Meningkatkan Kualitas Pembelajaran bahasa Melal

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Melalui Penelitian Tindakan Kelas
Parlindungan Pardede
parlpard2010@gmail.com
Universitas Kristen Indonesia

Abstrak
Classroom Action Research (CAR) is the terminology used to describe the
cyclical process of identifying problems in the classroom, planning actions to tackle
the problem, collecting data, and interpreting the data through reflection. Ideas
obtained through the reflection are then implemented to improve the second cycle of
process. The process could be repeated (by iconducting the third, forth, and even fifth
cycle until the targeted results achieved. Since the process is conducted right in the
teaching and learning practice in the classroom, it is very effective to analyze the
existing practice and make necessary changes for improving the practice. Realizing
this, it is obvious that CAR is very potential to develop any teacher’s professional
development through the fostering of his/her capability as professional knowledge
makers—not merely as professional knowledge users.
Kata kunci: PTK, refleksi, tindakan, siklus

Pendahuluan
Saat ini para guru di seluruh dunia dituntut untuk melakukan perbaikan

berkelanjutan. Lembaga pendidikan dan asosiasi guru terus-menerus ditekan untuk
meningkatkan kinerja dalam rangka mencapai hasil pendidikan yang lebih baik. Di
satu sisi, dengan waktu dan sumber daya yang relatif terbatas, guru (sebagai pelaku
utama aktivitas pendidikan) dituntut untuk memampukan siswa mengerjakan ujian
standar dengan baik; di sisi lain, guru juga dituntut memampukan siswa menguasai
seluruh materi pelajaran secara komprehensif. Tantangan lain datang dari
penggantian dan pembaharuan kurikulum yang akseleratif. Tuntutan agar para guru
menguasai dan sekaligus menggunakan teknologi informasi dan komunikasi hingga
mereka dapat mempersiapkan siswa memasuki masyarakat berorientasi teknologi
juga merupakan tantangan besar. Tantangan berikutnya berasal dari harapan bahwa
semua siswa di kelas, dengan karakter yang beragam, harus difasilitasi agar sukses
dalam pembelajaran. Selain itu, berbeda dengan pembelajaran di masa lampau, di
masa kini guru tidak lagi berperan hanya sebagai penceramah, tetapi pemandu; siswa
tidak lagi berperan hanya sebagai pendengar, tapi mitra guru dalam menjelajah
pengetahuan. Pendidikan saat ini telah menjadi lebih interaktif dan kolaboratif bagi
guru dan siswa. Dengan demikian, guru juga harus mengembangkan dan

menyesuaikan kompetensinya agar dapat memfasilitasi setiap siswa menjadi pelajar
yang sukses.
Untuk menjawab tantangan-tantangan itu, para guru dan pemangku

kepentingan lain di sektor pendidikan terus berupaya meningkatkan mutu proses dan
hasil pendidikan. Upaya-upaya yang lazim dilakukan mencakup pelatihan dalam
jabatan (in-service training), seminar, lokakarya, atau kursus penyegaran. Tanpa
bermaksud mengabaikan berbagai manfaat yang diperoleh, praktik di berbagai
penjuru dunia menunjukkan upaya-upaya tersebut tidak memberikan hasil yang
optimal. Kemungkinan besar, penyebabnya adalah kenyataan bahwa upaya-upaya itu
merupakan inisiatif ekternal, tidak muncul dari dalam diri para guru. Dalam kondisi
seperti saat ini, para guru akan memperoleh lebih banyak manfaat baik bila inisiatif
untuk melakukan perbaikan tersebut datang dari dalam diri mereka sendiri. Mereka
harus berupaya, secara mandiri atau bersama-sama, menemukan cara-cara yang tepat
untuk meningkatkan berbagai aspek pendidikan, seperti proses belajar mengajar ,
kurikulum dan penilaian. Guru perlu terus menerus melakukan perubahan-perubahan
yang tepat untuk meningkatkan praktik profesional mereka, dan alat yang paling
sesuai untuk hal ini adalah PTK. Menurut Mills (2011), PTK merupakan pilihan yang
menarik bagi para guru, staf administrasi sekolah, dan pemangku kepentingan
pendidikan lainnya untuk meningkatkan kinerja sector pendidikan. Sedangkan Sagor
(2004) menyatakan bahwa PTK merupakan alat yang efektif untuk membantu guru
dan pendidik lainnya mengungkap strategi yang pas untuk meningkatkan praktik
mengajar. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa pelaksanaan PTK mendorong
berbagai perubahan positif berupa peningkatan kompetensi guru, refleksi diri, dan

perbaikan pembelajaran secara keseluruhan yang meningkatkan proses dan hasil
praktik pembelajaran di kelas (Ferrance, 2000; Johnson & Button, 2000). Senada
dengan itu, Vialle, Hall dan Booth (1997) yang menggambarkan bahwa PTK dapat
memberikan kontribusi besar dalam pengembangan profesi pendidik dan pada
gilirannya secara konsisten membuat perbedaan berbentuk perbaikan dalam kualitas
dan manajemen sektor pendidikan. Levin dan Merrit (2006) menegaskan:
“Increasingly, action research is being seen as a vehicle for professional growth,
personal transformation, and improved student learning.”
Artikel ini merupakan sintesis berbagai pandangan dan hasil penelitian terkini
yang tersedia dalam literatur tentang PTK yang diarahkan untuk membahas landasan
konseptual karakteristik PTK, dan implikasinya terhadap peningkatan pembelajaran.
Peran Penelitian dalam Pengembangan Kompetensi Guru
Esensi pelaksanaan penelitian di kalangan guru merupakan gagasan yang
sudah berkembang sejak awal Abad ke-19. Penelitian yang dilaksanakan para
pendidik terhadap praktik pembelajaran yang mereka lakukan diyakini sangat
bermanfaat untuk meningkatkan kualitas praktik tersebut (Ponte, 2005). Setiap
disiplin ilmu dan profesi berkembang karena adanya penelitian. Sehubungan dengan
itu, penelitian dan praktik pembelajaran seharusnya saling menopang. Hasil penelitian
seorang guru bahkan tidak hanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi si guru


itu sendiri tetapi juga guru-guru lain yang mempelajari hasil penelitian tersebut
melalui publikasi tertulis maupun konferensi atau seminar. Menurut Alwasilah
(2012), keberhasilan penerapan jugyou kenkyuu, yang secara harfiah berarti penelitian
pembelajaran, di Jepang merupakan sebuah contoh nyata. Penerapan jugyou kenkyuu,
yang dikenal sebagai "lesson study" membuat penelitian menjadi bagian tak
terpisahkan dari tugas guru. Dengan kata lain, guru sekaligus merupakan peneliti.
Efektivitas dan keberhasilan guru-guru matematika dan sains di SMP melalui
penerapan jugyou kenkyuu telah mendorong pemerintah Jepang merekomendasikan
penerapannya dalam pembelajaran semua mata pelajaran sekolah.
Meskipun penelitian diyakini berperan sentral dalam pengembangan praktik
pembelajaran, kebanyakan guru, khususnya yang mengajar di jenjang pendidikan
dasar dan menengah, memandang penelitian sebagai aktivitas yang berada di luar
wilayah pekerjaan rutin mereka. Mayoritas guru hanya terfokus pada kesibukan
mengajar dan menganggap bahkan ide pengikutsertaan penelitian ke dalam tugas
professional guru sekalipun merupakan hal yang tidak realistis. Survai sederhana
yang penulis lakukan terhadap 45 guru sebuah mata pelajaran di tingkat Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas di DKI Jakarta yang
mengikuti sebuah pelatihan penelitian pada bulan Oktober 2012 mengungkapkan
bahwa 89.46 % guru-guru dengan masa kerja bervariasi antara 5 hingga 25 tahun
tersebut belum pernah melaksanakan penelitian; 5.27% menyatakan pernah

melakukan 1 penelitian; dan 5,27% lainnya tidak merespon. Meskipun ke 45 guru
tersebut tidak dapat mewakili guru-guru di Indonesia, paling tidak, temuan ini
mengisyaratkan betapa dalam dan lebarnya jurang pemisah antara aktivitas penelitian
dan pembelajaran dalam kehidupan sebagian besar guru di Indonesia.
Mengapa guru tidak meneliti? Dalam konteks Indonesia, jawaban pertama
yang sering diajukan oleh kebanyakan guru untuk pertanyaan ini adalah minimnya
fasilitas dan dukungan dari pemangku kepentingan lainnya. Tidak sedikit sekolah
atau yayasan yang memandang penelitian sebagai pemborosan waktu dan dana.
Faktor kedua adalah keterbatasan waktu yang dimiliki guru. Sebagian guru mengajar
di lebih dari satu sekolah. Akibatnya, seluruh waktu mereka habis hanya untuk
mengajar. Sebagian lagi masih memiliki cukup waktu di luar tugas mengajar. Tapi,
setelah menyelesaikan tugasnya di sekolah, mereka harus terlibat dalam satu atau
beberapa kegiatan kemasyarakatan.
Kedua jawaban di atas secara umum merupakan alasan klise dan tidak
relevan, karena guru justru didorong untuk melakukan penelitian setelah pemerintah
melakukan sertifikasi guru. Oleh karena itu, jawaban paling logis terhadap pertanyaan
mengapa guru tidak meneliti adalah kedua alasan berikut. Pertama, kebanyakan guru
menganggap pelaksanaan penelitian memerlukan dana dan tenaga yang banyak serta
waktu yang lama. Alasan ini dapat diterima jika penelitian yang dilaksanakan
merupakan tipe penelitian tradisional yang mengharuskan analisis data kuantitatif dan

kualitatif yang ekstensif. Penelitian-penelitian seperti itu umumnya bersifat akademis,
formal, dan dilakukan dengan jadual yang ketat serta mengikat.
Untuk
menyelesaikannya dibutuhkan waktu berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun.

Kemudian, khusus untuk penelitian berdesain kuantitatif, diperlukan sampel yang
besar. Selain itu, hasil penelitian biasanya dilaporkan dalam bentuk publikasi ilmiah
melalui jurnal dengan saringan cukup ketat oleh peer-reviewer atau dalam seminar
dan konferensi profesional. Hal ini dipertegas oleh Kaplan (1998) dengan
mengatakan bahwa bagi guru, penelitian akademis adalah sesuatu yang asing, yang
dilakukan oleh orang misterius dengan cara aneh di lokasi yang misterius.
Alasan ke dua berhubungan dengan aspek relevansi. Masih banyak guru yang
belum dapat melihat manfaat langsung hasil penelitian bagi tugas profesionalnya.
Seringkali hasil-hasil penelitian eksperimental atau korelasional kurang praktis
sehingga para guru tidak dapat menggunakannya untuk memecahkan masalahmasalah yang dihadapi di kelas. Mackey dan Gass (2005) mengatakan bahwa para
guru sering melihat temuan-temuan penelitian tidak relevan dan tidak aplikatif untuk
pengajaran mereka di kelas. Sehubungan dengan itu, Zeuli (1994) menegaskan bahwa
para guru hanya akan mengakui kredibilitas sebuah penelitian jika temuan-temuan
penelitian itu relevan dengan praktik pengajaran yang mereka alami di kelas.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk memberdayakan

para guru melakukan penelitian, mereka harus difasilitasi dengan metode penelitian
yang memungkinkan mereka mengkaji masalah-masalah yang berhubungan langsung
serta menghasilkan solusi bagi masalah-masalah yang mereka temukan dalam
pengajaran di kelas. Oleh karena itu, lokasi penelitian terbaik bagi mereka adalah
sekolah, khususnya kelas mata pelajaran yang mereka ampu. Penelitian itu juga
sebaiknya tidak mengganggu jadual mengajar. Selain itu, analisis data hendaknya
dapat disesuaikan dengan teknik analisis yang telah dimiliki atau dapat dipelajari
dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Hasil-hasil penelitian, praktik dan pengalaman di seluruh dunia menunjukkan
bahwa hingga saat ini PTK merupakan metode penelitian paling sesuai bagi guru
dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran yang mereka lakukan karena
dibandingkan dengan penelitian-penelitian akademik tradisional, PTK lebih mudah
(user-friendly) dan praktis untuk dilakukan. Dengan menggunakan PTK, guru dapat
meneliti untuk meningkatkan pembelajaran. PTK juga lebih fleksibel karena dapat
dilakukan secara individual oleh seorang guru, atau secara kolaboratif oleh tim yang
terdiri dari dua atau lebih guru. PTK juga dapat dilakukan dalam ruang lingkup yang
kecil—sebuah kelas—atau yang lebih besar—dengan melibatkan semua guru dalam
tingkat kelas tertentu, atau seluruh sekolah. Durasi waktu yang dibutuhkan dapat
mencakup beberapa minggu, beberapa bulan, atau satu tahun. Selain itu, meskipun
hasil PTK dapat dipublikasikan secara resmi melalui jurnal atau presentasi dalam

seminar, hal itu juga dapat dilakukan melalui seminar tingkat sekolah, pertemuan
musyawarah guru mata pelajaran lokal, atau publikasi di situs Web sekolah.
Landasan Konseptual PTK
Menyadari kekurangpraktisan penelitian-penelitian akademik tradisional
(yang dilandaskan pada pandangan positivistik hingga cenderung mengabaikan
subjektivitas manusia) bagi kalangan guru, pada tahun 1960 dan 1970-an, para

ilmuwan bidang pendidikan menggagas dan memulai penelitian dengan pendekatan
yang lebih humanistik. Elliott (2002) menjelaskan bahwa sebagai bagian dari
penekanan pada pendidikan ‘manusia secara utuh,’ cakupan penelitian pendidikan
diperluas hingga meliputi PTK, etnografi, penelitian naratif, teori kritis, kajian
feminis, dan postmodernisme (h. 87). Selama periode tersebut, muncul gerakan yang
menganjurkan pengakuan otoritas guru sebagai orang yang paling memahami
aktivitas pengajaran, bukan hanya sebagai penerima hasil-hasil kajian akademis
(Doyle 1990), dan mendorong para pendidik untuk menggunakan PTK.
Dorongan kepada kalangan pendidik untuk menggunakan PTK juga
terinspirasi oleh keberhasilan action research (AR), yang merupakan cikal bakal
PTK, sebagai metode penelitian yang digunakan untuk memecahkan masalahmasalah sosial nyata di masyarakat (seperti kesehatan, manajemen, dan sumber daya
manusia). Menurut Mills (dalam Creswell, 2008: 597) istilah AR dicetuskan oleh
Kurt Lewin (seorang ahli psikologi sosial) Amerika Serikat (AS) yang merasa bahwa

masalah-masalah sosial yang timbul dalam masyarakat Amerika Serikat pada tahun
1940an—seperti hubungan interkultural antar kelompok-kelompok masyarakat—
dapat diperbaiki melalui proses diskusi kelompok yang dilakukan dalam empat
tahapan: perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Metode diskusi yang
melibatkan proses bertahap, partisipasi semua pihak, dan keterlibatan yang
demokratis tersebut terbukti efektif menghasilkan perubahan sosial. Dengan asumsi
bahwa jika AR berhasil digunakan untuk melakukan perbaikan dan peningkatan
berbagai hal di dunia nyata, pastilah metode itu cocok juga untuk sektor pendidikan
(sebagai salah satu bagian dunia nyata). Berbagai peneliti, praktisi, dan pihak-pihak
lain di sektor pendidikan kemudian menerapkan metode ini untuk meneliti isu-isu
pendidikan. AR yang khusus diterapkan untuk mengkaji isu-isu pendidikan inilah
yang kemudian dikenal sebagai PTK.
Pada bagian berikut, pembahasan tentang konsep-konsep yang mendasari
PTK dilakukan dengan menyajikan beberapa definisi terkini yang relevan dengan
tujuan penulisan makalah ini sebagai titik tolak.
PTK pada hakikatnya merupakan metode kajian yang dilakukan oleh guru
sebagai praktisi utama di bidang pendidikan untuk memahami dan rnemecahkan
masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah.
Hopkins (dalam Gabel, 1995) membatasi PTK sebagai sebuah proses penelitian yang
didisain untuk memberdayakan seluruh partisipan (siswa, guru, dan pihak-pihak lain)

dalam suatu proses pembelajaran, untuk memperbaiki praktik pembelajaran. Dengan
demikian, seluruh partisipan sama-sama berperan aktif dalam proses penelitian
tersebut. Sedangkan Gwyn (2002) mendefinisikan PTK sebagai metode penelitian
yang dilakukan pendidik untuk menemukan apa yang terbaik bagi pembelajaran
dalam sebuah kelas agar pembelajaran di kelas itu memberikan hasil terbaik.
Pengertian yang relatif senada dirumuskan oleh Best and Kahn (1986), yang
membatasi PTK sebagai pengkajian terhadap sebuah praktik agar perubahanperubahan dapat dilakukan oleh para guru untuk menghasilkan capaian yang lebih
baik.

Senada dengan beberapa definisi di atas, Creswell (2008, h. 597) menegaskan
bahwa PTK adalah sebuah prosedur sistematis yang digunakan guru (atau individu
lain dalam konteks pendidikan) untuk menjaring data kuantitatif dan kualitatif dalam
rangka memperbaiki komponen-komponen pendidikan, seperti teknik pengajaran,
guru, atau proses pembelajaran siswa. Definisi Kemmis & McTaggart (2000, h. 596)
mungkin merupakan rumusan paling komprehensif dan aplikatif untuk sektor
pendidikan. Menurut mereka, PTK merupakan suatu proses belajar yang
menghasilkan perubahan nyata dalam hal (a) apa yang dilakukan orang, (b)
bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain, (c) apa yang
mereka maksudkan dan nilai, dan (d) wacana pemahaman dan penafsiran mereka
tentang dunia mereka. Dalam semua definisi tersebut, terdapat benang merah yang

mengungkapkan bahwa PTK merupakan kajian berbasis praktisi yang dilakukan
untuk meningkatkan aspek-aspek tertentu yang mereka soroti dalam konteks
pekerjaan mereka.
Karakteristik PTK
Creswell (2008, hh. 605-609) mengidentifikasi enam karaktaristik PTK.
Pertama, PTK terfokus pada tujuan praktis, dalam pengertian diarahkan untuk
mengidentifikasi dan memecahkan masalah aktual yang spesifik dalam konteks
pendidikan. Cochran-Smith dan Lytle (1999) menggambarkan PTK sebagai practical
inquiry atau kajian praktis untuk menekankan fungsinya sebagai cara untuk
menghasilkan atau meningkatkan pengetahuan praktis. Berbeda dengan penelitian
eksperimental yang sering diarahkan untuk menguji hipotesis dan membangun teori,
maupun dengan penelitian naturalistik yang bertujuan untuk memahami dan
menjelaskan fenomena yang diteliti, PTK terfokus pada tujuan praktis. Hasilnya
dapat menyebabkan teori yang muncul, dan untuk memahami fenomena, tetapi tidak
perlu harus theori-driven. Hasil PTK bisa saja berkontribusi kepada pemunculan teori
maupun kepada pemahaman fenomena, namun PTK tidak harus diarahkan pada
pembentukan teori. Hal ini dapat dilihat pada fakta bahwa laporan dan paparan hasilhasil PTK dalam berbagai jurnal dan konferensi didominasi oleh deskripsi dari
tindakan-tindakan yang dilakukan guru-peneliti untuk memecahkan masalah atau
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Secara umum laporan dan paparan
tersebut menunjukkan kecenderungan pelaksanaan PTK untuk memperolah manfaat
langsung bagi diri guru-peneliti dan pihak lain yang tarlibat dalam penelitian tersebut.
Untuk menekankan PTK sebagai practical inquiry, Conway and Jeffers (2004)
mengatakan bahwa PTK merupakan cara yang dilakukan guru-peneliti untuk
menjawab masalah-masalah yang dihadapi dalam pembelajaran. Karena yang diteliti
adalah praktik pembelajaran yang dilakukan oleh guru-peneliti itu sendiri, untuk
melaksanakan PTK guru tidak perlu meninggalkan tugas utamanya—mengajar.
Pembelajaran di kelas tetap berlangsung seperti biasa. Yang berbeda adalah
dilakukannya tindakan tertentu untuk memperbaiki aspek yang ingin diubah atau
ditingkatkan dalam proses pembelajaran.

Karakteristik PTK ke dua adalah hakikatnya sebagai penelitian yang reflektifmandiri (self-reflective). Dalam konteks ini, peneliti (atau kelompok peneliti)
mengkaji dan merenungkan praktik yang dia/mereka lakukan—bukan praktik orang
lain—untuk melihat apa yang harus dilakukan dalam rangka memperbaiki praktik
tarsebut. Hakikat PTK sebagai kajian yang reflektif-mandiri merupakan faktor
pembeda utama terhadap penelitian tradisional yang bersifat empiris. Berbeda dengan
penelitian empiris yang dilakukan untuk melakukan penelitian terhadap orang lain.
PTK dilakukan oleh guru-peneliti untuk mengkaji diri sendiri. Dengan kata lain,
peneliti empiris menyelidiki kehidupan orang lain, sedangkan peneliti PTK
menyelidiki diri sendiri. Oleh karena itu, McNiff (2002, h.8) menegaskan bahwa PTK
merupakan penelitian yang dilakukan oleh diri ke dalam diri. Si peneliti, seorang
praktisi, berpikir tentang kehidupan dan pekerjaannya sendiri, yang kemudian
dilanjutkan dengan merenung atau bertanya pada diri sendiri mengapa dia melakukan
hal-hal yang dilakukannya, dan mengapa dia adalah dirinya sebagaimana dirinya saat
ini. Dalam laporkan penelitiannya akan tergambar proses yang dilaluinya untuk
mencapai pemahaman yang lebih baik tentang dirinya sendiri, dan pemahaman yang
lebih baik tersebut kemudian digunakan untuk mengembangkan diri dan
pekerjaannya.
Hakikatnya sebagai sarana melakukan reflektif-mandiri ini adalah faktor
terpenting yang membuat PTK bermanfaat meningkatkan kualitas pembelajaran.
Mengajar adalah aktivitas yang sangat kompleks, yang menurut Schulman (1987, h.
15) mencakup pemahaman, transformasi, instruksi, evaluasi, refleksi, dan
pemahaman baru. Refleksi memampukan setiap guru mendiagnosis dan memahami
konteks kelas dan siswanya secara lebih utuh dan mendalam, menempatkan siswa
pada pusat proses pembelajaran, mengembangkan landasan pengajarannya,
menemukan tindakan khusus, serta mengambil keputusan paling sesuai di dalam
kelas (Al-Issa, 2002). Semua aktivitas yang difasilitasi oleh tindakan refleksi ini
diyakini akan memberikan pemahaman baru tentang tujuan, materi, siswa, teknik
mengajar, dan diri sendiri (Schulman, 1987).
Ciri khas PTK yang ketiga adalah sifat PTK yang kolaboratif, karena
dilaksanakan oleh seorang guru dan siswa di kelasnya, oleh seorang guru dengan
bantuan satu atau lebih kolega, atau oleh sebuah tim yang terdiri dari sekelompok
praktisi (guru), kepala sekolah, dan akademisi. Sebagai contoh, seorang guru bahasa
Inggris yang ingin meningkatkan kemampuan pelafalan (pronunciation) para
siswanya setiap minggu memberikan satu set teks (sebuah alinea pendek) dan
rekaman audio (file MP3 berupa suara seorang penutur asli bahasa Inggris membaca
aline tersebut) kepada seluruh siswa. Mereka diminta mendengarkan rekaman sambil
melihat teks. Setelah itu, mereka membaca teks tersebut, merekam suara masingmasing dan meng-e-mail rekaman tersebut kepada sang guru. Setelah mendengar dan
menganalisis seluruh rekaman tersebut, sang guru menjelaskan dan mengajak siswa
melatih bagian tertentu (misalnya bunyi, intonasi, atau jeda) yang perlu diperbaiki
siswa pada penugasan alinea selanjutnya. Dalam skenario ini, sang guru
berkolaborasi dengan siswanya.

Ruang lingkup kolaborasi tersebut bisa ditingkatkan dengan mengajak satu
atau lebih guru bahasa Inggris pada jenjang pendidikan yang sama (misalnya kelas
sepuluh beberapa sekolah menengah atas) untuk melakukan program peningkatan
kemampuan pelafalan (pronunciation) siswa tersebut. Dalam konteks ini, Setelah
mendengarkan seluruh rekaman siswa, para guru menganalisis dan mendiskusikan
bagian pelafalan yang perlu diperbaiki dan apa yang harus dilakukan untuk
memperbaikinya.
Jika kolaborasi dilakukan oleh sebuah tim dengan komposisi anggota yang
lebih beragam (guru, kepala sekolah, dan akademisi), peran setiap anggota bisa
disesuaikan dan dinegoisasikan. Anggota tertentu mungkin hanya berperan
melakukan observasi. Satu atau dua anggota berperan melakukan tindakan. Anggota
lain membantu dalam analisis data, sedangkan yang lain membantu dalam penulisan
laporan akhir. Walau peran para anggota bervariasi, yang penting adalah kerjasama
tersebut bermanfaat bagi semua pihak. Kehadiran si akademisi akan mendorong
peningkatan keterampilan guru melaksanakan penelitian. Sedangkan si akademisi
akan mengalami pengayaan pemahaman tentang masalah yang diteliti. Kehadiran si
kepala sekolah akan membuat kegiatan lebih terfasilitasi. Sedangkan si kepala
sekolah, paling tidak, akan memperoleh ide baru dalam menentukan kebijakankebijakan untuk meningkatkan keberhasilan sekolahnya dan secara langsung
pengetahuan baru dan praktis.
Karakteristik PTK ke empat adalah hakikatnya sebagai sebuah proses yang
dinamis dan fleksibel yang melibatkan pengulangan-pengulangan aktivitas (sehingga
membentuk pola spiral) yang majuplanning
mundur
diantara
perencanaan,
tindakan, panjaringan data, dan
refleksi. Pada saat ini terdapat
reflect ing
act ing
berbagai model PTK. Namun semua
model itu dikembangkan dari
pemikiran
Lewin
yang
menggambarkan penelitian tindakan
observing
sebagai serangkaian langkah yang
membentuk spiral. Setiap langkah
Gambar 1. M odel Dasar Penelitian Tindakan
memiliki empat tahap, yaitu
Kurt Lewin (M cNiff, 1992: 22).
perencanaan (planning), tindakan
(acting), pengamatan (observing),
dan refleksi (reflecting) (McNiff, 1992, h. 19). Secara visual, tahap-tahap tersebut
diungkapkan pada gambar 1.

Karena didasarkan pada pemikiran
Lewin, berbagai model proses pelaksanaan
PTK yang ada mengandung unsur-unsur yang
sama, yakni: (1) setiap model diawali
pembuatan rencana tindakan untuk mengatasi
masalah yang telah diidentifikasi, (2)
melakukan tindakan untuk perbaikan atau
peningkatan, (3) pelaksanaan observasi
terhadap praktik yang berlangsung untuk
menjaring dan mensintesiskan informasi; dan
(4) melakukan refleksi (evaluasi) pada
tindakan tersebut, yang hasilnya kemudian
digunakan sebagai basis perencanaan bagi
siklus berikutnya, seperti terungkap dalam
Gambar 2. Penerapan langkah-langkah ini
pada contoh tentang rencana guru bahasa
Inggris meningkatkan kemampuan pelafalan
(pronunciation) para siswanya di atas dapat
digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2: Model Siklus PTK Kemmis
and Taggart (1988)

Perencanaan

Bagaimana saya dapat meningkatkan kemampuan pelafalan
(pronunciation) para siswa? Apakah kemampuan pelafalan mereka
akan meningkat jika masing-masing secara rutin ditugaskan
mendengar rekaman suara penutur asli bahasa Inggris sambil melihat
teks dan kemudian merekam suara masing-masing ketika membaca
teks yang sama untuk dianalisis?

Tindakan

Setiap minggu saya menugaskan setiap siswa mendengar rekaman
suara penutur asli bahasa Inggris sambil melihat sebuah alinea dan
kemudian merekam suara masing-masing ketika membaca alinea
tersebut untuk dianalisis.

Observasi

Saya menganalisis setiap rekaman suara siswa untuk melihat
perkembangan kemampuan pelafalan mereka. Data yang diperoleh
dikumpulkan dan di organisasikan.

Refleksi

Setelah tindakan berlangsung 6 minggu, analisis data yang terkumpul
mengungkapkan bahwa mayoritas siswa menunjukkan kemajuan yang
signifikan dalam melafalkan fonem-fonem dan intonasi. Namun
mereka masih menunjukkan kemajuan berarti dalam hal
mempproduksi ritme dan ‘linking’. Untuk mengatasi hal itu, dilakukan
perencanaan untuk melasanakan siklus ke dua.

Tahap-tahap di atas memperlihatkan bahwa satu siklus PTK dapat dilanjutkan
ke siklus berikutnya dengan rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi ulang
berdasarkan hasil yang dicapai pada siklus sebelumnya. Siklus ke dua, ke tiga, dan
seterusnya direncanakan dan dilakukan apabila masih ditemukan adanya masalah
yang belum terpecahkan pada akhir sebuah siklus.
Ciri khas PTK yang ke lima adalah hakikatnya sebagai suatu rencana
tindakan. Meskipun merupakan proses yang dinamis dan fleksibel, sebagai sebuah
metode penelitian, PTK harus dirancang secara sistematis yang memenuhi pola
umum prosedur PTK.
Sebagian guru kadang-kadang merasa cemas, bahkan ‘takut’, melaksanakan
PTK karena adanya tuntutan untuk merancang PTK secara sistematis. Padahal
tahapan-tahapan tersebut, tanpa disadari, merupakan metode yang lazim digunakan
tiap individu untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Yang
membedakan metode pemecahan masalah sehari-hari itu dengan prosedur PTK
hanyalah kesistematisan pengidentifikasian masalah, rencana untuk memecahkan
masalah, implementasikan rencana, pengumpulan informasi, dan pelaksanaan refleksi
kritis bertujuan untuk meningkatkan bidang yang telah dipilih. Berdasarkan buktibukti yang diperoleh, para guru kemudian dapat membuat penilaian profesional atas
praktik yang berlangsung di sekolah. Dengan cara ini guru turut berkontribusi pada
pengembangan sekolah dan sekaligur meningkatkan profesionalisme mereka.
Ciri khas PTK yang ke enam adalah hakikatnya sebagai penelitian
kebersamaan (sharing research). Berbeda dengan hasil penelitian tradisional yang
biasanya langsung dipublikasikan dengan format yang sangat formal dalam jurnal
atau buku, peneliti PTK biasanya mendistribusikan laporan panelitiannya kapada
teman-teman sajawat yang mungkin dapat memakai temuan tersebut di kelas masingmasing. Biasanya, karena sifatnya yang praktis hingga dapat langsung diterapkan
dalam aktivitas pembelajaran, hasil PTK lebih memberikan manfaat langsung
dibandingkan dengan hasil penelitian tradisional. Reeves (2008) menegaskan bahwa
para pendidik lebih cenderung dipengaruhi oleh praktik-praktik profesional dan PTK
rekan-rekan mereka daripada membaca artikel jurnal atau studi lanjut di program
pascasarjana. Oleh karena itu, meskipun saat ini laporan PTK juga sudah
dipublikasikan malalui jurnal, biasanya para peneliti PTK lebih cenderung untuk
membagikan informasi tarsebut, dalam format yang relatif fleksibel kepada berbagai
rekan sejawat untuk dipraktikkan dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran di
kelas masing-masing atau dikaji ulang di sekolah/kelas masing-masing. Format
laporan PTK yang tidak begitu formal ini tentu saja memberikan berbagai kemudahan
bagi para guru sebagai peneliti.
Berdasarkan paparan di atas, terlihat bahwa berbagai fitur atau karakteristik
khusus PTK membuatnya sangat sesuai digunakan oleh para guru untuk
meningkatkan praktik pembelajaran mereka. Hal ini dudukung oleh Gilles, Wilson,
dan Elias (2010) dengan mengatakan bahwa PTK memberdayakan para guru untuk
memeriksa keyakinan mereka sendiri, mengeksplorasi pemahaman mereka mengenai
praktik sendiri, meningkatkan refleksi kritis, dan mengembangkan kemampuan

mengambil keputusan" yang meningkatkan pengajaran mereka dan memungkinkan
mereka untuk mengendalikan situasi kelas masing-masing (h. 93). Selain itu, PTK
juga memperkuat komunitas belajar profesional karena menekankan aspek
pembelajaran siswa belajar dan kolaborasi serta refleksi atas praktik pedagogis di
kalangan guru. Warren, Doorn, dan Green (2008) menemukan bahwa guru yang
terlibat dalam PTK memiliki tingkat kepuasan yang tinggi, yang mendorong motivasi
lebih besar untuk mencari solusi terhadap berbagai masalah kelas yang dinamis dan
selalu berubah" (h.261).
Kesimpulan
PTK pada hakikatnya merupakan metode kajian yang dilakukan oleh guru
sebagai praktisi utama di bidang pendidikan untuk memahami dan rnemecahkan
masalah-masalah yang berhubungan dengan pembelajaran di kelas atau sekolah.
Karena secara langsung menyentuh masalah-masalah yang dihadapi oleh guru dan
siswa, PTK sangat bermanfaat bagi guru dan siswa. Sifatnya yang sangat praktis dan
reflektif membuat PTK dapat langsung diterapkan untuk mengatasi masalah atau
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas dimaksud atau kelas-kelas lain yang
mirip. Selain itu, tahapan-tahapan PTK pada dasarnya merupakan metode yang lazim
digunakan tiap individu untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga relatif mudah dilaksanakan. Sehubungan dengan itu, PTK sangat
direkomendasikan sebagai alat praktis bagi setiap guru yang ingin meningkatkan
proses dan hasil pembelajaran para siswa yang dibimbingnya.

Alwasilah, A.C. (2012) Teachers as researchers; is it possible in Indonesia? The
Jakarta Post, Saturday, September 1, 2012. Retrieved July 5, 2013 from:
http://www.thejakartapost.com/news/2012/09/01/teachers-researchers-it-possible-indonesia.html
Al-Issa, A. (2002). An ideological and discursive analysis of English language
teaching in the Sultanate of Oman. Unpublished doctoral dissertation.
University of Queensland.
Conway, C.M., and T. Jeffers. (2004) The teacher as researcher in beginning
instrumental music. Update: Applications of Research in Music Education 22
(2): 35–45.
Cochran-Smith, M., and S. Lytle. (1993). Inside outside: Teacher research and
knowledge. New York: Teachers College Press.
Creswell, J. W. (2008). Educational research: Planning, conducting, and evaluating
quantitative and qualitative research. New Jersey: Pearson.
Doyle, W. (1990). Themes in teacher education research. In Handbook of research on
teacher education, ed. W. R. Houston, M. Haberman, and J. Sikula, 3–24.
New York: Macmillan.
Ferrance, E. (2000). Themes in education: Action research. Brown University:
Educational Alliance, 1-34.

Johnson, M., & Button, K. (2000). Connecting graduate education in language arts
with teaching contexts: The power of action research. English Education, 32,
107-126.
Kaplan, R. (1998). On TESOL and research. TESOL Matters, 8(3).
Kemmis, S., & McTaggart, R. (2000). Participatory action research. In N.Denzin &
Y. Lincoln (Eds).,Handbook of Qualitative Research. (2nd ed. Pp 557-605).
Thousand Oaks: Sage.
Levin, B. B., and S. P. Merritt. 2006. Guest editors’ introduction: Action research for
teacher empowerment and transformation. TeacherEducation Quarterly 33
(3): 3–6.
Mackey, A., & Gass, S. M. (2005). Second language research: Methodology and
design. Mahwah: Lawrence Erlbaum Associates Publishers
McNiff, J. Action research for professional development: Concise advice for new
action researchers. Dorset: September Books.
Mills, G. E. (2011). Action research: A guide for the teacher researcher (4th ed.).
Boston: Pearson.
Ponte, P. (2002) How Teachers Become Action Researchers and How Teacher
Educators Become their Facilitators, Educational Action Research, 10(3), pp.
399-422.
Reeves, D. B. (2008). Reframing teacher leadership to improve your school.
Association for Supervision and Curriculum Development.
Robbins, J., M. K. Burbank, and H. Dunkle. 2007. Teacher research: Tales from the
field. Journal of Music Teacher Education 17:42–55.
Sagor, R. (2004). The action research guidebook: A four-step process for educators
and school teams. Thousand Oaks, CA: Sage.
Schulman, L. (1987). Knowledge and teaching: foundations of the new reform.
Harvard Educational Review, 57 (1), 1-21.
Vialle, W., Hall, N. & Booth, T. (1997). Teaching research and inquiry in
undergraduate teacher-education programmes. Asia-Pacific Journal of
Teacher Education, 25(2), 129–140.
Zeuli, J. (1994). How do teachers understand research when they read it? Teaching
and Teaching Education, 10(1), 39-55