Para Perempuan Yang Mengubah Wajah Desa.




Para Perempuan yang Mengubah Wajah Desa:
UU 6/2014 dan Pembangunan yang Inklusif di Indonesia1

Oleh:
R. Yando Zakaria2

Pengantar
Meski tidak menjadi bagian pendorong awal dalam gerakan advokasi UU Desa
yang baru (Vel, Zakaria, dan Bedner, 2016), gerakan perempuan menjadi salah
satu pihak yang aktif dalam proses legislasi UU Desa. Lebih dari itu, diawali pada
saat-saat menjelang penetapan, dan terlebih lagi pada masa pasca-penetapan
kebijakan baru itu, berbagai organisasi organisasi masyarakat sipil yang peduli
dengan persoalan perempuan (dan anak) dapat dikatakan menjadi pihak yang
paling aktif dalam upaya mengoptimalkan keberadaan kebijakan baru itu sebagai
intrumen pencapaian tujuan gerakannya, yakni proses pembangunan yang pro
pada pendekatan inklusi sosial; bahkan sebelum Pemerintah sendiri belum siap
dengan berbagai instrumen kebijakan turunan lainnya (Simarmata & Zakaria,
2016).3

Meski capaiannya minimalis (Koalisi Perempuan Indonesia, 2014; PP Aisyiah,
2015; Simarmata & Zakaria, 2016), perspektif baru yang ditawarkan gerakan
perempuan itu akhirnya diadopsi juga dalam UU Desa. Bagi sebagian organisasi
dan/ataupun jaringan kerja masyarakat sipil yang peduli dengan masalah
perempuan dan anak di perdesaan, Kebijakan baru itu dirasa cukup memberikan
harapan baru bagi perubahan wajah desa ke depan (Institute Mosintuwu dan
Sekolah Perempuan Poso, 2013; dan Program MAMPU, 2014).
Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan pokok tentang apa kekuatan dan kelemahan
norma-norma hukum tentang iklusi sosial yang terkandung dalam UU Desa jika
dibandingan dengan paraturan perundang-undangan yang juga mempromosikan
pendekatan inklusi sosial? Apakah norma-norma hukum yang pro-inklusi sosial itu
dapat membantu para pihak yang concern lebih leluasa dalam mendorong

1

Makalah yang dipresentasikan pada lokakarya “New Law, New Villages? Changing rural Indonesia”.
Leiden, 19 – 20 May 2016. Diselenggarakan oleh KITLV bekerjasama dengan Van Volenhoven
Institute, Leiden University, Program Asian Modernities and Traditions (AMT), dan the Norwegian
Centre for Human Rights, University of Oslo (NCHR).
2 Praktisi antropologi. Fellow pada Lingkar pembaran Desa dan Agraria (KARSA), Yogyakarta;

dan pengajar tamu pada Jurusan Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL UGM.
3 Sejauh ini cara untuk mendefinisikan inklusi sosial (social inclusion) adalah dengan mengacu
pada definisi eksklusi sosial (social exclusion). Nabin Rawal, dengan mengutip P. Francis,
mendefiniskan eksklusi sosial sebagai suatu proses yang membuat individu atau kelompok
tertentu tidak dapat berpartisipasi sebagian atau sepenuhnya, dalam kehidupan sosial mereka.
Dengan membalikkan definisi tersebut, maka inklusi sosial dapat diartikan sebagai suatu proses
yang memungkinkan individu atau kelompok tertentu untuk dapat berpartisipasi sebagian atau
seluruhnya dalam kehidupan sosial mereka. Alasan mengapa inklusi sosial didefinisikan dengan
cara seperti itu tidak lepas dari kaitannya dengan eksklusi sosial. Keduanya dilihat sebagai dua
sisi dari satu mata uang. Eksklusi sosial adalah counterpart bagi inklusi sosial, dan sebaliknya.
inklusi sosial secara gradual berangkat dari akses, partisipasi dan pemberdayaan (Rawal, 2008;
Gidley, et al. 2010).




1





penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang lebih inklusif? Apa saja
kendala yang dihadapi?
Pada akhirnya, tulisan ini juga mempertanyakan apakah peluang pendekatan inklusi
sosial yang terkandung dalam UU Desa yang baru ini mampu memperbaharui
konstelasi sosial-politik dalam rangka perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan di tingkat desa? Kebijakan-kebijakan baru apa yang
dibutuhkan agar cita-cita inklusi sosial dalam UU Desa menjadi kenyataan di tingkat
lapangan?
UU Desa dan pembangunan yang inklusif di Indonesia
Program pembangunan yang inklusif bukanlah barang baru dalam pendekatan
pembangunan (perdesaan) di Indonesia. Namun sejauh ini capaiannya masih
belum menggembirakan. Program-program yang ada selama ini nyatanya (a)
belum mampu menggapai kelompok-kelompok yang ‘paling marjinal; (b) mutu
partisipasi rendah yang masih rendah (75% peserta forum deliberative hanya
datang untuk mendengarkan; keputusan yang diambil menguntungkan kelas
atas di desa; (c) program-program dengan single target group pun belum mampu
menggapai kelompok yang paling rentan (misalnya kepala keluarga perempuan
yang miskin); (d) ada program dengan special single target group yang sanggup
menggapai kelompok termarjinal itu namun pengaruhnya pada keputusan di

arena politik formal relatif masih terbatas; dan (e) maka secara umum, struktur
sosial yang tidak adil tidak/belum banyak berubah (Gibson and Woolcock, 2005;
McLaughlin, Satu, & Hoppe, 2007; Voss, 2008; AKATIGA, 2010; SMERU, 2010,
Soehendera, 2010; dan John F. McCarthy, et.al. in press.).
Dalam situasi yang demikian para pendukung UU Desa setidaknya berhasil
menyorongkan tiga bentuk inklusi sosial dalam UU Desa. Masing-masing dalam
bentuk (a) pengakuan atas susunan asli masyarakat hukum adat untuk
menyelenggarakan pemerintahan yang didasarkan pada hak asal-usul; (b)
pemberian kesempatan secara khusus kepada perempuan untuk turut
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa (ketewakilan pada
BPD); dan (c) inklusi sosial yang dialamatkan kepada semua warga desa,
termasuk kelompok marginal, untuk berpartisipasi dalam penataan desa,
perencanaan desa, penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa.
Berdasarkan uraian mengenai perbandingan kandungan kualitas inklusi sosial dalam
UU Desa dengan beberapa UU lainnya (Simarmata & Zakaria, 2016), 4 dapat
dikatakan bahwa, pertama, sama seperti beberapa UU lainnya, UU Desa meneruskan
tradisi inklusif dalam sistem legislasi nasional. Bila yang menjadi ukuran adalah
partisipasi warga maka hampir semua UU memiliki ketentuan mengenai hal tersebut.
Berbagai UU di bidang pengelolaan sumberdaya alam mewajibkan pemerintah untuk


4

Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah UU mengatur mengenai pelayanan publik atau
organisasi yang menyelenggarakan pelayanan publik, dan perencanaan pembangunan. Undang-undang
yang terkait dengan pelayanan publik atau organisasi pelayanan publik adalah (1) UU Pemerintahan
Daerah, (2) UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,
(3) UU Pelayanan Publik, (4) UU Aparatur Sipil Negara, dan UU Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.




2




menyertakan masyarakat dalam pengurusan hutan, 5 penyusunan perencanaan
perkebunan (nasional dan daerah), 6 pengelolaan perikanan, 7 pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil,8 dan dalam penyelenggaraan penataan ruang.9

Kedua, jika berbicara mengenai partisipasi, yang merupakan tingkatan kedua inklusi
sosial, UU Desa relatif lebih maju. Bila empat dari lima UU terkait lainnya
menentukan partisipasi hanya dalam bentuk memberikan masukan maka UU Desa
sudah sampai pada bentuk mengambil keputusan. Partisipasi dalam bentuk tersebut
ada pada ketentuan yang mewajibkan adanya wakil unsur perempuan dan masyarakat
miskin di dalam musyawarah desa, serta wakil perempuan dalam keanggotaan BPD.
Dalam soal ini hanya UU Pemerintahan Daerah yang sama dengan UU Desa yang
menentukan bahwa masyarakat ikut serta dalam pengambilan keputusan mengenai
pengelolaan aset dan/atau sumber daya alam daerah. Jika dikaitkan dengan tingkatan
tertinggi inklusi sosial, yaitu pemberdayaan, UU Desa bahkan terlihat sangat maju
dibandingkan dengan UU terkait lainnya. UU Desa memiliki ketentuan mengenai
pemberdayaan baik sebagai tugas pemerintahan desa maupun hak masyarakat desa.
Sekali lagi, dalam hal ini UU Desa hanya bisa disamai oleh UU Pemerintahan Daerah,
UU Kehutanan,10 UU Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,11 dan UU
Perikanan.12
Ketiga, cara UU Desa untuk inklusif tidak hanya dengan memberikan hak dan
kesempatan yang sama kepada semua warga negara, termasuk kelompok marginal,
melainkan juga dengan ‘perlakuan khusus’. Perlakuan khusus tersebut tampak dalam
ketentuan yang mensyaratkan keberadaan unsur atau perwakilan kelompok marginal
dalam forum atau lembaga tertentu. Namun dalam hal ini UU Desa masih belum

semaju UU Pelayanan Publik yang mengharuskan penyelenggara pelayanan publik
untuk memberikan perlakuan khusus kepada kelompok masyarakat rentan tanpa
adanya biaya tambahan.
Jadi, bila dibandingkan dengan kelima UU terkait dan beberapa UU di bidang
pengelolaan sumberdaya alam, kandungan inklusi sosial dalam UU Desa relatif lebih
punya kualitas karena: (i) menaikan tingkat partisipasi ke ikut serta mengambil
keputusan; (ii) mendorong inklusi sosial ke tingkatan pemberdayaan, dan (iii)
memastikan kelompok marginal mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dengan
memberikan perlakuan khusus. Namun, dalam hal-hal tertentu, kandungan inklusi
sosial dalam UU Desa masih di bawah kandungan UU lain karena UU lain sudah
lebih eksplisit dalam melindungi kelompok marginal.13

5

Pasal 68 s/d Pasal 70 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan.
Pasal 8 dan Penjelasannya UU No. 18/2004 tentang Perkebunan.
7
Pasal 6 Ayat (2) dan Penjelasan Umum.
8
Pasal 60 & Pasal 61 UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

sebagaimana telah diubah oleh UU No. 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
9
Pasal 65 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.
10
Pasal 67 Ayat (1) huruf c.
11
Pasal 63.
12
Pasal 60 s/d Pasal 64.
13 Kajian Simarmata dan Zakaria (2016) terhadap perangkat peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah terkait implementasi UU Desa menunjukkan bahwa dua peraturan pemerintah
dan beberapa peraturan setingkat menteri juga lebih maju jika dibandingkan dengan beberapa
UU sektoral lainnya.
6




3





Respons organisasi masyarakat sipil
Sejak UU Desa ditetapkan pada akhir 2013 lalu, berbagai organisasi dan proyek yang
bekerja untuk isu sosial inklusi berusaha merespon pemberlakuan UU Desa. Respon
tersebut ada yang berbentuk reaktif (jangka pendek) namun ada juga yang sudah
dirancang sedemikian rupa (jangka panjang). Respon yang bersifat reaktif seluruhnya
berupa kegiatan sosialisasi/diseminasi UU Desa. Dari segi pengelolaan, kegiatan
sosialisasi/diseminasi dilakukan dengan dua cara. Pertama, melakukan
sosialisasi/diseminasi sebagai kegiatan selingan atau materi tambahan dalam sebuah
pertemuan, dengan durasi waktu selama satu sampai dua jam. Kedua,
menyelenggarakan sosialisasi/diseminasi sebagai kegiatan tersendiri dengan memakan
waktu satu atau 2 hari.
Adapun respon yang bersifat terencana terjadi apabila organisasi dan proyek memiliki
program baru yang dilahirkan setelah pemberlakuan UU Desa. Sekedar menyebut
contoh adalah Hibah Inovasi MAMPU yang mendukung 2 LSM untuk menguatkan
partisipasi perempuan dalam perencanaan dan pembuatan aturan desa. Contoh lainnya
adalah kursus sehari mengenai UU Desa yang dilakukan oleh KARSA (Yogyakarta).

Kursus sehari tersebut tidak dipungut biaya. Selain dari bentuk atau cara merespon,
inisiatif organisasi dan proyek dalam rangka menjadikan UU Desa sebagai arena
mempromosikan perspektif inklusi sosial juga bisa dicermati dengan melihat program
dan kegiatan yang dikembangkan dan diselenggarakan. Secara garis besar program
dan kegiatan tersebut berkenaan dengan sosialisasi/diseminasi dan implementasi.
Program dan kegiatan implementasi terbilang kompleks karena mencakup berbagai
isu dan kegiatan. Implementasi dapat diurai lagi ke dalam isu dan kegiatan-kegiatan
(a) Mengawal penyusunan rancangan peraturan; (b) Mengawal pelaksanaan; (c)
Meningkatkan Partisipasi warga desa; dan (d) Pengembangan ekonomi desa.
Mengawal penyusunan rancangan peraturan mencakup kegiatan menyusun dan
menyiapkan masukan-masukan terhadap rancangan peraturan yang disiapkan oleh
pihak lain (pemerintah), dan terlibat dalam penyusunan rancangan peraturan.
Pandangan kritis dan masukan atas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang
Penyelenggaraan Desa, yang disusun oleh 50 perwakilan organisasi perempuan pada
Mei 2014 lalu, merupakan contoh dari menyusun masukan terhadap rancangan
peraturan yang disiapkan oleh lembaga lain. 14 Di tingkat Kabupaten, Institute
Mosintuwu berupaya menghasilkan rekomendasi bagi UU Desa dan aturan-aturan
pelaksanaannya melalui Kongres Perempuan Poso yang diseleggarakan pada 25 – 27
Maret 2014, yang melibatkan sekitar 1.000 perempuan dari 70 desa yang ada di
Kabupaten Poso. Dalam Rekomendasi Hasil Kongres yang berisikan 10 rekomendasi,

antara lain disebutkan “dalam Peraturan Pemerintah harus ditegaskan bahwa
Pemerintah Desa berkewajiban melibatkan perempuan dalam setiap lembaga-lembaga
pemerintahan desa minimal 50%”; “Pemerintah Desa berkewajiban menganggarkan
kegiatan pemberdayaannperempuan minimal 50% dalam APBDes dan 30% dalam
program pembanguna kabupaten”; “Pemerintah Kabupaten berkewajiban membuat


14

Judul lengkap dokumen rumusan masukan tersebut adalah Pandangan Kritis dan Masukan dari
Gerakan Perempuan Indonesia untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Desa.




4




Peraturan Daerah tentang keterlibatan perempuan minimal 50% dalam perencanaan di
musyawarah desa dan dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan desa’.15
Pengalaman dari Poso
Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (KARSA) adalah salah satu jaringan kerja
masyarakat sipil yang memang didirikan untuk mengadvokasi kebijakan yang
berkaitan dengan pembaruan desa dan agraria, dengan berbagai perpektif, termasuk
perspektif kesetaraan jender. Salah seorang pendri KARSA, Kamala Chandrakirana,
yang kemudian juga menjadi Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Hak Asasi
Perempuan, dengan cara kerjanya sendiri mempromosikan peluang yang dibuka oleh,
ketika itu masih Rancangan Undang-Undang Desa, bagi kemajuan upaya pembelaan
hak-hak perempuan (dan anak) di tingkat komunitas. Gayung pun bersambut. Saya,
selaku salah satu Tenaga Ahli Panitia Khusus RUU Desa Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia diundang sebagai pembicara dalam rapat tahunan Program
Mampu (Nasional) dan Kongres Perempuan (Kabupaten) Poso yang diinisiasi oleh
Institut Mosintuwo, sebuah organisasi masyarakat sipil lokal. Sebagaimana telah
disinggung, kedua kegiatan ini melahirkan masukan yang lebih komprehensif bagi
penyempurnaan UU Desa.16
Beberapa tahun sebelum proses legislasi RUU Desa bergulir Intitute Mosintuwu telah
memiliki program pengembangan partisipasi perempuan di tingkat desa dalam
menciptakan dan melestarikan perdamaian pasca-konflik antar-kelompok yang cukup
masif dan sepertinya belum akan usai tuntas (Komnas HAM, 2005; Alganih, 2014;
Rendi, 2014; dan Manna, 2014)17 Asumsi dasarnya adalah perdamaian hanya akan
abadi jika para warga di tingkat akar rumput memahami konteks konflik yang terjadi
itu sendiri. Asumsi ini berangkat dari temuan Lian Gogali, pendiri Institute
Mosintuwu dan pencetus ide Sekolah Perempuan, sewaktu terlibat dalam berbagai
upaya untuk menciptakan perdamaian yang diselenggarakan oleh pemerintah,
lembaga donor, maupun berbagai jaringan kerja organisasi masyarakat sipil.
Pengalaman Lian itu menunjukkan bahwa seringkali pihak korban yang
sesungguhnya dari konflik yang terjadi itu tidak memahami benar tetang apa
sesungguhnya yang terjadi.
Melalui Sekolah Perempuan, Institute Mosintuwu ingin membangun kesadaran kritis
warga masyarakat di daerah konflik itu, khususnya kaum perempuan. “Karena kaum
perempuanlah yang paling menderita dalam konflik ini. Dalam kondisi normal saja
kaum perempuan tersingkirkan, apalagi dalam keadaan yang tidak normal ini,” jelas
Lian suatu ketika. Melalui Sekolah Perempuan kaum perempuan yang berasal dari
berbagai desa yang ada di Kabupaten Desa diajak berdiskusi dan memahami masalah
15

Rekomendasi Kongres Perempuan Poso untuk Tim Perumus Peraturan Pemerintah untuk UU Desa.
Seiring dengan perjalanan waktu KARSA juga dilibatkan dalam mengembangkan kurikulum dam
materi Sekolah Perempuan yang diinisiasi oleh YSKK, SOLO, di mana, sebagaimana yang sudah
terjadi di Kabupaten Poso, UU Desa sebagai materi ajar yang dikaji secara intesif. Pada masa berikut,
HIVOS, sebuah lembaga donor dari Negeri Belanda juga tertarik untuk mengoptimalisasi UU Desa
bagi kemajuan program yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan anak di 3 (tiga) kabupaten
lainnya. Masing-masing Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, dan kabupaten Kutai Barat dan
Mahakam Hulu di Kalimantan Timur. Proses evaluasi di empat wilayah belajar yang ditemani oleh
KARSA ini silahkan taut ke https://www.youtube.com/watch?v=54gJX7AN_p0
17 Lihat juga http://www.arrahmah.com/news/2016/03/22/operasi-tinombala-kontak-tembakdi-poso-2-tewas.html
16




5




masalah ketidak-adilan yang diderita oleh kaum perempuan, dan pada tingkat
selanjutnya, nilai-nilai universal seperti HAM dan gerakan anti-kekerasan, yang perlu
dihayati dalam menciptakan kehidupan ke depan yang aman, damai dan sejahtera.
Lalu mengapa pula UU Desa menjadi bahan belajar yang cukup intens dipelajari
dalam 2 tahun terakhir ini? Kutipan-kutipan berikut mungkin bisa menjelaskannya
“Di setiap desa, perempuan itu ada. Setiap saat perempuan yang ada di desa,” suara
ibu Yarlin nampak bergetar. “Tapi kami tidak pernah dilibatkan. Dianggap tidak ada.
Sekarang tidak bisa begitu lagi. Makanya kami disini. Kaum perempuan hadir untuk
sama-sama membangun di desa,” seru ibu Yarlin. Pernyataan ibu Yarlin disambut
tepuk tangan meriah dan teriakan “hidup perempuan Poso” dari beberapa sudut
ruangan berstruktur bambu pagi hari itu. Selain ibu Yarlin yang berasal dari Desa
Didiri, hadir pula 60 perempuan lainnya dari 39 desa di Kabupaten Poso dan dari dua
kecamatan di Kabupaten Morowali termasuk kurang lebih 50 perwakilan pemerintah
desa termasuk BPD dan LPM. Kehadiran mereka mewakili semangat bersama
masyarakat di desa untuk menyambut dan mengimplementasikan UU Desa dengan
mengikuti workshop Langkah Bersama UU desa.18
Seperti yang disampaikan ibu Yarlin, Institut Mosintuwu yang menyelenggarakan
kegiatan ini mempercayai bahwa membangun desa tanpa melibatkan perempuan
bukan saja tidak adil tetapi akan membuat pembangunan tersebut berjalan timpang.
Kehadiran UU Desa telah memberikan harapan yang penting bagi masyarakat desa
untuk kembali berdaulat dalam mengelola desa. Namun sayangnya, kelompok
perempuan adalah pihak yang paling terakhir mendapatkan informasi mengenai UU
Desa. Pengetahuan selama ini dimonopoli oleh para pejabat yang sebagian besar
adalah laki-laki. Oleh karena itu memberikan informasi mengenai UU Desa kepada
kelompok perempuan adalah bagian penting untuk membangun sistem pengetahuan
bersama yang adil sehingga selanjutnya bisa bersama-sama dapat dilibatkan dalam
pembangunan di desa.19
Pada kesempatan lain tercatat pula pernyataan berikut: “Pengalaman perempuan
terhadap sering diabaikannya hak layanan masyarakat dalam desa menjadi salah satu
motivasi anggota Sekolah Perempuan yang bergabung di tim layanan masyarakat
melakukan kampanye dan advokasi pemenuhan hak layanan masyarakat yaitu
pendidikan dan kesehatan. Tujuannya agar masyarakat miskin dan marginal di dalam
desanya mengenal dan memahami hak-nya terutama mendapatkan pelayanan publik
yang seharusnya dan yang disediakan.”20
Penyelenggaraan Sekolah Perempuan dalam mengoptimalisasi UU Desa, jika dapat
dikatakan begitu, dilakukan secara bertingkat. Tahap pertama, kegiatan memperajari
UU Desa dan proses Sekolah Perempuan itu dimaksudkan untuk menghasilkan ‘calon
pelatih’ yang nantinya akan menggulirkan diskusi-diskusi seputar peluang dan
tantangan penerapan UU Desa ke depan. ‘Pelatihan untuk pelatih’ ini, jika dapat
dikatakan begitu dilakukan secara bertahap, yang mencakup tidak kurang dari 70
(tujuhpuluh) orang peserta Sekolah Perempuan. Tahap pertama lebih banyak

18 http://perempuanposo.com/2014/11/10/perempuan-membangun-indonesia-dari-desa-di-

poso/
19 http://perempuanposo.com/2014/11/10/perempuan-membangun-indonesia-dari-desa-diposo/
20 http://perempuanposo.com/2016/02/04/perempuan-poso-memimpin-pembaharuan-desa/




6




membicarakan hal-hal yang bersifat menyeluruh dan umum tentang UU Desa; tahap
kedua lebih menekankan masalah perencanaan dan pengganggaran pembanguna di
desa; dan tahap tiga pengulangan beberapa materi yang belum terlalu jelas dalam
pengalaman belajar pada dua tahap sebelumnya.
Pelatihan tahap pertama, agar proses belajar lebih fokus, pesertanya secara khusus
adalah perempuan yang selama ini memang sudah mengikuti Sekolah Perempuan.
Namun, berdasar pengalaman pasca-pelatihan tahap pertama, dirasa perlu juga
melibatkan komponen-komponen pemerintahan ataupun masyarakat lainnya pada
proses-proses belajar pada tahap berikut. Kebutuhan ini juga muncul dari aparat
pemerintah desa sendiri yang merasa ‘tertinggal’, karena pada saat itu pemerintah
daerah setempat belum melakukan sosialisasi UU Desa. Agar rencana-rencana
perubahan di tingkat desa bisalebih efektif maka kegiatan-kegiatan memperlajari UU
Desa padat tahap berikutnya perlu juga melibatkan para pihak lain yang ada di tingkat
desa. Dan itu dilaksanakan pada Pelatihan untuk pelatih Tahap Kedua dan Tahap
Ketiga. Setiap selesai melakukan pelatihan pada setiap tahapnya para peserta
memiliki pekerjaan rumah untuk menyapaikan pengetahuannya kepada peserta
Sekolah Perempuan di tingat desa. Sekurang-kurangnya, pada tingkat desa, ada
sekitar 30 orang yang mengikuti proses Sekolah Desa itu.
Kristalisasi kurikulum dan materi ‘sekolah desa’ berdasarkan kegiatan di Poso, dan
kemudian diikuti oleh inisiatif di empat kabupaten lainnya, adalah sebagaimana dapat
dilihat pada Tabel berikut.
Kurikulum dan materi ‘Sekolah Perempuan untuk Op5malisasi UU Desa’ (berdasarkan pengalaman KARSA, YSKK/Solo,
Ins5tute Mosintuwu/Poso, Nurani Perempuan/Samarinda, Lembaga Dayak Penarung/Palangkaraya)
Tujuan Program

Kelempok Sasaran

Materi yang diperlukan/Pertanyaan yang perlu dijawab

Strategi kerja

Membangun kesadaran
publik Ig kesetaraan
jender

Warga desa pada
umumnya

-  Masalah perempuan sebagai masalah kemasyarakatan
-  Mengapa perlu memahami masalah kesetaraan jender?
-  Nilai-nilai universal dan agama tentang kesetaraan jender

Seminar?
Outrreach?

Membangun kesadaran
kri5s kaum perempuan
secara masif

Waarga perempuan

-  Sistem-sistem sosial, ekonomi, poli5k ,dan budaya yang
menyingkirikan perempaun
-  Mengapa perempuan perlu berpar5sipasi di ranah publik?
-  Apa kendala untuk par5spasi perempuan?
-  Ruang-ruang par5sipasi perempuan dalam poli5k dan
pembangunan

-  Diskusi kelompok di
5ngkat basis yang
‘dikelola dan
dipandu oleh kader’
-  Konsultasi dgn
sekretariat

Membangun sistem
pengorganisasian dan
kepemimpinan
perempuan

‘Kader-kader
perempuan ‘terpilih’

- 
- 
- 
- 
- 
- 
- 

Perempuan dan HAM
Demokra5isasi Desa
Perempuan dan Pembangunan
Pelayan publik sensi5f jender
Anggrana berbasis jender
Kepemimpinan (karakter, strategi komunikasi, dll)
Pengorganisasian à Perlu memikirkan strategi penguatan
organisasi cq. kegiatan ekonomi, dll.
-  Advokasi/Perubahan kebijakan

Pela5han dalam
jangka waktu tertentu
atau ber5ngkat;
dengan penugasan,
aksi-refleksi;
Kebutuhan
pengembanagn
kapasitas lanjutan

Medorong perubahan
kebijakan pembangunan
di 5ngkat desa cq.
op5malisasi UU Desa

-  Op5malisasi peran
serta masyarakat

-  Masalah pembangunan dan kepen5ngan perempuan di
Wilayah Kerja
-  Pembangunan berbasis nilai-nilai dani budaya lokal
-  Lembaga kemasyarakatan dan pembangunan desa
-  Kedudukan dan Kewenangan Desa
-  Perencanaan par5sipa5f dan Musyawarah Desa
-  Silklus perencanaan dan penggaran pembangun desa
-  Pengawasan pembengunan berbasis masyarakat
-  IT & SID
-  Pengelolaan Aset, Keuangan Desa, dan BUMDes
-  Regulasi desa

-  Pela5han umum
(pengantar)
-  Pela5han tema5k/
pengkhususan
(pela5han lanjutan)

-  Op5malisasi
kelembagaan desa

Untuk kebutuhan belajar bersama, pada tahap berikutnya, para alumni ‘sekolah desa’
yang diselenggrakan oleh Sekolah Perempuan Poso dan Institute Mosintuwu ini
membangun jejaring yang mereka sebut sebagai “Forum Belajar UU Desa”. Salah



7




satu agenda bersama mereka, untuk pertama kalinya adalah menyusun sebuah
dokumen yang mereka sebut sebagai ‘Buku Pintar tentang UU Desa”. Pada tahap
selanjutnya, baik melalui “Forum Belajar UU Desa” ataupun melalui Sekolah
Perempuan Poso, para alumni ‘sekolah desa’ ini aktif melakukan advokasi tentang
perlunya segera Pemerintah Daerah Poso mempersiapkan peraturan-perundangan
yang diperlukan bagi penerapan UU Desa di Kabupaten Poso. Selain itu, mereka
kemudian juga telah menyusun agenda advokasi yang bertujuan untuk memperbesar
manfaat UU Desa bagi gerakan perempuan di Kabupaten Poso melalui penyusuan
Rencana Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa dan Badan
Permusyawaratan; Rencana Peraturan Daerah tentang Perencanaan dan Pelaksanaan
Pembanguna Desa; dan Rencana Peraturan Daerah tentang Penguatan dan Perluasan
Partisipasi Perempuan. Ketiga rencana kebijakan daerah itu tentu saja diusulkan
menjadi kebijakan yang pro-kepenting perempuan. Untuk tujuan-tujuan advokasinya,
bekerjasama dengan KARSA, gerakan masyarakat sipil di Kabupaten Poso ini sudah
pula menyusun semacam nasakah akademik yang diperlukan, lengkap dengan
rumusan pasal-pasal pengaturan yang dibutuhkan.
Melihat perkembangan yang sedemikian rupa menarik minat salah satu calon kepala
daerah yang akan bertarung pada arena pemilihan kepala daerah pada tahun 2015 lalu.
Jaringan kerja “Forum Belajar UU Desa” ini, lebih khusus lagi Sekolah Perempuan
Poso dan Institute Mosintuwu untuk melakukan kerjasama, dengan ‘kontrak politik’,
jika sang calon memenangi proses pemilihan, para ‘alumni sekolah desa’ ini akan
menjadi partner utama dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan
yang berkaitan dengan implementasi UU Desa di kabupaten itu. Terlebih lagi
program-program pembangunan pembangunan yang menyangkut kepentingan kaum
perempuan dan anak.21
Menyongsong perkembangan
mutakhir, Institute Mosintuwu,
Sekolah Perempuan Poso, dan mira
kerjanya telah pula menyusun
langkah-langkah persiapan. Antara
lain dengan melakukan kegiatan
perencaan strategis. Kegiatan ini
menghasilkan rencana kerja ke depan,
yang ruang lingkupnya adalah
sebagaimana yang ditunjukkan oleh
Diagram 1 berikut.

Diagaram 1
Lingkup kegiatan ke depan (Perencanaan Strategis
Ins7tut Mosintuwu, Februari 2016)
Pembangunan perdesaan
yang berkeadilan dan
inklusif

Pembaruan perdesaan
(krisis sosial, ekologi dan
agraria)

Pembaruan kepemimpinan
dan struktur ekonomi di
pedesaan

Par7spasi perempuan di
desa

Adapun kegiatan-kegiatan bersama yang akan dilakukan dan dinegosiasikan dengan
pemerintah daerah terpilih ataupun dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
setempat adalah sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

21 Koalisi ini pada akhirnya memenangi pemilihan kepala daerah di daerah yang bersangkutan.

Saat ini jaringan gerkan masyakat sipil yang terlibat dalam “forum belajar UU Desa” dan Sekolah
Perempuan Poso ini sedang terlibat dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJMD) Kabupaten Poso yang memang menjadi kaharusan bagi setiap kepala daerah
yang baru; disamping juga tetap terlibat dalam proses legislasi untuk ketiga rencana peraturan
daerah yang telah disepakati dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Poso.




8





Tabel 1
Pendekatan program ke depan
• 

Pembaruan perdesaan
–  Anggaran pembangunan yang pro-desa
–  Pembangunan yang 7dak hanya fisik tapi juga non-fisik cq. kualitas pelayan
dasar dan pengembangan sumberdaya manusia

• 

Bekerja dalam siklus perencanaan dan pemerintahan yang reguler
–  RPJMD & RPJMDesa
–  APBD & APBDesa

• 
• 

Kebijakan yang mendorong perubahan secara massal yang didukung
dengan desa-desa percontohan
Perubahan aktor
–  Tingkat Daerah
–  Tingkat Desa

• 

Peningkatan kapasitas
–  Aparatur pemerintahan
–  Warga

Penutup: Beberapa pelajaran
Meski terhitung minimalis, UU Desa masih dilihat oleh beberpa pihak sebagai
instrumen kebijakan yang menjanjikan perbaikan situasi kehidupan kelompokkelompok marjinal. Di tengah kritik tentang berbagai kekurangannnya, terutama soal
potensi korupsi dan kelemahan sumberdaya manusia pemerintah desa, gerakan
perempuan di beberpa kabupaten secara serius memanfaatkan kesempatan yang
terbuka.
Berbeda dengan umumnya organisasi masyarakat sipil, beberapa organisasi yang
concern dengan masalah perempuan dan anak ini lebih realistis, dengan memberikan
perhatian yang serius pada pelaksanaan UU Desa di tingkat lapangan. Mereka percaya
bahwa peluang dan hambatan sesungguhnya ada di tingkat desa. Fakta, partisipasi
perempuan efektif dalam mendorong perubahan di tingkat akar rumput karena
masalah yang senyatanya ada di perdesaan adalah permasalahan-permasalahan yang
dihadapi oleh kaum perempuan dan anak.
Dalam pada itu, sebuah proses pendidikan yang intensif tentang peluang dan
tantangan pelaksanaan UU Desa adalah suatu keniscayaan untuk mendorong
perubahan di tingkat akar rumput itu. Tanpa proses yang intensif itu (bisa memakan
waktu 2 – 3 tahun) niscaya upaya-upaya perubahan di tingkat akar rumput itu akan
mudah hilang tanpa bekas.
Pengalaman dari Poso ini juga menunjukkan bahwa pembuatan kebjakan yang propendekatan pembangunan yang inklusif dimungkinkan terjadi di tingkat daerah.
Penguatan program pembangunan yang inklusif di tingkat akar rumput tidak melulu
harus menunggu kebijakan yang lebih baik di tingkat Nasional.
Betapapun, proses pembuatan hukum adalah proses politik juga. Melakukan aliansi
strategis dengan berbagai kekuatan politik di parlemen dan proses suksesi
kepemimpinan (Pusat: Vel, Zakaria, Bedner, 2016) dan daerah adalah ruang strategis
yang harus dioptimalisasi oleh gerakan sosial untuk menghasilkan kebijakan yang
berpihak kepadanya. Tetapi, seperti halnya di tingkat Nasional (Vel, Zakaria, Bedner,
2016), proses implementasi pasca legislasi tetap diwarnai ketidak-pastian. Moda



9




hubungan yang lebih pasti antara gerakan sosial dengan institusi-institusi demokrasi
secara formal yang mampu mengontrol pelaksanaan implementasi kebijakan baru
yang telah dihasilkan masih harus dicari bentuknya.
Bahan bacaan
Akatiga, 2010. Kelompok Marjinal dalam PNPM-Perdesaan. Bandung: Akatiga.
Alganih, Igneus, 2014. Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001), Universitas
Pendidikan Indonesia.
Decentralisation Support Facility, 2007. Gender Review and PNPM Strategy
Formulation. Mission Report. Working Paper on the Findings of Joint Donor
and Government Mission.
Gidley, J, et al. 2010. “Social inclusion: Context, theory and practice”, dalam The
Australasian Journal of University-Community Engagement, Vol. 5, No. 1, pp.
6-36.
GTZ- SfDM, Support for Decentralization Measures. Guidelines on Capacity
Building in the Regions. Module C: Supplementary Information and
References. SfDM Report 2005-4 (2005).
Institute Mosintuwu dan Sekolah Perempuan Poso, 2013. “Rekomendasi Kongres
Perempuan Poso untuk Tim Perumus Peraturan Pemerintah untuk UU Desa”.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, 2005. Poso, Kekerasan yang Tak Kunjung
Usai. Refleksi 7 Tahun Konflik Poso, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia.
Juliantara, Dadang. 2003. Pembaruan Desa, Bertumpu pada yang Terbawah’.
Yogyakarta: LAPERA Pustaka Utama.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional. 2013. “Masyarakat Adat di Indonesia: Menuju Perlindungan Sosial
yang Inklusif”
(http://www.bappenas.go.id/files/6914/2865/6850/Masyarakat_Adat_di_Indon
esia-Menuju_Perlindungan_Sosial_yang_Inklusif.pdf).
Laksono, et.al. 2014. Etos Kerja Masyarakat Maluku Tenggara. Laporan Penelitian.
Kerjasama Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara & Pusat Studi Asia
Pasifik, Universitas Gadjah Mada.
Manna, Zulkifli Hi., 2014. Strategi Pemerintah Kabupaten Poso Periode 2010 – 2015
dalam Mengahadapi Konflik Sosial, Tesis Magister pada Program Studi
Magister Ilmu Pemeritahan, Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta
Program MAMPU, 2014. “Pandangan Kritis dan Masukan dari Gerakan Perempuan
Indonesia untuk Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Desa”.
Rawal, Nabin. 2008. “Social Inclusion and Exclusion: A Review”, dalam Dhaulagiri



10




Journal of Sociology and Anthropology, Volume 2, hal. 161-180.
Rendi, Muhammad, 2014. Konflik SARA di Kabupaten Poso Tahun 1998 – 2001.
Skripsi pada Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
Universitas Hassanudin, Makassar.
Simarmata, Rikardo, dan R. Yando Zakaria, 2016. “Perpektif Inklusi Sosial dalam UU
6/2014: Kebijakan dan Tantangan Implementasinya,” forth coming.
Vel, Jaqueline, R. Yando Zakaria, Adriaan Bedner. 2016. “Power to the people?
Multi-stakeholder engagement in creating a new Village Law in Indonesia”.
Forth coming.




11