pengadaan tanah untuk kepentingan umum.d

ANALISA PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN
UNTUK KEPENTINGAN UMUM (STDI KASUS FLY OVER JOMBOR)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah memiliki peran yang sangat penting dalam proses hidup dan
kehidupan masyarakat. tanah merupakan tempat bermukim umat manusia, juga
sebagai sumber penghidupan bagi mereka yang mencaria nafkah melalui pertanian
dan perkebunan. Disamping itu, tanah adalah salah satu sarana dalam proses
pembangunan untuk kepentingan umum. Namun persediaan tanah semakin
berkurang dengan semakin majunya perkembangan dunia.
Dari hal tersebut, maka pengadaan tanah bagi pembangunan guna
kepentingan umum menjadi hal yang sangat penting, terkhusus pembangunan
berbagai fasilitas untuk kepentingan umum yang memerlukan bidang tanah yang
sangat luas. Dan upaya pengadaan tanah guna kepentingan umum perlu dilakukan
dengan sebaik-baiknya, serta dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam
kehidupan manusia, begitu juga dengan prinsip penghormatan terhadap hak yang
sah atas tanah, mengingat bidang-bidang tanah yang diperlukan telah dimiliki oleh
masyarakat atas nama hak kepemilikian.
Dalam UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat 3 telah jelas dikatakan bahwa “bumi,

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
1

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang kemudian
pengejawantahannya terdapat dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan diatur lebih lanjut oleh peraturan-peraturan
lainnya yang terkait dengan pengadaan tanah. Dimana semua hak atas tanah
memiliki fungsi sosial.1 Hal ini yang tidak bisa di elakkan oleh masyarakat,
sehingga hak individu dapat terkalahkan oleh kepentingan umum.
Mengingat hal tersebut, sehingga pengadaan tanah guna kepentingan
umum selalu diiringi dengan proses ganti kerugian atas tanah. Seperti yang
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, bahwa pengadaan tanah
adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang
layak dan adil kepada pihak yang berhak, dimana pengadaan tanah tersebut
dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian,
keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaaan, kesejahteraan, keberlanjutan dan
keselarasan.2 Dan bertujuan untuk menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,
dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.3

Begitu pula yang tercantum dalam peraturan pelaksananya dalam PP Nomor 30
Tahun 2015 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun
2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk
kepentingan umum, memuat hal yang sama. Namun dalam proses ganti kerugian
1 UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
2 UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bag Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
3 BPN RI, Pengaadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, (Jakarta:
BPN-RI, 2012), hlm. 3.

2

dalam hal pengadaan tanah selalu diiringi dengan rasa tidak puas dikalangan
masyarakat yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut. Masalah ganti
kerugian memang selalu menjadi isu sentral yang paling rumit penanganannya
dalam upaya pengadaan tanah oleh pemerintah.
Di berbagai negara berkembang seperti Malaysia dan Singapura, yang
digunakan sebagai pedoman untuk menentukan besarnya ganti kerugian adalah
indeks alternatif. Di Brasil, faktor taksiran nilai untuk keperluan pemungutan
pajak, lokasi, keadaan tanah dan nilai pasar selama lima tahun terakhir dari hak

atas tanah lain yang sebanding, menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan
besanya ganti kerugian atas tanah guna kepentingan umum. Di India, yang
menjadi pertimbangan dalam menentukan ganti kerugian adalah nilai pasar tanah
pada saat diumumkannya pengambilan tanah tersebut, sedangkan untuk kenaikan
nilai tanah dihubungkan dengan penggunaannya dikemudian hari dan segala
perbaikan yang dilakukan setelah adanya pengumuman tentang pengambilan
tanah tersebut, tidak diperhitungkan sebagai faktor penentu ganti kerugian.4
Hampir sama dengan Singapura, yang membedakan hanya segala
perbaikan yang dilakukan dengan sepengetahuan pejabat yang berwenang dapat
dijadikan pertimbangan untuk menentukan besarnya ganti kerugian. Namun
sebaliknya di Malaysia, hal-hal tertentu dikesampingkan dalam mentaksirkan
ganti kerugian. Misalnya urgensi pengambilan tanah, keengganan pemegang hak
untuk

meninggalkan

tanahnya,

kerusakan


tanah

setelah

diumumkannya

pengambilan tanah, peningkatan nilai tanah dihubungkan dengan penggunaan di
4 Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta: Kompas, 2001), hal. 78.

3

kemudian hari dan kenaikan nilai pasar karena perbaikan yang dilakukan dalam
waktu dua tahun sebelum diumumkannya pengambilan tanah tersebut.5
Sedangkan di Indonesia yang menganut asas keadilan dalam proses ganti
kerugian atas tanah kerap sekali menuai konflik.6 Seperti halnya pembangunan fly
over Jombor yang mengandung propaganda antara pemerintah dengan masyarakat
yang menuntut ganti kerugian sebesar lima kali lipat NJOP daerah Sleman. Hal
tersebut menghambat pembangunan, yang apabila berjalan lancar kepentingan
umum akan terayomi dan pembangunan nasional pun terwujud.

Melihat dari proyek fly over jombor dengan segala rencana tata ruang dan
tata wilayahnya, daerah tersebut merupakan daerah yang strategis untuk membuka
usaha, sebab itulah masyarakat enggan melepaskan hak kepemilikan atas tanah
dan menuntut ganti kerugian dengan nominal yang sangat tinggi. Tanah di daerah
tersebut memang memiliki nilai ekonomis yang juga memiliki fungsi sosial.
Dimana ketentuan tanah yang memiliki fungsi sosial telah diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, yaitu “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Dari fungsi sosial
inilah yang mengharuskan kepentingan individu dikorbankan untuk kepentingan
umum. Fungsi sosial sebagai salah satu landasan hukum hak menguasai negara
atas tanah semakin memperkuat posisi negara ke arah pencarian tanah-tanah untuk
kepentingan pembangunan menyebabkan kian mudahnya pemilik tanah terusik
dari tanah mereka sendiri.7
5 Maria S. W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan..., hal. 78.
6 Ibid,
7 Yusriyadi, Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial, (Yogyakarta: Genta
Publishing, 2010), hal. 7.

4


Oleh sebab itu, menjadi penting apabila pengadaan tanah dikaji kembali
dengan lebih mendalam, terkhusus untuk pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum. Meskipun telah ada peraturan yang mengaturnya, seperti
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Lembaran Negara No. 104 Tahun 1960, Pasal 18 yang menyebutkan
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UndangUndang”. Mengenai hak milik yang memiliki fungsi sosial dianggap berhasil
menjadi wadah antara dua kepentingan, yaitu kepentingan pemilik tanah dan
kepentingan di luar individu pemilik tanah. Bahkan fungsi sosial dipandang
mampu menjamin kepastian hukum.8
Berangkat dari uraian latar belakang di atas, penulis akan membahas
permasalahan tersebut dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Analisa
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (stdi kasus
fly over Jombor)”. Dimana dalam proyek tersebut belum menemukan titik temu
ganti kerugian untuk 19 bidang tanah yang masih dibutuhkan pemerintah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:

8 Ibid.

5

1. Bagaimana pengadaan tanah dalam aspek pembangunan?
2. Seberapa jauh peran pemerintah dalam upaya pengadaan tanah guna
kepentingan umum dengan ganti kerugian tanah terkait fliy over Jombor?
3. Bagaimana kesesuaian NJOP dengan ganti kerugian yang ditawarkan
pemerintah?
C. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah?
1. Untuk mengetahui hakikat dari pengadaan tanah

dalam

aspek

pembangunan
2. Untuk memahami peran pemerintah dalam pengadaan tanah guna
kepentingan umum.

3. Untuk memahami sekaligus memberi pemahaman kepada siapa saja yang
membacanya terkait dengan ganti kerugian dalam pengadaan tanah
Dan penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk para
pembaca secara umum dan khusus untuk penulis sendiri.

D. Telaah Pustaka
Untuk menghindari kesamaan dalam pembuatan karya tulis, maka penulis
melakukan peninjauan dan pengamatan terhadap beberapa karya tulis yang telah
mengkaji permasalahan mengenai “Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Guna
Kepentingan Umum” oleh penulis-penulis sebelumnya.
Dari hasil peninjauan dan pengamatan yang dilakukan, penulis tidak
menemukan suatu karya yang sama persis dengan karya tulis yang akan disajikan
oleh penulis, yaitu “Analisa Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
6

Kepentingan Umum (studi kasus fly over Jombor)”. Hanya ada beberapa karya
yang ditemukan penulis mengenai pengadaan tanah, yaitu tesis oleh Dwi
Fratmawati dengan judul “Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum Di Semarang studi kasus Pelebaran Jalan Raya
Ngaliyan dan Mijen”.

Dalam tesis tersebut dijelaskan mengenai proses atau pelaksanaan
pengadaan tanah pada proyek tersebut dan memaparkan hambatan-hambatan yang
menjadi penghalang dalam proses pengadaan tanah. Tesis tersebut juga membahas
tentang pengadaan tanah dengan sangat rinci, termasuk pula cara perolehan
tanahnya. Pada proyek yang dibahas dalam tesis tersebut tidak memiliki panitia
pengadaan tanah, hanya sebuah tim yang dibentuk oleh walikota dan warga tidak
mengetahui secara pasti mengenai tugas dan fungsi dari tim tersebut. Berdasarkan
hasil penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota lebar jalan yang direncanakan
adalah 40 m, namun warga hanya mengusulkan 30, hal ini disesuaikan dengan
produk-produk hukum yang dikeluarkan pemerintah berupa Gambar Situai dsn
Ijin Mendirikan Bangunan.
Sedangkan untuk ganti kerugiannya disepakati oleh pemkot dan warga
yang pada awalnya pihak Pemkot menetapkan biaya ganti kerugian sebesar Rp.
15.000,-/m2 ditambah tali asih dari walikota Semarang sebesar Rp. 5.000,-/m 2,
sehingga jumlah kesluruhannya Rp. 20.000,-/m2. Ganti kerugian yang ditawarkan
tersebut tidak berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) padahal NJOP pada saat
itu sebesar Rp. 80.000,-m2 dan harga pasarannya mencapai Rp. 300.000,-/m2.
Pemberian ganti kerugian tersebut hanya didasarkan pada surat perjanjian
7


dibawah tangan. Padahal dalam Pasan 17 ayat 2 Keppres No. 55 tahun 1993
menyatakan bahwa dalam hal tanah, bangunan, tanaman atau benda yang
berkaitan dengan tanah yang dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, maka
ganti kerugian yang menjadi hak orang yang tidak dapat diketemukan tersebut
dikonsinyasikan di pengadilan negeri setempat oleh instansi pemerintah yang
memerlukan tanah.9
Karya tulis selanjutnya adalah tesis milik Wahyu Candra Alam dengan
judul “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum Kurang Dari Satu
Hektar Dan Penetapan Ganti Kerugiannya Studi Kasus Pelebaran Jalan
Gatot Subroto Di Kota Tangerang”. Tesis tersebut membahas mengenai
pengadaan tanah terkait dengan pelepasan hak atas tanah, maksud dan tujuannya
termasuk pula fungsi dari tanah. Dibahas pula mengenai ganti kerugian atas tanah,
bentuk dan dasar ganti kerugiannya. Dalam proses pengadaan tanah yang kurang
dari satu hektar tersebut, pemerintah kota Tangerang membentuk Tim Pengelola
Kegiatan. Tim tersebut memiliki tugas yang berkenaan dengan proses pengadaan
tanah untuk pelebaran jalan Gatot Subroto yang diharapkan dapat mempermudah
proses tersebut.
Mengenai ganti kerugiannya dilakukan dengan cara musyawarah dengan
melihat NJOP kota Tangerang, Berita Acara Rapat, dan mengenai kerugian
bangunan dan tanaman didasarkan pada Keputusan Wali Kota Tangerang dan


9 Dwi Fratmawati, Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
(Studi Kasus Pelebarab Jalan Raya Ngaliyan-Mijen), tesis (Semarang: Program Pasca Sarjana
Universitan Diponegoro, 2006).

8

kemudian

mengadakan

musyawarah

harga

untuk

menyepakati

ganti

kerugiannya.10

E. Kerangka Teoritik
1. Tinjauan Negara Hukum
Segala kebijakan pemerintah selalu didasarkan pada hukum yang berlaku.
Dalam hal ini adalah pengadaan tanah guna kepentingan umum, dimana tanah
yang telah dimiliki individu selanjutnya dapat berubah menjadi milik negara atas
nama kepentingan umum. Landasan negara dalam menguasai tanah tersebut
terdapat dalam pembukaan UUD NRI 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
“bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat
Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indinesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kenijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.11
10 Wahyu Candra Alam, Pengadaan Tanah untuk Keoentingan Umum Kurang Dari Satu
Hektar Dan Penetapan Ganti Kerugiannya (Studi Kasus Pelebaran Jalan Gatot Subroto Di Kota
Tangerang), tesis (Semarang: Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana
Universitas Diponegoro, 2010).
11 Winahyu erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Total Media,
2009), hal. 37

9

Dari pembukaan diatas, kita ketahui beberapa keinginan bangsa Indonesia
yang harus diwujudkan oleh negara, yakni:
a. Keinginan hidup merdeka bebas dari penjajahan;
b. Keinginan untuk hidup sejahtera, aman, tertib dan damai;
c. Keinginan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam kehidupan bangsa
Indonesia.
2. Tinjauan kekuasaan negara dan kedaulatan negara (de facto dan
de jure)
Winahyu Erwiningsih mengutip pendapat Miriam budiharjo yang
mengemukakan bahwa ciri-ciri khas negara adalah kekuasaannya memiliki
wewenang. Maka kekuasaan negara juga dapat disebut otoritas, yaitu kekuasaan
yang dilembagakan, yang tidak hanya de facto menguasai, melainkan juga berhak
untuk menguasai secara de juris.12
Hak menguasai tanah oleh negara perlu memiliki dasar landasan pemikiran
tentang hubungan hukum antara orang dan tanah, tanah dengan masyarakat
maupun tanah dengan negara. Dasar landasan hukum ini bertolak dari pemikiran
hubungan antar manusia, manusia dengan masyarakat dan manusia dengan
lingkungannya sebagaimana asas-asas yang tercermin dalam Pembukaan UUD
NRI 1945 yang telah disebutkan di atas.13
Menurut ajaran kedaulatan negara atas tanah, negara merupakan pemilik
tertinggi, karena negara adalah pemegang hak kedaulatan hukum dari negara. Jadi

12 Winahyu erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Total Media,
2009), hal. 39.
13 Ibid, hal. 40.

10

negara memiliki kewenangan dan kekuasaan mutlak untuk bertindak sebagai
pemilik mutlak yang tertinggi atas tanah.14
Dalam teori de facto-de jure, aturan tentang pertanahan di rumuskan dalam
Pasal 33 UUD 1945, yang selanjutnya diuji kelayakannya dengan filosofi
Pancasila. Hasilnya membuktikan pembenaran makna, bahwa tanah adalah milik
rakyat Indonesia sebagai bangsa, sehingga hak kepemilikan tanah merupakan hak
asasi dasar rakyat sebagai warga negara Indonesia. Dimana tujuan dari
penggunaan tanah merupakan pengejawantahan prinsip dasar ke-5 Pancasila
tentang ‘kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.15
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini tergolong dalam penelitian hukum normatif, pendekatan
yang

digunakan

adalah

pendekatan

perundang-undangan

(statue

approach) dan konsep negara hukum. Pendekatan yuridis dalam
pendekatan masalah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku, sedangkan pendekatan masalah secara normatif adalah
pendekatan masalah yang menelaah hukum dalam undang-undang, penulis
juga melakukaan beberapa penelusuran terkait dengan berita-berita fly
over Jombor melalui search internet, sehingga dapat ditarik kesimpulan
yang bersifat logis, runtut dan sistematis.
2. Sumber data
a. Data primer
Data primer dalam penulisan penelitian ini adalah UU Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum dan UU Nomor 5 tahun 1960 Peraturan Dasar
14 Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan dan
Agraria, (Yodyakarta: STPN Press, 2012), hal. 19.
15 Ibid, hal. 236.

11

Pokok-Poko Agraria serta UU Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Untuk kepentingan Umum.
b. Data sekunder
Adapun data sekunder dalam proposal ini diperoleh dari buku-buku
yang terkait dengan pengadaan tanah bagi penmbangunan untuk
kepentingan umum, beberapa tesis berkaitan dengan hal tersebut dan
berita dari media masa online.
3. Metode pengumpulan data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi
dokumen atau studi pustaka, dengan menentukan bahan hukum yang
dicari, kemudian mencari sumber data sekunder yang diperlukan dengan
mempelajari substansinya.

12

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengadaan Tanah dan Aspek Pembangunan
Pengadaan tanah atau disebut juga dengan pembebasan tanah menurut
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 adalah melepaskan hubungan
hukum yang semula terdapat diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya
dengan cara memberikan ganti kerugian. Kemudian menurut Surat Edaran Dirjen
Agraria No. Ba 12/108/12/75 pembebasan tanah adalah setiap perbuatan yang
bermaksud langsung atau tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada
diantara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan
ganti rugi kepada yang berhak atau penguasa atas tanah tersebut.16
Selanjutnya penggunaan istilah pembebasan tanah menurut Keppres.
Nomor 55 Tahun 1993, diganti dengan pengadaan tanah, yang selanjutnya
Keppres ini di rubah dengan Keppres No 40 Tahun 2014 kemudian diganti dengan
Keppres No. 99 Tahun 2014 dan telah dirubah dengan Keppres No 30 Tahun
2015. Menurut Keppres ini pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atas
tanah tersebut. Ketentuan dari peraturan ini adalah penekanan pada kegunaan

16 Soetrisno, Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),
hal. 2.

13

tanah hanya untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksana pembangunan
untuk kepentingan umum oleh pemerintah yang dilaksanakan dengan cara jualbeli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati oleh pihak yang
bersangkutan.17
Dari ketentuan diatas, untuk menentukan penetapan pengadaan tanah bagi
kepentingan umum, harus diselaraskan dengan perencanaan tata ruang daerah
yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar tanah yang telah diambil sesuai
dengan perencanaan dan pembangunan kota, sehingga tidak merugikan
masyarakat yang bersangkutan.
Dalam Pasal 6 Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-undang Pokok
Agraria memuat suatu pernyataan penting mengenai hak-hak atas tanah menurut
konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional, yaitu “semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”. Hal ini dianggap penting karena pernyataan tersebut
difahamkan sebagai kebenaran yang siap diterapkan. Pasal ini seakan menjadi
dogma yang tak terbantahkan. Pasal ini juga merumuskan secara singkat
mengenai hak-hak perorangan atas tanah menurut konsepsi hukum tanah nasional
yang pada hakikatnya adalah konsepsi hukum adat. Demikian pula menurut
konsepsi hukum tanah nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UUPA,
bahwa semua tanah dalam wilayah negara adalah tanah Bangsa Indonesia.
Tanah merupakan faktor pendukung utama kehidupan dan kesejahteraan
masyarakat. Fungsi tanah tidak hanya terbatas pada kebutuhan tempat tinggal,
tetapi juga tempat tumbuh kembang sosial, politik dan budaya seseorang maupun
suatu komunitas tertentu. Namun masalah pembebasan tanah sangat rawan dalam
17Soetrisno, Tata Cara Perolehan Tanah..., hal. 2.

14

penanganannya, karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika dilihat dari
kebutuhan pemerintah akan tanah untuk keperluan bebagai macam pembangunan,
dapat dimengerti bahwa tanah negara yang tersedia sangat terbatas. Maka satusatunya jalan yang dapat ditempuh adalah membebaskan tanah milik rakyat, baik
yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak lainnya yang melekat di atasnya.18
Masalah pertanahan di Indonesia muncul karena beberapa faktor,
diantaranya:
1. Sekitar 70% penduduk masih menggantungkan hidupnya sebagai petani,
dimana kesediaan tanah merupakan modal pokok yang diharapkan,
2. Kepadatan penduduk khusuusnya di Pulau Jawa tidak diimbangi dengan
usaha pemerataan penyebaran penduduk dan lapangan kerja,
3. Gagalnya pelaksanaan land reform karena kendala dana dan politik,
4. Lemahnya kebijakan di bidang pertanahan ditunjukkan dengan kurang
lengkapnya peraturan perundang-undangan dan belum maksimalnya
penegakan hukum,
5. Kebijakan peruntukan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum
ataupun bisnis sering dihadapkan pada masalah legalitas hak antara
masyarakat yang tidak terlebih dahulu menguasai dan menggunakan tanah
dengan pelaku pembangunan yang muncul kemudian. Demikian pula
manakala pembebasan dilakukan, masalah penetapan batas tanah, proses
pembebasan dan besarnya ganti rugi seringkali menyimpang dari aturan
maupun kesepakatan yang telah dicapai.19

18 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan tanah, Cetakan ke-2, (Jakarta: Sinar
Grafia, 2004), hlm. 75.
19 Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai negara Atas tanah, (Yogyakarta: Total Media,
2009), hal. 2.

15

Secara konstitusional, pengaturan hukum tanah di Indonesia diatur dalam
Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar NRI 1945 yang berbunyi “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.20
Dalam Pasal tersebut terdapat kata “dikuasai”, yang artinya sebagai dasar
wewenang negara dan kata “dipergunakan”, yang mengandung perintah kepada
negara untuk mempergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun
yang jadi masalah adalah apakah negara melalui konstitusi dan perundangundangannya telah mengatur implementasi perintah tersebut yang mengandung
unsur kepastian dan keadilan?.
Adrian Sutedi mengutip buku Y. Wartaya Winangun, Tanah Sumber Nilai
Hidup, mengatakan bahwa fungsi dan peran tanah dalam berbagai sektor
kehidupan manusia memiliki tiga aspek yang sangat strategis, yaitu aspek
ekonomi, politik dan hukum, dan aspek sosial. Ketiga aspek tersebut merupakan
isu sentral yang paling terkait sebagai satu kesatuan yang terintegrasi dalam
pengambilan proses kebijakan hukum pertanahan yang dilakukan oleh
pemerintah.21
Tanah dan pembangunan merupakan entitas yang tidak dapat dipisahkan.
Hubungan pembangunan dengan tanah tidak hanya dalam lingkup aspek
ekonomis, namun juga politik. Selain itu tanah juga memiliki fungsi sosial, yang
diatur dalam UUPA.
20 Undang-Undang Dasar NRI 1945
21 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah
Untuk Pembangunan, Cetakan ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 45.

16

Dengan dibentuknya konsep fungsi sosial hak atas tanah yang mewajibkan
setiap pemegang hak atas tanah untuk senantiasa memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan individu dan kepentingan umum dalam pemanfaatan serta
penggunaan tanahnya. UUPA mencoba menjembatani keharmonisan hubungan
antara imdividu yang satu dengan individu yang lain. Sehingga jika seandaninya
ada seseorang yang terpaksa menyerahkan tanahnya untuk kepentingan umum, hal
tersebut harus dilakukan melalui prosedur ganti kerugian

yang memadai

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan seseorang harus
menggunakan tanahnya dengan mempertimbangkan kepentingan umum.22
Pembahasan

mengenai

prinsip-prinsip

kepentingan

umum

dalam

pengadaan tanah untuk pembangunan menjadi penting karena:
1. Dalam sarana pembangunan, terutama pembangunan dibidang materiil,
baik di kota maupun di desa banyak memerlukan tanah. Dimana
kepemilikan tanah oleh individu sebagaimana yang diuraikan dalam
Pasal 9 ayat (2) UUPA sewaktu-waktu dapat digugurkan karena
berhadapan dengan pembangunan bagi kepentingan umum. Adapun di
lain pihak masyarakat memerlukan tanah guna pemukiman dan sebagai
tempat mata pencahariannya. Bilamana tanah tersebut diambil begitu
saja dan dipergunakan untuk keperluan pembangunan, maka akan
mengorbankan hak asasi masyarakat.
2. Sebagai titik tolak didalam pembebasan tanah, pengadaan tanah dan
pencabutan hak atas tanah. Pembebasan tanah merupakan langkah

22 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip..., hlm. 48.

17

pertama yang dapat dilakukan bilamana pemerintah memerlukan
sebidang tanah guna kepentingan umum
3. Setelah lahirnya otonomi daerah, kepentingan umum harus disesuaian
dengan masyarakat setempat. Dengan demikian bila ada proyek
pembangunan dalam masyarakat daerah, maka hak atas tanah
masyarakat bukan menjadi objek dari kepentingan umum. Penggunaan
tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat haknya hingga
bermanfaat bagi masyarakat dan negara23
Secara faktual pelaksanaan pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak
atas tanah untuk kepentingan umum bernuansa konflik, baik dari sudut peraturan
dan paradigma hukum yang berbeda antara masyarakat dengan penguasa/
pemerintah, serta penerapan hukum dari para hakim yang sangat bernuansa paham
positivis yang mengabaikan kaidah-kaidah sosial lainnya dan hukum yang hidup
serta moral dalam masyarakat.
Dalam berbagai kasus pencabutan, pembebasan dan pelepasan hak atas
tanah selalu menimbulkan akses yang mempunyai dampak cukup besar terhadap
stabilitas masyarakat. biasanya disebabkan besarnya ganti kerugian yang akan
diberikan kepada masyarakat yang terkena dampak. Sengketa yang terjadi antara
rakyat dan pemerintahan berkisar tentang bentuk dan besarnya ganti kerugian,
manipulasi pejabat (KKN) atau perantara-perantara yang melakukan manipulasi
harga tanah, serta proses musyawarah yang kerap berubah menjadi intimidasi,
baik secara fisik dan psikis terhadap pemilik tanah.24
23 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip..., hlm. 49.
24 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip..., hlm. 47.

18

Menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka untuk melakukan
pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Pencabutan hak hanya dapat dilakukan bilamana kepentingan umum
harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini. Termasuk dalam
pengertian kepentingan umum ini adalah kepentingan bangsa, negara,
kepentingan bersama dari rakyat serta kepentingan pembangunan.
2. Pencabutan hak hanya dapat dilakukan oleh pihak yang berwenang.
3. Pencabutan hak harus disertai dengan ganti rugi yang layak
berdasarkan harga yang pantas.25
Pengadaan tanah yang ratusan hingga ribuan HA sering menimbulkan
dampak sosial cukup luas dan cukup serius. Namun setelah dibentuknya
permendagri Nomor 2 Tahun 1985, ada perubahan dan penambahan sebagian dari
peraturan sebelumnya, yaitu:
1. Mendekatkan pimpinan proyek dengan camat setempat
2. Meletakkan bebanan untuk menyediakan tanah bagi pembangunan
kepada intensitas mererka
3. Diperlakukan kecepatan, sampai ditiadakan penugasan panitia
pembebasan bagi tanah-tanah yang diperlukan sampai dengan 5 HA
4. Mengenai tanah yang dibutuhkan oleh suatu badan yang menurut PP
no. 38/1963 dibolehkan mempunyainya, dilakukan jual-beli dengan
akte camat PPAT menurut ketentuan-ketentuan yang mendasarinya
5. Mengenai tanah yang dibutuhkan oleh badan hukum publik lainnya
diselenggarakan pembebasan/pelepasan hak (sampai dengan 5 HA)

25 Ibid, hlm. 59.

19

dengan akte/ surat pelepasan hak dibuat oleh dan di hadapan camat
selaku kepala wilayah
6. Diatas 5 HA, tetap ditangani oleh panitia pembebasan (hak) atas
tanah.26
Dengan adanya peraturan tersebut, diharapkan dampak sosial yang sering
timbul akan berkurang dan proses pengadaan dalam setiap pembangunan dapat
berjalan lancar.
B. Peran Pemerintah Dalam Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
UUPA sebagai produk hukum pertanahan nasional yang pertama,
berfalsafah dan berorientasi pada sifatnya yang populis, namun sebagian prinsip
dasarnya belum dioperasionalkan secara efektif. Salah satu contohnya adalah
perlindungan terhadap hak seseorang yang tanahnya diambil alih oleh pihak lain,
seperti instansi pemerintah untuk kegiatan yang beraitan dengan kepentingan
umum dan pihak swasta untuk berbagai kegiatan yang menunjang usahanya. Pada
umumnya korban penggusuran belum merasakan makna keadilan sesuai dengan
pegorbanannya, karena peraturan yang ada belum memberikan jaminan terhadap
kesetaraan kualitas hidup mereka sebelum dan sesudah terjadinya pengambil
alihan tersebut. Sebenarnya ketentuan pengadaan tanah hanya digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
umum yang dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.27
Dalam Kepres No 55 Tahun 1993, kepentingan umum didefenisikan
sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat, sedangkan mengenai kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum dibatasi pada kegiatan pembangunan

26 Y.W Sunindhia, Pembaharuan Hukum Agrari (Beberapa Pemikiran), (Jakarta: bina
Aksara, 1988), hal. 150.
27 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 408-412.

20

yang dilakukan dan selanjutnya dimiliki oleh pemerintah, serta tidak digunakan
untuk mencari keuntungan.28 Kepentingan umum yang dimaksud adalah jalan,
rumah sakit umum dan puskesmas, pasar umum, pasar inpres dan kantor
pemerintahan. Dimana pembangunannya harus sesuai dengan Rencana Umum
Tata Ruang (RUTR), untuk daerah yang belum mempunyai RUTR dilakukan
berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada.
Dalam pengadaan tanah guna kepentingan umum, pemerintah telah
mengaturnya dengan regulasi yang tepat dan dilaksanakan dengan cara pelepasan
atau penyerahan hak atas tanah. Diluar itu, pengadaan tanah dilakukan dengan
cara jual-beli, tukar-menukar, atau cara lain yang disepakati. 29 Dan didasarkan
pada musyawarah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya
ganti kerugian. Bila musyawarah tidak mencapai kesepakatan, Panitia Pengadaan
Tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian
dengan memperhatikan aspek yang berkembang dalam musyawarah. Namun jika
ada pemegang hak yang tidak setuju dengan keputusan tersebut, maka dapat
mengajukan keberatan kepada gubernur yang selanjutnya mengupayakan
penyelesaiannya dengan mempertimbangkan pendapat dan keingingan para pihak.

C. Penentuan Ganti Kerugian
Dalam hal pengadaan tanah yang selalu menjadi permasalahannya adalah
ganti kerugian yang harus diterima oleh pemilik tanah. Hal ini selalu terjadi
karena tidak adanya patokan yang jelas oleh pemerintah untuk menetapkan ganti
28 Mari S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta: Kompas, 2009), hlm. 73.
29 Mari S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan..., hlm. 74.

21

kerugian. Masyarakat selalu merasa tidak mendapatkan keadilan dari pemerintah
saat menerima ganti kerugiannya. Sebenarnya dalam penentuan harga telah ada
peraturan yang dapat dijadikan patokan harga dasar, yaitu Permendagri Nomor 1
Tahun 1975 tentang penetapan harga dasar yang dijadikan dasar untuk
menghitung pungutan uang pemasukan, uang wajib tahunan dan uang administrasi
dan sebagainya bertalian dengan pemberian hak atas tanah.30
Menurut permendagri Nomor 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dalam Pasal 1 ayat (3) dikatakan bahwa:
“Dalam melaksanakan tugasnya, panitia pembebasan tanah berpedoman kepada
peraturan-peraturan yang berlaku berdasarkan asas musyawarah dan harga umum
setempat”. Kemudian dalam ayat (4) pasal yang sama mengatakan “harga umum
setempat adalah harga dasar yang ditetapkan secara berkala oleh suatu panitia
sebagaimana dimaksud dalam Permendagri Nomor 1 Tahun 1975 untuk suatu
daerah menurut jenis penggunaannya”.31
Harga umum setempat adalah hasil pukul rata dari harga penjual-belian
tanah pada suatu waktu dan yang dimasud setempat adalah suatu wilayah tertentu.
Sehingga harga umum bervariasi menurut keadaan sebenarnya dan menurut jenis
tanah serta penggunaan tanah. Harga pasaran setempat yang diambil secara ratarata per 3 (tiga) bulan terakhir dengan mengadakan penjenisan dan macam
penggunaan tanah secara riil.32
Dalam hubungannya harga tanah dan uang ganti kerugian adalah sama
yang membedakan hanya perbuatan hukumnya, yaitu harga tanah terkait dengan

30 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993),
hlm. 61.
31 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993),
hlm. 61.
32 Ibid,

22

jual-beli, sedangkan uang ganti kerugian terkait pada pengadaan tanah.
Pembayaran ganti kerugian harus dilakukan langsung kepada yang berhak dan
tidak dibenarkan melalui perantara dan harus disertai akta oleh Camat/ Walikota.
Akta tersebut berlaku sebagai kwitansi tanda penerimaan.33
Untuk tanah yang dibutuhkan pemerintah kurang dari satu hektar, instansi
pemerintah yang bersangkutan dapat melakukan negosiasi langsung dengan para
pemegang hak mengenai pembelian atau pertukaran tanah. apabila tanah yang
dibutuhkan masih kurang, maka dalam hal penambahannya, instansi pemerintahan
harus membentuk Panitia Pengadaan Tanah yang terdiri atas sembilan pejabat
senior termasuk walkota, Kepala-kepala dinas kota, camat, lurah, dan kepala
BPN.34 Kemudian besarnya ganti kerugian didasarkan pada nilai nyata tanah
tersebut, dengan memperhatikan Nilai Jual Obje Pajak (NJOP). Di dalam
Keputusan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1994 diuraikan pedoman tentang bentuk
dan besarnya ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah.35
Pada pembahasan ini dalam proyek fly over Jombor yang belum
menemukan titik temu atas ganti kerugian untuk masyarakat sekitar tidak
menggunakan Panitia Pengadaan Tanah, melainkan hanya menggunakan tim
appraisal independen. Meskipun pembangunan fly over telah terlaksana, masih
saja menuai hambatan. Yaitu pada pengadaan tanah di sebelah timur fly over
Jombor yang membutuhkan 19 kapling tanah. Masyarakat pemilik tanah tersebut
meminta ganti kerugian sebesar Rp 10 juta per meter persegi, sedangkan
pemerintah menyanggupinya dengan harga Rp 4,5 juta per meter persegi.

33 Ibid, hlm. 111.
34 Myrna A. Syafitri, dkk, Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia, (Jakarta:
HuMa, 2010), hlm. 314.
35 Ibid, hlm. 315.

23

Pengadaan tanah untuk fly over Jombor ini tidak menggunakan Panitia
Pengadaan tanah, sebab tanah yang dibutuhkan kurang dari satu hektar dan hanya
menggunakan Tim Pembebasan Tanah melalui Dinas PUS ESDM DIY. Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY mengatakan bahwa
appraisal dua kali untuk kegiatan pengadaan tanah adalah dengan nilai Rp 4,5
juta, sedangkan nilai zona tanah di Jombor hanya sekitar Rp 4, 150 juta per tahun
sebagai dasar NJOP yang dijadikan patokan dalam penentuan harga tanah. Sebab
zona nilai tanah per tahun hanya naik 10%.36

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran
Pengadaan tanah memang sangat diperlukan dalam pembangunan, terlebih
melihat pada kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat. Namun terkadang
masyarakat kurang menyadari akan hal tersebut, mereka sulit untuk membantu
36 http://krjogja.com/read/209167/pembebasan-19-bidang-lahan-di-jombor-masihalot.kr, di akses pada 12 Juni 2014 pukul 08.00 wib.

24

pemerintah dalam pengadaan tanah, padahal pengadaan tanah tersebut utuk
kebutuhan mereka. Masyarakat masih banyak yang tidak sadar akan kepentingan
umum yang sejatinya dapat mengalahkan kepentingan individu.
Dalam prakteknya pengadaan tanah yang dilakukan pemerintah kerap
membawa dampak buruk bagi masyarakat yang hak kepemilikannya diambil.
Oleh sebab itu semakin hari masyarakat semakin sulit untuk melepaskan hak
kepemilikannya atas tanah. Ganti kerugian dari pengadaan tanah yang diteriman
mereka tidak memberikan rasa keadilan bagi mereka. Meskipun tellah ada
regulasi yang jelas, masyarakat tetap merasa bahwa tidak ada keadilan dalam
ganti kerugian.
Atas dasar itulah pemerintah perlu mengkaji ulang mengenai pengadaan
tanah

bagi

pembangunan

untuk

kepentingan

umum

dengan

tidak

mengenyampingkan kepentingan individu.

DAFTAR PUSTAKA
A. Syafitri, Myrna dkk. 2010 Hukum Agraria Dan Masyarakat Di Indonesia.
Jakarta: HuMa.
BPN RI, 2012. Pengaadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum Jakarta: BPN-RI.
Erwiningsih, Winahyu. 2009. Hak Menguasai negara Atas tanah. Yogyakarta:
Total Media.
Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia Himpunan PeraturanPeraturan Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan.

25

Salindeho, John. 1993. Masalah Tanah Dalam Pembangunan. Jakarta: Sinar
Grafika.
Sutedi, Adrian. 2008. Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika.
Soimin, Sudharyo. 2004. Status Hak dan Pembebasan tanah. Jakarta: Sinar
Grafia.
Soetrisno. 2004. Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri, Jakarta: Rineka
Cipta.
Soesangoben, Herman. 2012. Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan
dan Agraria. Yogyakarta: STPN Press.
S.W. Sumardjono, Maria. 2009. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan
Implementasi. Jakarta: Kompas.
Sunindhia, Y.W. 1988. Pembaharuan Hukum Agrari (Beberapa Pemikiran).
Jakarta: bina Aksara.
Yusriyadi. 2010. Industrialisasi dan Perubahan Fungsi Sosial. Yogyakarta: Genta
Publishing.
Alam, Wahyu Candra. 2010. Pengadaan Tanah untuk Keoentingan Umum Kurang
Dari Satu Hektar Dan Penetapan Ganti Kerugiannya (Studi Kasus
Pelebaran Jalan Gatot Subroto Di Kota Tangerang). Tesis. Semarang:
Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro.

26

Fratmawati, Dwi. 2006. Pengadaan tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum (Studi Kasus Pelebarab Jalan Raya Ngaliyan-Mijen),
Tesis. Semarang: Program Pasca Sarjana Universitan Diponegoro.
Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasca Amandemen.
UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum.
http://krjogja.com/read/209167/pembebasan-19-bidang-lahan-di-jombor-masihalot.kr, di akses pada 12 Juni 2014 pukul 08.00 wib.

27