEVATUMDIUTINUM YANG MENYERUPAI

LOBOMIKOSIS PADA SEORANG PASIEN DENGAN INFEKSI

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)

  

FatimaAulia Khairani, Risa Miliawati, Lies Marlysa Ramali

Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Padjajaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

  ABSTRAK Erythema elevatum diutinum (EED) merupakan varian vaskulitis leukositoklastikyangjarang terjadi.

  Gambaran Minis EED berupaplak, papul, nodus berwarna kemerahan atau kecoklatan, dengan nodus yang dapat menyerupai keloid atau lobomikosis. EED dilaporkan dapat berhubungan dengan infeksi HIV, dengan lesi yang umumnya berbentuk nodus yang mengenai telapak tangan atau telapak kaki.

  Seorang perempuan berusia 30 tahun dengan infeksi HIV, mengeluhkan benjolan-benjolan sewarna kulit yang tidak terasa gatal maupun nyeri yang muncul di kedua punggung kaki dan kedua telapak kaki sejak tiga bulan sebelum berobat. Dari pemeriksaan fisik ditemukan nodus multipel dengan permukaan haluspada kedua punggung kaki dan kedua telapak kaki. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan KOH10% dari kerokan kulit tidak ditemukan elemenjamur. Diagnosis banding pada pasien ini awalnya keloid dan lobomikosis. Gambaran histopatologis menunjukkan vaskulitis leukositoklastik dengan infiltrasi neutrofil, sertapada kultur tidak ditemukan pertumbuhanjamur, sehingga diagnosis EED ditegakkan pada pasien ini. Pasien diterapi dengan dapson 100 mg setiap hari. Perbaikan klinis tampakpada hari ke-25 terapi, dengan

sebagian besar lesi yang menimbul menjadi makula hiperpigmentasi.

  Penyakit EED cenderung bersifat kronis dan berulang, terutama pada pasien dengan infeksi HIV. Banyakpenelitian menunjukkan keberhasilan terapi menggunakan dapson, dengan perbaikan klinis yang umumnya tampak setelah beberapa minggu atau beberapa bulan terapi. Dapson dapat pula mencegah Kata kunci:

pembentukan lesi baru pada pasien EED. (MDVI 2016:42/S: 46S-51S)

erythema elevatum diutinum, keloid, lobomikosis, dapson

  ABSTRACT Erythema elevatum diutinum (EED) is a rare variant of leukocytoclastic vasculitis. It is characterized by reddish to brownish papules, plaques, andnoduses, with symmetrically distributed on extensor surfaces. The etiology of EED is still unknown, but several studies have reported the association of EED with HIV infection.

  A case of EED mimicking lobomycosis in a 30-year-old woman with HIV infection was reported. Since three months ago, patient complained of multiple asymptomatic skin-colored noduses on both feet and soles. From physical examination, there were multiple noduses distributed over both feet and soles with smooth surfaces resembling keloids. Direct examination with potassium hydroxide solution and blue Parker® ink was negative, and no fungal growth was observed on fungal culture. The histopathological examination revealed leukocytoclastic vasculitis with infiltration ofneutrophils, therefore the diagnosis of EED was established. The patient was treated with 100 mg ofdapsone daily. On the 25k day of treatment, clinical improvement was seen as some lesions became hyperpigmentation macules.

  EED treatment is difficult because of the chronic and recurring course of the disease. Dapsone is considered as the first-line therapy for EED. Numerous reports have detailed clinical improvement following the initiation ofdapsone therapy. Complete healing of lesions generally occurs within weeks to months of starting therapy. Treatment with antiretroviral agents may be effective when combined with dapsone in patients with HIV infection. (MDVI 2016:42 /S: 46S -5 IS)

Keywords: erythema elevatum diutinum, keloid, lobomycosis, dapsone

  Korespondensi: Jl. Pasteur No. 38 - Bandung Telp: 022-2032426 Email: Email: fatimaaulia86@gmail.com

  FA Khairani, dkk

  Seorang perempuan, 30 tahun, janda, lulusan SMA, karyawan swasta, suku Sunda, beragama Islam, datang ke Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Hasan Sadikin (IK.KK RSHS) dengan keluhan utama benjolan-benjolan sewaraa kulit yang tidak terasa gatal maupun nyeri pada kedua punggung kaki dan kedua telapak kaki. Lebih kurang enam bulan sebelum berobat, timbul makula eritema pada kedua tungkai bawah dan kedua punggung kaki. Keluhan tidak disertai rasa gatal maupun nyeri. Pasien berobat ke dokter umum, tidak membaik. Dua bulan kemudian, timbul nodus sewarna kulit pada punggung kaki kanan yang tidak terasa gatal maupun nyeri. Nodus bertambah besar, bertambah banyak, meluas ke kedua punggung kaki dan kedua telapak kaki, serta sebagian pecah meninggalkan erosi. Kadang-kadang persendian kedua kaki terasa pegal. Pasien berobat ke spesialis penyakit kulit dan kelamin dan disarankan untuk dilakukan biopsi, tetapi pasien menolak. Pasien berobat ke dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin lain, diberikan obat oles berwarna putih, tidak lengket, dan tidak berbau, dalam kemasan tube yang dioleskan dua kali sehari, tidak membaik. Satu bulan kemudian, pasien kontrol kembali ke spesialis penyakit kulit dan kelamin yang sama, diberikan obat ketokonazol (pasien menyebutkan nama obatnya) yang diminum satu kali sehari selama satu bulan. Pasien lalu dirujuk ke RS. Hasan Sadikin. Tidak terdapat rwayat trauma, kontak dengan air, berkebun, maupun bercocok tanam. Riwayat bepergian ke daerah endemis. Riwayat keluhan serupa pada keluaga serumah. Pasien didiagnosis menderita infeksi HIV sejak dua tahun yang lalu dan berobat ARV secara teratur. Pada pemeriksaan umum tidak ditemukan kelainan. Status dermatologikus, didapatkan distribusi lesi regioner, pada kedua punggung kaki dan kedua telapak kaki tampak lesi multipel, sebagian konfluens, bentuk tidak teratur, ukuran 0,2x0,2x0,3 cm hingga 2x1,5x0,5 cm, batas sebagian tegas, sebagian menimbul, sebagian besar kering, berupa nodus, makula hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, skuama, dan krusta sanguinolenta (Gambar 1).

  PEMBAHASAN Erythema elevatum diutinum (BED) adalah varian

  kuantitatif 3,2 mg/dl. Pemeriksaan histopatologis ditinjau ulang dan terdapat gambaran vaskulitis leukositoklastik (Gambar 2), sehingga didiagnosis sebagai BED. Pasien terapi dengan dapson 100 mg setiap hari. Perbaikan klinis tampak pada hari ke-25 terapi, yaitu sebagian besar lesi menipis menjadi makula hiperpigmentasi (Gambar 3).

  O (ASTO) non reaktif, dan C-reactive protein (CRP)

  pertumbuhan jamur pada kulrur. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan hemoglobin (Hb) 11,5 g/dL, hematokrit (Ht) 35%, leukosit 4.400/mm3, eritrosit 3,88 juta/uL, trombosit 278.000/mni3, laju endap darah 91 mm/jam, anti streptolysin

  nontuberculous mycobacterium (NTM). Tidak didapatkan

  Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan pewarnaan Gram tidak ditemukan bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif. Pemeriksaan mikroskopis langsung dengan larutan kalium hidroksida 20% dan tinta Parker® biru tidak ditemukan elemen jamur. Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan bahwa tidak tampak spora jamur dan tidak tampak struktur granuloma. Pada pemeriksaan PCR tidak ditemukan deoxyribonucleic acid (DNA) Mycobacterium tuberculosis (M. tuberculosis) dan

  KASUS

  Erythema elevatum dmtmumyang menyerupai lobomikosis pada pasien HIV

  papul, nodus, yang awalnya soliter dan berkembang menjadi multipel maupun diseminata. Nodus menyerupai keloid adalah bentuk yang paling sering ditemukan. 13 Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan lobomikosis masih merupakan tantangan bagi para klinisi, disebabkan organisme L. loboi yang tidak dapat dikultur, serta terapi lobomikosis yang seringkali tidak memberikan hasil yang memuaskan. 14 Pemeriksaan histopatologis merupakan pemeriksaan baku emas untuk penegakan diagnosis lobomikosis, 13 dengan gambaran reaksi granulomatosa disertai banyak sel menyerupai ragi berdinding tebal, dapat berbentuk soliter atau dalam untaian. 11 ' 15 Berikut ini dilaporkan satu kasus BED yang menyerupai lobomikosis pada seorang perempuan berusia 30 tahun dengan infeksi HIV.

  loboi). 9 ' 12 Manifestasi klinis lobomikosis dapat berupa plak,

  Bentuk klinis BED menyerupai penyakit lain, dan perlu dipikirkan diagnosis banding dengan lobomikosis. Lobomikosis merupakan infeksi kulit dan jaringan subkutan kronis yang disebabkan oleh jamur Lacazia loboi (L.

  BED dapat berupa plak, papul, nodus berwarna kemerahan atau kecoklatan, 1 ' 5 ' 6 yang umumnya terletak simetris di daerah esktensor, terutama persendian anggota gerak. 1 ' 7 Penyebab BED belum diketahui secara pasti, diduga akibat penimbunan kompleks imum, 6 pada dinding pembuluh darah oleh infeksi Streptococcus, penyakit hematologi, atau autoimun. 1 ' 5 BED dilaporkan berhubungan pula dengan infeksi HIV, 4 " 6 dengan lesi yang umumnya berbentuk nodus mengenai telapak tangan atau telapak kaki. 6 Braun-Falco dkk. 8 menyebutkan bahwa hingga tahun 2007, bam dilaporkan sekitar 20 kasus BED berbentuk nodular pada pasien dengan infeksi HIV.

  (elevatum), dan bertahan lama (diutinum). 2 Gambaran klinis

  Penyakit erythema elevatum diutinum (BED) pertama kali diperkenalkan oleh Hutchinson pada tahun 1888. 1 " 4 Istilah BED berasal dari manifestasi utama penyakit ini, yaitu lesi kulit berwarna kemerahan (erythema), menimbul

  PENDAHULUAN

  vaskulitis leukositoklastik yang kronis dan jarang terjadi, ditandai dengan plak, papul, atau nodus kemerahan hingga keunguan. 1 ' 3 Insidensi BED pada laki-laki sama dengan perempuan,4 dan awitan paling sering pada usia 30-60 tahun. 1 ' 2 Usia awitan BED pada perempuan biasanya lebih dini. 2 Lesi BED terletak simetris di permukaan ekstensor

   Efek iritasi deterjen cair pencuci alat makan kajian berdasarkan

MDVI Vol. 42 No. Suplemen Tahun 2015, 48S-53S

  kedua tangan, kedua kaki, kedua lutut, dan kedua tungkai bawah, 2 ' 24 tetapi dapat pula mengenai daerah lain, misalnya batang tubuh, daerah retroaurikular, telapak tangan, dan telapak kaki. 2 Lesi awal BED dapat berupa purpura atau petekie, yang berkembang menjadi nodus keras berbentuk bulat hingga lonjong. Nodus pada BED memiliki permukaan halus dan mudah digerakkan dari jaringan di bawahnya, dengan bentuk nodus yang dapat menyerupai keloid. Vesikel, erosi, maupun ulserasi dapat pula ditemukan. 4 Gejala BED umumnya tanpa gejala sistemik dan bersifat asimptomatik. 2 ' 4 Meskipun demikian, nyeri sendi merupakan gejala sistemik yang sering pada pasien BED. 2 Khrishnan dkk. 4 pada tahun 2001 melaporkan satu kasus BED pada seorang laki-laki berusia 53 tahun dengan gambaran klinis berupa nodus menyerupai keloid yang luas di kedua lutut, kedua kaki, kedua siku, dan kedua tangan, disertai gatal dan nyeri pada persendian jari-jari tangan. Diagnosis BED ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologis. 4 Oleh karena lesi mirip keloid, pasien ini pada awalnya didiagnosis banding dengan keloid dan lobomikosis, namun dengan pemeriksaan penunjang dapat disingkirkan.

  Kasus ini, pasien adalah seorang perempuan berusia 30 tahun, yang sesuai dengan awitan BED. Gejala klinis yang ditemukan serupa dengan BED, yaitu nodus-nodus berwarna kemerahan hingga keunguan di kedua kaki dan telapak kaki kiri. Nodus pada pasien ini menyerupai keloid, dengan permukaan yang halus, serta mudah digerakkan dari jaringan di bawahnya. Sebagian nodus pecah meninggalkan erosi. Hasil pemeriksaan histopatologis tidak menunjukkan spora jamur dan tidak tampak struktur granuloma. Pada kultur tidak didapatkan pertumbuhan jamur. Pada pengamatan hari-44, pasien mengeluh nyeri di persendian kedua kaki, tanpa gatal maupun nyeri. Gejala nyeri sendi merupakan gejala sistemik yang paling sering ditemukan pada pasien BED. 2 Pada pemeriksaan darah ditemukan peningkatan laju endap darah yaitu 91 mm/jam. Gambaran histopatologis awal lesi BED menunjukkangambaran vaskulitis leukositoklastik, 2 ' 6 dengan infiltrasi neutrofil, deposit fibrin, dan kerusakan dinding pembuluh darah. Pada lesi yang lebih lanjut, dapat ditemukan jaringan fibrosis perivaskular (onion-peel

  appearance) dan proliferasi pembuluh darah, 7

  serta hanya ditemukan sedikit gambaran vaskulitis leukositoklastik. 2 Pada pasien ini, hasil tinjau ulang menunjukkan proliferasi pembuluh darah dengan plump endothelial cell. Pada salah satu bagian, tampak dinding menebal dengan sebagian menyerupai onion skin. Di sekitar dinding pembuluh darah, tampak serbukan masif sel radang neutrofil yang memberikan gambaran vaskulitis leukositoklastik. Oleh karena itu, berdasarkan gejala klinis serta pemeriksaan histopatologis, diagnosis kerja pada pasien ini menjadi BED.

  Etiologi BED masih diperdebatkan, 1 dan patogenesisnya belum diketahui secara pasti. 4 ' 6 Penyakit infeksi, autoimun, dan keganasan, diperkirakan berhubungan dengan kejadian BED. Infeksi bakteri yang berulang, misalnya infeksi Streptococcus, dapat memicu reaksi imun. 5 Penyakit BED diawali dengan penimbunan kompleks imun di pembuluh darah kecil yang akan mengaktivasi komplemen, sehingga terjadi migrasi neutrofil ke pembuluh darah. Enzim yang dihasilkan neutrofil menyebabkan kerusakan pembuluh darah. 4 Pada pasien BED biasanya ditemukan peningkatan LED dan CRP pada pemeriksaan darah. 2 Dari hasil pemeriksaan darah pasien ini, ditemukan peningkatan LED yaitu 91 mm/jam, sedangkan nilai CRP masih dalam batas normal. Hasil pemeriksaan ASTO non reaktif, sehingga infeksi Streptococcus dapat disingkirkan sebagai pemicu BED pada pasien ini.

  Beberapa kasus BED dilaporkan berhubungan dengan infeksi HIV. 5 ' 6 ' 8 Interaksi antigen HIV dan antibodi dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Selain itu, kondisi imunosupresi yang dialami pasien HIV menyebabkan pasien lebih rentan terhadap infeksi lain, yang dapat menjadi stimulus antigenik terjadinya BED. 1 Fakheri dkk. 5 menyebutkan bahwa BED yang disertai infeksi HIV umumnya dialami pada usia lebih dini, dengan rentang usia

  22-58 tahun. Penyakit BED biasanya mengenai pasien HIV dengan nilai rerata CD4 berkisar ISlxlOe/L (dengan rentang 112 sampai dengan 314xlOe/L), tetapi BED pernah dilaporkan pula pada pasien dengan nilai CD4 normal. 5 Pada pasien ini, nilai CD4 terakhir pada bulan November 2014 sebesar 242 sel/|iL.

  Rao dkk. 16 pada tahun 2014 di India melaporkan satu kasus BED pada seorang perempuan 52 tahun dengan infeksi HIV yang telah mengonsumsi obat ARV selama tujuh tahun.

  Pemeriksaan fisik, menunjukkan nodus-nodus kemerahan di kedua kaki, kedua telapak kaki, kedua lutut, serta kedua siku. Sebagian besar lesi tidak terasa nyeri dan tersebar simetris. Lesi tidak ditemukan di bagian tubuh lain, maupun di mukosa. Diagnosis BED pada kasus tersebut ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis. Kasus lain dilaporkan oleh Rover dkk. 1 pada tahun 2005 di Brazil, yaitu satu kasus BED sebagai manifestasi klinis awal infeksi HIV pada seorang laki-laki berusia 48 tahun. 1 Pengobatan BED sulit karena penyakit ini bersifat kronis dan dapat berulang. 2 ' 6 Dapson merupakan obat pilihan utama pada pengobatan BED. 2 ' 5 ' 7 Mekanisme kerja dapson pada BED belum diketahui secara pasti, tetapi dapson diketahui dapat menstabilisasi lisosom neutrofil, mencegah

  FA Khairani, dkk

  Erythema elevatum dmtmumyang menyerupai lobomikosis pada pasien HIV

   Efek iritasi deterjen cair pencuci alat makan kajian berdasarkan

MDVI Vol. 42 No. Suplemen Tahun 2015, 48S-53S

  FA Khairani, dkk

  Erythema elevatum dmtmumyang menyerupai lobomikosis pada pasien HIV penimbunan komplemen, menghambat mieloperoksidase, dan menghambat integrin-mediated neutrophil

DAFTAR PUSTAKA

  terapi menggunakan dapson, dengan perbaikan klinis yang umumnya tampak setelah beberapa minggu atau beberapa bulan sejak awal terapi. 4 Dapson dapat pula mencegah terbentuknya lesi baru pada pasien BED. 8 Namun, gejala klinis BED bisa beralang setelah terapi dapson dihentikan. 4 ' 6 Selain itu, lesi dengan stadium fibrosis biasanya lebih sulit berespons terhadap terapi. 8 Terapi lain yang dapat digunakan untuk pengobatan BED adalah niasinamid, tetrasiklin, kolkisin, kortikosteroid intralesi, kortikosteroid topikal, dan kortikosteroid oral. 6 Kharkar dkk. 7 pada tahun 2011 di India melaporkan satu kasus BED pada seorang perempuan berusia 35 tahun yang berhasil diterapi dengan dapson. Dapson diberikan dengan dosis 100 mg/hari. Perbaikan klinis tampak pada akhir bulan ke-6 terapi berupa nodus yang semakin mengecil. Rosa dkk. 2 pada tahun 2012 melaporkan kasus

  1009-10 9. Elsayed S, Kuhn SM. Human case of lobomycosis. Emerging infectious diseases. 2004;10(4):715-8 10. Papadavid E, Dalamaga M, Kapniari I. Lobomycosis: a case from southeastern europe and review of the literature. J Dermatol

  16. Rao GR, Joshi R. Nodusar erythema elevatum diutinum mimicking kaposi's sarcoma in a human immunodeficiency virus infected patient. Indian J Dermatol. 2014;59(6):592-4.

  15. Al-Daraji WI. Cutaneous lobomycosis: a delayed diagnosis. Am J Dermatopathol. 2008;30(6):575-8

  2012;55:298-309

  14. Paniz-Mondolfi A, Talhari C, Hoffmann LS. Lobomycosis: an emerging disease in humans and delphinidae. Mycoses.

  Emerging Infectious Diseases. 2009;15(8):1301-3

  13. Bermudez L, Van Bressem MF. Lobomycosis in man and lobomycosis-like disease in bottlenose dolphin, Venezuela.

  12. Bustamante B, Seas C. Case report: lobomycosis successfully treated with posaconazole. Am J Trop Med. 2013;88(6):1207-8

  11. Arju R, Kothanda JP. Jorge Lobo's disease: a case of keloidal blastomycosis (lobomycosis) in a nonendemic area. Ther Adv Infect Dis. 2014;2(3):91-6

  Case Rep. 2012;6(3):65-9

  7. Kharkar V, Gutte R, Mahajan S. Isolated unilateral erythema elevatum diutinum: a case report. Egypt Dermatol Online J. 2011;7(2):l-6 8. Braun-Falco M, Hoffman H. An HIV-positive man with slowly enlarging noduses on the extremities. Clin Infect Dis. 2007;44(7):

  BED lain pada seorang perempuan berusia 18 tahun yang diterapi dengan dapson 100 mg/hari dan prednison 20 mg/hari. Perbaikan klinis tampak pada akhir bulan ketiga terapi, berupa sebagian lesi yang menyembuh meninggalkan makula hiperpigmentasi. Pada kasus ini, pasien diberi terapi dapson 100 mg/hari. Pada hari ke-25 terapi dapson, tampak perbaikan klinis, yaitu beberapa lesi semakin mengecil dan tidak timbul lesi baru.

  adherence?** Banyak penelitian menunjukkan keberhasilan

  5. Fakheri A, Gupta SM, White SM. Erythema elevatum diutinum in a patient with human immunodeficiency virus. Cutis.

  2001;67:381-5

  4. Krishnan RS, Hwang LY. Erythema elevatum diutinum mimicking extensive keloids. Continuing medical education.

  3. Comfere NI, Gibson LE. Erythema elevatum diutinum. Dalam: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. him. 2029-33

  Bras Reumatol. 2012;52(2):288-294

  1. Rover PA, Bittencourt C, Discacciatii MP. Erythema elevatum diutinum as a first clinical manifestation for diagnosing HIV infection: case history. Sao Paulo Med J. 2005;123(4):201-3 2. Rosa DJ, Machado RF, Fraga RO. Erythema elevatum diutinum as a differential diagnosis of rheumatic diseases: case report. Rev

  ARV seumur hidup. Meskipun pada pasien ini tampak perbaikan klinis dengan pemberian dapson, namun masih tetap ada kemungkinan kambuh kembali.

  Penyakit BED biasanya tidak disertai keterlibatan sistemik. 2 ' 4 Pada pasien ini, tidak ditemukan keterlibatan sistemik serta keadaan umum dalam batas normal. Meskipun disertai infeksi HIV, tetapi pasien mengonsumsi ARV secara teratur. Perbaikan klinis penyakit BED dapat berupa makula hiperpigmentasi disertai atrofi, dan dapat mengganggu fungsi estetik kulit2pada pasien ini. Penyakit BED cenderung bersifat kronis dan berulang, 2 - 6 terutama pada pasien dengan infeksi HIV. 4 Pasien juga harus mengonsumsi

  2001;68(l):41-2 6. Gibson LE, El-Azharu RA. Erythema elevatum diutinum. Clin Dermatol. 2000;18:295-99