Kekuasaan Presiden RI sebelum Amandemen
Kekuasaan Presiden RI sebelum Amandemen
UUD 1945 (Tugas Mata Kuliah Sistem
Politik Indonesia)
Ditulis pada 29 Juli 2012
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi
yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia
telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara
Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai
perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002.
Keberlakuan beberapa konstitusi tersebut dipastikan berpengaruh terhadap kekuasaan
Presiden Republik Indonesia. Secara garis besar, pada awal kemerdekaan berdasarkan
ketentuan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945 kekuasaan presiden sangat besar karena
memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, dan hanya dibantu oleh sebuah
Komite Nasional. Namun dalam praktiknya kekuasaan seperti itu hanya bertahan selama
dua bulan karena kemudian diterapkan sistem pemerintahan parlementer. Sehingga
presiden hanya sebagai kepala negara atau simbol saja, sementara kepala pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri.
Kondisi seperti itu terus berlanjut pada masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD
Sementara Tahun 1950 karena dalam kedua konstitusi tersebut presiden hanya sebagai
kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban dalam pemerintahan karena
roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kekuasaan presiden kembali menjadi kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan
setelah dikeluarkannya dekrit Presiden tanggal 05 Juli 1959 yang intinya kembali
diberlakukannya UUD 1945. Sejak saat itu sampai tahun 1999, bangsa Indonesia
menjalankan kehidupannya berlandaskan pada konstitusi tersebut, sebelum akhirnya
dilakukan perubahan pada tahun 1999-2002 sebanyak empat kali.
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberi kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Oleh karena para ahli
hukum tata negara, kekuasaan tersebut dibagi dalam beberapa jenis kekuasaan. Ismail Suny
membagi kekuasaan Presiden RI berdasarkan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif;
kekuasaan legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan
kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke
dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan
sebagai kepala negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan Presiden yang
luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan
sekaligus mandataris MPR.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyebab,
ternyata pemerintahan yang otoriter, dan korup. Atas desakan dari berbagai pihak akhirnya
pada tahun 1999 sampai tahun 2004 MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hasil
dari perubahan tersebut, salah satunya adalah mereduksi kekuasaan presiden. Perihal yang
sangat mendasar dari perubahan tersebut terhadap kekuasaan presiden adalah dengan
tidak berlakunya penjelasan UUD 1945. Konsekuensinya, Presiden bukan lagi mandataris
MPR. Selain itu, ketentuan mengenai presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan juga ditiadakan.
Atas dasar itu, maka banyak pihak yang menilai bahwa kekuasaan presiden sekarang jauh
lebih kecil dibanding dengan kekuasaan presiden sebelum perubahan. Untuk mengetahui
hal tersebut, maka akan disajikan kekuasaan presiden sebelum perubahan UUD 1945 mulai
dari UUD 1945 pada awal kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUD Sementara, dan kembali ke
UUD 1945.
1. 2. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan pada bagian Latar Belakang, maka rumusan masalah dari
makalah ini adalah mengenai Kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebelum
Amandemen UUD 1945.
BAB II
KERANGKA TEORI
II. 1. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua
pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang
lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada
kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber
kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang
untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.
Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori
teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman
abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah
Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius.
Sementara menurut teori hukum alam. Kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti
itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius
yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada
pada rakyat tersebut tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian
kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk
menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Raja tersebut, dalam teori
hukum alam terdapat perbedaan pendapat. Menurut J. J. Rousseau yang mengatakan bahwa
kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut
diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan tersebut dimulai dari penyerahan masingmasing orang kepada masyarakat sebagai suatu kesatuan, kemudian melalui perjanjian
masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Penyerahan kekuasaan di sini
sifatnya bertingkat.
Sedangkan menurut Thomas Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan
kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan
melalui perjanjian masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui
masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja.
II. 2. Trias Politika dalam Periode Berlakunya UUD 1945
Pengaruh ajaran Trias Politika di Indonesia, dapat dibedakan menjadi dua periode yaitu
periode sebelum perubahan UUD 1945 dan periode setelah perubahan UUD yang sama.
Selama periode I berlakunya UUD 1945, 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949,
negara RI secara resmi tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan Trias Politika.
Demikian pula periode berlakunya KRIS dan UUDS 1950, juga tidak secara eksplisit
menganut ajaran Trias Politika.
Pada periode II berlakunya UUD 1945, 05 Juli 1959 sampai 19 Oktober 1999, saat mulai
berlakunya perubahan pertama UUD 1945, ajaran Trias Politika juga secara resmi tidak
dianut oleh negara RI.
UUD 1945 sebelum perubahan, menganut sistem pembagian kekuasaan dan bukan sistem
pemisahan kekuasaan. Contohnya: bab III tentang kekuasaan Pemerintahan Negara, bab VII
tentang Dewan Perwakilan Rakyat, bab IX tentang kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan
Eksekutif dijalankan oleh Presiden dengan dibantu oleh para Menteri dan kekuasaan
yudisial dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman yang ada di
bawahnya. Kabinet tidak bertanggungjawab kepada DPR, oleh karena sistem
pemerintahannya ialah Presidensial. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya
DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Para Menteri tidak dibenarkan menjadi anggota
DPR. Di samping itu juga terdapat bab II tentang MPR, bab IV tentang DPA; dan bab VII
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Inti dari uraian di atas ialah bahwa asas-asas ajaran Trias Politika dalam arti pembagian
kekuasaan terdapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh ucapan
Presiden Soekarno pada upacara pelantikan Menteri Kehakiman tanggal 12 Desember
1963, dalam masa demokrasi terpimpin, yang menyatakan bahwa “setelah kita kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945, Trias Politika kita tinggalkan sebab asalnya datang dari
sumber-sumber liberalisme”. Ucapan Presiden Soekarno ini selanjutnya dituang dalam
bentuk resmi, yakni Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan kehakiman yang dalam Penjelasan Umumnya berbunyi: “Trias Politika
tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia. Presiden,
pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam
pengadilan, yaitu dalam hal-hal tertentu”.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini bertentangan dengan Penjelasan UUD 1945
mengenai pasal 24 dan Pasal 25 yang mengatakan bahwa”Kekuasaan Kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.
Ketidaksukaan terhadap asas-asas ajatan Trias Politika juga tampak dalam tindakan
Presiden Soekarno yang memberi kedudukan sebagai Menteri terhadap pimpinan DPR
Gotong Royong dan MPRS serta Ketua Mahkamah Agung, sehingga kedudukan mereka
menjadi kabur, di satu sisi menjadi bagian dari legislatif, disisi lain menjadi anggota badan
eksekutif, dan bagi Ketua MA disamping menjadi anggota badan Yudisial, juga menjadi
pembantu Presiden.
Kekurangan atas UU No. 19 Tahun 1964 ini, pasa masa Orde Baru telah ditertibkan; UU No.
19 Tahun 1964 yang juga berbau Demokrasi Terpimpin, dicabut dan gantinya ialah UU No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Akhirnya pada
masa reformasi, UU No. 14 Tahun 1970 juga diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2004 no. 8 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan
yaitu 15 Januari 2004, berdasarkan pertimbangan untuk menyesuaikan denganUUD 1945
pasca perubahan. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 berbunyi:”Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia.”
“Dari uraian di atas jelaslah bahwa NKRI berlandaskan UUD 1945, sebelum perubahan,
menganut asas-asas ajaran trias politika dalam arti pembagian kekuasaan.”
II. 3. Teori Asal Kekuasaan Presiden RI
Secara teoritik asal kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1. Kekuasaan yang berasal dari pemberian pengakuan kekuasaan;
2. Kekuasaan yang diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan;
Presiden dalam menjalankan kekuasaan yang diperoleh melalui dua cara tersebut, memiliki
hak untuk melaksanakan keleluasaan bertindak, meskipun tidak jelas dasar hukumnya,
namun tidak dibenarkan dilaksanakanbertentangan dengan hukum yang berlaku.
Keleluasaan bertindak bagi aparat Tata Usaha Negara dinamakan “Freis Ermessen“.
Pengakuan kekuasaan dapat diberikan oleh rakyat melalui UUD 1945, dan dapat diberikan
oleh MPR dengan membentuk kekuasaan melalui Ketetapan MPR, sebelum perubahan,
serta dapat pula oleh Badan Pembuat Undang-Undang. Syarat utama pada “pengakuan
wewenang” ialah menimbulkan kekuasaan yang asli. Kekuasaan yang asli ini, dapat disebut
sebagai kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan Presiden dalam
fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan dan selaku Kepala Negara. Sedangkan kekuasaan
Presiden yang diperoleh melalui pelimpahan, secara teoritik hanya dapat dilaksanakan oleh
Presiden dalam fungsinya selaku “delegataris” atau “mandataris”.
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Kekuasaan Presiden RI sebelum Perubahan UUD 1945
Sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah
berganti-ganti konstitsi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan
kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959. Perubahan
tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan Presiden.
Berikut akan dijelaskan mengenai kekuasaan Presiden pada masing-masing konstitusi
tersebut.
III. 1. 1. Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kedudukan Presiden pada posisi yang sangat
penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu terlihat dengan dimilikinya du fungsi
penting oleh presiden, yaitu fungsi sebagai kepala negara dan fungsi sebagai kepala
pemerintahan. Untuk itu, kekuasaan yang dimiliki oleh presiden menembus pada area
kekuasaan-kekuasaan yang lain, seperti kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial.
Kekuasaan tersebut akan dijelaskan satu per satu di bawah ini.
1. Kekuasaan di Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 4 ayat (1) jelas mengatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan
pasal tersebut mempunyai makna bahwa Presiden RI adalah satu-satunya orang yang
memimpin seluruh pemerintahan.
Kata-kata “menurut Undang-Undang Dasar” berarti wewenang diatur di dalam UUD
sehingga pembatasan wewenang tersebut terletak sesuai apa yang tertulis di dalam UUD
tersebut. Meskipun begitu, karena Indonesia adalah negara hukum, maka presiden juga
harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
1. Kekuasaan di Bidang Legislatif
UUD 1945 memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden lebih besar daripada DPR.
Selain mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama DPR, dalam kondisi
kegentingan yang memaksa presiden juga mempunyai kekuasaan membentuk peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu), serta berhak menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang.
Kekuasaan presiden juga terlihat sangat besar dalam hal menentukan anggaran dan
pendapatan negara. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengatakan: “anggaran pendapatan dan
belanja ditetapkan dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran
tahun yang lalu.”
1. Kekuasaan di Bidang Yudisial
Presiden, menurut UUD 1945, juga mempunyai beberapa kekuasaan yudisial, yaitu:
pertama, kekuasaan memberi grasi kepada orang yang dihukum, baik berupa penghapusan
hukuman atau pengurangan hukuman. Kedua, presiden mempunyai kekuasaan untuk
menghentikan penuntutan terhadap orang atau segolongan orang yang telah melakukan
sesuatu tindakan pidana dengan memberikan abolisi. Ketiga, presiden mempunyai
kewenangan untuk memberikan amnesti. Keempat, presiden mempunyai kekuasaan untuk
melakukan rehabilitasi kepada seseorang yang haknya telah hilang akibat putusan
pengadilan.
1. Kekuasaan di Bidang Militer
“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.” Demikian bunyi pasal 10 UUD 1945 yang dalam praktiknya dipahami
bahwa presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selain itu, presiden,
dengan persetujuan DPR, mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang dan membuat
perdamaian dengan negara lain.
1. Kekuasaan Hubungan Luar Negeri
Kekuasaan mengenai hubungan luar negeri yang sering disebut sebagai kekuasaan
diplomatik berupa kekuasaan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. UUD 1945
mengatur ketentuan tersebut dalam Pasal 11 yang juga mengatur mengenai kekuasaan
menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain. Dalam hal membuat
perjanjian, pasal tersebut juga mewajibkan kepada presiden untuk meminta persetujuan
DPR.
1. Kekuasaan Darurat
Kekuasaan ini diatur di dalam Pasal 12 yang mengatakan: “Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat keadaan bahaya diterapkan dengan undang-undang.” Undang-undang
yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam sejarahnya, kekuasaan darurat ini pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, yaitu:
pertama, ketika Perdana Menteri Syahrir diculik. Keadaan Bahaya tersebut diberlakukan
mulai tanggal 29 Juni 1946 sampai 02 Oktober 1946. Kedua, ketika suasana politik yang
memanas akibat perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu. Ketika itu, keadaan
bahaya diberlakukan mulai tanggal 27 Juni 1947 sampai 03 Juli 1947. Ketiga, ketika terjadi
perebutan kekuasaan di Madiun. Keadaan bahaya diberlakukan mulai tanggal 15
September 1948 sampai tanggal 15 Desember 1948.
1. Kekuasaan Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Secara eksplisit UUD 1945 hanya mencantumkan beberapa pejabat tinggi negara yang
harus diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pejabat tinggi negara yang secara eksplisit
dikatakan oleh UUD 1945 diangkat dan diberhentikan oleh presiden adalah; menterimenteri, duta dan konsul. Namun, karena presiden mempunyai kewenangan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR, dan mempunyai kekuasaan untuk membentuk
peraturan pemerintah, maka hampir semua pejabat tinggi diangkat oleh presiden, seperti:
hakim-hakim agung, jaksa agung, ketua badan pemeriksa keuangan, dan lain-lain.
III. 1. 2. Kekuasaan Presiden Menurut Konstitusi RIS 1949
Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan, dalam UUD RIS 1945 kedudukan presiden hanya
sebagai kepala negara. Sementara kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang
dikepalai oleh perdana menteri.
Namun secara formal, presiden juga adalah pemerintah. Karena sifatnya Cuma formalitas,
maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada menteri-menteri. Semua keputusan
atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut
ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri.
III. 1. 3. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Serupa dengan UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950 huga secara tegas menyatakan dalam
Pasal 45 Ayat (1) “Presiden ialah Kepala Negara.” Karena kedudukan presiden adalah
sebagai kepala negara, maka Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas roda
pemerintahan, sementara yang harus bertanggungjawab adalah para menteri baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektif.
Persoalan kemudian muncul ketika UUD Sementara 1950 tidak secara tegas dalam satu
pasal pun yang menyatakan apakah presiden merupakan bagian dari pemerintah bersam-
sama para menteri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 UUD RIS, atau yang dimaksud
pemerintah itu hanya menteri-menteri saja tanpa presiden.
Keadaan seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan.
Presiden Soekarno menganggap keadaan seperti ini menimbulkan “dualisme” dalam
kepemimpinan bangsa di mana pimpinan revolusi dipisahkan dari pimpinan pemerintahan.
Pimpinan revolusi justru dilumpuhkan oleh pimpinan pemerintahan dan hanya dijadikan
“tukang stempel”.
Menurut Ismail Suny, Presiden adalah bagian dari suatu “dwi-tunggal” Pemerintah Republik
Indonesia. Sedangkan para menteri merupakan bagian yang lain. Pendapat ini didasarkan
pada penafsiran sistematis penempatan ketentuan mengenai presiden dan menteri-menteri
yang ditempatkan secara bersama-sama pada Bagian I dari Bab II dengan kepala;
“Pemerintah.” Kemudian apabila dihubungkan Bagian I dari Bab II ini dengan Bagian I dari
Bab III terutama Pasal 83, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peniadaan Pasal 68 UUD
RIS 1949 dalam UUD Sementara 1950, hanyalah dimaksudkan untuk tidak perlu
menjelaskan hal yang sudah dianggap sudah cukup terang.
Dalam hal adanya ketentuan dalam Pasal 85 yang mengharuskan segala keputusan
presiden ditandatangani oleh menteri-menteri yang bersangkutan adalah dimaksudkan
bahwa menteri-menteri yang tersebut setuju dengan keputusan itu. Persetujuan itu sangat
penting karena Pasal 83 UUD Sementara 1950 menyatakan bahwa menteri-menteri
bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan presiden dan wakil
presiden tidak dapat diganggu-gugat dalam arti tak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, maksud dari Pasal 83 tersebut adalah untuk memberikan kepada menterimenteri dan parlemen — tempat menteri-menteri bertanggung jawab — pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, sementara
kekuasaan yang dipegang oleh presiden hanya apa yang secara tegas dinyatakan oleh
beberapa pasal yang tertera di dalam UUD Sementara 1950.
BAB IV
PENUTUP
Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi
yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia
telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara
Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai
perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002.
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua
pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang
lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada
kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber
kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang
untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.
Sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah
berganti-ganti konstitsi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan
kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959. Perubahan
tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan Presiden.
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberi kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Oleh karena para ahli
hukum tata negara, kekuasaan tersebut dibagi dalam beberapa jenis kekuasaan. Kekuasaan
Presiden RI berdasarkan UUD 1945 dibagi menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan
legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan
darurat.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyebab,
ternyata pemerintahan yang otoriter, dan korup. Atas desakan dari berbagai pihak akhirnya
pada tahun 1999 sampai tahun 2004 MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hasil
dari perubahan tersebut, salah satunya adalah mereduksi kekuasaan presiden. Perihal yang
sangat mendasar dari perubahan tersebut terhadap kekuasaan presiden adalah dengan
tidak berlakunya penjelasan UUD 1945. Konsekuensinya, Presiden bukan lagi mandataris
MPR.
DAFTAR PUSTAKA
Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah
Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Mahfud, MD., Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sitepu, P. Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sitepu, P. Anthonius. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suharto, Susilo. 2006. Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode
Berlakunya Undang-Undang dasar 1945. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syafiie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka Reka Cipta.
UUD 1945 (Tugas Mata Kuliah Sistem
Politik Indonesia)
Ditulis pada 29 Juli 2012
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi
yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia
telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara
Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai
perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002.
Keberlakuan beberapa konstitusi tersebut dipastikan berpengaruh terhadap kekuasaan
Presiden Republik Indonesia. Secara garis besar, pada awal kemerdekaan berdasarkan
ketentuan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945 kekuasaan presiden sangat besar karena
memegang kekuasaan pemerintahan dalam arti luas, dan hanya dibantu oleh sebuah
Komite Nasional. Namun dalam praktiknya kekuasaan seperti itu hanya bertahan selama
dua bulan karena kemudian diterapkan sistem pemerintahan parlementer. Sehingga
presiden hanya sebagai kepala negara atau simbol saja, sementara kepala pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri.
Kondisi seperti itu terus berlanjut pada masa konstitusi RIS tahun 1949 dan UUD
Sementara Tahun 1950 karena dalam kedua konstitusi tersebut presiden hanya sebagai
kepala negara yang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban dalam pemerintahan karena
roda pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Kekuasaan presiden kembali menjadi kepala negara sekaligus sebagai kepala pemerintahan
setelah dikeluarkannya dekrit Presiden tanggal 05 Juli 1959 yang intinya kembali
diberlakukannya UUD 1945. Sejak saat itu sampai tahun 1999, bangsa Indonesia
menjalankan kehidupannya berlandaskan pada konstitusi tersebut, sebelum akhirnya
dilakukan perubahan pada tahun 1999-2002 sebanyak empat kali.
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberi kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Oleh karena para ahli
hukum tata negara, kekuasaan tersebut dibagi dalam beberapa jenis kekuasaan. Ismail Suny
membagi kekuasaan Presiden RI berdasarkan UUD 1945 menjadi; kekuasaan administratif;
kekuasaan legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan
kekuasaan darurat. Sedangkan H. M. Ridhwan Indra dan Satya Arinanto membaginya ke
dalam; kekuasaan dalam bidang eksekutif, kekuasaan dalam bidang legislatif, kekuasaan
sebagai kepala negara, dan kekuasaan dalam bidang yudikatif. Kekuasaan Presiden yang
luas tersebut tercakup dalam fungsinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan dan
sekaligus mandataris MPR.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyebab,
ternyata pemerintahan yang otoriter, dan korup. Atas desakan dari berbagai pihak akhirnya
pada tahun 1999 sampai tahun 2004 MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hasil
dari perubahan tersebut, salah satunya adalah mereduksi kekuasaan presiden. Perihal yang
sangat mendasar dari perubahan tersebut terhadap kekuasaan presiden adalah dengan
tidak berlakunya penjelasan UUD 1945. Konsekuensinya, Presiden bukan lagi mandataris
MPR. Selain itu, ketentuan mengenai presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala
pemerintahan juga ditiadakan.
Atas dasar itu, maka banyak pihak yang menilai bahwa kekuasaan presiden sekarang jauh
lebih kecil dibanding dengan kekuasaan presiden sebelum perubahan. Untuk mengetahui
hal tersebut, maka akan disajikan kekuasaan presiden sebelum perubahan UUD 1945 mulai
dari UUD 1945 pada awal kemerdekaan, Konstitusi RIS, UUD Sementara, dan kembali ke
UUD 1945.
1. 2. Perumusan Masalah
Dari uraian yang telah disebutkan pada bagian Latar Belakang, maka rumusan masalah dari
makalah ini adalah mengenai Kekuasaan Presiden Republik Indonesia sebelum
Amandemen UUD 1945.
BAB II
KERANGKA TEORI
II. 1. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua
pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang
lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada
kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber
kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang
untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.
Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal. Menurut teori
teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman
abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah
Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius.
Sementara menurut teori hukum alam. Kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti
itu dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Johannes Althusius
yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada
pada rakyat tersebut tidak lagi dianggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian
kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan kepada seseorang, yang disebut raja, untuk
menyelenggarakan kepentingan masyarakat.
Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Raja tersebut, dalam teori
hukum alam terdapat perbedaan pendapat. Menurut J. J. Rousseau yang mengatakan bahwa
kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut
diserahkan kepada raja. Mekanisme penyerahan tersebut dimulai dari penyerahan masingmasing orang kepada masyarakat sebagai suatu kesatuan, kemudian melalui perjanjian
masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Penyerahan kekuasaan di sini
sifatnya bertingkat.
Sedangkan menurut Thomas Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan
kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan
melalui perjanjian masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui
masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja.
II. 2. Trias Politika dalam Periode Berlakunya UUD 1945
Pengaruh ajaran Trias Politika di Indonesia, dapat dibedakan menjadi dua periode yaitu
periode sebelum perubahan UUD 1945 dan periode setelah perubahan UUD yang sama.
Selama periode I berlakunya UUD 1945, 18 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949,
negara RI secara resmi tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan Trias Politika.
Demikian pula periode berlakunya KRIS dan UUDS 1950, juga tidak secara eksplisit
menganut ajaran Trias Politika.
Pada periode II berlakunya UUD 1945, 05 Juli 1959 sampai 19 Oktober 1999, saat mulai
berlakunya perubahan pertama UUD 1945, ajaran Trias Politika juga secara resmi tidak
dianut oleh negara RI.
UUD 1945 sebelum perubahan, menganut sistem pembagian kekuasaan dan bukan sistem
pemisahan kekuasaan. Contohnya: bab III tentang kekuasaan Pemerintahan Negara, bab VII
tentang Dewan Perwakilan Rakyat, bab IX tentang kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan
Eksekutif dijalankan oleh Presiden dengan dibantu oleh para Menteri dan kekuasaan
yudisial dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan-badan kehakiman yang ada di
bawahnya. Kabinet tidak bertanggungjawab kepada DPR, oleh karena sistem
pemerintahannya ialah Presidensial. Presiden tidak dapat membubarkan DPR, sebaliknya
DPR tidak dapat menjatuhkan Presiden. Para Menteri tidak dibenarkan menjadi anggota
DPR. Di samping itu juga terdapat bab II tentang MPR, bab IV tentang DPA; dan bab VII
tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Inti dari uraian di atas ialah bahwa asas-asas ajaran Trias Politika dalam arti pembagian
kekuasaan terdapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini diperkuat oleh ucapan
Presiden Soekarno pada upacara pelantikan Menteri Kehakiman tanggal 12 Desember
1963, dalam masa demokrasi terpimpin, yang menyatakan bahwa “setelah kita kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945, Trias Politika kita tinggalkan sebab asalnya datang dari
sumber-sumber liberalisme”. Ucapan Presiden Soekarno ini selanjutnya dituang dalam
bentuk resmi, yakni Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan kehakiman yang dalam Penjelasan Umumnya berbunyi: “Trias Politika
tidak mempunyai tempat sama sekali dalam hukum nasional Indonesia. Presiden,
pemimpin Besar Revolusi harus dapat melakukan campur tangan atau turun tangan dalam
pengadilan, yaitu dalam hal-hal tertentu”.
Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 ini bertentangan dengan Penjelasan UUD 1945
mengenai pasal 24 dan Pasal 25 yang mengatakan bahwa”Kekuasaan Kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.
Ketidaksukaan terhadap asas-asas ajatan Trias Politika juga tampak dalam tindakan
Presiden Soekarno yang memberi kedudukan sebagai Menteri terhadap pimpinan DPR
Gotong Royong dan MPRS serta Ketua Mahkamah Agung, sehingga kedudukan mereka
menjadi kabur, di satu sisi menjadi bagian dari legislatif, disisi lain menjadi anggota badan
eksekutif, dan bagi Ketua MA disamping menjadi anggota badan Yudisial, juga menjadi
pembantu Presiden.
Kekurangan atas UU No. 19 Tahun 1964 ini, pasa masa Orde Baru telah ditertibkan; UU No.
19 Tahun 1964 yang juga berbau Demokrasi Terpimpin, dicabut dan gantinya ialah UU No.
14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Akhirnya pada
masa reformasi, UU No. 14 Tahun 1970 juga diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, LN Tahun 2004 no. 8 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan
yaitu 15 Januari 2004, berdasarkan pertimbangan untuk menyesuaikan denganUUD 1945
pasca perubahan. Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 berbunyi:”Kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik
Indonesia.”
“Dari uraian di atas jelaslah bahwa NKRI berlandaskan UUD 1945, sebelum perubahan,
menganut asas-asas ajaran trias politika dalam arti pembagian kekuasaan.”
II. 3. Teori Asal Kekuasaan Presiden RI
Secara teoritik asal kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
1. Kekuasaan yang berasal dari pemberian pengakuan kekuasaan;
2. Kekuasaan yang diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan;
Presiden dalam menjalankan kekuasaan yang diperoleh melalui dua cara tersebut, memiliki
hak untuk melaksanakan keleluasaan bertindak, meskipun tidak jelas dasar hukumnya,
namun tidak dibenarkan dilaksanakanbertentangan dengan hukum yang berlaku.
Keleluasaan bertindak bagi aparat Tata Usaha Negara dinamakan “Freis Ermessen“.
Pengakuan kekuasaan dapat diberikan oleh rakyat melalui UUD 1945, dan dapat diberikan
oleh MPR dengan membentuk kekuasaan melalui Ketetapan MPR, sebelum perubahan,
serta dapat pula oleh Badan Pembuat Undang-Undang. Syarat utama pada “pengakuan
wewenang” ialah menimbulkan kekuasaan yang asli. Kekuasaan yang asli ini, dapat disebut
sebagai kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan Presiden dalam
fungsinya sebagai Kepala Pemerintahan dan selaku Kepala Negara. Sedangkan kekuasaan
Presiden yang diperoleh melalui pelimpahan, secara teoritik hanya dapat dilaksanakan oleh
Presiden dalam fungsinya selaku “delegataris” atau “mandataris”.
BAB III
PEMBAHASAN
III. 1. Kekuasaan Presiden RI sebelum Perubahan UUD 1945
Sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah
berganti-ganti konstitsi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan
kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959. Perubahan
tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan Presiden.
Berikut akan dijelaskan mengenai kekuasaan Presiden pada masing-masing konstitusi
tersebut.
III. 1. 1. Kekuasaan Presiden Menurut UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kedudukan Presiden pada posisi yang sangat
penting dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Itu terlihat dengan dimilikinya du fungsi
penting oleh presiden, yaitu fungsi sebagai kepala negara dan fungsi sebagai kepala
pemerintahan. Untuk itu, kekuasaan yang dimiliki oleh presiden menembus pada area
kekuasaan-kekuasaan yang lain, seperti kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial.
Kekuasaan tersebut akan dijelaskan satu per satu di bawah ini.
1. Kekuasaan di Bidang Penyelenggaraan Pemerintahan
Pasal 4 ayat (1) jelas mengatakan: “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketentuan
pasal tersebut mempunyai makna bahwa Presiden RI adalah satu-satunya orang yang
memimpin seluruh pemerintahan.
Kata-kata “menurut Undang-Undang Dasar” berarti wewenang diatur di dalam UUD
sehingga pembatasan wewenang tersebut terletak sesuai apa yang tertulis di dalam UUD
tersebut. Meskipun begitu, karena Indonesia adalah negara hukum, maka presiden juga
harus tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lain.
1. Kekuasaan di Bidang Legislatif
UUD 1945 memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden lebih besar daripada DPR.
Selain mempunyai kekuasaan membentuk Undang-Undang bersama DPR, dalam kondisi
kegentingan yang memaksa presiden juga mempunyai kekuasaan membentuk peraturan
pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu), serta berhak menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang.
Kekuasaan presiden juga terlihat sangat besar dalam hal menentukan anggaran dan
pendapatan negara. Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 mengatakan: “anggaran pendapatan dan
belanja ditetapkan dengan undang-undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak
menyetujui anggaran yang diusulkan pemerintah, maka pemerintah menjalankan anggaran
tahun yang lalu.”
1. Kekuasaan di Bidang Yudisial
Presiden, menurut UUD 1945, juga mempunyai beberapa kekuasaan yudisial, yaitu:
pertama, kekuasaan memberi grasi kepada orang yang dihukum, baik berupa penghapusan
hukuman atau pengurangan hukuman. Kedua, presiden mempunyai kekuasaan untuk
menghentikan penuntutan terhadap orang atau segolongan orang yang telah melakukan
sesuatu tindakan pidana dengan memberikan abolisi. Ketiga, presiden mempunyai
kewenangan untuk memberikan amnesti. Keempat, presiden mempunyai kekuasaan untuk
melakukan rehabilitasi kepada seseorang yang haknya telah hilang akibat putusan
pengadilan.
1. Kekuasaan di Bidang Militer
“Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.” Demikian bunyi pasal 10 UUD 1945 yang dalam praktiknya dipahami
bahwa presiden adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Selain itu, presiden,
dengan persetujuan DPR, mempunyai kekuasaan untuk menyatakan perang dan membuat
perdamaian dengan negara lain.
1. Kekuasaan Hubungan Luar Negeri
Kekuasaan mengenai hubungan luar negeri yang sering disebut sebagai kekuasaan
diplomatik berupa kekuasaan untuk membuat perjanjian dengan negara lain. UUD 1945
mengatur ketentuan tersebut dalam Pasal 11 yang juga mengatur mengenai kekuasaan
menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain. Dalam hal membuat
perjanjian, pasal tersebut juga mewajibkan kepada presiden untuk meminta persetujuan
DPR.
1. Kekuasaan Darurat
Kekuasaan ini diatur di dalam Pasal 12 yang mengatakan: “Presiden menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat keadaan bahaya diterapkan dengan undang-undang.” Undang-undang
yang dimaksud adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Dalam sejarahnya, kekuasaan darurat ini pernah dilakukan oleh Presiden Soekarno, yaitu:
pertama, ketika Perdana Menteri Syahrir diculik. Keadaan Bahaya tersebut diberlakukan
mulai tanggal 29 Juni 1946 sampai 02 Oktober 1946. Kedua, ketika suasana politik yang
memanas akibat perundingan dengan Belanda menemui jalan buntu. Ketika itu, keadaan
bahaya diberlakukan mulai tanggal 27 Juni 1947 sampai 03 Juli 1947. Ketiga, ketika terjadi
perebutan kekuasaan di Madiun. Keadaan bahaya diberlakukan mulai tanggal 15
September 1948 sampai tanggal 15 Desember 1948.
1. Kekuasaan Mengangkat atau Menetapkan Pejabat Tinggi Negara
Secara eksplisit UUD 1945 hanya mencantumkan beberapa pejabat tinggi negara yang
harus diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Pejabat tinggi negara yang secara eksplisit
dikatakan oleh UUD 1945 diangkat dan diberhentikan oleh presiden adalah; menterimenteri, duta dan konsul. Namun, karena presiden mempunyai kewenangan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR, dan mempunyai kekuasaan untuk membentuk
peraturan pemerintah, maka hampir semua pejabat tinggi diangkat oleh presiden, seperti:
hakim-hakim agung, jaksa agung, ketua badan pemeriksa keuangan, dan lain-lain.
III. 1. 2. Kekuasaan Presiden Menurut Konstitusi RIS 1949
Berbeda dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan presiden sebagai kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan, dalam UUD RIS 1945 kedudukan presiden hanya
sebagai kepala negara. Sementara kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang
dikepalai oleh perdana menteri.
Namun secara formal, presiden juga adalah pemerintah. Karena sifatnya Cuma formalitas,
maka kekuasaan dalam pemerintahan bergantung pada menteri-menteri. Semua keputusan
atau peraturan harus diambil oleh kabinet, kemudian keputusan atau peraturan tersebut
ditandatangani oleh presiden dan ditandatangani oleh menteri.
III. 1. 3. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Serupa dengan UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950 huga secara tegas menyatakan dalam
Pasal 45 Ayat (1) “Presiden ialah Kepala Negara.” Karena kedudukan presiden adalah
sebagai kepala negara, maka Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas roda
pemerintahan, sementara yang harus bertanggungjawab adalah para menteri baik secara
sendiri-sendiri maupun secara kolektif.
Persoalan kemudian muncul ketika UUD Sementara 1950 tidak secara tegas dalam satu
pasal pun yang menyatakan apakah presiden merupakan bagian dari pemerintah bersam-
sama para menteri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 60 UUD RIS, atau yang dimaksud
pemerintah itu hanya menteri-menteri saja tanpa presiden.
Keadaan seperti inilah yang kemudian menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan.
Presiden Soekarno menganggap keadaan seperti ini menimbulkan “dualisme” dalam
kepemimpinan bangsa di mana pimpinan revolusi dipisahkan dari pimpinan pemerintahan.
Pimpinan revolusi justru dilumpuhkan oleh pimpinan pemerintahan dan hanya dijadikan
“tukang stempel”.
Menurut Ismail Suny, Presiden adalah bagian dari suatu “dwi-tunggal” Pemerintah Republik
Indonesia. Sedangkan para menteri merupakan bagian yang lain. Pendapat ini didasarkan
pada penafsiran sistematis penempatan ketentuan mengenai presiden dan menteri-menteri
yang ditempatkan secara bersama-sama pada Bagian I dari Bab II dengan kepala;
“Pemerintah.” Kemudian apabila dihubungkan Bagian I dari Bab II ini dengan Bagian I dari
Bab III terutama Pasal 83, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peniadaan Pasal 68 UUD
RIS 1949 dalam UUD Sementara 1950, hanyalah dimaksudkan untuk tidak perlu
menjelaskan hal yang sudah dianggap sudah cukup terang.
Dalam hal adanya ketentuan dalam Pasal 85 yang mengharuskan segala keputusan
presiden ditandatangani oleh menteri-menteri yang bersangkutan adalah dimaksudkan
bahwa menteri-menteri yang tersebut setuju dengan keputusan itu. Persetujuan itu sangat
penting karena Pasal 83 UUD Sementara 1950 menyatakan bahwa menteri-menteri
bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah. Sedangkan presiden dan wakil
presiden tidak dapat diganggu-gugat dalam arti tak bertanggung jawab.
Oleh karena itu, maksud dari Pasal 83 tersebut adalah untuk memberikan kepada menterimenteri dan parlemen — tempat menteri-menteri bertanggung jawab — pemegang
kekuasaan membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, sementara
kekuasaan yang dipegang oleh presiden hanya apa yang secara tegas dinyatakan oleh
beberapa pasal yang tertera di dalam UUD Sementara 1950.
BAB IV
PENUTUP
Kekuasaan seorang presiden dalam suatu negara modern selalu didasarkan pada konstitusi
yang berlaku di negara tersebut. Sejak kemerdekaan hingga sekarang, bangsa Indonesia
telah berganti-ganti konstitusi, mulai dari UUD 1945, konstitusi RIS 1949, UUD Sementara
Tahun 1950, kembali ke UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 05 Juli 1959 sampai
perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali sejak tahun 1999-2002.
Kekuasaan (authority) adalah merupakan suatu kondisi yang memunculkan dua
pemahaman yakni, pemehaman tentang orang yang memperoleh kekuasaan dan yang
lainnya adalah terkait dengan pemahaman tentang orang yang dikuasai atau tunduk pada
kekuasaan. Pemahaman sentral yang berkenaan dengan hal itu yakni berkisar pada sumber
kekuasaan sebagai legitimasi atas kekuasaan itu pada satu sisi dan kemauan seseorang
untuk tunduk pada kekuasaan yang maknanya adalah pembatasan.
Sebelum perubahan UUD 1945 pada tahun 1999-2002, Republik Indonesia pernah
berganti-ganti konstitsi mulai dari UUD 1945, UUD RIS 1949, UUD Sementara 1950, dan
kembali lagi ke UUD 1945 melalui dekrit Presiden pada tanggal 05 Juli 1959. Perubahan
tersebut tentu berpengaruh terhadap lembaga kepresidenan maupun kekuasaan Presiden.
Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan memberi kekuasaan yang sangat besar
kepada Presiden RI untuk menyelenggarakan roda kenegaraan. Oleh karena para ahli
hukum tata negara, kekuasaan tersebut dibagi dalam beberapa jenis kekuasaan. Kekuasaan
Presiden RI berdasarkan UUD 1945 dibagi menjadi; kekuasaan administratif; kekuasaan
legislatif; kekuasaan yudikatif; kekuasaan militer; kekuasaan diplomatik; dan kekuasaan
darurat.
Kekuasaan yang begitu besar tersebut dinilai oleh banyak kalangan sebagai penyebab,
ternyata pemerintahan yang otoriter, dan korup. Atas desakan dari berbagai pihak akhirnya
pada tahun 1999 sampai tahun 2004 MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Hasil
dari perubahan tersebut, salah satunya adalah mereduksi kekuasaan presiden. Perihal yang
sangat mendasar dari perubahan tersebut terhadap kekuasaan presiden adalah dengan
tidak berlakunya penjelasan UUD 1945. Konsekuensinya, Presiden bukan lagi mandataris
MPR.
DAFTAR PUSTAKA
Ghoffar, Abdul. 2009. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia setelah
Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Mahfud, MD., Moh. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sitepu, P. Anthonius. 2012. Studi Ilmu Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sitepu, P. Anthonius. 2012. Teori-Teori Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Suharto, Susilo. 2006. Kekuasaan Presiden Republik Indonesia dalam Periode
Berlakunya Undang-Undang dasar 1945. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syafiie, Inu Kencana. 2009. Pengantar Ilmu Politik. Bandung: Pustaka Reka Cipta.