jejen79 Learning Today For A Better Tomm

jejen79
Learning Today For A Better Tommorow

Lanjut ke konten


Beranda



Perihal

PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN
ISLAM DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Posted on 24 November 2014 by jaenullah
PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM
DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Oleh: Jaenullah

1. Pendahuluan
Menurut Nourouzzaman Shiddiqie dalam Samsul Munir Amin, mengatakan bahwa sejarah

berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam
perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval
yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang
akan mengalami kesulitan-kesulitan jika dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap
babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu
kebulatan untuk satu jangka waktu. Rangkaian inilah yang dinamakan periodesasi sejarah[1]
Sejarah mencatat kondisi kebesaran Islam berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, di mana pada waktu itu dunia Islam menjadi kiblat perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dunia.[2] Sejarah merupakan catatan peristiwa yang terjadi di
masa lampau. Dengan belajar sejarah, dalam hal ini sejarah kebudayaan atau peradaban Islam
berarti mengenal kembali segala peristiwa yang terjadi dan dialami umat Islam baik berupa
perkembangan, kemajuan maupun kemundurannya. Kajiannya berarti menyangkut peristiwa-

peristiwa dan kejadian yang terjadi pada masa lalu (everything in the past), baik menyangkut
dimensi sosial, politik, pemerintah, ekonomi, seni budaya maupun agama.[3]
Sejak awal perkembangannya, Islam tumbuh dalam pergumulan dengan pemikiran dan
peradaban umat manusia yang dilewatinya dan karena terlibat dalam proses dialektika yang
di dalamnya terjadi pengambilan dan pemberian. Dari kebudayaan Arab, Islam telah
mengambil dan lebih tepatnya dikatakan memelihara dan mengembangkan beberapa hal
seperti sistem moral, tata pergaulan dan hukum keluarga, serta sistem politik pun diambil dari

kebudayaan Arab. Sebaliknya, Islam memberikan kemungkinan bagi sastra Arab untuk
berkembang mengatasi perkembangannya pada masa sebelumnya Al-Qur’an dan al-Sunnah
memberikan perubahan yang nyata bagi bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang memeluk
Islam pandangan dunia, tujuan hidup, peribadatan dan sebagainya yang kemudian merupakan
bagian utama dari pemikiran dan peradaban Islam. Itu semua didukung oleh kreativitas umat
Islam sendiri yang memang diberi ruang yang luas untuk bergerak[4]
Dengan demikian dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran dan peradaban Islam
mulai pada zaman Nabi Muhammad Saw dan Para Sahabat, terkhusus pada zaman Khalifah
empat atau yang lebih terkenal dengan sebutan Khulafaur Rasyidin, Islam berkembang
dengan pesat di mana hampir 2/3 bumi yang kita huni ini hampir dipegang dan dikendalikan
oleh Islam. Perkembangan Islam pada zaman inilah merupakan titik tolak perubahan
peradaban ke arah yang lebih maju. Dinamika Islam tetap eksis dalam bentangan sejarah
peradaban manusia. Secara garis besarnya, sejarah pemikiran dan peradaban Islam dapat
dibagi ke dalam tiga periode besar, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan
(1250-1800), dan periode modern (1800-sekarang). Periodisasi ini mendeskripsikan
perjalanan panjang dialektika intelektual muslim, yang memberikan interpretasi wahyu dalam
konteks ruang dan waktu. Hasil tradisi intelektual dan epistemologi menjadi alur peradaban
Islam sepanjang sejarah.
Menyadari hal di atas, bidang kajian pemikiran dan peradaban Islam dalam perspektif sejarah
merupakan suatu bidang kajian yang menarik untuk dipelajari. Untuk itu sebagai kerangka

awal dalam makalah ini dicoba dibahas tentang pengertian perkembangan pemikiran dan
peradaban Islam dalam perspektif sejarah, perkembangan pemikiran Islam dalam perspektif
sejarah, dan perkembangan peradaban Islam dalam perspektif sejarah.
1. Pembahasan
2. Pengertian Perkembangan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “perkembangan” adalah perihal berkembang.
Selanjutnya, kata “berkembang” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ini berarti mekar
terbuka; terbentang; menjadi besar, luas, menjadi banyak, memuai, serta menjadi bertambah
sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.[5] Dengan demikian,
kata “berkembang” tidak saja meliputi aspek yang berarti abstrak seperti pikiran dan
pengetahuan, tetapi juga meliputi aspek yang bersifat konkret (perhatikan kata-kata yang
dicetak miring di atas).
Dalam Dictionary of Psychology (1972) dan The Penguin Dictionary of Psychology (1988),
arti perkembangan pada prinsipnya adalah tahapan-tahapan perubahan yang progresif yang
terjadi dalam rentang kehidupan manusia dan organisme lainnya, tanpa membedakan aspekaspek yang terdapat dalam diri organisme-organisme tersebut. Perkembangan mengandung

makna adanya pemunculan sifat-sifat yang baru, yang berbeda dari sebelumnya, mengandung
arti bahwa perkembangan merupakan peubahan sifat indiviu menuju kesempurnaan yang
merupakan penyempurnaan dari sifat-sifat sebelumnya.[6]
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perekembangan adalah proses atau tahapan

pertumbuhan ke arah yang lebih maju baik meliputi kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan
sebagainya.
2. Pengertian Pemikiran Islam
Secara etimologi pemikiran dari kata dasar “pikir” yang berarti proses, cara, atau perbuatan
memikir, yaitu menggunakan akal budi untuk memutuskan suatu persoalan dengan
mempertimbangkan segala sesuatu secara bijaksana. Pemikiran juga bisa diartikan sebagai
upaya cerdas dan proses kerja akal dan kalbu untuk melihat fenomena dan berusaha mencari
penyelesaiannya secara bijaksana[7]
Pendapat lain pemikiran berasal dari bahasa Melayu asal dari kata “fikir”. Ditambah dengan
imbuhan pe dan an serta ditukar huruf kepada m sehingga menjadi ‘pemikiran’. Kata
perbuatannya adalah berfikir (thinking). Bahasa Inggrisnya pula ialah think (thougt).
Perkataan berfikir kini digunakan secara meluas. Dasar perkataan fikir berasal dari perkataan
Arab ‘fakkara’, ‘yufakkiru’, ‘tafkiran’. Sebahagian ahli bahasa mengatakannya daripada
wazan ‘dharaba’ yaitu ‘fakara’, ‘fakiru’, ‘fakran’ atau ‘fikran’. Jelasnya perkataan fikir
berasal daripada perkataan ‘al-fikr’. Dalam al-Quran, perkataan fikir tidak disebut dalam
bentuk kata nama. Tegasnya dalam al-Quran, perkataan fikir disebut dalam bentuk fi’il madhi
(perbuatan yang telah lepas) dan mudhari’ (perbuatan yang sedang dilakukan), sighah
mukhatab dan ghaib (kata ganti diri kedua dan ketiga). Misalnya fakkara dan tatafakkarun.
[8]
Dengan demikian kata pemikiran berasal dari bahasa Melayu yaitu, kata “Fikir” kemudian

menjadi “berfikir” dan akhirnya menjadi “pemikiran”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata “pikir”artinya akal budi; ingatan; angan-angan, sedangkan pemikiran adalah
cara atau hasil berpikir.[9] Sementara itu, menurut M. Abdul Karim kata “pikir” berasal dari
Bahasa Arab “fakkara” yakni amal ‘aqla fiihi, wa rattaba ba’dha ma ya’lamu, liyahshila ila
al-majhul artinya mempergunakan daya akal terhadap sesuatu, mengatur sebagian yang sudah
diketahui.[10] Lebih lanjut M. Abdul Karim mengatakan bahwa pemikiran dalam pengertian
yang tersebar di kalangan ilmuwan atau cendikiawan dibagi dua golongan besar. Pertama,
pemikiran secara eksoteris, yaitu pemikiran yang diarahkan ke dunia luar (diluar dirinya) atau
istilah falsafi pemikiran dari mikrokosmos ke arah makrokosmos secara mendalam, bebas,
dan teliti tanpa terikat pada ajaran-ajaran ataupun dogma dengan tujuan untuk memperoleh
keyakinan yang nyata-nyata tentang obyek yang menjadi pemikiran. Kedua, pemikiran secara
esoteris, yaitu pemikiran yang ditujukan ke arah bagian terdalam dalam dirinya. Dalam istilah
falsafi dikenal sebutan pemikiran dari mikrokosmos terhadap esensi dirinya.[11]
Sedangkan kata Islam secara etimologi berasal dari bahasa Arab, didefinisikan dari “salima”
yang berarti selamat dari bahaya atau aslama yang berarti yang lebih selamat, aman. Adapun
Islam dalam bentuk noun atau kata benda berarti ketundukan, kepatuhan, agama Islam yang
dibawa Nabi Muhammad Saw.[12]
Dari kata “aslama” tersebut yang berarti “memelihara dalam keadaan yang selamat sentosa”.
Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Kata aslama itulah yang


menjadi kata pokok dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang ada dalam arti pokoknya.
Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah kehidupan manusia, agama yang
diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh Allah Swt kepada bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok manusia.[13]
Dr. Muhammad Husain Abdullah dalam kitab Dirasât fil fikri al Islami mendefinisikan
pemikiran Islam sebagai berikut: Pemikiran Islam adalah upaya menilai fakta dari sudut
pandang Islam. Dengan demikian, pemikiran Islam mengandung tiga hal, yakni fakta (alwaqi’), hukum (justifikasi); dan keterkaitan fakta dengan hukum. [14]
Sementara itu, menurut M. Abdul Karim, pemikiran Islam ialah kegiatan manusia dalam
mencari hubungan sebab akibat ataupun asal mula dari suatu materi ataupun esensi serta
renungan terhadap suatu wujud, baik materinya maupun esensinya, sehingga dapat
diungkapkan hubungan sebab dan akibat dari suatu materi ataupun esensi, asal mula
kejadiannya serta substansi dari wujud atau eksistensi sesuatu yang menjadi objek pemikiran.
Dan apabila dikaitkan dengan Islam, maka berarti bahwa kegiatan pemikiran tersbut dituntun
oleh bimbingan diyakini datangnya dari Maha Pencipta kepada Nabi Muhammad Saw berupa
bimbingan naluri, bimbingan inderawi, bimbingan akal, dan bimbingan agama yang
tergabung dlam ajaran, kelembagaan, pranata sosial, dan ritual.[15]
Lebih lanjut M. Abdul Karim, mengatakan selama pemikiran yang diupayakan setiap pemikir
muslim, dalam bidang apa pun (theologi, ibadah, politik, etika, filsafat, mistik, ekonomi, dll),
berada dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan ajaran al-Quran dan Sunnah Nabi,
maka pemikiran tersebut dapat disebut pemikiran Islam.[16]

Dengan demikian pemikiran Islam adalah pemikiran yang berjiwa Islam, yakni pemikiran
yang berlandaskan al-Quran dan al-Hadis. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang
diturunkan melalui wahyu Allah kepada Nabi Muhammad Saw, sedangkan Hadis adalah
sabda, perbuatan, dan ketetapan (takrir) Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh sahabat
untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam.
3. Pengertian Peradaban Islam
Peradaban ialah suatu aktivitas lahir yang biasanya dipakai untuk menyebutkan bagian atau
unsur-unsur kebudayaan yang bersifat halus, maju dan indah seperti kesenian, ilmu
pengetahuan, sopan-santun, dsb. Istilah peradaban juga dipergunakan untuk menyebutkan
suatu kebudayaan yang memiliki sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, dsb.
Saat ini pengertian yang umum dipakai adalah peradaban merupakan bagian dari kebudayaan
yang bertujuan memudahkan dan mensejahterakan hidup.[17]
Secara harfiah peradaban Islam itu terjemahan dari bahasa Arab al-khadlarah al-Islamiyah,
atau al-madaniyah al Islamiyah[18] atau al-tsaqofah al Islamiyah, yang sering juga
diterjemahkan dengan kebudayaan Islam. Dalam bahasa Inggris ini disebut culture, adapula
yang menyebutnya civilization. Di Indonesia, Arab dan Barat masih banyak yang
mensinonimkan antara peradaban dengan kebudayaan.
Di sisi yang lain, akar kata madana lahir kata benda tamaddun yang secara literal berarti
peradaban (civilization) yang berarti juga kota berlandaskan kebudayaan (city base culture)
atau kebudayaan kota (cultural of the city). Di kalangan penulis Arab, sendiri. Perkataan

tamaddun digunakan-kalau tidak salah-untuk pertama kalinya oleh Jurji Zaydan dalam

sebuah judul buku Tarikh al-Tamaddun al-Islami (Sejarah Peradaban Islam), terbit tahun
1902-1906. Sejak itu perkataan tamaddun digunakan secara luas dikalangan umat Islam.[19]
Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan
dua kata “kebudayaan” dan “peradaban”. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang
semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan manifestasi-manifestasi kemajuan
mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak
direfleksikan dalam seni, sastra, religi dan moral, maka peradaban terrefleksi dalam politik,
ekonomi, dan teknologi.[20] Kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Dengan demikian
kebudayaan Islam kebudayaan masyarakat yang menganut agama Islam. Menurut
Koentjaraningrat dalam Badri Yatim, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud.
1. Wujud Ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan lain-lain.
2. Wujud Kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud Benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya. Sedangkan

istilah peradaban biasanya dipakai untuk bagian-bagian dan unsur-unsur

darikebudayaan yang halus dan indah.[21]
Dalam definisi peradaban yang di maksud disini yakni Islam yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad Saw yang telah membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak
terkenal, dan diabaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju, dan cepat
mengembangkan dunia, membina satu kebudayaan dan peradaban yang sangat penting
artinya dalam sejarah manusia hingga sekarang.
Dengan demikian landasan peradaban Islam adalah kebudayaan Islam terutama wujud
idealnya, sementara landasan kebudayaan Islam adalah agama. Jadi Islam, tidak seperti
masyarakat yang menganut agama bumi (non samawi). Kalau kebudayaan merupakan hasil
cipta, rasa, dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.[22]
Sejalan dengan pemikiran di atas, Al-Razi menekankan bahwa peradaban Islam adalah sejauh
mana membina hubungan sosial, dan dalam hal ini sikap terbaik adalah menjaga kehormatan
diri dan menuruti sunnah nabi. Persahabatan sesama manusia harus dibina berdasarkan
kepentingan Allah sehingga peradaban Islam merupakan bagian dari kebudayaan yang
memudahkan dan menyejahterakan hidup manusia di dunia dan akhirat.[23]
Dengan merujuk pada narasi di atas, maka dapat dikonsepsikan bahwa peradaban Islam
adalah gambaran produk aktivitas kehidupan umat Islam pada masa lampau yang benar-benar
terjadi dalam aspek politik, ekonomi, dan teknologi yang bersumberkan pada nilai-nilai
ajaran Islam.
3. Pengertian Perspektif

Kata perspektif dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut: (1) cara
melukiskan suatu benda pada permukaan yang mendatar sebagaimana yang terlihat oleh mata
dengan tiga dimensi. (2) pandangan, sudut pandang.[24]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perspektif adalah cara melukiskan benda pada
permukaan datar sebagaimana yang terlihat, dan sudut pandangan atau dengan kata lain
perspektif adalah memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara
tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur
pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya.
4. Pengertian Sejarah
Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah atau dalam bahasa Inggris disebut
history. Dari segi bahasa al-tarikh berarti ketentuan atau waktu, sedang ilmu tarikh, yaitu
ilmu yang membahas penyebutan peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian, masa atau
tempat terjadinya peristiwa dan sebab-sebab terjadinya peristiwa tersebut.[25] Sedangkan
secara istilah al-Tarikh berarti sejumlah keadaan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa
lampau dan benar-benar terjadi pada diri individu atau masyarakat sebagaimana benar-benar
terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia.[26]
Dengan demikian dari sisi epistimologis sejarah yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh,
mengandung arti ketentuan masa atau waktu. Ada pula sebagian orang yang mengajukan
pendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata syajarah yang berarti pohon (kehidupan),

riwayat, atau kisah, tarikh, ataupun history dalam bahasa Inggris. Dengan demikian sejarah
berarti gambaran masa lalu tentang aktivitas kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang
disusun berdasarkan fakta dan interpretasi terhadap obyek peristiwa masa lampau , yang
kemudian itu disebut sejarah kebudayaan.[27]
Sedangkan secara terminologi sejarah diartikan sebagai sejumlah keadaan dan peristiwa yang
terjadi dimasa lampau dan yang benar-benar terjadi pada individu dan masyarakat. Adapun
inti pokok dari persoalan sejarah pada dasarnya selalu berhubungan dengan pengalamanpengalaman penting yang menyangkut perkembangan keseluruhan keadaan masyarakat.
Untuk itu sejarah bukanlah peristiwa-peristiwa itu sendiri melainkan tafsiran-tafsiran dari
peristiwa, dan pengertian mengenai hubungan-hubungan nyata dan tidak nyata yang menjadi
seluruh bagian serta memberikan dinamisme dalam waktu dan tempat tertentu.[28]
Dalam pengertian lain, sejarah adalah catatan berbagai peristiwa yang terjadi pada masa
lampau (events in the past).[29] Dalam pengertian lain yang lebih seksama sejarah adalah
kisah dan peristiwa masa lampau umat manusia.[30]
Beberapa definisi sejarah yang dikemukakan di atas lebih melihat bangunan sejarah dalam
sisi luarnya, yakni bahwa sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman peristiwa
rekaman peristiwa ata kejadian masa lampau pada diri individu dan masyarakat, baik dalam
aspek politik, sosial, ekonomi, maupun budaya dan agama, dan sebagainya. Menurut Ibnu
Khaldun (1332-1406) bahwa dalam melihat bangunan sejarah tidak hanya dari sisi luarnya
tetapi yang lebih penting lagi adalah sisi dalamnya. Bila ditilik dari sisi dalamnya, maka
sejarah adalah suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebenaran; suatu
penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu; sesuatu
pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi,
oleh karena itu sejarah berakar dalam filsafat, dan ia pantas dipandang menjadi bagian dari
filsafat itu.[31]

Berdasarkan uraian teori di atas, dapatlah disimpulkan bahwa sejarah merupakan catatan dari
berbagai peristiwa yang terjadi di masa lampau. Sejarah mencakup perjalanan hidup manusia
dalam mengisi perkembangan dunia dari masa ke masa.
5. Hubungan Pemikiran dan Peradaban Islam
Baik pemikiran Islam maupun peradaban Islam berlandaskan pada al-Qur’an dan al-Hadits.
Keduanya pada awalnya tumbuh dan berkembang pada masa dan tempat yang sama.
Pemikiran dan ajaran-ajaran Islam pada periode awal adalah pemikiran Islam murni,
pemikiran yang bersumber dari wahyu dan sabda Rasulullah SAW, pemikiran yang mencoba
untuk memberikan pencerahan pada pemikiran dan peradaban Jahilliyah. Peradaban Islam
tumbuh bersamaan dengan kenabian Muhammad, berada dalam kelompok yang terbatas
kerabat, keluarga, dan pengikut Muhammad Saw.
Pemikiran yang tumbuh dalam kelompok Islam awal adalah common-sense yang dipandu
oleh wahyu Illahi dan sunah nabi. Konsep pemikiran awal yang tumbuh adalah pelurusan
kembali theologi tauhid yang telah disimpangkan oleh keturunan Ibrahim AS/Ismail AS
sehingga menjadi bias dengan menyembah barhala. Pemikiran berikutnya adalah pemikiran
tentang keadilan dan persamaan dalam Islam. Pemikiran Islam tentang derajat yang sama di
mata Tuhan dan perlunya keadilan terhadap sesama manusia telah menumbuhkan peradaban
baru yang anti perbudakan dan penghargaan terhadap perempuan. Islam melalui pemikiran
telah melakukan antitesis terhadap peradaban sebelumnya, yakni peradaban jahilliyah,
dengan mereposisi budak dan perempuan dalam tatanan sosial baru.
Hubungan pemikiran dan peradaban Islam juga ditandai dengan transfer pemikiran Islam ke
dalam peradaban lain, sehingga terjadi proses asimilasi dan akulturasi budaya (peradaban).
Nilai-nilai Islam seperti sistem kekuasaan yang adil dan demokratis menjadi diskursus dalam
sistem pemerintahan di Arab pada masa Awal pertumbuhan Islam. Di dalam struktur
klan/kabilah terdapat suku-suku atau qaum terdapat pemimpin yang harus/mutlak dipatuhi.
Pemimpin kaum memiliki hak yang besar. Suku Quraisy mengembangkan sistem
pemerintahan oligarki atau suatu pemerintahan oleh kelompok tententu yang terdiri dari
beberapa orang saja. Pemikiran Islam tidak mengubah sistem sosial yang sudah berlaku,
tetapi memberikan nilai keislaman ke dalam sistem yang telah mapan.
Pemikiran memproduksi diskursus (wacana), yang dipahami sebagai penjelasan,
pendefinisian, pengklasifikasian, dan pemikiran tentang orang, pengetahuan, dan sistemsistem abstrak pengetahuan. Diskursus dapat melahirkan peradaban, sebab diskursus datang
dari orang yang memiliki kekuasaan dan memiliki pemikiran kreatif.
1. Perkembangan Pemikiran Islam dalam Perspektif Sejarah
2. Periode Perkembangan Pemikiran Islam
Pada zaman Nabi Muhammad saw, pemikiran Islam masih murni karena mendasar pada
Rasulullah saw. Pada periode ini tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun
kaidah-kaidah teologis. Pemikiran ini kemudian disebarkan oleh Rasulullah saw dan para
sahabatnya. Pemikiran pada fase ini masih murni, hal ini dikarenakan pemikiran Islam
tersebut hanya bersumber pada al-Qur’an dan Rasulullah, pemikiran Islam fase ini
disandarkan pada kemurnian akhlak Rasulullah dan utamanya wahyu. Jadi tidak ada

pertentangan, karena di setiap persoalan langsung diajukan atau diserahkan kepada
Rasulullah Saw. Sehingga Nabi Muhammad Saw menjadi sentral ilmu pengetahuan.
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, periode ini perkembangan pemikiran Teologi dalam
Islam dapat dibagi dalam 4 periode: (1) Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan juga belum terjadi perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh
praktek teologi Islam langsung didasarkan pada al-Qur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas
nash-nashnya. (2) Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam,
sehingga berdampak pada penafsiran A-Qur’an dan Hadits menurut selera masing-masing
golongan, bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadits untuk mendukung
keberadaan dan kebenaran kelompok tertentu. (3) Bani Umayah perluasan wilayah Islam
membawa konsekwensi penyerapan tradisi-tradisi non-Islam dalam budaya dan peradaban
Islam. Berbagai aliran yang muncul pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin
memuncak. Pada masa ini segolongan umat Islam telah berbeda pendapat tentang qadar dan
istiţa‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam periode ini antara lain: Qadariyah, Jabariah,
Khawarij, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dan Mu’tazilah. (4) Bani ‘Abbas terjadi usaha-usaha
ilmiah yang antara lain adalah penterjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
Dari peta perkembangan, pemikiran Islam lahir di antara dua kebudayaan yang
mengembangkan dua pola pemikiran berbeda, yaitu Yunani dan Persia, karena Islam turun
dari Hijaz, yang secara geografis terletak diantara kedua kebudayaan tersebut. Kedua
kebudayaan tersebut memberikan corak baru bagi pemikiran Islam. Pemikiran Islam
menghimpun atau menggabungkan dua pola pemikiran (Yunani dan Persia) menjadi satu
kesatuan. Dalam prakteknya Nabi Muhammad Saw menyebarkan agama Islam, dihadapkan
pada dua sikap dari kedua umat yang berbeda arah pemikirannya. Di satu pihak berhadapan
dengan pemikiran yang dikembangkan oelah orang Yahudi, yang memiliki kecenderungan
pola pemikiran rasional, dan dipihak lain berhadapan dengan pemikiran orang Kristiani, yang
arah pemikirannya lebih banyak pada pola pemikiran kontemplatif. [32]
Secara historis, perkembangan pemikiran Islam dapat diklasifikasikan secara detail
dan dijelaskan bahwa segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, kebutuhan mendesak yang
dirasakan adalah bagaimana memelihara dan menyebarluaskan naskah al-Qur’an yang
mendapatkan prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya. Perkembangan
Islam ke negara-negara selain Arab yang memiliki peradaban dan budaya sendiri,
menyebabkan bangsa Arab menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan
prinsip-prinsip ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari. Hal ini
mendorong perkembangan ilmu fikih (hukum) yang paling penting pada saat itu. Ilmu ini
memerlukan ilmu pengetahuan tentang al-Quran dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi
untuk memberikan suatu ketetapan hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam.
Dalam kenyataannya, semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fikih
tersebut dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Harun Nasution menyimpulkan bahwa periode perkembangan pemikiran Islam dalam sejarah
bisa dikelompokkan ke dalam tiga masa, yaitu; 1) masa klasik, antara tahun 650-1250 M, 2)
masa pertengahan, antara tahun 1250-1800 M, 3) masa modern, sejak tahun 1800 M sampai
sekarang.[33]
1. Pemikiran Islam Pada Masa Periode Klasik (650-1250 M)

Di zaman inilah daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke Spanyol di Barat dan
melalui Persia sampai ke India di Timur. Daerah-daerah itu tunduk kepada kekuasaan
Khalifah yang pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus dan terakhir
di Baghdad.
Periode klasik ini dimulai dengan periode peletakan pondasi peradaban oleh Nabi
Muhammad saw yang kemudian diteruskan oleh khulafaur rasyidin dan dikembangkan era
daulah (dinasti) Bani Umayyah. Dalam mendeskripsikan sejarah penyebaran Islam periode
khilafah awal, maka analisis weberian dianggap cukup relevan. Max Weber menekankan
bahwa faktor ide atau gagasan atau pemikiran merupakan faktor yang sangat menentukan
adanya perubahan sosial.[34]
Dalam konteks ini, ide-ide yang terkandung dalam alQur’an mempengaruhi struktur sosial kemasyarakatan dan membentuk struktur baru.
Kehadiran Nabi Muhammad dengan nilai-nilai baru telah mempengaruhi struktur sosial masa
itu hingga dewasa ini. Bahkan, tatanan dunia secara keseluruhan tidak dapat dilepaskan dari
gagasan-gagasan yang terinspirasi dari al-Qur’an yang dibawa Nabi. Ide-ide atau gagasan
pemikiran itu tentunya baru terlihat memiliki arti sosial jika sudah diwujudkan dalam
berbagai pergumulan dan perubahan budaya. Dari proses inilah, kemudian peradaban Islam
muncul sebagai peradaban baru dalam kancah dunia internasional. Kehadiran Nabi membawa
perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Arab. Ide dan gagasan Nabi yang tersurat dalam
al-Qur’an menjadi inspirasi untuk menuju tatanan kehidupan yang lebih mapan dan beradab.
Pengaruh nilai dan moralitas al-Qur’an yang dibawa Nabi termanifestasi dalam sejarah dan
peradaban Islam. Sejak mendapatkan wahyu langit dalam ‘uzlah (pengasingan) di gua Hira’
tahun 610 M., Muhammad mulai berbicara atas nama Allah swt. dan memproklamirkan Islam
sebagai agama Tauhid untuk kemaslahatan umat manusia dan rahmat bagi alam semesta.
Sejak inilah Nabi mulai membentuk sebuah komunitas masyarakat keagamaan dalam ikatan
semangat tauhid. Muhammad mulai mendapatkan perlawanan dan tantangan keras dari
masyarakat paganisme di Mekkah dan dianggapnya sebagai orang yang terserang penyakit
syaraf, gila dan sebagainya. Muhammad dilahirkan dan dibesarkan di tengah-tengah suku
Quraisy Mekkah, tetapi reformasi teologi, reformasi kultural, dan reformasi sosial yang
dibawanya berdasarkan wahyu Allah, dianggap memiliki peran penting dalam membangun
tatanan sosial-politik dan tradisi kaum Quraisy.[35]
Komunitas tauhid yang dibangun awalnya hanya terdiri dari segelintir orang yang kemudian
disebut dengan generasi muslim awal (al-sabiqun a;-awwalun). Generasi muslim awal ini
didominasi oleh kalangan muda. Hal ini secara historis-empiris menunjukkan bahwa ajaran
yang dibawa Nabi bersifat reformatif dan counter terhadap tradisi yang stagnan sehingga
diikuti oleh kalangan muda. Dalam paradigma sejarah peradaban dan politik, kalangan muda
sering diartikan sebagai representasi kalangan kritis, dinamis, dan anti status quo. Selain
itu, hijrah Nabi dan umat Islam yang masih berjumlah sedikit dari Mekkah ke Madinah juga
memberikan kontribusi penting dalam proses pembentukan peradaban. Hijrah berdampak
positif bagi perkembangan kegiatan intelektual umat Islam. Mereka lebih leluasa untuk
mengembangkan pengetahuannya sebagaimana yang memang ditekankan oleh Nabi dalam
berbagai hadisnya. Ekspansi yang dilakukan oleh pemegang estafet pemerintahan selanjutnya
Khulafa’ Al-Rasyidin, Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah secara garis besar memiliki
peranan penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam. Menurut Ibnu
Khaldun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu yang amat terkait erat dengan luasnya
wilayah dan beragamnya budaya maupun ilmu yang ada di daerah-daerah yang dikuasai
Islam.[36] Secara pasti, ekspansi Islam menyebabkan terjadinya kontak antara Islam dengan
kebudayaan Barat, atau tegasnya dengan kebudayaan Yunani Klasik yang terdapat di Mesir,
Suria, Mesopotamia dan Persia.[37]

Pada era klasik ini metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis berkembang dengan pesat.
Sentuhan estetika dan filsafat telah menghantarkan peradaban Islam pada puncak kejayaan.
Ulama’-ulama’ mujtahid bermunculan, begitu juga para ilmuwan muslim telah menghasilkan
karya-karya seni, filsafat dan ilmu pengetahuan secara mengagumkan.[38]
Di masa Bani Abbas inilah perhatian kepada ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani memuncak
terutama di zaman Harun Al-Rasyid (785-809 M) dan Al-Ma’mun (813-833 M). Buku-buku
ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari Bizantium dan kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan buku-buku ini berjalan kira-kira satu abad. Bait
Al-Hikmah, yang didirikan Al-Ma’mun, bukan hanya merupakan pusat penterjemahan tetapi
juga akademi yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan
yang diutamakan dalam Bait Al-Hikmah ialah ilmu kedokteran, matematika, optika, geografi,
fisika, astronomi, dan sejarah di samping filsafat.[39] Maka kemudian muncul beberapa
ilmuwan muslim terkenal dan menjadi kebanggaan dunia Islam seperti; Al-Fazari (Abad VII)
sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun Astronomi (alat yang dahulu dipakai
untuk mengukur tinggi bintang-bintang dan sebagainya; Al-Fargani (di Eropa dikenal dengan
sebutan Al-Fragnus) adalah pengarang ringkasan tentang ilmu astronomi; Dalam bidang
optika, Abu Ali Al-Hasan Ibn Al-Haytham (Abad X) terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata yang mengirim cahaya kepada benda yang dilihat. Menurutnya,
bendalah yang mengirim cahaya ke mata dan karena menerima cahaya itu, mata bisa melihat
benda yang bersangkutan. Dalam bidang Kimia, Jabir ibn Hayyan (w. 813 M) dikenal sebagai
bapak Kimia. Abu Bakar Zakaria Al-Razi (w. 925 M) adalah pengarang buku besar tentang
kimia yang baru dijumpai di abad XX dan juga penemu di bidang ilmu kedokteran dan
farmasi. Di zaman ini pula lahir ulama-ulama besar seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i dan Imam Ibn Hambal dalam bidang hukum; Imam Asy’ari, Imam Al-Maturidi,
pemuka-pemuka Mu’tazilah seperti Wasil Ibn ‘Ata’, Abu Al- Huzail, Al-Nazzam, dan AlZuba’i dalam bidang teologi; Dzunnun Al-Mishri, Abu Yazid Al-Bustami dan Al- Hallaj
dalam mistisisme atau tasawwuf; Al- Kindi, Al- Farabi, Ibn Sina dan Ibnu Miskawih .
1. Pemikiran Islam Pada Masa Periode Pertengahan (1250-1800 M)
Pada masa pertengahan, yakni antara tahun 1250-1800 M adalah fase kemunduran dari
intelektual umat Islam, karena filsafat mulai dijauhkan dari umat Islam, sehingga ada
kecenderungan akal dipertentangkan dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat.
Di zaman ini, desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat yang berakibat pada
hilangnya khilafah secara formil. Islam tidak lagi mempunyai khalifah yang diakui oleh
semua umat sebagai lambang persatuan dan ini berlaku sampai kerajaan Usmani mengangkat
khalifah baru di Istanbul di abad ke-16.[40]
Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah dan demikian juga antara Arab dan Persia bertambah
nyata. Dunia Islam terbagi dua, bagian Arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suria, Palestina,
Mesir, dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai pusat; dan bagian Persia yang terdiri atas
Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusat. Kebudayaan Persia
mengambil bentuk internasional dan dengan demikian mendesak lapangan kebudayaan Arab.
Di samping itu, pengaruh tarekat-tarekat bertambah mendalam dan bertambah meluas di
dunia Islam. Pendapat yang ditimbulkan di zaman disintegrasi bahwa pintu ijtihad telah
tertutup diterima secara umum di zaman ini. Perhatian pada ilmu-ilmu pengetahuan sedikit
sekali. Tetapi sebaliknya, Islam mendapat pemeluk-pemeluk baru di daerah-daerah yang
selama ini belum pernah dimasuki Islam.[41] Pada periode pertengahan ini, terdapat masa
tiga kerajaan Besar (1500-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah kerajaan

Usmani di Turki, kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Tahun 1500-1700
M dianggap sebagai fase kemajuan II dalam sejarah peradaban Islam.[42] Literatur dalam
bahasa Turki di zaman inilah mulai muncul. Di masa-masa sebelumnya, pengarangpengarang Turki menulis dalam bahasa Persia. Di zaman Sultan Salim I dan Sultan Sulaiman
dikenal dua pengarang; Fuzuli dan Baki, yang kemudian disusul di abad ke-18 oleh Nedim
dan Syeikh Ghalib. Dalam bidang arsitek, sultan-sultan mendirikan istana-istana, masjidmasjid, benteng-benteng dan sebagainya. Di India, bahasa Urdu juga meningkat menjadi
bahasa literatur dan menggantikan bahasa Persia yang sebelumnya dipakai di kalangan istana
sultan-sultan di Delhi. Para penulis besar pertama dalam bahasa ini adalah Mazhar, Sauda,
Dard, dan Mir (abad 18). Sayangnya, perhatian terhadap ilmu pengetahuan sangat kurang
sekali dibandingkan dengan masa-masa kejayaan Islam I. Kemajuan Islam II ini lebih
ditekankan pada kemajuan dalam aspek politik.[43]
Tahun 1700-1800 M disebut sebagai fase kemunduran II kerajaan Islam. Pada tahun-tahun ini
kondisi kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Di bidang ekonomi, juga terpuruk
akibat hilangnya monopoli dagang antara Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan di dunia Islam
mengalami stagnasi. Tarekat-tarekat diliputi oleh suasana khurafat dan supertisi. Umat Islam
dipengaruhi oleh sikap fatalistis, sehingga dunia Islam dalam keadaan mundur dan statis.
Sementara, pada masa itu Barat mengalami kebangkitan. Penetrasi Barat, yang kekuatannya
bertambah besar, ke dunia Islam yang didudukinya kian lama bertambah mendalam.
Akhirnya, di tahun 1978 M, Napoleon menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam yang
terpenting. Jatuhnya pusat Islam ini ke tangan Barat, menginsafkan dunia Islam akan
kelemahannya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban yang
lebih tinggi dari peradaban Islam.[44]
1. Pemikiran Islam pada Masa Periode Modern (1800 M – dan seterusnya)
Periode Modern (1800 M – dan seterusnya) merupakan zaman kebangkitan umat Islam.
Jatuhnya Mesir ke tangan Barat mengilhami kebangkitan. Raja-raja dan pemuka-pemuka
Islam mulai memikirkan bagaimana meningkatkan mutu dan kekuatan umat Islam kembali.
Pada era ini, sebagaimana diungkapkan Al-Faruqi, kondisi umat Islam sangat tidak
menggembirakan sekalipun dalam kuantitas besar umat Islam berdomisili di tanah yang subur
dengan sumber daya alam yang melimpah.[45]Bangsa Eropa melakukan hegemoni ekonomi
atas bangsa-bangsa Timur dan Islam. Dan bahkan pada abad 19, Eropa secara terang-terangan
menjadikan dirinya sebagai imperialisme dunia karena telah didukung oleh kekuatan politik,
kekuasaan dan militer.
Pada periode ini, muncul banyak para pemikir Islam yang handal. Mereka menjadi pioner
pembaharuan dalam Islam. Ajaran Islam dirasionalisasikan dan difahami dalam konteks kekini-an dan kemodernan. Islam difahami tidak hanya difahami dari sudut pandang lokal,
tetapi juga dalam perspektif universal dan kontekstual. Sejarah mencatat munculnya para
pemikir Islam di dunia Arab, seperti di Arab, Mesir, dan Turki. Demikian juga di India dan
Pakistan. Tidak ketinggalan di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Sejarah juga mencatat, para pemikir dan tokoh pembaharuan Islam yang sangat popular.
Pemikiran dan ide pembaharuannya terus dipelajari. Bahkan pengaruhnya dapat dirasakan
sampai sekarang. Di dunia Arab, dikenal tokoh Muhammad bin Abdul Wahab, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridla, Mustafa Kemal Attaturk, Hassan Hanafi, Muhammad Syahrur, Abdul
halim Mahmud, dan sebagainya. Di India dan Pakistan, dikenal tokoh pembaharu seperti
Muhammad Iqbal, Ali Jinah, Kalam Azad, Ahmad Khan, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-

lain. Demikian juga yang terjadi di Indonesia. Tokoh pembaharuan yang cukup popular, dapat
disebutkan di antaranya: Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Munawir Sadjali, Abdurrahman
Wahid, Amin Rais, dan sebagainya.
Secara garis besar, gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, dapat dipahami dalam
empat model gerakan sebagai berikut:
1. Gerakan Wahabiyah atau Salafiyah.
Pelopornya adalah Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787) di Jazirah Arabia. Tumbuh dan
lebih berkembang di Hijaz sebagai jantung umat Islam sedunia, ketika itu. Gerakan ini
dipandang sebagai gerakan puritanisme Islam. Gerakan yang hampir serupa tumbuh di India
yang dipelopori oleh Syah Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin di India[46]. Menurut Harun
Nasution[47], Muhammad bin Abdul Wahab bukan hanya seorang teoris yang sangat
memahami ajaran Islam, tetapi ia dipandang sebagai seorang pemimpin yang dengan aktif
dan progresif berusaha menyebarkan dan mewujudkan pemikirannya. Sedangkan Syah
Waliyullah dan Syekh Ahmad Sihrin dipandang sebagai tokoh yang menentang sufisme
secara sangat tajam.
Gerakan-gerakan ini muncul bukan karena pengaruh Barat, tetapi sebagai reaksi terhadap
faham Tauhid Islam (Aqidah) yang telah dirusak oleh hadirnya ajaran-ajaran yang
menyimpang, seperti mempercayai keramat, merajalelanya bid’ah, khurafat, dan tahayul serta
kemusyrikan. Untuk melepaskan umat islam dari kesesatan ini, tokoh ini berpendapat bahwa
umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (asli), yakni Islam yang
dianut oleh Nabi saw, sahabat, tabi’in sampai abad ke-3 Hijriyah. Sumber ajaran islam
hanyalah al-Quran dan al-Hadits. Untuk memahami ajaran yang terkandung dalam dua
sumber tersebut, maka dipergunakan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad belum tertutup,
bahkan harus tetap dibuka;
Dalam pandangan Amien Rais[48], gerakan Wahabiyah sering dianggap terlalu revolusioner
oleh karena gagasan-gagasan yang disampaikannya terlalu radikal menurut ukuran zamannya.
Sekalipun dipengaruhi oleh pikiran reformatif Ibnu Taimiyyah, gerakan Wahabiyah tidak
sepenuhnya merupakan duplikat fikiran-fikiran Ibnu Taimiyyah. Terdapat beberapa
perbedaan mendasar. Pertama, jika Ibnu Taimiyyah menyerang sufisme, maka serangannya
tidak frontal. Sedangkan gerakan Wahabiyah menyerang sufisme tanpa ampun, sekalipun
harus diakui bahwa berkat jasa kaum Wahabiyah-lah pembabatan bid’ah, khurafat, tahayul
yang merajalela di dunia Islam pada masa lalu berhasil secara mengesankan. Kedua, sikap
agak kaku terhadap rasionalisme, Ibnu Taimiyyah juga melakukan kritik terhadap
rasionalisme, tetapi kritik itu tidak berakibat memojokan penalaran rasional terhadap usaha
perbaikan terhadap berbagai dimensi kehidupan kaum muslimin. Barangkali kelemahan kaum
Wahabi adalah semangat agak anti terhadap rasionalismenya, sehingga semboyan ijtihad yang
dikumandangkannya tidak begitu efektif, berhubung tidak diberikannya tempat secara wajar
bagi intelektualisme. Akan tetapi harus kita catat, adanya pengaruh positif bagi masyarakat
muslim di dunia, terutama prinsip egalitarianisme yang diserukan gerakan ini.[49] (Amien
Rais, dalam John Donohue, 1995 : xii).
1. Gerakan Pembaharuan (Modernisme)
Gerakan ini dirintis dan dipelopori oleh Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Kemudian
diikuti dan dikembangkan oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan dilanjutkan oleh

muridnya, Rasyid Ridla (1865-1935). Gerakan ini tumbuh dan berkembang di Mesir, ketika
itu (bahkan sampai sekarang) menjadi pusat intelektualisme Islam. Gerakan ini –sesuai
dengan namanya- berusaha mengadopsi kemajuan Barat dan menyesuaikannya (adaptasi)
dengan peri-kehidupan umat Islam. Gerakan ini menolak selalu bersandar pada kejayaan
Islam masa lalu dan lebih memilih hikmah-hikmah yang dapat diambil dari masa itu,
kemudian menghidupkannya kembali di tengah-tengah kaum Muslimin. Hal ini bisa
diwujudkan dalam pemikiran politik, social, budaya, agama, dan sebagainya. Secara langsung
maupun tidak langsung, hasil pemikirannya disebarkan melalui berbagai tulisan, terutama
dalam majalah dan ceramah-ceramah di berbagai tempat dan waktu. Ide-ide atau pemikiran
dasarnya adalah sebagai berikut : 1) Kembali kepada sumber dasar ajaran Islam yang
sebenarnya, yaitu al-Quran dan al-Hadits; 2) Pintu ijtihad tetap terbuka. Ijtihad perlu
dilakukan untuk memahami sumber ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) yang disesuaikan
dengan perkembangan dan kebutuhan zaman (interpretasi baru); 3) Akal (rasio) adalah alat
untuk melakukan ijtihad. Menggunakan rasio (akal) dan penalaran menjadi sangat penting
dan memiliki posisi yang sangat tinggi; 4) Percaya kepada hukum alam (sunnatullah).
Hukum alam tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Oleh karena itu ilmu
pengetahuan modern yang berdasarkan hukum alam, dan Islam yang sebenarnya berdasarkan
wahyu adalah dua hal yang tidak bertentangan. Ilmu pengetahuan modern, idealnya sesuai
dengan islam. Saat ini yang mengalami kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
adalah Barat. Maka untuk mencapai kemajuan seperti yang diraih di masa lampau (yang
sekarang telah hilang dan dimiliki Barat), umat Islam harus kembali dan mempelajari serta
menguasai ilmu pengetahuan; 5) Percaya kepada kebebasan berkehendak dan bertindak (freewill and free-act) seperti faham Qadariyah.[50]
1. Westernisme
Westernisme diartikan sebagai faham ke-Barat-Baratan atau “berkiblat” ke Barat. Faham ini
mengajak umat Islam untuk menerima dan mengadopsi pengetahuan Barat dan semua yang
berasal dari Barat. Gerakan ini tumbuh dan berkembang di India, salah satu pusat politik
Islam (tempat kerajaan Mughal yang besar itu). Gerakan ini dipelopori oleh Sir Ahmad Khan
(1817-1989). Ia mendirikan Universitas Aligarh untuk mengembangkan dan menyebarkan
ide-idenya. Ide-ide dasarnya sebenarnya memiliki kesamaan dengan ide-ide dasar yang
disampaikan oleh Muhammad Abduh. Hanya saja Ahmad Khan melihat bahwa umat Islam
India mengalami kemunduran karena tidak mengikuti perkembangan zaman. Islam pernah
mengalami kemajuan yang luar biasa pada masa klasik, tetapi peradaban dan kemajuan itu
telah hilang. Saat ini yang mengalami kemajuan adalah Barat. Oleh karena itu menurutnya,
umat Islam India akan mengalami kemajuan jika bukan hanya mempelajari dengan Barat,
tetapi sebaiknya bekerja sama dengan Barat (Inggris). Dasar kekuatan Barat adalah ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Untuk mengalami kemajuan, maka umat Islam harus
mempelajari dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Jalan yang harus
ditempuh adalah memperkuat hubungan dengan Barat (Inggris) dan mengambil berbagai
aspek kemajuan dan ketinggian yang ada di Barat.[51]
1. Sekularisme
Sekularisme tumbuh dan berkembang di Turki sebagai pusat politik islam bekas wilayah
Daulah Usmaniyyah (Turki-Usmani). Pelopornya adalah Mustafa Kemal Attaturk (18811938). Mustafa Kemal, sebenarnya adalah seorang Nasionalis pengagum Barat. Ia
menginginkan Islam mengalami kemajuan. Oleh karena itu, menurutnya perlu diadakan
pembaharuan dalam agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki. Menurutnya, Islam adalah

agama rasional dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia. Tetapi agama rasional itu
telah dirusak oleh para ulama. Ajaran Islam memerlukan sekularisasi. Usaha sekularisasinya
berpusat pada upaya menghilangkan ulama dari kekuasaan Negara dan politik. Yang difahami
sebagai ulama adalah orang atau komunitas yang menguasai syariat dan ajaran Islam serta
menentukan masalah sosial, ekonomi, hukum, politik, dan pendidikan.
Menurut Attaturk, negara harus dipisahkan dari agama. Inilah esensi dari sekularisasi.
Dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk tersebut, ia berpendapat bahwa al-Quran perlu
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, adzan dan khutbah menggunakan bahasa Turki.
Madrasah yang sudah ketinggalan zaman ditutup, digantikan oleh fakultas “Ilahiyah” yang
mendidik imam shalat, khatib-khatib, dan mengembangkan berbagai pembaharuan yang
diperlukan. Pendidikan agama dan bahasa Arab dihilangkan dari sekolah-sekolah. Namanama orang Turki harus mengikuti nama-nama orang Eropa. Hukum syariat tentang
perkawinan diganti oleh hukum Barat (Swiss). Wanita mempunyai hak cerai yang sama
dengan kaum pria. Diandalkan hukum-hukum baru, seperti hukum dagang, hukum pidana,
hukum perdata, dan lain-lain yang diambil dari hukum-hukum Barat.[52]
Sementara itu menurut M. Ja’far Nashir, perkembangan pemikiran dalam Islam, dapat
dikelompokkan menjadi empat, yaitu : (1) Pemikiran Ahl Fiqh, (2) Pemikiran Teologi Islam,
(3) Pemikiran Filsafat Islam., dan (4) Pemikiran Islam Indonesia. Mencermati perkembangan
pemikiran Islam modern, menurut M. Ja’far Nashir, setidaknya ada empat trend besar yang
dominan, yaitu:
1) Islam Tekstual
Corak pemikirannya masih bersifat fundamental, Tekstualis, dan Skeptis. Dalam hal ini
antara Islam dengan Modernitas masih dipertentangkan belum ada titik temu dan modernitas
belum bisa menyatu dengan Islam.
2) Islam Revivalisme
Pemikir Islam Revivalism sudah mengkombinasikan antara Islam dengan Modernitas walau
masih sedikit, dan masih dikuatkan nilai-nilai Ke-Islamanya.
3) Islam Modern
Corak pemikiran dari tokoh Islam modern sudah memasukkan lebih banyak modernitas
kedalam nilai-nilai Islam. Sehingga pemikirannya sudah dapat dikatakan liberal walaupun
masih ada kendali Fundamentalisnya (Ke-Islamannya). Tokohnya antara lain Nurcholis
Madji, Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.
4) Islam Neo-Modernis
Dalam hal ini tokoh pemikir Islam, pemikirannya sudah mengarah kepada Liberalis,
Kontektual, dan Substantive. Salah satu tokoh Pemikir Islam Neo-Modernis adalah Ulil
Absor Abdala. Dalam hal ini antara Islam dengan modernitas sudah tidak ada pemisahnya,
artinya sudah menyatu.[53]

Dengan demikian uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa gerakan pemikiran era modern
terdapat empat corak pemikiran, yaitu corak pemikiran tekstual, revivalisme, modern dan
neo-modernis.
2. Wujud Pemikiran Islam
3. Pemikiran Ilmu Kalam/Teologi
Perkembangan pemikiran Teologi dalam Islam dapat dibagi dalam 5 periode, yakni periode
Rasulullah saw., Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbas, dan periode sesudah
Bani ‘Abbas. Pada masa Rasulullah saw. pemikiran teologi dalam Islam merupakan
pemikiran yang murni karena mendasarkan hanya pada Rasulullah saw, Pada periode ini
tidak ada perselisihan pendapat dalam dasar-dasar ataupun kaidah-kaidah teologis.
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sebelum Khalifah ‘Utsman ibn ‘Affan juga belum terjadi
perbedaan pendapat dalam teologi Islam, hal ini disebabkan oleh praktek teologi Islam
langsung didasarkan pada Alqur’an dan Hadis tanpa pentakwilan atas nash- nashnya. Pada
masa Khalifah ‘Utsman terjadi perpecahan politik dalam tubuh umat Islam, sehingga
berdampak pada penafsiran Alqur’an dan Hadis menurut selera masing- masing golongan,
bahkan sebagian melakukan pemalsuan terhadap Hadis untuk mendukung keberadaan dan
kebenaran kelompok tertentu.
Pada masa Bani Umayah perluasan wilayah Islam membawa konsekwensi penyerapan
tradisi-tradisi non Islam dalam budaya dan peradaban Islam. Berbagai aliran yang muncul
pada masa akhir Khulafa al-Rasyidin semakin memuncak. Pada masa ini segolongan umat
Islam telah berbeda pendapat tentang qadar danisti ţâ‘ah. Aliran-aliran yang muncul dalam
periode ini antara lain:
1) Qadariyah
Ma’bad al-Juhaniy, Ghailân al-Dimasyqiy, dan al-Ja‘ad Ibn Dirham dikenal sebagai
tokoh awal dari aliran Qadariyah. Salah satu pemikiran mereka yang sangat kontroversial
pada masa itu adalah bahwa Alqur’an adalah makhluk serta kehidupan manusia dibentuk oleh
manusia itu sendiri dan terlepas dari ketentuan Tuhan.
2) Jabariah
Jaham ibn Şafwân yang merupakan tokoh awal dari aliran ini. Di antara ciri-ciri ajaran
Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap
2. perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang
menentukannya
3. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
4. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
5. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.

6. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaan7. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama
penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
8. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surge
9. Bahwa Alqur’an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
3) Khawarij
Aliran ini muncul dipenghujung abad pertama Hijriah dan dikenal dengan pemikirannya yang
menyatakan bahwa orang yang mengerjakan dosa besar adalah kafir. Berbagai pemikiran
mereka yang lain adalah:
1. Segala perbuatan hamba mengikut kehendak Allah semata-mata.
2. Menolak ijtihad dan berpegang dengan zahir al-Quran.
3. Menolak taklif sebelum diutus Rasul.
4. Menolak adanya azab kubur.
5. Menolak sistim kekhalifahan bagi umat Islam karena tidak diperlukan
6. Harus membunuh kanak-kanak dan wanita pihak yang menyalahi mereka.
7. Pelaku dosa besar adalah kafir dan kekal dalam neraka.
8. Tidak sah menikah dengan orang yang tidak mengkafirkan ‘Utsman dan ‘Ali r.a.
9. Semua orang yang menyalahi mereka adalah kafir atau musyrik.
10. Orang yang tidak berhijrah kepada mereka adalah musyrik.
11. Wajib menguji kesetiaan orang yang berhijrah kepada mereka dengan cara menyuruh
orang itu membunuh tawanan. Jika tidak sanggup bermakna munafiq dan mereka
akan membunuhnya.
12. Anak-anak orang yang menyalahi mereka kekal dalam Neraka.
13. Menganggap negeri orang yang menyalahi mereka sebagai negeri kafir.
14. Menggugurkan hukum rajam ke atas penzina yang sudah beristeri.
15. Me