Konstruksi Sosial Prostitusi Online di I

Konstruksi Sosial Prostitusi Online di Indonesia
Oleh :
Hanna Marthatya Hakim ( 14/376385/PSP/05318 )

Globalisasi: Antara Prostitusi dan Eksploitasi Seksual
Segala sesuatu yang berkaitan dengan industri seks selalu menarik untuk dilihat dalam
konteks bisnis dari dulu hingga saat ini. Seperti pendapat McIntosh (1978, dalam Sanders,
2008) beragumentasi bahwa dari empar dekade lalu, sisi ekonomi dari industri seks tidak
dapat hanya di lihat dari kebutuhan seksual laki-laki. Tetapi dengan masuknya kemajuan
zaman dimana teknologi informasi berkembang secara cepat, industri seks dan industri
internet juga menjadi mitra dalam memperluas kapasitas mereka untuk mengeksploitasi
perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia (Hughes, 2000). Secara hitung-hitungan
ekonomi,

fakta

mengenai

perdagangan

manusia


untuk

tujuan

prostitusi

selalu

mencengangkan. Seperti hasil penelitian Cook pada tahun 1998 (dalam Hughes, 2000),
diperkirakan setiap tahun terdapat empat juta orang, sebagian besar perempuan dan anak
perempuan, diperdagangkan di seluruh dunia dan satu juta anak diantaranya diperdagangkan
ke industri seks lokal dan internasional. Penjualan wanita muda untuk dijadikan budak
seksual telah menjadi salah satu usaha kriminal tingkat internasional yang paling cepat
berkembang, diperkirakan penghadilan usaha ini mencapai US $ 6 milyar per tahun (Hughes,
2000).
Dengan masuknya saat ini ke dalam era globalisasi dimana batas-batas antar negara
seolah hilang, praktek perdagangan manusia dan eksploitasi sosial juga semakin beragam
caranya. Praktek perdagangan manusia meningkat, kerentanan wanita dan anak-anak
terhadap eksploitasi seksual juga meningkat. Kondisi hilangnya batas negara ini juga

didukung oleh beberapa kondisi yang dihadapi mereka yang rentan, yaitu ketika perempuan
dan anak-anak dipaksa ke industri seks dengan berbagai tingkat kekerasan, mulai dari korban
sebelumnya

dan

kurangnya

alternatif

ekonomi,

penipuan,

jeratan

hutang,

dan


perbudakan. Sejumlah kelompok-kelompok hak asasi manusia telah mengungkapkan bahwa
banyak perempuan dan anak perempuan secara harfiah diperbudak di industri seks di dalam
lingkaran kejahatan yang terorganisir (Hughes, 2000).
Meskipun banyak keterkaitan antara perdagangan manusia, eksplotasi seksual, dan
prostitusi, namun terdapat garis tegas yang memisahkan istilah tersebut. Persepsi publik
mengenai perdagangan manusia sebagian besar masih berputar di sekitar image wanita yang

dipaksa melintasi perbatasan negara untuk menjadi pekerja seks (Segrave, dll: 2009).
Menyebrangi perbatasan antar negara menjadi kata kunci dari definisi perdagangan manusia,
namun sering tidak relevan karena perdagangan manusia jarang teridentifikasi oleh pihak
keimigrasian karena perdagangan manusia tidak ditentukan dari jumlah pengalaman pekerja
seks miliki dalam dunia prostitusi (tidak seperti standar pertanyaan umum pihak imigrasi),
tetapi dari adanya kondisi eksploitatif di tempat kerja atau proses migrasi (Pickering & Ham,
2013).
Sedangkan Prostitusi berasal dari bahasa inggris ‘prostitution’ yang berarti pelacuran,
sedangkan perempuan pekerja seks yang dipahami sebagai orang-orang yang "bertukar
hubungan seksual (termasuk oral seks) untuk uang atau materi lainnya” (Murphy &
Venkatesh, 2006).

Tidak seperti perdagangan manusia yang selalu bersifat eksplotatif,


pekerja seks dalam dunia prostitusi lebih beragam, Sanders (2008) melihat adanya kekuatan
sosial yang berkontribusi membawa orang, khususnya perempuan, masuk ke dalam industri
seks, yaitu: migrasi, keterbatasan ekonomi, dan “pilihan”. Berdasarkan argumen di atas,
Paper ini bermaksud untuk membahas pekerja seks dilihat dalam perspektif konstruksionisme
sosial. Khususnya, terkait dengan perkembangan globalisasi yang membawa varian prostitusi
model baru, yaitu prostitusi online dan memahami prostitusi dari sisi subjektif.
Perkembangan Prostitusi Online
Pertumbuhan dan perluasan industri seks erat kaitannya dengan perkembangan
teknologi. Salah satunya adalah internet. Internet sebagai media komunikasi akan ada tanpa
industri seks, tetapi industri internet tidak akan tumbuh dan berkembang pada tingkat yang
sekarang tanpa industri seks (Hughes, 2000). Hal ini terbukti pada tahun 1998, US$ 1 Milyar
atau sekitar 69% dari total penjualan konten di Internet dikuasai oleh penjualan “konten
dewasa” (Moore, 1999). Seperti layaknya hubungan simbiosis mutualisme, industri seks juga
memanfaatkan perkembangan teknologi dengan baik untuk penjangkauan massa. Secara
tradisional, prostitusi, panti pijat, dan jasa pendamping mengandalkan iklan di surat kabar
untuk memasarkan bisnisnya. Namun Seiring berkembangnya teknologi, sebagian besar iklan
sekarang dilakukan melalui internet (Soothill, 2004) dan handphone. Transisi pemasaran dari
iklan baris di surat kabar ke situs web pribadi karena salah satunya surat kabar dan iklan
cetak menjadi semakin mahal dan internet menawarkan metode lebih yang lebih efisien untuk

menjangkau massa (Sanders, 2008). Teknologi internet juga memungkinkan agar halaman
website diperbarui dengan cepat dan mudah, sekaligus menjangkau khalayak global lebih
cepat dan lebih murah daripada media lainnya.

Perkembangan prostitusi online di dunia tidak terlepas dari rumah utama industri
pomografi Internet terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, industri
seks modem mulai muncul sejak tahun 1950-an dan 1960-an, dan terus berkembang sejak
saat itu (Hughes, 2000). Bisnis prostitusi berbasis web pertama muncul pada tahun 1994
bernama A Personal Touch Services. Website ini muncul dari Seattle, Washington (Bosley,
1995). Lalu pada tahun 1995, untuk pertama kalinya muncul katalog (protitusi) online di
website dengan nama Asia Bride Magazine, yaitu situs penjualan pengantin perempuan dari
Asia dengan sasaran laki-laki Amerika pada awal tahun 1995 (Hughes, 2000). Dalam periode
25 tahun, pendapatan dari industri ini meningkat tajam. Pada tahun 1970-an rata-rata
pendapatan prostitusi sebesar US$ 8-10 juta, dan sampai akhir tahun 90-an, rata-rata
pendapatan mencapai US$ 9 Milyar, hal ini berarti keuntungannya meningkat 100.000 persen
(“The land of the free”, 1997).
Prostitusi Online di Indonesia
Meskipun berdasarkan norma dan budaya Indonesia, praktek prostitusi dianggap
sebagai suatu yang tercela, tetapi pada kenyataannya terdapat beberapa daerah tertentu yang
sudah biasa menerima realita bahwa warganya berprofesi sebagai pekerja seks, bahkan

terdapat pelacur yang didukung keluarga atau suaminya untuk mencari uang dengan cara ini
(Santoso, 1996). Contohnya, lokalisasi-lokalisasi terselubung yang berada di daerah
perkotaan di Indonesia tidak dilegalkan, tetapi keberadaannya tetap ada di tengah-tengah
lingkungan masyarakat. Pemerintah selama ini berusaha menyelesaikan masalah ini dengan
pandangan bahwa prostitusi adalah suatu penyakit, sehingga cara menyelesaikannya adalah
dengan adanya panti ‘rehabilitasi’ untuk para pekerja seks milik kementerian sosial, ataupun
dengan melakukan razia. Tetapi Indonesia bukan satu-satunya negara yang mempraktekkan
hal ini.
Di Indonesia sendiri, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, kegiatan razia
tempat-tempat yang diindikasikan sebagai lokalisasi terselubung terkadang dilakukan.
Ditambah lagi, kegiatan prostitusi digolongkan sebagai tindak pidana dalam peraturan hukum
di Indonesia dan pemerintah menyediakan panti rehabilitasi untuk pekerja seks yang terjaring
razia. Tetapi selama ini, cara-cara tersebut tidak efektif untuk meminimalisir persebaran
praktek prostitusi. Sebaliknya, kriminalisasi "prostitusi" ini memfasilitasi terjadinya eksklusi
sosial terhadap perempuan pekerja seks dari sisi sosial, hukum, dan hak yang tersedia untuk
warga negara lainnya (Jeffrey & MacDonald, 2006).

Seperti gagasan di awal paper ini, sejarah perkembangan teknologi menunjukkan
bahwa industri seks sering menjadi yang pertama dalam mengadopsi teknologi baru (Hughes,
2000). Begitu pula di Indonesia, inovasi-inovasi yang dilakukan para pegiat industri seksual

juga terus berkembang. Terdapat dua kasus prostitusi online yang akhir-akhir ini memberikan
ruang publik pemahaman bagaimana posisi pasar prostitusi online di Indonesia:
Kasus pertama, adalah terbongkarnya bisnis prostitusi online yang memanfaatkan
beberapa jenis media sosial sekaligus sebagai penunjang, yakni situs web, Facebook, Twitter,
dan We Chat (kompas, 2015a). Dari penyidikan sementara, mucikari berinisial EA
menjalankan dengan sistem yang cukup rapi, salah satunya dengan tidak bertemu langsung
dengan para PSK dan pelanggannya. Di dalam website yang dikelolanya, EA sudah merinci
tarif, level kelas pekerja seks, serta durasi waktunya. EA membedakan pelayanannya dalam
dua istilah, yaitu Incall dan outcall. Incall berarti tempat ditentukan oleh mucikari.
Sebaliknya, outcall berarti tempat prostitusi ditentukan oleh pelanggan (kompas, 2015b).
Kasus kedua adalah prostitusi online yang melibatkan artis dengan biaya short time
yang sangat tinggi. Dari berbagai media online, Seorang artis berinisial AA ditangkap jajaran
kepolisian dari Polres Metro Jakarta Selatan karena terlibat kasus prostitusi online. AA yang
disebut seorang artis diduga telah melakukan praktik prostitusi tersebut melalui Blackberry
Messenger (kompas, 2015c). Seiring dengan semakin berkembangnya pembicaraan publik
tentang kasus prostitusi artis AA, nama Amel Alvi yang selalu dikaitkan dengan inisial
tersebut semakin terkenal, selain itu, karier Amel Alvi sebagai Disc Jockie (DJ) di klub-klub
malam juga semakin bersinar (skanaa, 2015).
Terkait dengan hal munculnya kasus-kasus prostitusi online tersebut, Ketua
Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Teguh Arifiyadi (“hukumonline”, 2015)

menjelaskan bahwa prostitusi online tidak bisa dikenakan oleh Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE), melainkan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Teguh menilai bahwa prostitusi baik dilakukan secara online, maupun
offline tidak jauh berbeda. Menurutnya, perbedaan hanya kepada penggunaan internet
sebagai sarana. Karenanya, ia berpendapat bahwa prostitusi online cukup diatur melalui
KUHP dan peraturan perundang-undangan terkait. dapat ditambahkan pemberatan dengan
penggunaan UU Perlindungan Anak jika pelaku terindikasi mengeksploitasi anak, atau
bahkan dapat menggunakan UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
jika terindikasi sebagai jaringan perdagangan manusia (human traficking). Ketentuan lain
yang bisa digunakan juga adalah peraturan-peraturan daerah tempat dimana perbuatan atau

sarana pelanggaran terjadi. Adapun penjelasan mengenai Tindak Pidana tentang Prostitusi
yang terdapat dalam KUHP:
a. Pasal 296 Buku II KUH Pidana tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan, yang
berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan
cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pekerjaan atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau
pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
b. Pasal 506 Buku III KUH Pidana tentang Pelanggaran Ketertiban Umum, yang
berbunyi: “Barang siapa mengambil keuntungan dari perbuatan cabul seorang

wanita dan menjadikannya sebagai mata pencaharian, diancam dengan pidana
kurungan paling lama satu tahun”.
Berdasarkan hukum KUHP tersebut, yang bisa dihukum berdasarkan pasal di atas hanyal
mucikarinya saja, bukan pelacur atau pelanggannya. Di lokalisasi-lokalisasi pelacuran terlihat
banyak mucikari yang berpraktek dengan tenang, tentunya dengan berbagai syarat yang
sudah dipenuhinya. Polisi baru bertindak jika ada tindak pidana lainnya seperti penganiayaan,
pemerasan, perusakan, dan pembunuhan yang kadang-kadang terjadi di lokasi tersebut
(Santoso, 1996).
Penggunaan Istilah
Meskipun paper ini melihat bagaimana proses pendefinisian itu terjadi, penting untuk
sedikit membahas mengenai penggunaan istilah. Hal ini karena terkait langsung dengan
stigmatisasi dalam dunia prostitusi. Istilah pelacuran yang selama ini dikonstruksikan oleh
masyarakat Indonesia menyangkut masalah stigma, dan masalah stigma berkaitan erat dengan
istilah penamaan, pemaknaan, dan penerimaan sebuah istilah, perilaku atau gejala perilaku
tertentu (Koentjoro & Sugibastuti, 1999). Istilah yang digunakan dalam paper ini adalah
‘pekerja seks’, bukan istilah ‘pelacur’ atau ‘wanita tuna susila’ yang digunakan. Karena
seperti pendapat Sanders (2005) ‘pelacur’ cenderung terkait dengan kriminalisasi dan
pengucilan sosial terhadap pekerja seks. Sedangkan jika merujuk pada Keputusan Menteri
Sosial RI No.23/HUK/96, pemerintah Indonesia menggunakan istilah Wanita Tuna Susila
(WTS). Penggunaan istilah WTS ini sering kali menjadi bias gender mengingat sedikitnya

literatur yang merujuk pada penggunaan ‘Pria Tuna Susila’ (PTS). Sehingga, untuk
menghindari bias gender ini serta menempatkan pendefinisian pada posisi netral secara moral,
paper ini menggunakan istilah ‘pekerja seks’.

Prostitusi Online dalam perspektif Konstruksionisme Sosial
Prostitusi online dalam paper ini erat kaitannya dengan konsep pendekatan
interaksionis

simbolik.

Konsep

ini

mempelajari

bagaimana

cara-cara


seseorang

mendefinisikan situasi sosialnya serta bagaimana mempelajari pengaruh definisi situasi
tersebut (Ritzer & Goodman, 2003).

Pendekatan interaksionis simbolik menyoroti

bagaimana orang berinteraksi, mereka mengkonstruksi realitasnya setiap hari. orang
terkadang mengkonstruksikan realitanya secara beragam, sehingga pandangan dari satu
kelompok masyarakat mungkin akan berbeda dengan kelompok lain. Dengan cara yang sama,
pendefinisian mengenai prostitusi juga dapat berubah sepanjang waktu.
Khususnya di abad ke-21 ini, Hampir seluruh pola sosial yang melibatkan isu
seksualitas berubah. Salah satu ilustrasinya adalah perubahan mengenai reaksi orang tentang
pekerja seks online yang pada beberapa bulan ini sedang menjadi sorotan media massa. Dari
contoh kasus prostitusi online yang membawa artis berinisial AA, terlihat adanya pergeseran
makna prostitusi di masyarakat Indonesia. Seabad yang lalu, prostitusi lebih dikenal sebagai
pelacuran menyebabkan wanita publik (sebutan untuk pekerja seks pada saat itu) terkucilkan
dari masyarakt umum. Sebaliknya, sekarang ini, artis dengan berinisial AA mendapatkan
panggung popularitas dengan bertambahnya order job dalam dunia hiburan Indonesia.
Penyimpangan dan pengucilan yang selama ini dialamatkan pada pekerja seks ternyata belum
tentu terjadi dalam masyarakat modern saat ini.
Howard Becker dalam bukunya Outsider: Studies in the Sociology of Deviance (1963)
menegaskan bahwa “orang yang menyimpang adalah mereka yang dicap menyimpang”.
Pendapat tentang pemberian label menyimpang ini menimbulkan reaksi dan kritik karena
proses realitas yang terbentuk pada tiap orang tidak sama. Sebagai perspektif yang lahir dari
kritik terhadap perspektif labeling, konstruksionisme sosial memfokuskan pada proses
pendefinisian suatu kondisi sebagai masalah sosial (Rubington & Weinberg, 1995).
Perspektif ini dipelopori oleh Spector dan Kitsuse, serta kelompok ahli lain yaitu Peter L
Berger dan Luckmann. Masalah sosial menurut Spector dan Kisuse (1977) pada dasarnya
dilihat sebagai proses dimana suatu siatuasi didefinisikan sebagai masalah sosial, dari mulai
keyakinan orang mengenai situasi tersebut, apa yang mereka keluhkan, dan apa bentuk protes
yang mereka lakukan.
Sejalan dengan itu, merujuk pada pendapat Berger dan Luckman (1990) dalam
bukunya mengatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial, artinya sebagai sebuah institusi
media akan langsung mempengaruhi dan dipengaruhi oleh masyarakatnya (society). Poloma
(1994) menguatkan istilah konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality)

dengan mengartikannya sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu
menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subyektif. Dalam pandangan Giddens, individu dapat menafsirkan makna dari aturan-aturan
sosial dengan cara yang berbeda dan dapat mengambil langkah-langkah yang bertujuan untuk
mengubah atau membuat ulang "peraturan" itu (Giddens, 1979).
Dalam konteks Indonesia, prostitusi sering kali dilihat sebagai suatu masalah sosial
yang terkait dengan adanya label “menyimpang” yang diberikan pada para pekerja seks.
Pelabelan ini diberikan pada seluruh pekerja seks yang terlibat dalam prostitusi ini.
Sedangkan kenyataannya, konteks pekerja seks ini masih menjadi perdebatan, bahkan di
kalangan feminis masih memperdebatkan apakah itu adalah bentuk kerja yang sesuai dengan
perspektif hak asasi para pekerja seks untuk memilih pekerjaan ini, atau bentuk eksploitasi
seksual seperti pandangan perspektif anti-prostitusi dan perbudakan (Maher dll, 2012).
Perdebatan itu akan terus berjalan seiring dengan pembentukan definisi itu prostitusi itu
sendiri.
Meskipun begitu, pandangan tentang peran sosial dan posisi pekerja seks dalam
prostitusi ternagi secara jelas antara yang melihat pekerja seks sebagai orang yang "memilih"
untuk menjadi pekerja seks sebagai pekerjaan untuk kehidupan mereka, dan orang-orang
yang melihat pekerja seks sebagai korban yang tereksploitasi dari masyarakat patriarki
(Gatrell, 2010). Dengan banyaknya perkembangan kelompok feminist modern, pandangan
mengenai prostitusi pun berubah dilematis dalam pendefinisiannya. Antar kelompok feminist
pun terjadi perpecahan pendefinisian mengenai prostitusi itu sendiri.
Gagasan pekerja seks yang telah memilih pekerjaan ini secara rasional sebagai suatu
pilihan, berarti mereka bertujuan untuk mengkomersialkan tubuh mereka melalui memasuki
industri seks. Dengan kata lain, mereka "memilih" pekerjaan ini sebagai sarana untuk
mencari nafkah diantara preferensi pekerjaan lainnya yang kurang menarik (Sanders, 2005).
Para pendukung konsep "pekerja seks sebagai agen" dari dirinya sendiri menolak untuk
mengklasifikasikan pekerjaan ini sebagai "prostitusi". Hal ini karena label perempuan pekerja
seks sebagai "pelacur" menempatkan mereka sebagai penjahat dan sekaligus menjadi korban,
dan membedakan mereka dari pekerja yang bekerja di pasar tenaga kerja formal (Jeffrey &
MacDonald, 2006) .
Proses membedakan prostitusi dengan pekerjaan lainnya yang sering terjadi itu gagal
melihat bahwa pekerja seks adalah kelompok yang beragam. Para pekerja seks juga memiliki
pilihan yang bervariasi sesuai dengan keadaan sosial, ekonomi, dan kesehatan mereka; serta

tergantung pada apakah mereka adalah bagian dari pekerja "indoor", "outdoor", atau
diperdagangkan dalam industri seks (Gatrell, 2010).
Terkait dengan prostitusi online, mereka yang bekerja dengan cara online termasuk
dalam “pekerja seks indoor", baik sebagai gadis pendamping atau gadis panggilan (Murphy
& Venkatesh, 2000). Pekerja ini merupakan strata paling tinggi karena dibayar dengan baik
dan sering klien yang mereka layani adalah pebisnis kelas atas. Pekerja seks di level ini
mungkin menganggap pekerjaan ini sebagai "karir" (Murphy dan Venkatesh, 2006).
Barlow (1978) melihat terdapat tiga strata pekerja seks berdasarkan aksinya: yang
paling rendah adalah pekerja seks jalanan (the street walkers atau street hookers) yang
berpraktek di jalanan. Mereka yang paling rendah penerimaan order dibanding pekerja seks
lainnya. Di atasnya adalah pekerja seks yang bekerja di rumah-rumah bordil (biasa disebut
whorehouse). Dan posisi tertinggi di antara para pekerja seks adalah mereka yang disebut
dengan gadis panggilan (call girl). Mereka memiliki metode operasi yang berbeda, gadis
panggilan yang sudah mapan akan selalu menjaga pelanggannya dengan pelayanan khusus,
rahasianya pun relatif terjaga sebab untuk berhubungan dengan mereka sering harus
menggunakan referensi khusus. Gadis Panggilan juga memiliki sumber daya keuangan yang
memadai untuk menyewa atau membeli tempat praktek mereka sendiri dan dapat menjalin
kerja sama dengan klien melalui internet (Gatrall, 2010).
Karena proses transaksi melalui internet dan perlunya referensi khusus, pekerja seks
indoor memiliki kelebihan keamanan dibandingkan dengan pekerja seks jalanan atau outdoor.
Karena hal ini memungkinkan terbentuknya serangkaian pembatasan tentang tindakan
seksual yang dapat diterima dan yang tidak dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh klien
(misalnya menolak ciuman dan wajib menggunakan kondom) (Sanders, 2005). Hal ini berarti,
pekerja seks yang berpraktek menggunakan sistem prostitusi online kemungkinan sudah
merupakan bagian dari pekerja seks yang menjadikannya sebagai suatu karir atau pilihan
hidup yang dari sisi risiko praktiknya juga paling aman dan penghasilannya juga jauh lebih
besar.
Berdasarkan penelitian Santoso (1996), alasan yang melatarbelakangi pekerja seks
masuk ke dalam prostitusi diantaranya karena dipaksa, karena dijerumuskan seseorang, tidak
punya pilihan lain, kebutuhan uang yang mendesak, broken home, drop out dari sekolah, dan
kemiskinan. Situasi di atas dan berbagai permasalahan yang timbul di dalamnya
mengantarkan kita pada pemikiran bahwa bagaimanapun, prostitusi berdekatan dengan
perdagangan manusia (trafficking). Sistem prostitusi online
terbebas dari praktek perdagangan manusia.

tidak selalu berarti bahwa

Dalam konteks prostitusi pada perspektif, pekerja seks tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh masyarakat yang memberikan label. Seperti pendapat Paulus Tangdilintin (2000),
Pendekatan ini merupakan suatu pendekatan mikro yang menekankan pada kegiatan aksi
(action approach) yang melihat bahwa masyarakat tidak dapat dianalisis tersendiri lepas dari
tindakan yang membentuknya. Realita sosial menunjukkan bahwa dinamika psikologi
penerimaan diri pekerja seks adalah dengan proses: (a) individu menyadari jenis pekerjaan
yang dilakukan, (b) mempunyai rencana bahwa bekerja sebagai pekerja seks tidak selamanya,
(c) menerima kenyataan sehingga tidak terganggu emosinya, (d) berusaha menciptakan
keharmonisan dengan lingkungan tempat tinggal (Destiani, 2008).
Dalam upaya meningkatkan prospek bahwa pekerja seks dapat diperlakukan atas
dasar kesetaraan dengan pekerja di pasar tenaga kerja formal, terdapat potensi manfaat terkait
gagasan tersebut. Misalnya, pekerja seks yang percaya diri menjadi ‘agen’ untuk dirinya
sendiri mungkin dalam posisi yang lebih baik untuk mengakses pelayanan sosial dan
kesehatan dibandingkan jika dia diperlakukan sebagai korban tak berdaya (Hubbard, 2004).
Pengertian seperti pekerja seks sebagai ‘agen dari dirinya sendiri’ dan mampu dilihat sebagai
penting dalam pergeseran pemahaman konvensional pekerja seks sebagai penjahat dan
korban (Jeffrey dan MacDonald, 2006).
Bagaimanapun, konsep pekerja seks sebagai agen adalah konsep ideal. Sehingga,
selain konsep yang melihat bahwa perempuan pekerja seks sebagai suatu preferensi, sebagian
besar juga melihat mereka sebagai korban eksploitasi dari dunia patriarki (Gatrall, 2010).
Terdapat tiga feminis yang sangat vokal mendukung perspektif bahwa pekerja seks bukanlah
suatu pekerjaan, perempuan pekerja seks dilihat sebagai korban eksploitasi, tidak bisa
mewakili dirinya sendiri, rentan terhadap penyalahgunaan, dan membutuhkan perlindungan
dari orang lain. Dworkin (1996) & Patemen (1998), mereka melihat pekerja seks sebagai
orang yang tidak berdaya untuk memisahkan kehidupan pekerjaan dan kehidupan personal.
Sedangkan Sullivan (2007) berpendapat bahwa pekerjaan seks merupakan bentuk kekerasan
dan melanggengkan dominasi budaya dan seksual laki-laki atas perempuan.

Refleksi: Perspektif Konstruksionisme Sosial dalam Prostitusi Online
Konstruksionisme sosial tak terlepas dari sifat dialektis sebagai proses tahapan
interaksi antar manusia yang menggambarkan proses konstruksi dan rekonstruksi pandangan
masyarakat. Dengan melihat prostitusi online dari perspektif konstruksionisme sosial berarti
melihat prostitusi dari sudut pandang subyektif. Sehingga, proses pendefinisian prostitusi
online dilihat dari kelompok yang berkepentingan, dalam hal ini kelompok feminis. Dalam

konteks prostitusi online di Indonesia, perlu untuk dicermati perbedaan preferensi seseorang
dalam memilih bidang ini, apakah pekerja seks tersebut berniat untuk menjadi pekerja seks
sebagai karir, ataukah merupakan bentuk eksploitasi seksual dalam perdagangan manusia.
Dengan melihat proses pendefinisian ini, pemerintah dapat memanfaatkannya untuk membuat
jaring pengaman agar perempuan dan anak-anak terhindar dari eksploitasi seks dalam
perdagangan manusia, sekaligus melindungi para pekerja seks layaknya pekerja formal
lainnya.

Referensi

Barlow, H.D. (1978). Introduction to criminology. Borton: Little Brown and Company.
Berger, P.L.; Luckman, T. (1990). Tafsir Sosial atas Kenyataan. Jakarta : LP3S.
Bosley,A. (1995). Escort agency – a personal touch services, selling sex in cyberspace.The
Internet Business Journal. Januari 1995. 4.
Brewis, J. and Linstead, S. (2000), Sex, Work and Sex-work I, Routledge, London.
Destiani,

N.

(2008). Penerimaan

Diri

Pada

Mantan

PSK (Skripsi,

Universitas

Muhammadiyah Surakarta).
Dworkin, A. (1996). Pornography. Dalam Jackson, S.; Scott, S. (Eds). Feminism and
Sexuality. Edinburgh University Press. Edinburgh. 57-61.
Gatrell, C. (2005). Hard Labour: The Sociology of Parenthood. Maidenhead.: Open
University Press.
Gatrell, C. (2010). Who rules the game? An investigation of sex work, gender, agency and
the body. Gender in management: an international journal, vol. 25 Iss 3, 208-226.
Hubbard, P. (2004). Cleansing the metropolis: sex-work and the politics of zero tolerance.
Urban Studies. Vol. 41 No. 9, pp. 1687-702.
Hughes, D. M. (2000). The Internet and sex industries: Partners in global sexual
exploitation. Technology and Society Magazine, IEEE, 19(1), 35-42.
Inciardi, J.A. (1994). Criminal justice. Orlando: Harcourt Brace Javanovich.
Koentjoro; Sugibastuti. (1999). Pelacur, wanita tuna susila, pekerja seks, dan “apa lagi”:
stigmatisasi istilah. Jurnal Humaniora: Universitas Gadjah Mada. Vol.11, No.2 tahun
1999. 30-33.
Maher, J., Pickering, S., Gerard, A. (2012). Sex work: labour, mobility and sexual sevices.
Routledge.

Moore, E. (1999). Adult content grabs lion’s share of revenue. Adult Video News Online. 26
Mei 1999.
Murphy, A.K. and Venkatesh, S.A. (2006), “Vice careers: the changing contours of sex-work
in New York City”, Qualitative Sociology, Vol. 29. 129-154.
Pateman, C. (1988), The Sexual Contract, Blackwell, Oxford.
Pickering, S., Ham, J. (2013). Hot pants at the border: Sorting sex work from trafficking. Brit
J. Criminol: Oxford Journals (2014), vol.54, 2-19.
Poloma, M. (1994). Sosiologi kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rubington, E., Weinberg, M.S. (1995). The study of social problems. New York: Oxford
University Press.
Sanders, T. (2005), Sex-work: A Risky Business, Willan, Cullompton.
Sanders, T. (2008). Selling sex in the shadow economy. International Journal of Social
Economics. Vol.35 Iss 10. 704 – 716.
Santoso, Topo. (1996). Masalah Prostitusi. Jurnal Hukum dan Pembangunan, no.4 tahun
XXVI, 325-333.
Segrave, M., Milijojevic, S., Pickerin, S. (2009). Sex trafficking: international context and
response. Willan Publishing.
Soothill, K. (2004). Parlour games: the value of an internet site providing punters’ view of
massage parlours. The Police Journal. Vol.77 No.1. 75-88.
Spector, M., Kitsuse J.I. (1977). Constucting social problems. California: Cummings.
Sullivan, M. (2007), Making Sex Work: A Failed Experiment with Legalized Prostitution,
Spinfex, Melbourne.

Website:
Hukumonline. (2015). Dikutip dari:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt554613f24a645/prostitusi-online-tidakbisa-dikenakan-uu-ite pada 19 Juni 2015
Kompas. (2015a). Dikutip dari:
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/05/09/14281951/Seorang.Artis.dan.Mucikari
.Ditangkap.di.Hotel.Mewah.di.Jakarta.Selatan?utm_source=bola&utm_medium=bpkompas&utm_campaign=related& pada 19 Juni 2015
Kompas. (2015b). Dikutip dari:
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/17/13050651/Intai.Media.Sosial.Mencuri
gakan.Polisi.Tangkap.Enam.Mucikari pada 19 Juni 2015

Kompas. (2015c). Dikutip dari:
http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/17/13213691/Jaring.Pelanggan.Mucikari.
Ini.Pasarkan.PSK.di.Twitter.dan.Dua.Website. pada 19 Juni 2015
Sanaa. (2015). Dikutip dari: http://www.skanaa.com/en/news/detail/ini-bukti-foto-amel-alvisemakin-terkenal-dan-dipuji-sejak-kasus-prostitusi-artis/slidegossip pada 19 Juni 2015