Buku Prosiding DIALOG CERDAS BERBUDAYA R

Prosiding
DIALOG CERDAS BERBUDAYA DALAM RANGKA PERINGATAN 60 TAHUN KAA
REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA
“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif
Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”
Buku tentang REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA
“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan
Budaya Dalam Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal
Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi” merupakan
rangkaian tulisan (prosiding) dari hasil Dialog Cerdas Berbudaya
Dalam Rangka Pringatan 60 Tahun KAA yang diselenggarakan
pada hari Senin, 9 Maret 2015 Masehi (Soma Wage, 11 Suklapaksa bln
Setra 1951 Caka Sunda) bertempat di Grand Ballroom Savoy Homan
Bidakara Hotel, Jalan Asia-Afrika 112 Bandung atas kerjasama
Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya) dan Museum
Konperensi Asia Afrika (MKAA).

Buku ini merupakan kumpulan konsep dan metodologi pendekatan nilai-nilai kearifan
budaya lokal yang telah dan sedang dilakukan oleh para pemangku kepentingan di
Indonesia, serta untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mengenai mengenai praktekpraktek pendekatan nilai-nilai kearifan budaya lokal dalam perencanaan, pelaksaan dan
pengendalian pembangunan.

Buku prosiding Dialog Cerdas Berbudaya ini terdiri dari 4 Bab, yaitu:
 Bab I Kerangka Acuan yang berisikan tentang Latar Belakang Pemikiran dan Tujuan
Dialog diselenggarakan


Bab II Notula dan Berlangsungnya Acara Dialog



Bab III Merupakan kumpulan makalah dari Narasumber, Pembahas Utama, Pemakalah
Tamu dan Makalah Partisipan yang terdiri dari :
- Dialog I dengan tema “Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya
Nusantara-Indonesia Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegera”
- Dialog II dengan tema “Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan
Masyarakat Dalam Konteks Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”
- Dialog III dengan tema “Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat
Kebersamaan Membangun Peradaban Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”




Bab IV Risalah dan Rekomendasi dari seluruh makalah dan kesimpulannya.

Keterangan Buku:
Penerbit : BESTDAYA, 2014 (didukung oleh
ISBN :
(jilid lengkap)
Jumlah Buku:

)

Publikasi: Buku
PROSIDING DAN REKOMENDASI DIALOG CERDAS BERBUDAYA 60 TAHUN KAA
REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA AFRIKA
“Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam Perspektif
Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus Globalisasi”
Pengarang _
ISBN Bahasa Halaman Tahun Persediaan BESTDAYA
Library


Melihat dan mendefiniskan Nilai-nilai Budaya Asia Afrika dengan perspektif regional
berdasarkan realitas globalisasi saat ini menjadi tuntutan yang semakin kuat bagi
penentu kebijakan sebagai acuan diplomasi budaya. Sayangnya, dorongan untuk
menjawab tantangan tersebut tidak cukup besar di Indonesia, negara yang
memiliki peran dan posisi penting dalam menentukan dinamika kawasan. Kajian
tentang Nilai-nilai Budaya Asia Afrika cenderung terpinggirkan dan tidak
berkembang secara signifikan di ranah akademis di Indonesia. Mengingat
pentingnya hal tersebut, maka Yayasan BESTDAYA (Bengkel Studi Budaya)
bersama Museum Konperensi Asia-Afrika, melaksanakan DIALOG CERDAS
BERBUDAYA 60 TAHUN KAA REVITALISASI NILAI-NILAI BUDAYA ASIA
AFRIKA “Membangun Sinergitas Keberagaman Sebagai Kedaulatan Budaya Dalam
Perspektif Orientasi Nilai Kearifan Budaya Lokal Untuk Menghadapi Dampak Arus
Globalisasi” pada tanggal 9 Maret 2015 dengan mengundang para Guru Besar dari
berbagai lintas disiplin ilmu dan para praktisi sebagai upaya untuk memberi
masukan revitalisasi terhadap nilai-nilai budaya untuk menghadapi dampak arus
globalisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera.
Buku Prosiding ini terlahir dari pergulatan wacana dan gagasan dari para
Narasumber, Pembahas Utama, dan Pemakalah yang tersampaikan pada sebuah
diskusi akademis yang mengedepankan logika dan objektifitas, mengulas
perubahan sosial dari berbagai sudut pandang, social setting yang beragam

menjadi nilai lebih dalam buku ini, karena faktanya kita memang Negara yang
sangat beragam. Pendekatan social setting ini akan membantu dalam melihat
sebuah permasalahan.
Buku ini membahas secara multidisiplin mengenai fenomena perubahan sosial di
masyarakat Indonesia, desain dan strategi untuk melakukan perubahan sosial.
Perubahan sosial dilihat dari sudut pandang budaya, media massa, politik,
pendidikan, birokrasi, gender dan pemanfaatan portal internet.
Semoga berbagai pemikiran yang telah diungkapkan para Narasumber, Pembahas
Utama, dan Pemakalah Tamu/Partisipan melalui paparan makalah ini dapat
dijadikan sebagai langkah awal untuk mendefinisikan revitalisasi nilai-nilai budaya

menghadapi dampak arus globalisasi dan membuka ruang diskusi yang lebih luas.
Selamat membaca!
Abstrak Makalah
Dialog I
“Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Luhur Budaya NusantaraIndonesia Menghadapi Arus Budaya Global Dalam Kehidupan
Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegera”
1.

“Perkembangan Budaya, Suatu Pendekatan Antropologi Sosial”

Prof. H. Judistira K. Garna, Ph.D
Dalam revitalisasi nilai-nilai budaya Asia-Afrika yang termaktub pada Dasa Sila
Bandung agar dapat dikelompokkan nilai-nilai apa saja yang perlu direvitalisasi dan
direaktualisasikan.
Pertama adalah (1) dalam proses perubahan budaya di masa ini tidak mudah
melakukan revitalisasi dan reaktualisasi; (2) keberagaman budaya; (3) sifat
individualitistik pelakunya; (4) hakekat perubahan budaya yang fungsional atau
unsur-unsur yang berfungsi dalam budaya yang masih kurang diserap; (5) orientasi
budaya yang berlainan menurut komunitas dan lapisan sosial serta beberapa; (6)
unsur budaya yang penting sudah menjadi ideologi dan bukan menjadi budaya lagi;
dan (7) tafsir budaya yang berbeda oleh para pelakunya.
Kedua adalah bagaimana model nilai-nilai budaya yang beragam dan dampaknya itu
sebenarnya.

2.

“The Sundanese of West Java and their Relation to Ethnoastronomy”
Prof. Dr. H. Suhardja D. Wiramihardja, M.Sc.
Nothing in nature has intrigued humans more than gazing at a spectacularly star-lit
sky. While all people on Earth have observed the same primitive objects in the sky,

i.e. the sun, moon, and stars, all cultures have developed their own interpretations of
these heavenly bodies within different cultural contexts. There are many different
ways in which people have woven concepts and knowledge of sky phenomena and
objects they watched into the fabric of their lives. But it is important to realize that in
most cultures there was nothing that was thought of as “astronomy”. The phenomena
and objects in the sky were merely part of the whole complex of the surrounding
world.

3.

“Komunikasi Antarbudaya Abad ke-21: Kendala dan Tantangan”
Prof. H. Deddy Mulyana, M.A., Ph.D
Globalisasi abad ke-21 bukan penyeragaman budaya. Negara-negara tidak otomatis
menganut ideologi tunggal. Justru masyarakat di berbagai belahan dunia mempunyai
kesadaran baru akan nilai-nilai budaya dan etnik mereka, termasuk nilai-nilai agama,
ritual, permainan, busana, dan makanan, dsb. Kebangkitan agama-agama pada
milenium ke-3, seperti disinyalir Naisbitt dan Aburdene (1990), yang dampaknya
mencuat sejak akhir abad ke-20, semakin mempertegas perbedaan budaya tersebut.
Menurut Naisbitt dan Aburdene, saat manusia dilanda perubahan, kebutuhan akan
kepercayaan spiritual semakin kuat. Ilmu dan teknologi tidak menjelaskan kepada kita

apa makna hidup. Agamalah yang mengajarkan hal itu.

4.

“Revolusi Senyap : Mengelola Hidup dan Merencanakan Masa Depan”
Prof. Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, Ph.D
Hal yang kita angkat bersama hari ini untuk diteruskan melalui forum-forum
yang lebih dalam lagi untuk dapat memperjelas dan melihat apa yang perlu
kita kembangkan lagi serta apa yang perlu kita lakukan bersama ke depan.
Pertama, kata revitalisasi dan reaktualisasi, ada beberapa hal kalau kita lihat tentang
Asia-Afrika setelah 60 tahun ini. Jadi kalau kita revitalisasi atau juga melakukan
reaktualisasi, maka sesungguhnya kata atau semangat merdeka yang waktu itu
dimunculkan oleh Bung Karno dan menggetarkan dunia ketika itu dan melakukan
perubahan atau terjadi perubahan besar di banyak wilayah Indonesia, wilayah Asia,
dan wilayah Afrika, maka sesungguhnya ini belum selesai. Jadi bisa dikatakan bahwa
kepeloporan Indonesia itu masih diperlukan, karena kemerdekaan dan ketidakadilan
masih sangat sangat tajam. Kalau kita lihat bolehlah merdeka secara ekonomi di
wilayah Asia dan Afrika dan juga di wilayah Selatan lainnya, tetapi sesungguhnya
secara budaya, secara ekonomi, secara informasi terjadi ketimpangan dan
ketidakadilan.


5.

“Pancasila Satu-satunya yang Mampu Hadapi Gempuran Globalisasi”
Laksamana TNI (Purn) Slamet Soebijanto
WASANTARA :
Cara pandang bangsa Indonesia berdasarkan PANCASILA dan UUD’45 yaitu
tentang diri dan lingkungan serta keberadaannya yang sarwa Nusantara dalam
mengekspresikan diri sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat dunia
dengan ke beragaman nilai-nilai dan tata laku adalah bukti potensi bangsa Indonesia

6.

“Kerjasama Asia-Afrika Melalui Diplomasi Budaya”
Sukawarsini Djelantik, Dra., M.Int.S, Ph.D
Tujuan Diplomasi Budaya adalah menumbuhkan opini positif di negara lain
“goodwill ambassador”, virtual diplomacy, diplomacy without diplomat, dan untuk
Menginformasikan/mempengaruhi opini publik di negara lain; Mempromosikan
kepentingan nasional melalui saling pengertian, tukar menukar informasi, dan
mempengaruhi publik di negara lain; Meningkatkan dialog antar warga negara dan

institusi- institusi di luar negeri; Upaya-upaya pemerintah untuk membangun
komunikasi di negara-negara dimana ada kepentingan Indonesia, untuk
menghindarkan kesalahpahaman yang memperburuk hubungan

7.

“Perkembangan Nilai-Nilai Budaya Dalam Perspektif Sistem Kalender
Penanggalan Tradisional”
Dr. Ir. H. Moedji Raharto, M.Sc.
Ilmu astronomi ini sebenarnya sangat universal, karena semua makhluk di bumi
menggunakan tatanan waktu melalui sistem perhitungan atau masa peredaran bumi,
bulan, matahari dan juga bintang-bintang untuk kehidupan yang dekat akan ada
sistem perhitungan kalender yang berbeda-beda. Dalam konteks nasional sebetulnya
kita sudah memberikan suatu contoh bahwa negara Indonesia adalah suatu negara
yang mengakomodasi banyak sekali hari-hari libur nasional yang berlatar belakang
baik itu agama maupun juga suatu budaya. Kita ada hari libur imlek yang berbeda
dari asalnya di Tiongkok yang dibangun sistem perhitungan luni-solar, yang juga ada
hari raya Waisak yang ditandai dengan bulan purnama dan itu melekat dengan tradisi
yang ada di Indonesia. Begitu juga kita mempunyai kalender Hindu yang mungkin
tatanannya hampir sama, mirip tapi tidak.


Pengetahuan astronomi pada nenek moyang bangsa Indonesia baik yang berdiam di
daerah pesisir (masyarakat nelayan dan pelaut), maupun yang berdiam di daerah
pedalaman (masyarakat agraris) telah mengenal perhitungan astronomis yang
dipakai sebagai pedoman untuk mempermudah kehidupannya. Pada masyarakat
pesisir dipakai sebagai “alat” navigasi, sedangkan pada masyarakat agraris dipakai
untuk menentukan pertanggalan yang berkaitan dengan upacara untuk menentukan
kondisi baik dan buruk atau untuk melihat seseorang yang melanggar pantangan
serta pada akhirnya untuk menentukan waktu bercocok-tanam. Benda langit yang
dijadikan pedoman untuk keperluan itu adalah bintang-bintang dan bulan. Penelitian
perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan astronomi sudah banyak dilakukan oleh
para peneliti dalam hal pertanggalan (kalender), yang berusaha mencari kesesuaian
unsur penanggalan dengan gerak benda langit.

8.

“Makna Kebenaran dan Keseimbangan di Alam Semesta”
Ferenc Raymond Sahetapy (Ray Sahetapy)
Hari ini, manusia hidup dikendalikan oleh dua hal: keinginan dan kebutuhan.
Kebutuhan belum tentu keinginan. Keinginan juga belum tentu kebutuhan. Kebutuhan

harus dipenuhi agar manusia dapat bertahan hidup. Dalam artian, kalau kebutuhan
tidak dipenuhi, manusia akan terancam hidupnya. Maka, manusia yang seimbang bisa
memisahkan antara kebutuhan dan keinginan. Keduanya harus seimbang.. Hancurnya
suatu tatanan keseimbangan disebabkan karena manusia hidup lebih di dominasi oleh
keinginannya, bukan kebutuhannya. Apakah itu keinginan untuk berkuasa, keinginan
untuk mencari untung, keinginan untuk berbuat curang, dan sebagainya. Kebutuhan
yang paling mendasar bagi setiap manusia adalah mengenal jati dirinya. Mengenal
apa tujuan dia diciptakan di muka bumi. Setiap makhluk, hari ini sedang berlombalomba dalam menyelaraskan dirinya dengan aturan-aturan Sang Maha Pencipta yang
berlaku di alam semesta ini, sehingga terciptalah keseimbangan itu. Jadi, tugas
manusia itu tidak lain adalah mewujudkan kehendak-kehendak Sang Maha Pencipta
itu kedalam kehidupannya, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial
kemasyarakatan. Memperjuangkannya, sehingga terciptalah keseimbangan itu
sendiri. Salah satu bentuknya, sebagaimana diungkap dalam Pancadarma sila ke
satu: memuliakan, memelihara, dan menjaga seluruh ciptaan Sang Maha Pengatur
alam semesta. Segala macam bentuk pemahaman, seharusnya jangan sampai keluar
dari pola pikir semacam ini. Dalam artian, antara manusia, alam, dan Sang Maha
Pencipta harus mempersatukan dan menyelaraskan kehendak agar terjadi
keseimbangan diantara ketiganya.

9.

“Kearifan Lokal sebagai Filter dari Globalisasi”
R.A. Garlika Martanegara, S.Sos., M.Si
Kendala yang terjadi saat ini adalah negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika
yang menyatakan dirinya negara non blok pada saat itu mengalami penjajahan
metode baru. Setelah runtuhnya blok timur bukan berarti menyelesaikan
permasalahan konflik yang ada, namun menimbulkan terbaginya negara-negara di
dunia dalam bentuk Three World Systems (Marx – Wallerstein). Dimana terbagi
menjadi negara core (yang terdiri dari negara-negara maju seperti Amerika, Inggris,
China sekarang, dan beberapa negara Uni Eropa), negara semi periphery (tidak
sekuat negara core namun memiliki cukup pengaruh setidaknya pengaruh regional),
dan negara periphery (biasa disebut negara dunia ketiga dimana ketergantungan
terhadap negara semi periphery dan negara core sangat tinggi, misalkan Indonesia,
Myanmar, dan banyak negara-negara di Afrika). Pada tahun 2000 Indonesia sempat
naik menjadi negara semi periphery (Dunn, Kawana, Brewer 2000), namun pada
tahun 2013 turun kembali menjadi negara periphery yang tentunya berampak
negative dari status sebagai negara periphery.

Dialog II
“Merajut Peradaban Melalui Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Konteks Bahasa, Sastra, dan Kebudayaan”

10.

“Perkembangan Budaya Dalam Pendekatan Sejarah”
Prof. Dr. Drs. H. A. Sobana Hardjasaputra, S.U
Perkembangan budaya memang perlu dipahami melalui pendekatan sejarah, karena
sejarah merupakan proses yang berkesinambungan. “Hana nguni hana mangké, tan
hana nguni tan hana mangké”. Demikian ungkapan dalam salah satu naskah Sunda
kuno, yang berarti “Ada dulu maka ada sekarang, tanpa ada dulu tidak akan ada
sekarang”. Bila ungkapan itu diterapkan pada budaya, berarti untuk memahami
perkembangan budaya, perlu dipahami proses perkembangan budaya yang
bersangkutan, untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan atau
mendorong perkembangan budaya itu, sehingga akan diketahui apa yang menjadi
sumber kekayaan budaya setiap bangsa. Dalam hubungan itulah pentingnya dipahami
nilai-nilai kearifan budaya lokal, yang menunjukkan pengalaman-pengalaman penting
manusia di masa lampau, dan hal itu pula yang menjadi cakupan sejarah. Sejarah
termasuk ilmu empiris (Empeiria = pengalaman).

11. “Perkembangan Budaya Nusantara”
Prof. Dr. Marsono, S.U
Bangsa Indonesia yang ber-Binneka Tunggal Ika terjadi dari berbagai etnik adalah
bangsa yang besar. Sejarah budayanya telah terbentuk sejak zaman kuna. Jika
sejarah budayanya dilihat, bangsa ini dalam kancah dunia internasional zamannya
tercatat dalam tinta emas. Namun, dalam perjalanan sejarah setelah kemerdekaan
sampai sekarang kondisi bangsa Indonesia, khususnya setelah runtuhnya rezim Orde
Baru digantikan oleh Orde Reformasi, masih belum cemerlang. Apa yang diharapkan
oleh masyarakat akan datang zaman yang tertata belum menenuhi harapan. Budaya
pragmatis material dan bahkan hedonistis lebih dikedepankan. Nilai-nilai humanistis
dalam kehidupan ditinggalkan. Tindakan sebagian dari mereka demi mengejar
pragmatisme, material, dan hedonistis menjadi kebablasan.
Kondisi moral bangsa pada sebagian masyarakat dalam keadaan tidak beradab.
Bangsa yang dahulunya dikenal sebagai bangsa yang berbudi luhur dan murah
senyum, sikap yang demikian hanya tinggal dalam kenangan sejarah. Jika suatu
tindakan kebablasan tidak bermoral ini dibiarkan menjadi budaya, niscaya bangsa dan
negara Indonesia cepat atau lambat akan surut.
12. “Asia Afrika Dasawarsa KE-II Abad 21”
Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
Bangsa-bangsa Asia Afrika saat ini menggenapkan kematangan sosio-budaya
politiknya yang telah mencapai usia 55 tahun.Dasasila Bandung masih tetap relevan
dan bahkan semakin relevan, bahkan kita sebagai satu kolektifitet antarbangsa di
kawasan Asia Afrika telah semakin mantap dengan pandangan sosio-budaya politik
kita. Dasasila Bandung salah satu bukti kematangan nalar dan sikap sosio-budaya,
politik bangsa-bangsa Asia Afrika. Hal tersebut tercermin pada butir-butir Dasasila
Bandung.

13.

“Spirit Budaya Nusantara”
KRAT Mas’ud Thoyib Adiningrat, Drs.
Masalah kebudayaan di negara kita akhir-akhir ini memang terasa dilupakan orang
meskipun disadari atau tak disadari hampir semua orang pada setiap harinya selalu
berurusan dengan budaya. Meskipun sudah lebih dari setengah abad merdeka
ternyata ada saja di antara kita yang sering keliru dalam memahami budaya sebagai
kesenian semata-mata; padahal pengertian budaya ataupun kebudayaan adalah jauh
lebih luas. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945 pada
dasarnya kebudayaan merupakan buah usaha budi manusia secara kolektif. Di dalam
teori budaya disebutkan tentang Teori Roda (yang Berputar), atau yang dalam
referensi Jawa Klasik disebut dengan "Cakra Manggilingan". Budaya adalah bagian
dari kehidupan manusia yang perjalanannya seperti halnya perjalanan kehidupan
manusia itu sendiri; terkadang buntung terkadang untung, terkadang pahit terkadang
manis, terkadang buruk terkadang baik, terkadang salah terkadang benar, dan
terkadang kalah terkadang menang. Seperti perputaran roda; terkadang di bawah
terkadang di atas.

14.

“Revitalisasi Mitos KAA : Dari Indonesia Untuk Dunia Yang Bermartabat”
Mahyudin Al Mudra S.H., M.M
Menurut Eliade, benar tidak sebuah mitos tidak ditentukan oleh apakah mitos
tersebut betul-betul terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada dampak yang
ditimbulkannya. Dalam konteks inilah, penulis melabeli KAA sebagai sebuah mitos.
KAA merupakan satu dari sekian “mitos” yang diciptakan bangsa Indonesia. Melabeli
KAA yang merupakan fenomena dunia pada tahun 1950an sebagai sebuah mitos,
tidak dalam posisi bahwa penulis meragukan pelaksanaan KAA. KAA betul-betul
terjadi, dan memberikan pengaruh luarbiasa bagi peradaban dunia saat ini. Mitos
dalam hal ini bukan sesuatu yang dikhayalkan sehingga yang dimitoskan itu benarbenar terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada pengaruh dari mitos tersebut. Menurut
Eliade, benar tidak sebuah mitos tidak ditentukan oleh apakah mitos tersebut betulbetul terjadi apa tidak, tetapi lebih kepada dampak yang ditimbulkannya. Dalam
konteks inilah, penulis melabeli KAA sebagai sebuah mitos.

15.

“Tafakur dan Pemuliaan: Kiprah Nilai Perempuan dalam Merawat Budaya”
Hj. Mira Rosana Gnagey Wiranatakusumah, Dra., M.Pd
Untuk mentafakuri ikhtiar perempuan dan perannya di Tatar Sunda atau bumi
nusantara maka kita akan berada pada pengembaraan jiwa yang harus membuka
lembaran kisah lama, merenungkan lintasan kiprah peristiwanya hingga hari ini
untuk menggamit harapan dan doa ke Indonesia Masa Depan yang lebih baik dalam
merekonstruksi peradaban tangguh sesuai dengan nilai kearifan nusantara.

Dialog III
“Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan Semangat Kebersamaan Membangun Peradaban
Melalui Pendekatan Adat, Adab, Budaya”

16.

“Identitas Personal sebagai Pembangunan Kebudayaan”
dr. Teddy Hidayat, Sp.KJ (K)
Gen mempengaruhi terhadap pengaruhi terhadap keberlangsungan keturunan.
Apabila gen-nya bagus keturunannya akan bagus pula. Kapasitas mental, ada IQ, Eq,
moral dan spiritual. GEN tidak dapat dirubah, namun prilaku, hari-hari kita dapat
merubah gen sehingga sesuatu yang dibangun baik akan baik, dan melahirkan
generasi budaya yang lebih baik. GEN, suka tidak suka lama-kelamaan akan punah.
I Want, I Can, I do ; niat saja tidak cukup harus belajar ilmunya agar seseorng mulai
dari lahir, tumbuh kembang hingga remaja. Merupakan suatu proses perjalanan
panjang membangun situasi bangsa.
Sampai saat ini belum terlihat bagaimana sistematik mulai dari kandungan,
perkembangan kepribadian. Orang kita banyak pinter tetapi banyak juga yang
korupsi, bagaimana mengendalikan emosi, lingkungan?
Yang paling penting adalah moral spiritual menjadi pusat yang harus dimasukkan
dalam fase perkembangan seseorang

17.

“Nilai Kearifan Dalam Etika Tari Melayu”
Tengku Puan Puteri Bongsu Mira Rozanna Sinar, S.Sos
Masyarakat di belahan dunia manapun masing-masing memiliki adat dan seni budaya
(custom and culture) yang berperan menjadi karakteristik bangsa dalam menuntun
kehidupan budaya suatu bangsa. Namun, dinamika komunikasi dan informasi yang
sedemikian cepat mengakibatkan pergeseran nilai budaya yang semakin hari semakin
terasa nyatanya. Sebagai contoh rasa cinta kepada budaya leluhur bagi generasi
muda di kota-kota besar sudah semakin terkikis. Mereka terlena akan gemerlapnya
dunia modern. Disisi lain akar budaya dan jati diri yang telah diwariskan oleh nenek
moyang bangsa ikut terbentuk. Adanya pembentukan budaya baru oleh penata tari
muda dalam wujud kini, diharapkan dapat merupakan pengembangan kekayaan
budaya masa kini yang sarat dengan modifikasi, inovasi dan dinamis, namun
hendaknya tidak melupakan seni tari tradisional.

18. “Peran Perempuan dalam Politik Perspektif Al-Qur’an dan Tradisi
di Kesultanan Kerton Kanoman Cirebon”
Ratu Raja Arimbi Nurtina, S.T., M.Hum
Politik senantiasa begitu menakutkan bagi kaum perempuan, di mana kaum
perempuan cenderung ragu dalam mentukan pijakannya untuk ikut mengambil peran
dalam politik. Beberapa pedoman dalam Al-quran dan pandangan beberapa ahli
politik, bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai
aktifitas, termasuk dalam berpolitik.
Kata Kunci: Perempuan, Politik, Al-Quran, Tradisi Kesultanan Keraton Kanoman Cirebon

19.

“Peran Pemerintah Dalam Mempertahankan Kearifan Lokal
Ditengah Globalisasi”
Dr. Ir. Hj. Eni Sumarni, M.Kes.
Fenomena tergerusnya budaya dan kearifan lokal oleh budaya global, belakangan ini
juga dirasakan para pemangku kepentingan di pelosok desa. Seperti halnya budaya
gotong-royong, yaitu melakukan suatu pekerjaan secara bersama-sama dan tanpa
berharap pamrih, tampaknya hanya tinggal menyisakan kisah indah masa lalu belaka.
Peran pemerintah sangat penting dalam mempertahankan dan melestarikan kearifan
lokal dan memupuk budaya-budaya asli bangsa Indonesia, ketidak pedulian
pemerintah dan masyarakat terhadap budaya dan kearifan lokal mengakibatkan
terjadinya kemunduran pada dekade ini, bahkan masih banyak alat kesenian lokal
budaya Indonesia yang belum terdaftar UNESCO ini menjadi masalah yang belum
terselesaikan sampai saat ini, dikarenakan ketidak tahuan masyarakat dan ketidak
pedulian pemerintah untuk memfasilitasi hal tesebut misalnya dalam mempermudah
pendaftaran. Belum adanya sebuah regulasi untuk melindungi budaya-budaya yang
ada di Indonesia, DPD RI sebgai reperesentatif daerah akan mendorong adanya
perlindungan terhadap budaya dan kearifan lokal di Indonesia sebagai Negara yang
prulalistik haruslah ada perlindungan dan kepastian hukum, agar bangsa Indonesia
bisa memiliki jati diri dan kehormatan dimata bangsa lain.

20.

“Masyarakat Adat dan Hak Pengelolaan Kehidupannya
Salah Satu Model Budaya Cerdas Nusantara”
Aom Muhtarom, S.Ag
Selama ini masyarakat adat dipahami sebagai masyarakat tradisional, kuno,
tertinggal, primitif, terasing, pinggiran, terpencil. Istilah-istilah tersebut merupakan
sebutan warisan terburuk yang dialami oleh masyarakat adat pada masa lalu.
Kenyataannya tidaklah demikian karena secara manusiawi tidak pada tempatnya
istilah tersebut ditujukan kepada masyarakat adat.
Istilah-istilah tersebut memang sempat menjadi perdebatan untuk menunjuk pada
masyarakat adat. Istilah tersebut sering diperdebatkan oleh kalangan akademisi,
aktivis LSM masyarakat adat dan masyarakat adat itu sendiri pada forum-forum
nasional maupun internasional untuk memberikan rujukan istilah yang pantas bagi
masyarakat adat. Sehingga kurang lebih 5 tahun istilah tersebut diperdebatakan dan
disepakatilah istilah yang baku baik ditingkat nasional maupun internasional, yaitu
dengan sebutan Masyarakat Adat (indigenous people).
Kedaulatan masyarakat adat hanya akan diakui dan dihormati sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kesatuan Republik Indonesia. Bila
tidak, maka negara tidak akan menghargai dan mengakui terhadap kedaulatan
masyarakat adat. Kedaulatan masyarakat adat adalah sebagai salah satu budaya
yang ada pada masyarakat adat dalam pengelolaan kehidupannya merupakan bentuk
kecerdasan budaya masyarakat adat dalam mengatur kehidupannya baik keluar atau
kedalam.

PEMAKALAH TAMU
1.

“Adat Budaya dan Adat Resam yang Bersimpang-siur (Songsang)”
Prof. Dr. HM. Mudarasulail Alasatam Kiram
Budaya Sulu datang dari Indonesia yaitu dari Sumatera, penting untuk memahami
budaya lokal atau asal-usulnya kita sebagai banteng pertahanan budaya. Dan
kedaulatan raja/sultan adalah sebagai bentuk kemandirian budaya, namun
Penggunaan Adat Budaya itu tidak konsisten, mereka suka merompak budaya asing
atau budaya luar untuk dicampur-adukkan dengan budaya setempat, inilah yang
menyebabkan kekeliruan budaya yang smar-samar untuk diketahui. Agar semua para
pengamal kebudayaan, sastrawan dan sebagainya harus mengekalkan adat budaya
daerah masing-masing agar keunikan dan kecintaan terhadap budaya itu dapat
diamalkan dan diperturunkan kepada generasi yang
mendatang, ini bermakna
budaya itu kekal sebagai wardah tradisi yang diwarisi turun-temurun sehingga akhir
zaman.

2.

“Budaya Asia Afrika Mengayomi Dunia”
Dr. Djuyoto Suntani
Hanya Budaya Asia Afrika yang bisa mengayomi dunia. Ini karena Masyarakat Asia
Afrika memiliki “hati nurani”, kearifan, kasih sayang, ada etika, ada tata krama,
punya wisdom, serta nilai-nilai spiritual. Karena itu semua agama yang diakui dunia
sekarang ini lahir di Asia. Sebaliknya, Perang Besar yang bernama Perang Dunia I
dan II dimulai di luar Asia Afrika. Masyarakat Asia Afrika memiliki budaya adiluhung.
Contoh paling sederhana dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat
Asia Afrika mengajarkan anak-anak untuk patuh dan hormat kepada orang yang lebih
tua.

4.

Exploring the Objectification of Islam through the Spreading
Discourse of “jilboobs”
Ryo Araki
The spreading discourse of “Jilboobs” has caused by the misapplication of wearing
jilbab. Basically, according to the Islamic rule as it written in Al-Quran, Muslima need
to hide her hair, skin and body line, and to comply the rule, they must wearing scarf
as one of the symbolic act.But nowadays in Indonesia, we found the trend among
theIndonesian Muslimaswho dress herself withclothes which emphasizing and showing
the line of her chest (boobs) and buttocks or other body shape clearly, although they
wearing scarf on her head. So then, against for such a paradoxical situation, another
Muslims who have a high awareness of wearing scarf correctly, start to criticize the
way of Muslimas fashion trend in recent year and create the ribbing name “jilboobs”
based from “jilbab” word. On the other hand, through daily practices of Muslimas, we
are able to point out their artifice of how to deal aspiring to the stylish (fashionable)
clothes and more Islamic way.

MAKALAH PARTISIPAN
1.

“Revitalisasi Aspek Sosial-Ekonomi-Budaya Dalam Konteks
Platform untuk Kesejahteraan Bangsa dan Masyarakat Dunia”
Prof. Dr. Ir. Elan Masbulan, M.P.

Asia–Afrika

Budaya masyarakat Timur, secara tradisional lebih mengutamakan
kerjasama
berdasarkan kebersamaan dan saling percaya mempercayai (Trust Building).
Dalam skala kecil budaya kekeluargaan (Cronysm) akan berjalan dengan baik dan
berkelanjutan. Tetapi kebersamaan dalam cronysm ini dilanjutkan dalam skala
ekonomi yang besar dan bersifat global (melibatkan konglomersi usaha
internasional), maka sistem perkoncooan tersebut mudah menimbulkan persoalanpersoalan besar. Akibatnya terjadilah kemajuan semu dan pertumbuhan ekonomi
menyimpang dari tujuan–tujuan sosial yang lebih luas seperti pemerataan,
pengentasan kemiskinan, dan konservasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup.
Akibat tersebut di atas, maka terjadi kesenjangan (gaps) perbedaan dalam
masyarakat yang secara bersamaan diikuti oleh peningkatan tindak kejahatan sosial
ekonomi. Fenomena ini pada gilirannya sudah menimbulkan kerawanan SOSIAL –
EKONOMI- BUDAYA

2.

“Budaya dan Falsafah Sunda Kontribusinya dalam
Menghadapi Disintegrasi Sosial”
Nandang Rusnandar, Drs., M.Si
Perjalanan Bangsa Indonesia, kini sedang menuju ke Indonesia Baru. Berbicara
mengenai Indonesia Baru, maka tak lepas dari Jawa Baru, Sunda Baru, kini
masyarakat Jawa Barat harus mampu menghidupkan spirit Jawa Barat Baru dengan
latar belakang budaya dan sejarah yang dimilikinya. Perlu pengadopsian nilai-nilai
karuhun yang telah disosialisasikan dahulu dapat dijadikan pegangan hidup untuk
survive. Salah satu elemen penting dalam menghadapi masalah besar tersebut,
dengan memanfaatkan sikap kepemimpinan yang berbasis Back to Karuhun
diharapkan dapat menciptakan kesatuan wawasan yang berorientasi pada upaya
pemecahan masalah disintegrasi sosial yang semakin meruncing.

4.

“Keberadaan Komunitas Adat Ditengah Perubahan”
Drs. Ari Harmedi Memed
Batasan komunitas dan masyarakat adat belum teridentifikasi dengan jelas
berdasarkan kriteria sosial budaya, seperti dimaksudkan dalam deklarasi hak asasi
manusia khususnya tentang masyarakat adat. Komunitas dan Masyarakat adat di
dalam arus perubahan, dari sisi hak hidup telah diakui dunia melalui piagam PBB
tentang Masyarakat Adat. Namun dalam implementasi hak hidup itu masih terkendala
oleh sikap dan pandangan kelompok masyarakat yang menguasai kekuasaan dan
persepsi sosial budaya yang menempatkan masyarakat adat sebagai kelompok
minoritas. Beberapa upaya untuk mencari solusinya sehinggga tujuan dari
pemberdayaan itu sendiri dapat dicapai yaitu berdayanya Komunitas Adat terpencil
dalam segala aspek kehidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani,
rohani dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.

5.

“Konsep Waktu Sunda dan Pembelajaran Sejarah Lokal”
Miranda H. Wihardja
LEBIH kurang 500 tahun, sistem penanggalan Sunda tak lagi akrab dengan
masyarakatnya. Padahal, praktik “hitung-menghitung hari baik” hingga kini tetap
dilakukan orang-orang Sunda yang “pandai”. Malah, orang Sunda sendiri –meski tak
semuanya– merasa belum afdal jika hajat mereka (seperti pernikahan, membangun
rumah, dan sebagainya) tak “dihitung” terlebih dahulu.
Manusia menghadapi kenyataan hidup bahwa waktu bergerak terus menerus, maka
secara eksak waktu diukur dengan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun,
windu, dasawarsa, dan abad. Sedangkan istilah masa kini sebenarnya bersifat relatif,
karena waktu berjalan terus menerus dari detik ke detik, hari ke hari, tahun ke tahun,
dan seterusnya, dimana masa kini merupakan titik temu antara masa lampau dengan
masa yang akan datang. Peristiwa-peristiwa masa lampau, merupakan rangkaian
peristiwa masa kini, dan masa yang akan datang, sehingga waktu dalam perjalanan
sejarah adalah berjalan secara kontinuitas (berkesinambungan). Agar setiap waktu
dapat dipahami, maka sejarah membuat pembabakan waktu atau periodisasi. Maksud
periodisasi adalah supaya setiap babak waktu itu menjadi jelas ciri-cirinya, sehingga
mudah dipahami. Misalnya, sejarah Eropa dapat dibagi ke dalam tiga periode, yaitu
Zaman Klasik, Zaman Pertengahan, dan Zaman Modern. Demikian juga sejarah
Indonesia biasanya dapat dibagi ke dalam empat periode yaitu Prasejarah, Zaman
Kuno, Zaman Islam, dan Zaman Modern.

6.

“Power OF Culture FOR Life”
Dr. R.A. Ikke Dewi Sartika, M.Pd.
Banyaknya kebijakan otoritatif para elit suprastruktur politik yang membuka ruang
bagi kepentingan ekonomi kaum pemodal asing yang tidak peduli soal lingkungan
apalagi budaya disekelilingnya mereka gerus dengan kepentingan kapitalis. Menurut
Vandana Siva (1993) akar krisis ekologis terletak pada kelalaian penguasa dalam
menyingkirkan hak komunitas lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kebjakan
lingkungan. Kerusakan dan kehilangan budaya akan berakibat pada tatanan
berbangsa dan bernegara. Terjadinya anonim dalam kehidupan, tidak lagi memiliki
jati diri yang ada kesemerawutan kehidupan manusia maupun lingkungan.