Keamanan Hayati Tanaman Hutan Indonesia

Cibinong, 11 Agustus 2008
Kepada Yth.
Redaksi Jurnal Hutan Tropika
Jurusan Manajemen Hutan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
Jl. Soemantri Brojonegoro No 1
Gedong Meneng
Bandar Lampung 35145

Perihal: Naskah Tulisan
Dengan hormat,
Bersama ini kami sampaikan naskah berjudul KEAMANAN
HAYATI TANAMAN HUTAN INDONESIA untuk dapat
dipertimbangkan pemuatannya pada jurnal yang Bapak/Ibu
asuh. Adapun naskah disusun oleh Puspita Deswina.
Apabila naskah mesti diperbaiki terlebih dahulu, mohon
agar dapat diinformasikan kembali ke alamat kami. Tetapi jika
dapat diterima kami berharap supaya redaksi dapat
mengirimkan jurnal yang memuat naskah tersebut sebagai
bukti penulisan. Namun apabila karena sesuatu hal tidak dapat
diterima mohon agar redaksi dapat mengembalikan ke alamat

kami.
Atas segala perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan
terima kasih.

Wassalam,
Penulis

Dra. Puspita Deswina M.Sc
Puslit Bioteknologi, LIPI
Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong Kab. Bogor

Telp 021-8754587
Fax. 021-8754588
Email: puspitadeswina@yahoo.com
KEAMANAN HAYATI TANAMAN HUTAN INDONESIA
(FOREST BIOSAFETY IN INDONESIA)
Puspita Deswina
Email: puspitadeswina@yahoo.com
Puslit Bioteknologi – LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong Science Center 16911

.
ABSTRACT
The product of Genetic Modified Organism (GMO) through
genetic engineering has been produced a positive benefit
beside of there are some awareness from the people about
their effect. Even though this argument is not reasonable,
it’s need to analyze and approve due to get the real
information. Risk assessment need to analyze and evaluate
by legal body that are KKH (Biosafety Committee) and TTKH
(Biosafety Technical team). The legal regulation that has
been used for approve and apply of release the transgenic
product in Indonesia is PP No 21 Year 2005.
Key words: Genetic Modified
assessment, transgenic product

Organism

(GMO),

risk


PENDAHULUAN
Berbagai masalah serius tengah dihadapi oleh
bangsa kita, termasuk masalah penebangan hutan ilegal yang
sampai

saat

ini

belum

ada

penyelesaiannya.

Meskipun

berbagai bencana yang diakibatkan oleh penebangan hutan
tadi


terus

berlangsung

dan

sangat

merugikan

bangsa

Indonesia, tetapi berbagai cara untuk menghentikannya masih
sulit

diatasi.

Permasalahannya


2

tidak

hanya

pada

kasus

penebangan liar saja, tetapi tindakan hukum yang diberikan
kepada

pelaku

tidak

seimbang

dengan


akibat

yang

dihasilkannya sehingga kegiatan tersebut berlangsung terus
dan sulit dihentikan. Kesadaran akan manfaat dan kegunaan
hutan itu sendiri perlu dipupuk sejak dini dan terus menerus
disosialisasikan

ketengah-tengah

masyarakat.

Dilihat

dari

sudut pelestarian hutan muncul berbagai persoalan, seperti
bagaimana


upaya

meningkatkan

mutu

tanaman

hutan,

mempercepat masa pertumbuhan dan meningkatkan kualitas
kayu yang dihasilkan. Ini merupakan tantangan yang harus
diselesaikan oleh para ahli di bidangnya masing-masing,
terutama pakar kehutanan. Semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan

modern

khususnya


bidang

bioteknologi

tanaman, tidak tertutup kemungkinan terjadinya kemajuan
yang sama dalam bioteknologi tanaman hutan di Indonesia.
Di luar Indonesia pengembangan bioteknologi khususnya
tanaman kehutanan lebih maju bila dibandingkan dengan
negara

kita,

sehingga

mulai

dari

awal


penelitian

di

laboratorium sampai pada aturan pelepasanpun telah dimiliki.
Bioteknologi tanaman terutama tanaman pangan
telah lebih dulu melaksanakan teknik bioteknologi modern
seperti

teknologi

dilakukan

di

rekayasa

berbagai


genetika

pusat-pusat

yang

telah

penelitian

banyak
maupun

universitas-universitas di Indonesia, bahkan beberapa diantara
penelitian tersebut

telah

memasuki tahap pengujian di


lapangan terbatas. Salah satu produk tanaman hutan yang
telah dilepas dan ditanam secara komersil adalah kapas Bt
(tahan penggerek batang) yang ditanam di 7 Kabupaten di
Sulawesi Selatan pada tahun 2001 - 2002. Dari hasil survey

3

yang telah dilakukan, ternyata penghasilan bersih petani
penanam kapas-Bt meningkat sehingga mencapai US$ 138/ha,
sedangkan penanam kapas non-Bt adalah US$ 76.5/ ha. Tetapi
keuntungan ini tidak dapat lama dinikmati oleh petani kapas,
karena pada tahun berikutnya Monsanto menolak untuk
memperpanjang izin penanaman. Kejadian ini tentu saja
merugikan petani, dan berdampak pada pola ekspor dan impor
kapas Indonesia. Terbukti dari nilai impor kapas Indonesia dari
luar negeri dalam jumlah besar ( pada Tahun 2005 lebih dari
90% kebutuhan kapas utk industri textil di impor dari luar
negeri ) (Asosiasi Industri Textil Indonesia, 2005)
Seiring dengan kemajuan bioteknologi di bidang
pertanian dan perindustrian, laju perkembangan bioteknologi
modern pada tanaman kehutanan juga terus meningkat sesuai
dengan kebutuhan dan permintaan terhadap kualitas dan
kecepatan tumbuh dari tanaman hutan. Beberapa peneliti
dalam negeri dengan bantuan dana dari luar negeri tidak mau
ketinggalan, mereka telah mencoba melakukan penelitian
terhadap tanaman Jati yang bertujuan untuk mempercepat
pembungaan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kayu
dalam

waktu

yang

lebih

cepat.

Beberapa

sifat

yang

dimodifikasi melalui teknologi rekayasa genetika terutama
untuk produk tanaman, bertujuan untuk meningkatkan kualitas
tanaman seperti

ketahanan terhadap hama dan penyakit,

cekaman lingkungan dan herbisida serta peningkatkan kualitas
dan kuantiítas hasil.
Indonesia telah melakukan penelitian bioteknologi sejak
tahun 1990, tetapi perhatian pemerintah untuk bidang ini
belum memadai dengan hanya menyediakan dana yang

4

terbatas, terbukti dari dana yang dianggarkan setiap tahun
hanya mencukupi untuk kebutuhan rutin penelitian dan tidak
sesuai

dengan

keperluan

penelitian

yang

ditargetkan,

sehingga hasil yang diharapkan tidak mencapai sasaran.
Meskipun permasalahannya cukup banyak, tetapi disisi lain,
masyarakat sangat mengharapkan dan menantikan produk
bioteknologi modern, terutama yang menyangkut kebutuhan
hidup dan keperluan bersama dalam meningkatkan kualitas
kehidupan umat manusia.
Setiap kemajuan dan perbaikan yang ingin dicapai
tidak terlepas dari konsekuensi ganda yang harus dihadapi
dan disikapi dengan bijaksana. Sisi positifnya berupa manfaat
dari kemajuan bioteknologi modern tersebut bagi peningkatan
koalitas

hidup

dan

kelestarian

lingkungan,

bisa

dengan

berkurangnya penggunaan pupuk, pemakaian air dan bahanbahan pestisida di alam. Selain itu juga ada keuntungan
secara ekonomis dengan meningkatnya hasil dan produksi,
biaya berkurang sehingga keuntungan akan meningkat.
Sedangkan

sisi

negatif

dari

teknik

rekayasa

genetika yang dikhawatirkan, perlu dianalisa dan diuji terlebih
dahulu

kebenarannya,

kalau

terbukti

secara

ilmiah

membahayakan terhadap lingkungan, kesehatan manusia,
hewan dan ternak, maka PRG ini tidak akan diizinkan untuk
disebarluaskan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu
prinsip kehati-hatian (precautionary approach) diberlakukan
pada proses pengkajian PRG sebelum produk tersebut di lepas
atau dimanfaatkan.
Perkembangan PRG di dunia untuk produk tanaman
telah menunjukkan peningkatan sejak dikomersialisasikan

5

pada tahun 1996, area global tanaman hasil bioteknologi telah
meningkat lebih dari lima puluh kali lipat dari 1,7 juta hektar di
enam negara menjadi 90 juta hektar di 21 negara tahun 2005
serta melibatkan hampir 8,5 juta petani.

Berbagai macam

produk tanaman hasil rekayasa genetika

sudah ditanam

selama lebih dari 10 tahun di banyak negara dan mencakup
area yang luas. Sampai saat ini belum ditemukan kerugian
seperti timbulnya gulma super, dan ancaman keracunan dan
alergi bagi manusia, ternak dan hewan lain yang bermanfaat.
Tanaman transgenik sudah dihasilkan oleh banyak
negara maju seperti US, Kanada, Jerman, Switzerland, Jepang
dan lain sebagainya termasuk negara berkembang seperti
Argentina, China, Meksiko, Philippine, Malaysia, Thailand. Area
penanaman tanaman transgenik pada setiap negara terus
meningkat, seperti yang diinformasikan oleh sebuah Badan
Internasional

yang

banyak

bergerak

di

bidang

aplikasi

Biotekpertanian yaitu ISAAA (International Service for the
Acquisition

of

Agri-biotech

Aplications),

dimana

USA

merupakan negara terluas penanaman produk transgenik
diikuti oleh Argentina , Brazil, Canada, India dan China
(Gambar 1.)

6

Gambar 1: Luas daerah penanaman tanaman transgenik di dunia pada tahun 2006
(James, 2006)

7

Disamping

manfaat

dan

keuntungan

yang

dapat

diperoleh dari PRG, sebagian masyarakat masih tetap merasa
khawatir terhadap dampak yang mungkin dapat ditimbulkan
oleh

PRG

tersebut.

Munculnya

dugaan

bahwa

tanaman

transgenik dapat menimbulkan resiko keamanan hayati seperti
gulma super, perusak habitat alam dan berdampak negatif
terhadap organisme bukan sasaran, telah mempengaruhi
sebagian orang dalam menilai PRG. Meskipun anggapan
tersebut masih dipertanyakan kebenarannya, tetapi perlu
kajian dan analisis risiko, untuk mendapatkan informasi yang
seimbang serta mendapatkan bukti yang akurat akan dugaan
tersebut. Semua potensi yang dapat menimbulkan risiko
disebut “potensi risiko”. Teknologi apapun yang digunakan
tentu memiliki risiko baik teknologi konvensional maupun
teknologi modern seperti Teknologi Rekayasa Genetika. Potensi
risiko yang kemungkinan ada tersebut perlu diuji dan dikaji di
laboratorium dan di lapangan. Di Indonesia pemerintah telah
menunjuk suatu badan yang berwenang melakukan pengujian
dan penilaian terhadap produk PRG yaitu Komisi Keamanan
Hayati (KKH) serta Tim Teknis Keamanan Hayati (TTKH). Kedua
badan

ini

masih

beranggotakan

hasil

pengangkatan

berdasarkan surat Keputusan 4 Menteri Tahun 1999, karena
masih menunggu hasil Keputusan Presiden untuk penetapan
anggota Komisi yang baru.
Dalam menganalisa dan mengkaji risiko diperlukan
beberapa hal yang patut diperhatikan antara lain, karakteristik
fenotip dari tanaman transgenik dengan melihat apakah
tanaman tersebut memang memiliki daya kompetisi yang
tinggi dan karakter yang bersifat merusak serta mendominasi

8

habitat alam, ataukah tanaman tersebut memiliki karakter
yang sama dengan tanaman non transgenik. Beberapa tanda
dari tanaman yang dikategorikan sebagai tanaman non
transgenik dan memiliki potensi sebagai gulma dapat dilihat
dari karakter tanaman tersebut yang memiliki ciri-ciri antara
lain; mampu bertahan hidup tanpa bantuan manusia, dan
mempunyai sifat dormansi. Tanaman transgenik adalah hasil
dari pemindahan satu atau lebih gen donor ke varietas
tanaman

yang

sudah

rekayasa

genetika.

dibudidayakan

Pada

prinsipnya

melalui

tanaman

teknologi
transgenik

tersebut secara substansial sepadan dengan tanaman aslinya
sendiri. Dilihat dari potensi risiko yang dapat dihasilkan dari
produk transgenik, tentu saja suatu teknologi baru apapun
akan memiliki risiko. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan
adalah meminimalkan risiko yang ada.
ATURAN PELEPASAN TANAMAN TRANSGENIK
Sebelum

tanaman

transgenik

dilepas

atau

dikomersialisasikan secara luas ke tengah-tengah masyarakat,
tanaman tersebut harus melalui beberapa tahap pengujian
dan penilaian yang dilaksanakan oleh badan yang sudah
ditunjuk oleh pemerintah tadi, seperti yang diuraikan di atas
yaitu KKH dan TTKH. Menurut PP No 21 Tahun 2005, KKH
bertugas memberikan rekomendasi keamanan hayati kepada
Menteri yang berwenang dan Kepala LPND yang berwenang
serta membantu dalam melaksanakan pengawasan terhadap
pemasukan dan pemanfaatan PRG. Sedangkan TTKH bertugas
membantu KKH dalam melakukan kajian teknis keamanan
hayati. Tanaman hasil rekayasa genetik tersebut terlebih

9

dahulu diuji keamanannya terhadap lingkungan dan keamanan
pangan (jika merupakan produk tanaman pangan) dalam suatu
biosafety containment (Fasilitas Uji Terbatas) dan lapangan
terbatas sebelum seterusnya dilakukan uji multi lokasi. Urutan
pengajuan

atau

permohonan

untuk

mendapatkan

izin

pelepasan produk transgenik di Indonesia tercantum dalam PP
No 21 Tahun 2005 (Gambar 2).
PEMOHON

MENTERI atau Kepala LPND yang berwenang dalam Pelepasan dan PeredaranMENTERI
KomoditasLINGKUNGAN HIDUP

KOMISI KEAMANAN HAYATI
BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI

TIM TEKNIS KEAMANAN HAYATI
(untuk uji Fasilitas Uji terbatas dan Lapangan Uji Terbatas)

Gambar 2: Diagram pemberitahuan dan permintaan perizinan berdasarkan PP

Keamanan

Hayati Produk Rekayasa Genetika.

Dari diagram yang tercantum pada Gambar 2
diatas, jelas bahwa pengkajian terhadap PRG wajib dilakukan
sebelum pelepasan dan peredaran. Pengkajian dilaksanakan
dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri yang
berwenang atau Kepala LPND yag berwenang. Dalam jangka
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari. Menteri atau
Kepala LPND yang berwenang menyampaikan permohonan

10

PUBLIK

rekomendasi keamanan hayati PRG kepada Menteri atau Ketua
KKH untuk melakukan pengkajian. Dalam hal pengkajian
terkait dengan evaluasi teknis, KKH menugaskan TTKH untuk
melakukan pengkajian dokumen teknis dan uji lanjutan.

Hasil

evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati PRG yang
dilakukan oleh TTKH disampaikan kepada KKH sebagai bahan
penyusunan

usul

rekomendasi

keamanan

hayati

PRG.

Terhadap hasil evaluasi dan kajian teknis tersebut, KKH
menyampaikan kepada Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH)
selaku perangkat KKH untuk mengumumkan penerimaan
permohonan, proses dan ringkasan hasil pengkajian pada situs
web BCH (www.indonesiabch.org) yag dapat diakses oleh
masyarakat selama 60 (enam puluh) hari untuk memberikan
kesempatan kepada masyarakat menyampaikan tanggapan.
Masyarakat tidak perlu lagi merasa tidak mengetahui tentang
pelepasan suatu produk hasil rekayasa , karena prosedur
pelepasan itu sendiri telah melibatkan public dan diberi
kesempatan untuk menyampaikan keberatan apabila dirasa
produk hasil rekayasa tersebut berbahaya.
Setelah mengetahui prosedur yang harus dilalui oleh
suatu

produk

dibandingkan

hasil

rekayasa

genetika

dengan

proses

pelepasan

(inkonvensional)
suatu

produk

konvensional, berarti semakin banyak pihak yang menaruh
perhatian terhadap perkembangan produk hasil rekayasa
genetika

pada

lingkungan

saat

dan/atau

ini,

karena

keamanan

menyangkut
pangan

keamanan

dan

pakan.

Berkembangnya berbagai anggapan seputar produk hasil
teknologi rekayasa genetika diharapkan dapat diminimalkan

11

dengan

menerapkan prinsip kehati-hatian dalam melakukan

tindakan terkait pelepasan suatu produk.
Dalam mengimplementasikan pendekatan kehati-hatian
terhadap

penggunaan

PRG,

pemerintah

Indonesia

telah

mengeluarkan beberapa peraturan dan pedoman, membentuk
kelembagaan yang berwenang, mengatur penggunaan produk
hasil rekayasa genetik dan membangun fasilitas-fasilitas uji
terbatas (FUT). Hasil dari keseriusan berbagai pihak terkait
dalam mengelola produk hasil rekayasa genetika

salah

satunya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Hasil
Rekayasa Genetika seperti yang telah dijelaskan di atas.
Peraturan ini dikeluarkan setelah Indonesia meratifikasi Protol
Cartagena pada tanggal 16 Agustus 2004, dimana peraturan
ini telah ditetapkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2004.
Dalam PP No 21 Tahun 2005 telah banyak dilakukan
perubahan-perubahan terkait aturan pelepasan suatu produk
hasil rekayasa genetika. Dalam Peraturan tersebut dijelaskan
tentang

jangka

waktu

pelepasan dimana

pada

(time

frame)

pengajuan

untuk

aturan lama, belum mencakup

mengenai jangka waktu tersebut. Hanya beberapa negara
yang telah memiliki jangka waktu pengajuan untuk pelepasan
suatu PRG seperti Philippina, Thailand dan Singapore. Dengan
adanya time frame yang jelas dalam aturan yang baru
diharapkan prosedur atau izin untuk pelepasan PRG semakin
jelas dan terarah. Sayangnya implementasi dari peraturan
yang telah ditetapkan pemerintah, masih berjalan ditempat,
sebab masih

menunggu hasil Keputusan Presiden terkait

12

dengan pembentukan anggota Komisi dan Tim teknis yang
baru.
Sebelum diratifikasinya Protokol Cartagena, Indonesia
dalam hal ini pemerintah telah mempersiapkan perangkat
kerja, dengan menunjuk Kementerian Lingkungan Hidup,
Departemen

Pertanian,

Badan

Pengawasan

Obat

dan

Makanan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia serta instansi
terkait lain dalam

persiapan sarana implementasi Protokol

berupa Kerangka Kerja Nasional Keamanan Hayati (K3H)
Indonesia

(National

Terbentuknya

Biosafety

K3H

Framework

dimaksudkan

untuk

of

Indonesia).

mengembangkan

Kerangka Kerja Nasional Keamanan Hayati
komponen-komponennya
administrasi,
peningkatan

sistem

yaitu

peraturan

keterbukaan

kesadaran

dan

beserta
perundangan,

informasi,

partisipasi

pendidikan,

masyarakat

dan

penelitian keamanan hayati yang merupakan bagian sistem
yang harus diperkuat. Selain itu juga membuat mekanisme
bagi pengambilan keputusan yang kompeten dalam transfer,
penanganan
mempunyai

dan

pemanfaatan

dampak

negatif

PRG

terhadap

yang

mungkin

konservasi

dan

penggunaan berkelanjutan keanekaragaman hayati dengan
selalu memperhatikan kesehatan dan keselamatan manusia
tanpa

menimbulkan

kendala

terhadap

penelitian

dan

pengembangan bioteknologi.
Disadari

ataupun

tidak

pengembangan

bioteknologi

modern dengan teknik rekayasa genetikanya di Indonesia
terus berlanjut baik di lembaga-lembaga penelitian milik
pemerintah maupun yang dikelola oleh badan-badan milik
swasta dan dikerjakan oleh banyak SDM-SDM Indonesia yang

13

telah menempuh pendidikan di dalam dan luar negeri. Oleh
karena

itu,

mengenai

apapun

alasannya

bioteknologi

khususnya

pendidikan
rekayasa

masyarakat
genetik

dan

adanya balai kliring keamanan hayati (BKKH-Indonesia) yang
telah ditunjuk sebagai badan resmi yang merupakan pusat
informasi terkait PRG, seharusnya menjadi agenda utama bagi
penentu

kebijakan

yang

berhubungan

dengan

masalah

keamanan PRG. Kekhawatiran yang berlebihan tidak hanya
akan menyurutkan perkembangan bioteknologi, bakan dapat
memandulkan

kemajuan

di

bidang

ilmu

itu

sendiri.

Bioteknologi seharusnya dapat dikuasai dengan baik untuk
dapat

memanfaatkan

megabiodiversitas

nasional

secara

optimal,selain itu juga dapat meningkatkan kesejahteraan dan
tingkat hidup ke arah yang lebih baik. Di masa depan krisis
pangan akan menjadi issu utama dan memerlukan pemecahan
yang bijaksana.
KESIMPULAN
Bioteknologi adalah teknologi mahal, tetapi mengingat
manfaat yang dapat diperoleh maka teknologi ini tetap
dibutuhkan, maka upaya untuk meminimalkan resiko yang
muncul memerlukan keamanan hayati yang memadai .
Disadari

ataupun

tidak

keamanan

hayati

Indonesia

merupakan tanggung jawab kita semua dan melibatkan
seluruh komponen bangsa. Untuk membuktikan keseriusan
Indonesia dalam hal ini adalah dengan diratifikasinya Protokol
Cartagena tahun 2004, sebagai konsekwensinya Indonesia
diwajibkan

mendirikan

Balai

Kliring

Keamanan

Hayati



Indonesia, yang telah dapat diakses sejak 11 Maret 2003

14

(http://www. indonesiabch.org) . Pada saat ini satu-satunya
sumber informasi yang tersedia terkait keamanan hayati
Indonesia adalah situs web BCH-Indonesia yang bertujuan
untuk

memfasilitasi

pertukaran

informasi

ilmiah,

teknis,

lingkungan, hukum dan pengalaman terkait dengan produk
rekayasa genetika. Keikutsertaan publik dalam pengambilan
keputusan setiap PRG yang akan dilepas merupakan salah
satu persyaratan dalam pelepasan. Di dalam PP No 21 Tahun
2005

tentang

Keamanan

Hayati

Hasil

Produk

Rekayasa

Genétika, Komisi Keamanan Hayati Keamanan Pangan dan
Balai

Kliring

Keamanan

Hayati

berkewajiban

informasi kepada publik terkait tentang pelepasan

memberi
PRG itu

sendiri.

Daftar Pustaka
Bermawie, N; AH Bahagiawati; K. Mulya; D. Santoso; B.
Sugiarto, E. Juliantini; Syahyuti; Erizal; Hasnam, M. Herman
dan Y.A Trisyono (2004). Pengembangan dan dampak
pelepasan produk rekayasa genetika di Indonesia (kasus
khusus: Kapas Bt dan Kedelai). Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Badan Litbang
Pertanian bekerjasama dengan Pusat Penelitian Bioteknologi,
LIPI, Kementerian Lingkungan Hidup dan United Nations
Environmental Program dan Global Environment Facilities
(UNEP-GEF)
Peraturan Pemerintah No 21 Tahun 2005 tentang Keamanan
Hayati Produk Rekayasa Genetik.
Rissler, J. & M. Mellon. 1993. The Promise, Ecological Risks of
Transgenic Crops in A Global Market. Union of Concerned
Scientists. Cambridge.

15

Slamet-Loedin, IH; P.Deswina; E.S Mulyaningsih; D. Tisnadjaja;
K. Mulya; S.E Faisholiyati dan B.S Wardhana (2004). Existing
National Biosafety Frameworks in the countries of the sub
region. Hasil survey yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian
Bioteknologi, LIPI bekerjasama dengan Balai Besar Penelitian
Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik, Badan Litbang
Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan United Nations
Environmental Program dan Global Environment Facilities
(UNEP-GEF)
Website
Balai
Kliring
Keamanan
http://www.indonesiabch.org

16

Hayati

Indonesia

17