ASAL USUL tarekat sufi BANYUWANGI

ASAL – USUL BANYUWANGI
Di bawah ini adalah sebuah kisah (dongeng) asal mula dari nama Banyuwangi, salah satu
kabupaten di Jawa Timur. Selamat membaca:
Di pantai Timur Pulau Jawa ada sebuah kerajaan yang diperintah Prabu Menak Prakosa. Ia
mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Sri Baginda tersebut mempunyai seorang anak lakilaki yang gagah, cakap, dan bagus parasnya. Nama anak raja tersebut adalah Raden Banterang.
Raden Banterang menjadi putera mahkota yang kelak menggantikan ayahnya sebagai raja. Ia,
Raden Banterang sangat dicintai dan dihormati rakyatnya. Sayangnya, ia mudah marah,
bahkan sering memberikan hukuman yang berat kepada rakyatnya bila tidak mengikuti
perintahnya.
Pada suatu hari, Raden Banterang berburu binatang dengan disertai beberapa pengiringnya.
Dalam perburuan tersebut, Raden Banterang berpisah dengan pengiringnya. Ia berjalan
seorang diri dan sampailah ia di sebuah sungai. Di tepi sungai tersebut, terlihatlah seorang
gadis cantik sedang memetik bunga. Raden Banterang sangat tertarik oleh kecantikannya.
Ia bertanya dalam hati, "Mimpikah aku ini? Mengapa gadis cantik itu seorang diri dalam
hutan?"
Bertanyalah Raden Banterang kepada gadis tersebut, "Wahai, puteri yang cantik. Manusia atau
dewikah? Mengapa tuan puteri berada di tempat ini seorang diri?"
Gadis itu sangat terkejut, ia tidak menyangka akan ada orang lain yang mengetahuinya. Gadis
cantik itu pun lalu menjawab, "Saya manusia biasa, sama sekali bukan dewi. Saya berada di
sini karena takut akan serangan musuh. Beberapa waktu lalu kerajaan kami diserang oleh
kerajaan lain. Ayah saya gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan. Sejak saat itu saya

mengembara seorang diri sampai di tempat ini."
"Benarkah tuan puteri adalah puteri Raja Klungkung?" tanya Raden Banterang. "Benar, yang
tuan katakan. Saya adalah Surati puteri raja Klungkung yang gugur itu."
Raden Banterang diam beberapa saat, ia tahu bahwa yang menyerang kerajaan Klungkung
adalah ayahnya sendiri. Mendengar berita tersebut rasa iba tumbuh dalam hati Raden
Banterang. Selanjutnya puteri Raja Klungkung yang bernama Surati dibawa ke istana. Tidak
berapa lama kedua putera raja tersebut menikah.
Rakyat gembira sekali karena Raden Banterang mendapat isteri yang benar-benar elok dan
baik budi pekerti. Berkat keluhuran budi Surati, sifat pemarah yang ada pada diri Raden
Banterang berangsur-angsur hilang. Suatu saat tatkala Surati berjalan-jalan di luar istana,
bertemulah dengan seorang laki-laki yang pakaiannya compang-camping.
Laki-laki itu berteriak, "Surati! Surati!"
Alangkah terkejutnya Surati mendengar teguran itu. Dipandangnya lama sekali laki-laki
tersebut. Akhirnya, ingatlah bahwa laki-laki itu adalah kakak kandungnya. Sama sekali ia tidak
menyangka bahwa kakaknya masih hidup.

Jawab Surati, "Aduh, kakanda tercinta! Adinda tidak menyangka saat ini dapat berjumpa
dengan kakanda. Adinda menyangka bahwa kakanda telah gugur bersama ayahanda. Kiranya
Tuhan masih memberi perlindungan kepada kita berdua."
"Surati! Engkau tidak tahu malu mau diperisteri oleh orang yang telah membunuh ayah kita.

Sekarang saya hendak menuntut balas atas kematian ayah kita. Maukah engkau membantuku?"
Jawab Surati, "Maaf kakanda, adinda telah berhutang budi kepadanya. Dia telah
menyelamatkan adinda dari penderitaan. Maaf, sekali lagi, adinda tidak dapat mengabulkan
permintaan kakanda."
Si kakak kandung nampak kecewa dengan jawaban Dewi Surati.
Pada
suatu
hari,
Raden
Banterang
sedang
berburu,
tatkala sedang mengejar kijang,
datang
seorang
pengemis
mendekatinya. Kata pengemis
tersebut,
"Tuanku
Raden

Banterang, sejak tadi hamba
mencari
Tuanku.
Tuanku
terancam oleh bahaya maut yang
direncanakan oleh permaisuri
Tuanku.
Tadi pagi hamba mendengar
percakapan permaisuri Tuanku
lustrasi/Gambar bersumber dari Google
dengan kakak ipar Tuanku
tentang rencana mereka untuk
menuntut balas kematian ayahnya. Kalau tidak percaya, di bawah peraduan permaisuri ada
sebilah keris pusaka." Setelah berkata demikian, pengemis itu menghilang. Terkejutlah Raden
Banterang mendengar laporan pengemis tersebut.
Bergegaslah pulang Raden Banterang ke istana. Sesampai di istana, ia langsung menuju
peraduan permaisuri untuk meyakinkan benar tidaknya keterangan pengemis. Alangkah panas
hati dan kecewanya Raden Banterang, karena yang diceritakan pengemis tadi benar, di bawah
peraduan Puteri Surati ditemukan senjata pusaka kerajaan Klungkung.
Kemarahan Raden Banterang tak bisa ditahan. Diajaknya isterinya ke muara sebuah sungai.

Sesampai di muara sungai, Raden Banterang menceritakan semua yang didengarnya dari
seorang pengemis tatkala sedang berburu di hutan.
Raden Banterang menanyakan dengan nada kemarahan, "Itukah balasanmu kepada
kebaikanku?"
Jawab permaisuri, "Adinda berani bersumpah, sekali-kali adinda tidak melakukan seperti yang
kakanda tuduhkan."
"Diam, pendusta!", gertak Raden Banterang sambil memperlihatkan keris yang ditemukan.

"Kakanda Raden Banterang! Itu memang pusaka ayahanda Raja Klungkung. Tapi demi
Dewata Yang Agung, pusaka itu hanya dipegang oleh kakak hamba. Hamba tidak mengerti
mengapa sekarang berada di tangan kakanda Raden Banterang. Adinda berani bersumpah
bahwa hamba adalah isteri yang setia. Memang kakak adinda datang menemui adinda, tetapi
hanya sampai di pintu gerbang istana. Dia minta agar adinda mau membantu kakak dalam
melaksanakan niatnya menuntut balas atas kematian ayah kami. Tetapi permintaannya itu
adinda tolak."
Raden Banterang tetap tidak percaya atas keterangan isterinya. Ia yakin, isterinya termasuk
salah seorang yang menaruh dendam. Maka dihunusnya keris yang terselip di pinggangnya.
"Baiklah jika kakanda... jika kakanda tidak mempercayai adinda maka adinda bersedia
menemui ajal di sungai ini. Tetapi harap kakanda camkan, bahwa jika nanti sungai ini berbau
wangi berarti adinda tidak bersalah, jika sungai ini berbau busuk memanglah adinda bersalah."

Sebelum keris itu ditikamkan kepada isterinya, Surati melompat ke sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai.
Melihat kejadian itu,.Raden Banterang berseru dengan suara yang gemetar, "Banyuwangi...!
Isteriku tidak berdosa."
"Banyuwangi...!" teriak seorang pengemis hampir bersamaan. "Hai, Raden Banterang! Aku
adalah kakaknya. Isterimu memang tidak berdosa. Ia menolak membantuku untuk
membunuhmu. Banyuwangi..., itulah tanda cinta sucinya."
Setelah selesai berkata, pengemis itu pun menghilang. Raden Banterang terburu nafsu tanpa
menyelidikinya dengan cermat. Ia kecewa, ternyata perbuatannya membawa maut bagi
permaisuri tercinta. Sampai sekarang tempat permaisuri menghilang dalam dasar sungai
disebut Banyuwangi. Banyu artinya air, dan wangi berarti harum.

Pesan moral:
-Janganlah mudah
mempercayai kata-kata
orang,karena belum pasti itu
benar.
-Sebagai pemimpin
janganlah suka memaksakan
kehendak sendiri dan

menindas yang kecil.
Keunikan cerita:
Ternyata nama Banyuwangi
ada karena bukti setia
seorang istri pada suaminya.
DAMAR WULAN DAN MINAK JINGGA

Minakjingga adalah Adipati Blambangan yang memiliki kesaktian tinggi. Suatu ketika, ia berencana untuk
memberontak pada Kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh seorang raja perempuan yang cantik jelita
bernama Ratu Ayu Kencana Wungu. Sang Ratu kemudian mengadakan sayembara untuk menangkal ancaman
dari Minakjingga. Salah seorang dari peserta sayembara ini adalah seorang pemuda bernama Damarwulan.
Berhasilkah Damarwulan mengalahkan Minakjingga? Simak kisahnya dalam cerita Damarwulan dan
Minakjingga berikut ini!

Tersebutlah seorang ratu bernama Dewi Suhita yang bergelar Ratu Ayu Kencana Wungu. Ia adalah penguasa
Kerajaan Majapahit yang ke-6. Pada era pemerintahannya, Majapahit berhasil menaklukkan banyak daerah
yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan kerajaan yang berpusat di Trowulan, Jawa
Timur, itu. Salah satu kerajaan kecil yang menjadi taklukan Majapahit adalah Kerajaan Blambangan yang
terletak di Banyuwangi. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang bangsawan dari Klungkung, Bali, bernama
Adipati Kebo Marcuet. Adipati ini terkenal sakti dan memiliki sepasang tanduk di kepalanya seperti kerbau.

Keberadaan Adipati Kebo Marcuet ternyata menghadirkan ancaman bagi Ratu Ayu Kencana Wungu.
Meskipun hanya seorang raja taklukan, namun sepak terjang Adipati Kebo Marcuet yang terus-menerus
merongrong wilayah kekuasaan Majapahit membuat Ratu Ayu Kencana Wungu cemas. Ratu Majapahit itu pun
berupaya menghentikan ulah Adipati Kebo Marcuet dengan mengadakan sebuah sayembara.
“Barangsiapa yang mampu mengalahkan Adipati Kebo Marcuet, maka dia akan kuangkat menjadi Adipati
Blambangan dan kujadikan sebagai suami,” demikian maklumat Ratu Ayu Kencana Wungu yang dibacakan di
hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sayembara itu diikuti oleh puluhan orang, namun semua gagal mengalahkan kesaktian Adipati Kebo Marcuet.
Hingga datanglah seorang pemuda tampan dan gagah bernama Jaka Umbaran yang berasal dari Pasuruan. Ia
adalah cucu Ki Ajah Pamengger yang merupakan guru sekaligus ayah angkat Adipati Kebo Marcuet. Rupanya,
Jaka Umbaran mengetahui kelemahan Adipati Kebo Marcuet. Maka, dengan senjata pusakanya gada wesi
kuning (gada yang terbuat dari kuningan), dan dibantu oleh seorang pemanjat kelapa yang sakti bernama
Dayun, Jaka Umbaran berhasil mengalahkan Adipati Kebo Marcuet.
Ratu Ayu Kencana Wungu sangat gembira dengan kekalahan Adipati Kebo Marcuet. Ia pun menobatkan Jaka
Umbaran menjadi Adipati Blambangan dengan gelar Minakjingga. Akan tetapi, Ratu Ayu Kencana Ungu
menolak menikah dengan Jaka Umbaran karena pemuda itu kini tidak lagi tampan. Akibat pertarungannya
dengan Adipati Kebo Marcuet, wajah Jaka Umbaran yang semula rupawan menjadi rusak, kakinya pincang,
dan badannya menjadi bongkok.

Jaka Umbaran alias Minakjingga tetap bersikeras menagih janji. Ia datang ke Majapahit untuk melamar Ratu

Ayu Kencana Wungu meskipun pada saat itu ia telah memiliki dua selir bernama Dewi Wahita dan Dewi
Puyengan. Lamaran Minakjingga bertepuk sebelah tangan karena sang Ratu tetap tidak sudi menikah
dengannya.
Penolakan itu membuat Minakjingga murka dan memendam dendam kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Untuk melampiaskan kemarahannya, Minakjingga merebut beberapa wilayah kekuasaan Majapahit sampai ke
Probolinggo. Tidak hanya itu, Minakjingga pun berniat untuk menyerang Majapahit. Ratu Ayu Kencana
Wungu sangat khawatir ketika mendengar bahwa Minakjingga ingin menyerang kerajaannya. Maka, ia pun
kembali menggelar sayembara.
“Barangsiapa yang berhasil membinasakan Minakjingga akan kujadikan suamiku!” ucap Ratu Ayu Kencana
Wungu di hadapan seluruh rakyat Majapahit.
Sekali lagi, puluhan pemuda turut serta dalam sayembara tersebut, namun tidak ada satu pun yang berhasil
mengungguli kesaktian Minakjingga. Hal ini membuat sang Ratu semakin cemas. Saat kekhawatiran sang
Ratu semakin besar, datanglah seorang pemuda tampan bernama Damarwulan. Ia adalah putra Patih Udara,
patih Majapahit yang sedang pergi bertapa. Saat itu Damarwulan sedang bekerja sebagai perawat kuda milik
Patih Logender, seorang patih Majapahit yang ditunjuk untuk menggantikan kedudukan ayah Damarwulan.
Di hadapan sang Ratu, Damarwulan menyampaikan keinginannya mengikuti sayembara untuk mengalahkan
Minakjingga.
“Ampun, Gusti Ratu! Jika diperkenankan, izinkanlah hamba mengikuti sayembara,” pinta Damarwulan.
“Tentu saja, Damarwulan. Bawalah kepala Minakjingga ke hadapanku!” titah sang Ratu.
“Baik, Gusti,” kata pemuda itu seraya berpamitan.

Berangkatlah Damarwulan ke Blambangan untuk menantang Minakjingga.
“Hai, Minakjingga! Jika berani, lawanlah aku!” seru Damarwulan setiba di Blambangan.
“Siapa kamu?” tanya Minakjingga, “Berani-beraninya menantang aku.”
“Ketahuilah, hai pemberontak! Aku Damarwulan yang diutus oleh Ratu Ayu Kencana Wungu untuk
membinasakanmu,” jawab Damarwulan.
“Ha… Ha… Ha…!” Minakjingga tertawa terbahak-bahak, “Sia-sia saja kamu ke sini, Damarwulan. Kamu
tidak akan mampu menghadapi kesaktian senjata pusakaku, gada wesi kuning!”
Pertarungan sengit antara dua pendekar sakti itu pun terjadi. Keduanya silih-berganti menyerang. Namun,
akhirnya Damarwulan kalah dalam pertarungan itu hingga pingsan terkena pusaka gada wesi kuning milik
Minakjingga. Damarwulan pun dimasukkan ke dalam penjara.
Rupanya, kedua selir Minakjingga, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan, terpikat melihat ketampanan
Damarwulan. Mereka pun secara diam-diam mengobati luka pemuda itu. Bahkan, mereka juga membuka
rahasia kesaktian Minakjingga.
“Kekuatan Minakjingga terletak pada gada wesi kuning. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa sejata itu,”
kata Dewi Wahita.
“Benar. Jika ingin mengalahkan Minakjingga, Anda harus merampas pusakanya,” tambah Dewi Puyengan.
“Lalu, bagaimana aku bisa merebut senjata pusaka itu?” tanya Damarwulan.

“Kami akan membantumu mendapatkan senjata itu,” janji kedua selir Minakjingga itu.
Pada malam harinya, Dewi Sahita dan Dewi Puyengan mencuri pusaka gada wesi kuning saat Minakjingga

terlelap. Pusaka itu kemudian mereka berikan kepada Damarwulan. Setelah memiliki senjata itu, Damarwulan
pun kembali menantang Minakjingga untuk bertarung. Alangkah terkejutnya Minakjingga saat melihat sejata
pusakanya ada di tangan Damarwulan.
“Hai, Damarwulan! Bagaimana kamu bisa mendapatkan senjataku?” tanya Minakjingga heran.
Damarwulan tidak menjawab. Ia segera menyerang Minakjingga dengan senjata gada wesi kuning yang ada di
tangannya. Minakjingga pun tidak bisa melakukan perlawanan sehingga dapat dengan mudah dikalahkan.
Akhirnya, Adipati Blambangan itu tewas oleh senjata pusakanya sendiri. Damarwulan memenggal kepada
Minakjingga untuk dipersembahkan kepada Ratu Ayu Kencana Wungu.
Dalam perjalanan menuju Majapahit, Damarwulan dihadang oleh Layang Seta dan Layang Kumitir. Kedua
orang yang bersaudara itu adalah putra Patih Logender. Rupanya, mereka diam-diam mengikuti Damarwulan
ke Blambangan. Saat melihat Damarwulan berhasil mengalahkan Minakjingga, mereka hendak merebut
kepala Minakjingga agar diakui sebagai pemenang sayembara.
“Hai, Damarwulan! Serahkan kepala Minakjingga itu kepada kami!” seru Layang Seta.
Damarwulan tentu saja menolak permintaan itu. Pertarungan pun tak terelakkan. Layang Seta dan Layang
Kumitir mengeroyok Damarwulan dan berhasil merebut kepala Minakjingga. Kepala itu kemudian mereka
bawa ke Majapahit. Pada saat mereka hendak mempersembahkan kepala itu kepada sang Ratu, tiba-tiba
Damarwulan datang dan segera menyampaikan kebenaran.
“Ampun, Gusti! Hamba telah berhasil menjalankan tugas dengan baik. Namun, di tengah jalan, tiba-tiba
Layang Seta dan Layang Kumitir menghadang hamba dan merebut kepala itu dari tangan hamba,” lapor
Damarwulan.

“Ampun, Gusti! Perkataan Damarwulan itu bohong belaka. Kamilah yang telah memenggal kepala
Minakjingga,” sanggah Layang Seta.
Pertengkaran antara kedua pihak pun semakin memanas. Mereka sama-sama mengaku yang telah memenggal
kepala Minakjingga. Ratu Ayu Kencana Wungu pun menjadi bingung. Ia tidak dapat menenentukan siapa di
antara mereka yang benar. Maka, sebagai jalan keluarnya, penguasa Majapahit itu meminta kedua belah pihak
untuk bertarung.
“Sudahlah, kalian tidak usah bertengkar lagi!” ujar Ratu Ayu Kencana, “Sekarang aku ingin bukti yang jelas.
Bertarunglah kalian, siapa yang berhasil menjadi pemenangnya pastilah ia yang telah membinasakan
Minakjingga.”
Akhirnya, mereka pun bertarung. Kali ini, Damarwulan lebih berhati-hati menghadapi kedua putra Patih
Logender itu. Ia harus membuktikan kepada sang Ratu bahwa dirinyalah yang benar. Demikian pula Layang
Seta dan Layang Kumitir, mereka tidak ingin kebohongan mereka terbongkar di hadapan sang Ratu.
Dengan disaksikan oleh sang Ratu dan seluruh rakyat Majapahit, pertarungan itu pun berlangsung sangat seru.
Kedua belah pihak mengeluarkan seluruh kekuatan masing-masing demi memenangkan pertandingan.
Pertarungan itu akhirnya dimenangkan oleh Damarwulan. Layang Seta dan Layang Kumitir pun mengakui
kesalahan mereka dan dimasukkan ke penjara, sedangkan Damarwulan pun berhak menikah dengan Ratu Ayu
Kencana Wungu.
Demikian cerita Damarwulan dan Minakjingga dari Banyuwangi, Jawa Timur. Kisah ini terus berkembang
menjadi cerita rakyat dengan berbagai versi. Terlepas dari itu, cerita ini juga dikisahkan dalam bentuk sastra
seperti dalam Serat Kanda, Serat Damarwulan, Serat Blambangan, dan sebagainya. Cerita tentang
Damarwulan dan Minakjingga juga menjadi tema pertunjukan dalam pementasan teater rakyat Jawa Timur.
Bahkan, legenda Damarwulan dan Minakjingga ini telah diangkat dalam film layar lebar.

Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook

TELAGA PASIR

Pada Suatu Hari di suatu tempat di daerah kaki Gunung lawu daerah Magetan Jawa Timur hiduplah suami istri
bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir, Mereka adalah sepasang suami istri yang tinggal di sebuah gubung di tepi
hutan. meskipun terbuat dari kayu dan beratap dedaunan namun gubuk mungil itu sudah jukup aman bagi
kiyai Pasir dan istrinya. dari gangguan binatang liar dan panasnya terik matahari, dinding gubuk itu terbuat
dari kulit kayu yang di ikatkan pada sebuah tiang kayu dengan menggunakan rotan. diantara dinding-dinding
kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar masuk kedalam gubuk yg
mereka tempati itu.
Kyai Pasir adalah seorang petani ladang dari hasil ladang itulah ia dan istrinya bisa hidup, walaupun dengan
hidup seadanya. ladang milik Kyai pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya, suatu hari,
lelaki tua yg mulai renta itu berangkat keladang dengan mebawa sebuah kapak untuk membabat hutan dan
hendak membua ladang baru di dekat ladang miliknya. ketika hendak menebang selah satu pohon besar, tibatiba Kyai Pasir melihat sebuah telur besa ter geletak di bawah pohon yang hedak ia tebang itu.
Haaa... telur binatang apa ini gumamnya dengan heran dan kyai Pasir sangat penasaran melihat telur besar itu.
dan diambilah telur besar itu seraya diamatinya.
Ah... tidak mukin kalo telur ayam, mana mukin telur ayam sebesar ini lagi pula tidak ada ayam di daerah ini''
Kyai pasir ia tidak mau memikirkan itu binatang apa, baginya, itu adalah lauk makan siang oleh karnanya ia
pun bergegas membawa telur itu untuk lauk makan siang ia dan istrinya.

Setelah sampai di rumah ia pun segera menyuruh istrinya, Bu'' tolong masakin telur itu untuk lauk makan
siang kita..'' ujar Kyai Pasir.
Wah, besar sekali telur ini, baru pertama kali ini aku melihat telur sebesar ini'' ujar Nyai Pasir dengan heran
saat menerima telur itu.. dari mana telur ini pak tanya Nyai pasir pada suaminya.
Kyai pasir pun bercerita bagaimana ia menemukan telur itu, setelah itu ia pun kembali meminta untuk segera
memasak telur itu karena sudah kelaparan, ia juga tidak sabar ingin segera menyantap telur itu.
ini telur binatang apa pak'' tanya istrinya.
Sudah lah Bu, tidak usah banyak tanya ujar kyai pasir mulai kesel, cepatlah masak telur itu perutku sudah
keroncongan.!
Nyai Pasir pun segera kedapur untuk segera memasak telur itu, smbil menunggu telur matang, Kyai pasir pun
sambil berabah tubuhnya sejenak karena merasa kecapekan, tak berapa lama isterinya pun selalsai memasak
telurnya.
Pak hidangan makan siang telah siap, kita makan dulu, ujar Nyi Pasir.
Kyai pasir pun beranjak dari tidurnya, ia dan isterinya pun segera menyantap telur itu dengan lahap,
telur rebus itu pun mereka bagi dua sama rata, usai makan siang ia pun kembali kehutan untuk melanjutkan
pekerjaannya, ditengah perjalanan ia pun masih merasakan nikmatnya telur rebus tadi, setelah sesampai
diladang, sekujur tubuhnya kaku dan merasa kesakitan.
aduhhh.. kenapa sekujur tubuhku merasa sakit seperti ini'' ratap Kyai Pasir.
semakin lama rasa sakit ditubuhnya semakin menjadi-jadi, Kyai pasir pun tidak kuat menahan rasa sakit itu
sehingga rebah ketanah dan berguling-guling kesana kemari, selang beberapa saat kemudian tubuhnya berubah
menjadi seekor ular naga besar, sungutnya sangat tajam dan keras Kyai pasir yg berubah menjadi seekor naga
jantan pun terus berguling-guling tanpa henti.
pada saat yg bersamaan Nyai Pasir yg berada di rumah pun mengalami nasib yg sama.
rupanya telur yg telah makan tadi adalah sebuah telur naga, Nyai pasir yg telah merasa kan kesakitan pun
segera berlari keladang untuk minta tolong kepada suaminya. alangkah terkejutnya setelah ia tiba diladang, ia
mendapati suaminya yg telah berubah menjadi naga yg sangat menakutkan, ia pun segera berlari merasa
ketakutan, namun karena tidak sanggup lagi menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya Nyai pasir pun ahirnya
rebah dan berguling-guling ditanah, tak lama kemudian hingga ahirnya sekujur tubuhnya di tumbuhi sisik dan
menjadi naga betina.
kedua naga berguling-guling sehingga tanah disekitarnya berserakan dan membentuk cekung seperti habis
digali, lama kelamaan cekungan tanah itu pun menjadi luas dan dalam. kemudian muncul sebuah semburan air
yang deras dari dasar cekungan itu hingga memenuhi cekungan tersebut semakin deras air yang menyembur
dari dasar cekungan, dan ahirnya menjadi sebuah telaga,
oleh masarakat setemat, telaga itu dinamakan telaga pasit yaitu diambil dari nama Kyai dan Nyai Pasir, namun
karena lokasinya di sebuah Kelurahan Sarangan telaga ini bisa disebut telaga sarangan.
Nah demikian lah legenda Telaga Pasir dari daerah Jawa Timur, hingga saat ini legenda ini masih digemari
masarakat Jawa Timur kususnya masarakat Magetan, kini telaga pasir atau telaga sarangan menjadi salah satu
obyek wisata andalan di Kabupaten Magetan..
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook