BAB II TELAAH TENTANG ETIKA POLITIK

BAB II
TELAAH TENTANG ETIKA POLITIK

A. Pengertian Etika Politik
Dalam memahami pengertian ‘Etika Politik’, perlu dijelaskan lebih dahulu
pengertian ‘etika’ dan pengertian ‘politik’. Untuk memahami lebih dalam
mengenai etika, perlu pula disinggung secara singkat ‘aliran-aliran pemikiran’
yang terdapat dalam etika. Pada bagian berikutnya akan dijelaskan pengertian
‘politik’. Berdasarkan hasil telaah terhadap istilah-istilah itu akan dilakukan
telaah

konvergensi,

yaitu

menggabungkan

istilah-istilah

tersebut


memperoleh pengertian ‘Etika Politik’ secara utuh, sebagaimana

untuk
yang

dimaksudkan dalam Skripsi ini.

1. Pengertian Etika
Etika

merupakan

filsafat18

moral

atau

filsafat


tingkah

laku

(Poedjawijatna, 1997: 13-14) atau filsafat tindakan (Asmoro Akhmadi, 2001:
12), yang membahas ukuran baik buruknya tingkah laku manusia, yang
18

Secara etimologis, filsafat berasal dari kata Arab falsafah dan kata Yunani philosophia,
filosofia atau philosophis. Falsafah berarti pengetahuan tentang asas-asas pikiran dan perilaku
(Mahmud Yunus, 1989: 323). Philosophia, yang terdiri dari kata philos (cinta) dan Sophia
(pengetahuan dan kebijakan atau wisdom/hikmah) berarti “cinta kepada pengetahuan” (Ahmad Hanafi,
1990: 3). Sedangkan filosofia, juga merupakan kata Yunani, diturunkan dari kata kerja filosofein, yang
berarti “mencintai kebijaksanaan” (Harun Hadiwijono, 1980: 7). Versi lain, berasal dari kata Yunani
philosophis, yang berasal dari kata kerja philein (mencintai), atau philia (cinta), dan sophia (kearifan).
Dari kata ini lahir kata Inggris philosophy, yang biasa diterjemahkan sebagai “cinta kearifan” (Asmoro
Achmadi, 2001: 1).

1


diupayakan sejauh mungkin bersifat umum dan oleh karena itu berlaku untuk
semua manusia, bukan hanya sebagian manusia19.
Secara etimologis, etika berasal dari bahasa Yunani Kuno ethos, atau
bahasa Inggris ethic. Ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti, yaitu
kebiasaan, adat, watak, akhlak, perasaan, sikap dan cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha) berarti adat kebiasaan. Arti inilah yang melatarbelakangi
terbentuknya istilah etika yang oleh filsuf Yunani Aristoteles (384-322 SM)
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Secara terminologis, etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang kesusilaan (moral). Sedangkan ethic, dalam bahasa Inggris berarti
system of moral principles. Istilah moral itu sendiri berasal dari bahasa latin
mos (jamak: mores), yang berarti juga kebiasaan, adat. Tentang universal.
Sedangkan Bertand Russel menyebut perbuatan etis bersifat rasional,
pragmatis atau utiliristik. Namun pada perkembangan kini disebut era
postmodernisme etika yang berlaku umum ditolak, karena pada dasarnya
kebenaran bersifat relatif terhadap waktu, tempat, budaya dan sebagainya
(Amin Abdullah, 2002: 17-18).
Akhlak, sebuah istilah yang berasal dari bahasa Arab, adalah bentuk
jamak dari kata al khuluq atau al khulq yang secara etimologis berarti (1) tabiat,
19


Mengenai ukuran yang bersifat dan berlaku umum ini, menurut Rene Descartes filosuf
modernisme abad pertengahan dipercaya adalah etika yang bersifat rasional, absolut dan Istilah etika
sering digunakan secara bersamaan dengan istilah moral dan akhlak. Meskipun ketiganya berasal dari
bahasa yang berbeda, tetapi memiliki makna yang sama, yaitu adat kebiasaan, perangai dan watak.
Alasdair Mac Intyre menilai sisi universal dari ketiga istilah ini mengarah pada konsep benar (right),
salah (wrong), baik (good) dan buruk (bad) (Tafsir, dkk., 2000: 11-12).

2

budi pekerti, (2) kebiasaan atau adat, (3) keperwiraan, kesatriaan, kejantanan,
(4) agama, dan (5) kemarahan (al ghadab).20
Meskipun dinilai bermakna sama, namun sesungguhnya dalam posisi
tertentu secara terminologis etika berbeda dengan moral. Menurut M. Amin
Abdullah (2002: 15), moral (akhlaq) lebih condong kepada pengertian “nilai
baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri”, sedangkan etika
berarti “ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk” (‘ilm al Akhlaq).
Dari hasil analisis K Bertens (2004: 6) disimpulkan bahwa etika
memiliki tiga posisi, yaitu sebagai (1) sistem nilai, yakni nilai-nilai dan normanorma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam
mengatur tingkah lakunya, (2) kode etik, yakni kumpulan asas atau nilai moral,

dan (3) filsafat moral, yakni ilmu tentang yang baik atau buruk.
Dalam tesis ini, etika dipahami dalam posisi yang pertama, yaitu sebagai
sistem nilai.
2. Aliran -Aliran Etika
Filsafat etika yang berkembang di dunia Barat, pada umumnya
dikelompokkan menjadi tiga aliran, yaitu etika hedonistik, utilitarian dan
deontologis(Amin Abdullah, 2002: 15). Hedonisme 21 mengarahkan etika untuk
menghasilkan sebanyak mungkin kesenangan bagi manusia.
20

Ensiklopedi Islam (Cet.4, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, hlm. 102)
Berasal dari kata Yunani, hedone, yang berarti kesenangan. Istilah ini mula-mula digunakan
oleh Aristipos (sekitar 433-355 sM), seorang murid Socrates, kemudian Epikuros (341- 270 sM)
(Bertens, 1993: 235-237).
21

3

Utilitaristik22 mengoreksinya dengan menambahkan bahwa kesenangan
atau kebahagiaan yang dihasilkan etika yang baik adalah kebahagiaan bagi

sebanyak mungkin orang. Sedangkan deontologis23 memandang bahwa sumber
bagi perbuatan etis adalah rasa kewajiban.
Menurut Burhanuddin Salam (1997: 67-83), teori-teori etika dapat
digolongkan menjadi dua teori, yaitu deontologis dan teleologis. Etika
deontologis menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik yang
tidak dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan
itu, tetapi berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.
Oleh karena itu sebuah tindakan bernilai moral karena tindakan itu
dilaksanakan berdasarkan kewajiban. Terdapat dua teori deontologis, yaitu
deontologis tindakan dan deontologis peraturan
(Bertens, 1993: 67-68).
Dalam perspektif linear dengan etika deontologis, etika teleologis justru
menitikberatkan pada tujuan atau akibat suatu tindakan. Sehingga suatu
tindakan dinilai baik, apabila bertujuan mencapai sesuatu yang baik atau
menimbulkan akibat yang baik.
Sebaliknya, suatu tindakan dinilai buruk, apabila bertujuan mencapai
sesuatu yang buruk atau menimbulkan akibat yang buruk 24. Oleh karena itu,
22

Berasal dari kata Latin, utilitas, yang berarti useful, berguna, berfaedah (Burhanuddin

Salam, 1997: 76).
23
Berasal dari kata Yunani, deon, berarti kewajiban (Burhanuddin Salam, 1997: 68).
24
Tujuan dan akibat bisa dibedakan. Tujuan adalah sesuatu yang secara sadar ingin dicapai,
sedangkan akibat adalah hal yang dicapai tanpa disengaja setelah melakukan suatu tindakan
(Burhanuddin Salam, 1997: 71-72).

4

etika ini cenderung merupakan etika situasional atau etika situasi, karena tujuan
dan akibat suatu tindakan bisa bersifat sangat situasional dan karena itu setiap
norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.
Terdapat dua aliran etika teleologis, yaitu egoisme dan utilitarianisme.
Menurut etika egoisme, suatu perbuatan dinilai baik apabila memberikan
manfaat, kebahagiaan atau kepentingan bagi dirinya sendiri (‘aku’) di atas
kepentingan orang lain. Aliran ini mengalami perkembangan menjadi egoisme
etis dan egoisme psikologis. Dalam egoisme etis, tindakan apapun termasuk
mengorbankan diri untuk orang lain adalah untuk kepentingan pemuasan diri
sendiri. Sedangkan egoisme psikologis berdasarkan pandangan bahwa semua

orang selalu dimotivasi oleh tindakan demi kepentingan dirinya. Aliran
Utilitarianisme (utilisme) menilai bahwa baik-buruk suatu tindakan ditinjau dari
segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya.
Terdapat dua jenis utilitarianisme, yaitu utilisme individual, yang
berorientasi pada keuntungan dirinya, dan utilisme soaial yang beroeientasi
kepada kepentingan orang banyak. Utilisme sosial banyak dipraktikkan oleh
kalangan politisi.
Mengutip pendapat John Stuart Mill (1806-1873) dalam bukunya
Utilitarianism, Burhanuddin Salam (1997: 77-78) memaparkan bahwa dua
dasar pemikiran utiliter adalah dasar normatif dan dasar psikologis. Dasar
normative adalah setiap tindakan harus mengusahakan kebahagiaan dan
menghindari ketidaknyamanan, sedangkan dasar psikologis menyebutkan
5

semua tindakan berorientasi pada keharmonisan dengan sesama manusia.
Secara keseluruhan etika utilitarianism dinilai positif karena dua hal, yaitu
rasionalitasnya yang memungkinkan akibat baik yang lebih banyak dan
universalitasnya yang memungkinkan akibat yang dicapai diukur dari
banyaknya orang yang memperoleh manfaat.
Terdapat pula aliran etika intuisionisme, universalisme, hedonisme,

eudemonisme, altruisme dan tradisionalisme. Selain intuisionisme, kelima aliran
etika yang lain menilai baik-buruknya tindakan dinilai dari tujuan perbuatan
(Burhanuddin Salam, 1997: 79-83). Intuisionisme merupakan aliran etika yang
berpendapat bahwa penilaian atas baik-buruk tindakan manusia dapat diketahui
dengan cara intuisi. Universalisme menilai suatu tindakan adalah baik apabila
memberikan kebaikan bagi banyak orang. Hedonisme menilai suatu tindakan
adalah baik bila mendatangkan kesenangan (hedone, dari kata Grik) secara fisik.
Eudemonisme menilai suatu tindakan adalah baik apabila mendatangkan
kebahagiaan (eudaemonismos, dari kata Grik) secara psikologis (rasa).
Altruisme menilai suatu tindakan adalah baik apabila mengutamakan
kepentingan orang lain (alteri, dari kata latin; others, kata Inggris).
Terakhir adalah tradisionalisme, yang menilai suatu tindakan sebagai
baik apabila sesuai dengan kebiasaan atau adat-istiadat (tradition, kata Inggris)
yang berlaku dalam masyarakat.

3. Pengertian Politik dan Berpolitik
6

Berdasarkan analisis tentang pengertian etika dan pengertian Politik (dan
berpolitik) di atas, secara konvergensi dapat ditarik kesimpulan bahwa yang

disebut sebagai ‘Etika Politik’, secara kontekstual dapat dimaknai sebagai
“suatu sistem nilai, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
dalam mengatur tingkah laku yang berkaitan dengan penyelenggaraan sebuah
negara”.
Oleh karena itu, pelaku Etika Politik meliputi individu, kelompok
maupun bangsa yang menempati sebuah negara. Dalam perspektif individual,
seorang kepala negara dengan berbagai istilah padanya adalah Warga negara
yang menjadi pemimpin dan oleh karena itu memiliki peranan paling menonjol
dan paling berpengaruh bagi setiap negara dalam rangka mencapai tujuan dan
melaksanakan fungsi-fungsinya.
Dalam perspektif kelompok, para birokrat25 (yang terdiri dari para
pejabat negara baik sipil maupun militer) merupakan alat negara yang
menentukan pencapaian tujuan dan fungsi negara. Menurut Yahya Muhaimin
(1980), sebagaimana dikutip oleh Budi setiono (2002: 22), birokrasi adalah
keseluruhan aparat pemerintah, sipil maupun militer yang melakukan tugas
membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena statusnya itu.
Dalam perspektif birokrasi sebagai alat kekuasaan, maka keberadaannya
merupakan sarana bagi penguasa untuk mengimplementasikan kekuasaan dan
25


Istilah ini untuk menyebut orang-orang yang bekerja dalam birokrasi. Istilah birokrasi itu
sendiri pertama kali diperkenalkan oleh filosof Perancis Baron de Grimm pada abad ke-18, dan berasal
dari kata ‘bureau’ yang berarti meja tulis dimana para pejabat bekerja di belakangnya (Budi Setiono,
2002: 21).

7

kepentingan mereka dalam mengatur kehidupan negara. Namun dalam
perspektif kebutuhan masyarakat yang harus dilayani, maka keberadaan
birokrasi membantu masyarakat mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah
ditetapkan bersama (Budi Setiono, 2002: 23-24).
Sedangkan dalam perspektif bangsa, sudah tentu adalah semua Warga
negara. Menurut UU RI No. 12/2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia, pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa “Warga negara adalah warga
suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Dengan demikian, baik kepala negara, pejabat negara maupun Warga
negara merupakan komponen manusia atau pelaku yang terikat secara sukarela
oleh komitmen terhadap suatu corak tertentu Etika Politik. Oleh karena itu,
mempersoalkan Etika Politik berarti mempersoalkan etika kepala negara, etika
pejabat negara dan etika Warga negara.

B. Perkembangan Pemikiran tentang Etika Politik
Pemikiran tentang Etika Politik, sangat berkaitan erat dengan pemikiran
tentang negara. Dalam setiap bentuk pemikiran tentang negara dari sejak zaman
Yunani Kuno hingga kini dan mungkin yang akan datang, selalu mudah ditemui
prinsip-prinsip mendasar pemikiran tentang Etika Politik.

8

Berbeda dengan pengertian negara sebagaimana kita pahami dewasa ini,
pada masa awal munculnya pemikiran tentang negara, negara diartikan sama
dengan masyarakat yang menempati polis (kota dan sekitarnya), sehingga
memunculkan penilaian bahwa polis adalah negara kota. Sebaliknya, sementara
kalangan berpendapat bahwa polis bukan negara kota (city-state, Staadstaat)
melainkan negara-suku (tribal state, stammstaat) (Deliar Noer, 1997: 2-5).
Namun bagi Hannah Arendt, filsuf politik abad 20, sebagaimana dikutip oleh
Maurizio Passerin d’Enteves (2003: 129), polis secara kiasan juga berarti
“organisasi orang-orang yang bersatu didorong oleh tindakan dan ucapan
bersama, dan ruang publiknya muncul di tengah-tengah kehidupan bersama
orang-orang yang hendak mencapai tujuan-tujuannya, dimana mereka berada”.
Pemikiran filosof Yunani Kuno Plato (429-347) yang sangat dipengaruhi
gurunya, Socrates (469-399) tentang negara dan Etika Politik terdapat dalam.
bukunya berjudul Politea (Republik), yang arti sesungguhnya adalah Konstitusi,
dalam pengertian suatu jalan atau cara bagi individu dalam berhubungan dengan
sesamanya dalam pergaulan hidup atau masyarakat. Politea juga disebut sebagai
Tentang Keadilan, yang artinya lebih dekat dengan kata kejujuran, moral dan
sifat-sifat baik seseorang (Deliar Noor, 1997: 2-5).
Dalam kehidupan bernegara, Plato mengedepankan rasa kolektivisme,
yakni kepentingan individu harus disesuaikan dengan kepentingan masyarakat.
Untuk itu ia mengemukakan semacam komunisme yang melarang adanya hak
milik dan kehidupan berkeluarga, khusus bagi kelas penguasa dan pembantu
9

penguasa. Namun dalam kitab berikutnya Nomoi (kitab hukum), pendirian ini
dikoreksi, bahwa penguasa bukanlah kelas tersendiri, karena tergantung pada
pilihan rakyat, dan ia berhak milik dan berkeluarga (Deliar Noor, 1997: 11-15).
Aristoteles (384-322), murid Plato, melanjutkan tradisi pemikiran
tentang negara meliputi bidang yang luas. Dalam bidang politik, Aristoteles
menulis kitab berjudul Politik (Politica). Negara menurutnya adalah gabungan
dari bagian-bagian, yang menurut urutan besarnya adalah kampung, famili dan
individu. Setiap individu memiliki hak milik yang berfungsi sosial, tapi tidak
boleh berlebihan agar tidak merusak dirinya. Keadilan bagi Aristoteles adalah
mengambil apa yang menjadi haknya. Dan bentuk terbaik dari masyarakat
politik ialah bila kekuasaan berada di tangan kelas menengah (Deliar Noor,
1997: 27-39).
Pada abad-abad akhir sebelum dan abad-abad awal sesudah masehi,
kandungan Etika Politik tampak dari perdebatan di dalam masyarakat Kristen,
antara siapa sesungguhnya yang paling berkuasa di dunia, apakah kepala negara
atau kepala agama (Deliar Noor, 1997: 47-49). Beberapa abad berikutnya tidak
terdeteksi adanya perkembangan pemikiran yang berarti26, hingga kelahiran
Piagam Madinah pada masa kenabian Muhammad SAW (570-632).
Piagam Madinah berisi 52 pasal atau seksi yang merupakan teks
konstitusi tertulis pertama di dunia yang paling lengkap dan orisinil,
26

Dalam perspektif Sejarah Arab pra-Islam, masa ini dikenal sebagai jahiliyah atau
kebodohan (ignorance) yang diwarnai oleh paganisme, ketidaksukaan hingga pembunuhan terhadap
anak perempuan, pelembagaan perbudakan dan perilaku sosial menyimpang lainnya, Fuad Hashem,
Sirah Muhammad Rasulullah, (Bandung: Mizan, 1995), 65-66.

10

dibandingkan dengan berbagai jenis aturan dan pengaturan mengenai Negara
pada zamannya (Muhammad Hamidullah, 1968: 2-11). Piagam ini juga
memosisikan dunia Islam jauh mendahului dunia Barat dalam meletakkan
prinsip-prinsip dasar mengenai persamaan, kemerdekaan dan penghormatan
terhadap sesama manusia.27 Piagam Madinah secara eksplisit merupakan Etika
Politik di negara Madinah.28
Pada masa Khulafaurrasyidin terdapat pula naskah-naskah yang
mengandung Etika Politik, misalnya surat-surat Ali bin Abi Thalib kepada
Gubernur Mesir dan Gubernur Basrah yang mengandung nasehat dan
pandangan Imam Ali tentang akhlak seorang pemimpin (Sayyid Husain
Muhammad Jafri, 2003). Pasca Khulafaurrasyidin, kajian tentang Etika Politik
banyak dilakukan oleh fuqaha. Abu Nasr al Farabi (wafat 950) menulis kitab
Mabadi’ Ara’ ahl al Madinah al Fadhilah Prinsip-prinsip dari Pandangan
tentang Penduduk Negara Utama) dan al Siyasah al Madaniyyah (Risalah
tentang politik Kenegaraan) (Din Samsuddin, 2001: 108). Kitab al Ahkam al
Sulthaniyyah karya Abu al Hasan al Mawardi (wafat 1058) menjadikannya
diakui sebagai pemikir pertama yang melakukan deduksi komprehensif prinsipprinsip syariah yang berkaitan dengan pemerintahan.

27

Ini adalah tesis penulis Barat Jean Claude Vatin, yang kebenarannya diperkuat oleh kajian
dalam desertasi Suyuthi Pulungan. Lihat Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam
Piagam Madinah ditinjau dari Pandangan Al Quran, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996).
28
Istilah “negara Madinah” hingga saat ini masih debatable, namun jika merunut definisi
negara di zaman Yunani Kuno, maka tak ayal Madinah termasuk kategori sebuah negara.

11

Mawardi banyak dipengaruhi oleh pemikiran al Baghdadi (wafat 1037)
dalam salah satu bagian karyanya berjudul Kitab Ushul al Din. Baghdadi sendiri
adalah pengikut Asy’ari (wafat 937).
Kemudian muncul beberapa pemikir Islam lainnya seperti Imam Al
Ghazali (1058-1111) dengan kitabnya Al Tibr al Masbuk fi Nasaih al Muluk 29.
Kitab-kitab al Ghazali dikaji sebagai tesis di IAIN Walisongo Semarang oleh
Zaenul Arifin (2000) dengan judul tesis Etika Politik dalam perspektif Al
Ghazali.
Berikutnya Ibn Taymiyah (wafat 1327) dengan kitabnya Majmu’
Fatawa Shaikh al Islam, Ibn Qayyim al Jawziyyah (wafat 1356) dengan
kitabnya Al Turuq al Hukmiyyah fi al Siyasah al Shar’iyyah (Din Samsudin,
2001: 99-100). Ibnu Taba dengan kitabnya Al Fakri fi Adab al Sultaniyah wa al
Dua al Islamiyah, dan Abd Al Rahman dengan kitabnya Al Manhaj al Masluk fi
Siyasah Al Muluk (Zainul, 2000: 6).
Di dunia Barat, muncul Thomas Aquinas (1225-1274) dalam Summa
Theologica yang meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat Katolik.
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh kitab-kitab yang ditulis Ibn Rusyd
(Averroes; 1126-1198), dan Al Farabi. Etika Politik terutama terkandung dalam
dua bagian dari kitabnya, yakni “Tentang Kerajaan: Apa yang Dimaksud

29

Aslinya ditulis dalam bahasa Parsi, berisi sejumlah nasehat kepada Sultan Muhammad ibn
Malik Syah al Saljuq, Lihat Imam Al Ghazali, Terj, Etika berkuasa, Nasihat-Nasihat Imam Al Ghazali,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2001: 7).

12

dengan Kata Raja” dan “Kemungkinan Persyaratan agar Raja tidak Menjadi
Tiran” (Deliar Noor, 1997: 57-63).
Pemikiran tentang Etika Politik terdapat pula dalam kitab yang tersohor
hingga saat ini, yakni Al ‘Ibar (Ibarat-Ibarat) karya Ibnu Khaldun (1332-1406)
yang bagian terpentingnya adalah Muqaddimah. Pembahasan tentang Etika
Politik tergambar misalnya dalam “syarat-syarat kepala negara”, “Ashabiyah
sebagai dasar kekuasaan wibawa”, “kemewahan dan kekuasaan”, dan
“kemewahan pertanda kehancuran negara” (Osman Raliby, 1963).
Niccolo Machiavelli (1469-1527), dalam tulisannya berjudul Discorsi
(Uraian)30 mengatakan bahwa pengangkatan penguasa harus berdasarkan pilihan
rakyat, karena suara rakyat adalah suara Tuhan. Dalam republik, kepatuhan
terhadap hukum merupakan kebebasan yang sesungguhnya, yang bisa
membawa ketenangan dan kedamaian.31
Pada masa berikutnya muncul pemikiran yang sedikit banyak juga
mengandung unsur Etika Politik, diantaranya adalah yang ditulis Thomas
Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Montesquieu (1689-1755),
Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), John Stuart Mill (1806-1873), dan
pelopor-pelopor sosialisme seperti Karl Marx (1818-1883), Vladimir Ilyich
Lenin (1870-1924), dan Josep Stalin (1879-1953).

30

Judul lengkapnya adalah Discorsi sopra la prima deca di Tito Livio (Uraian tentang
Sepuluh Tahun Permulaan dari Titus Livius) (Deliar Noer, 1997) hlm. 88.
31
Ibid, hlm. 90-91

13

Dalam abad 20, muncul beberapa pemikiran yang berkaitan dengan
Etika Politik. Salah satu yang dinilai kontroversial adalah pemikiran Hannah
Arendt (1906-1975). Menurutnya, dalam politik tidak perlu pelibatan moralitas
absolut yakni tipe moralitas yang diidentifikasi sebagai moralitas nurani
Sokratik atau kebaikan moralitas kristen. Karena moralitas pada esensinya
bersifat pribadi dan cenderung terdistorsi atau destruktif jika dilibatkan ke
dalam ruang publik. Politik, tulisnya, seharusnya cukup dibimbing oleh moral
biasa (Maurizio Passerin d’Entevez,2003: 155-157).
Bermunculan pula kemudian pemikiran-pemikiran yang lain, sebagian
diantaranya berbasis liberalisme. Ideologi ini sedikit banyak juga berimplikasi
unsur Etika Politik. Secara substantif, liberalisme memosisikan individu sebagai
unsur yang utama dalam masyarakat. Berangkat dari kultur liberalisme dan
individualisme, sejauh yang diketahui penulis, buku berjudul Etika Politik
Pejabat Negara yang ditulis oleh Dennis F Thompson (terj, Ed.2, 2002), bisa
dibilang relatif baru.
Menurut Dennis, dalam berpolitik dibutuhkan etika, meski kadang
diantara keduanya terjadi konflik. Konflik itu sebenarnya antara tuntutan etis
yang berbeda terhadap politik, bukan antara etika dengan politik. Setiap pejabat
negara, menurutnya dituntut untuk mempertanggungjawabkan kebijakan dan
tindakan politisnya kepada masyarakat yang memilihnya.

14

Tafsir dkk. (2002) dalam bukunya yang berjudul membangun Negara
Bermoral, Etika Politik dalam Naskah Klasik Jawa-Islam sejauh yang diketahui
penulis secara eksplisit menggunakan istilah “Etika Politik”.
Buku ini mengulas dan merumuskan implikasi Etika Politik dalam
naskah-naskah klasik Jawa-Islam, yang merupakan cermin kearifan lokal
tentang bagaimana pemimpin mengurus negara dan mampu membawa
kesejahteraan bagi rakyatnya.

C. Etika Politik dalam Konsep Islam
Dalam mendeskripsikan Etika Politik dalam konsep Islam, dapat
ditempuh beberapa pendekatan, yaitu pertama, pendekatan nilai; yakni nilainilai yang terkandung dalam Islam yang berkaitan dengan kehidupan
bermasyarakat atau bernegara; kedua, pendekatan sejarah, khususnya pada
zaman nabi Muhammad SAW dan para Sahabat; dan ketiga, pendekatan
pemikiran ulama berkaitan dengan Etika Politik. Uraian secara akumulatif dari
hasil ketiga pendekatan ini akan berujung pada perumusan Etika Politik dalam
konsep Islam.
Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam Islam yang
berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat atau bernegara, yang berasal dari

15

sumber ajaran pokok agama Islam yakni Al Quran32, Hadits atau Sunnah Rasul33
dan Ijtihad.34, harus dilakukan pencermatan terhadap sejarah Islam periode
klasik. Periode klasik dimulai sejak turunnya Al Quran pada awal abad ke-7
hingga abad ke-13 (Siti Maryam, dkk., 2003:12) 35. Diantara rentang waktu 6
abad itu, secara lebih khusus pencermatan dilakukan terhadap periode
Rasulullah dan para sahabat (Khulafaurrasyidin, artinya para pengganti yang
mendapatkan bimbingan ke jalan yang lurus).
Pada masa awal pertumbuhan Islam (sekitar 20 tahun, terhitung sejak
diterimanya wahyu yang pertama tahun 610 M, saat Nabi berusia 41 tahun,
hingga wafatnya beliau), semua masalah yang muncul menyangkut urusan
agama dan dunia ditanyakan langsung kepada nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan wahyu, Rasulullah menerangkan ajaran-ajarannya dengan ucapanucapan, perbuatan dan seruan. Pada saat itu tidak ada perselisihan atau khilaf

32

Istilah ini disebutkan dalam Al Quran sebanyak 70 kali. Antara lain lihat QS Yusuf (12:2),
An Nahl (16:97), AthThaha (20:2) Al Muzzamil (73:4 dan 20). Istilah lain adalah Al Kitab artinya
tulisan, QS Al Baqarah (2:2); Al Furqon, artinya pembeda, QS Ali Imran (3:4), Al Furqon (25:1); Adz
Dzikr, artinya peringatan, QS Al Hijr (15:9); Dan Annur, artinya cahaya, QS An Nisa’ (4:174).
33
Istilah Hadits dan Sunnah Rasul kadang diartikan sama, kadang berbeda. Hadits adalah
cerita tentang perilaku nabi Muhammad, sedangkan Sunnah adalah hokum yang disimpulkan dari
cerita itu (Syed Mahmudunnasir, 1994:148-149).
34
Ijtihad merupakan penggunaan akal seoptimal mungkin dalam mencapai keputusan
terhadap kasus-kasus yang tidak ada petunjuk yang jelas dalam Al Quran dan Hadits. Uraian
mendalam mengenai Ijtihad, termasuk Ijmak, lihat Ensiklopedi Islam (Jil. 2, Dewan Redaksi
Ensiklopedi Islam, 1997:181 dan 183-186).
35
Menurut Siti Maryam dkk., dalam karya-karya mutakhir tentang sejarah peradaban Islam,
para ahli cenderung menyederhanakan periodesasinya menjadi tiga babakan utama, yaitu periode
klasik (abad VII-XIII M), periode pertengahan (abad XIII-XIX) dan periode modern (abad XIX-XX).
Periodesasi ini diantaranya diterapkan oleh Ira M Lapidus ketika menulis A History of Islamic
Societis.

16

karena wewenang tasyri’ langsung berada pada Rasul. Sehingga apapun yang
terefleksikan dari sosok Muhammad SAW dipastikan sesuai dengan Al Quran.
Setelah Rasulullah wafat, selama sekitar 30 tahun berikutnya
kepemimpinan ummat ada pada sahabat Nabi yakni Abu Bakar As Shiddiq (2
tahun), Umar ibn Al Khaththab (10 tahun), Utsman ibn ‘Affan (12 tahun), dan
Ali ibn Abi Thalib (5 tahun). Pada masa sahabat, meskipun Islam mengalami
kemajuan pesat dengan wilayah yang meluas, namun banyak terjadi
perselisihan36 di bidang amaliah, yaitu masalah khilafah37.
Pasca Sahabat Nabi hingga berakhirnya periode klasik (abad XIII M),
perselisihan masalah khilafah ini timbul tenggelam mewarnai dinamika Dalam
perspektifpolitik sunni, khilafah didasarkan pada dua rukun, yaitu konsensus
elite politik (‘ijma) danpemberian legitimasi (bay’ah). Dalam perspektif sejarah
Islam, istilah ini pertama kali digunakan oleh Abu Bakar dalam pidato
inaugurasinya, yang menyebut dirinya sebagai “khalifah Rasul Allah”. sejarah
Islam. Sebagian bahkan penuh intrik, manipulasi, konspirasi hingga saling
bunuh yang sangat bertentangan dengan fitrah manusia dan nilai-nilai qurani.
Inilah sebabnya, bagian terpanjang dari periode klasik tidak dapat dijadikan

36

Perselisihan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan paham dan nash, perbedaan
pengetahuan tentang hadits, perbedaan pandangan tentang mashlahah yang menjadi dasar penetapan
hukum dan perbedaan lingkungan. Hal ini menimbulkan perselisihan fatwa dan hokum atau dalam hal
furu’, walaupun mereka sepakat dalam hal ushul. Perselisihan ini menjadi awal lahirnya berbagai
madzhab di kemudian hari (Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 1999:66), yang mewarnai
dinamika sejarah Islam hingga kini.
37
Berangkat dari beberapa sumber, Kamaruzzaman (2001:30) menyimpulkan bahwa khilafah
mengandung arti “perwakilan”. “pergantian”, atau “jabatan khalifah”. Istilah ini berasal dari kata Arab
“khalf”, yang berarti “wakil”, “pengganti” atau “penguasa”.

17

contoh yang akurat dalam konteks penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Dengan demikian, contoh akurat dan ideal menyangkut implementasi
Etika Politik dalam konsep Islam adalah pada masa Nabi, baik ketika masih
berada di Mekah maupun setelah hijrah di Madinah. Kepemimpinan Nabi di dua
tempat ini disebut oleh berbagai kalangan sebagai periode atau fase
kepemimpinan Mekah dan fase kepemimpinan Madinah. Kedua fase ini
berlangsung masing-masing 13 tahun dan 10 tahun (KH Muhadi Zainuddin dan
Abd Mustaqim, 2005: 61-65).
Fase kepemimpinan Nabi di Mekah atau fase Mekah, diawali sejak
Muhammad diangkat menjadi Rasul. Pada fase Mekah ini Rasulullah masih
merupakan pemimpin spiritual dengan tujuan pembangunan umat yang
dititikberatkan pada penanaman aqidah, iman dan tauhid. Ibarat sebuah
bangunan, aqidah, iman dan tauhid merupakan pondasi yang memungkinkan di
atasnya dibangun masyarakat yang baik yang kokoh.
Pada fase Madinah, kepemimpinan Rasulullah dititikberatkan pada
penalaran hukum, seperti hukum ibadah, jinayat, qadha’iyyah dan ahwal
syekhsyiyyah (hukum kekeluargaan). Pembangunan hukum ini dimungkinkan
karena keimanan (Islam) sudah kuat tertanam dalam hati umat, sebagai buah
utama hasil perjuangan selama fase Mekah. Dengan demikian fase
kepemimpinan Rasulullah di Madinah, tidak bisa dilepaskan dari fase Mekah.

18

Mengawali keberadaannya di Madinah, Rasulullah melakukan beberapa
langkah strategis, yaitu (1) mendirikan masjid Quba’, (2) mempersaudarakan
kaum muslimin (antara Anshar dan Muhajirin) berdasarkan tali ikatan agama
dan aqidah tanpa membedakan status social apapun, (3) membuat piagam
perjanjian (Piagam Madinah) antara kaum muslimin dengan non-muslim (KH
Muhadi Zainuddin dan Abd Mustaqim, 2005: 63). Ketiga langkah strategis ini
sekaligus merupakan implementasi Etika Politik islami yang diterapkan
Rasulullah khususnya menyangkut kepemimpinan dan bentuk masyarakat yang
hendak dibangun.
Secara komprehensif, nilai-nilai yang terkandung dalam ketiga langkah
strategis

tersebut

adalah

sebagai

berikut.

Pendirian

masjid

Quba’

melambangkan bahwa sebelum dilakukan pembangunan di berbagai aspek
kehidupan lainnya, maka yang terlebih dahulu harus dibangun adalah moral
(akhlak) umat. Sebab aspek moralitas merupakan pondasi sekaligus
ramburambu yang mengarahkan pembangunan berlangsung sesuai dengan
nilainilai kemanusiaan yang berujung pada peningkatan kesejahteraan umat di
dunia dan akhirat.
Langkah mempersaudarakan Anshar dan Muhajirin menegaskan bahwa
persaudaraan merupakan dasar penggalangan persatuan dalam perspektif
ukhuwah Islamiyah, yang pada gilirannya akan menyokong bangunan umat
yang kuat dan kokoh. Ditinjau dari aspek manajemen konflik, langkah ini
merupakan upaya meminimalisasi konflik internal kaum muslimin, yang
19

mungkin saja terjadi mengingat usia kaum muslimin yang relatif masih muda.
Minimalisasi konflik internal ini memberikan peluang bagi alokasi energi dan
konsentrasi yang lebih besar kepada upaya meningkatkan daya tawar politik
(political bargaining) menghadapi kelompok-kelompok non muslim.
Daya tawar politik itulah yang tampaknya menjadi salah satu kondisi
yang memperkuat peluang dimunculkannya Piagam Madinah. Sebagai langkah
strategis ketiga, Piagam Madinah merupakan perjanjian yang mengatur pola
hubungan antarsuku atau klan dan khususnya antara kaum muslimin dengan non
muslim (Yahudi, Kristen dan Pagan). Menurut Suyuthi Pulungan (1996: v),
Piagam Madinah berfungsi sebagai konstitusi dalam pemerintahan Nabi, yang
mengatur kehidupan sosial politik masyarakat Madinah yang bercorak
heterogen.
Piagam yang berisi 52 pasal atau seksi ini, menurut Muhammad
Hamidullah (1968: 11-16), disusun Rasulullah dengan latarbelakang kondisi
anarkhi di Madinah yang penduduknya terdiri dari beberapa suku yang beberapa
diantaranya saling bermusuhan. Disamping itu, pada masa awal keberadaannya
di Madinah, Nabi dihadapkan pada beberapa masalah yang harus segera
dipecahkan, yaitu (1) batasan hak dan kewajiban kaum Muhajirin dan penduduk
asli Madinah, (2) pengaturan rehabilitasi kaum Muhajirin, (3) saling memahami
dengan penduduk kota non muslim, khususnya Yahudi, (4) pengaturan
kekuasaan (political organisation) dan pertahanan kota, dan (5) kompensasi

20

terhadap kerugian jiwa dan harta benda yang diderita pengungsi akibat
perlakuan suku Quraish Mekkah.
Menurut Nourouzzaman ash-Shidiqi (1996: 85-86), Piagam Madinah
berisi butir-butir yang mengandung beberapa prinsip, yakni (1) kebebasan
beragama, (2) persamaan, (3) kebersamaan, (4) keadilan, (5) perdamaian yang
berkeadilan, dan (6) musyawarah.
Piagam Madinah juga mencerminkan karakter ummat dan negara pada
masa masa awal kelahirannya. Disimpulkan Nourouzzaman (1996: 93-94)
bahwa watak masyarakat yang dibina Nabi adalah (1) masyarakat yang
berpegang pada prinsip kemerdekaan berpendapat, dan (2) menyerahkan urusan
kemasyarakatan dan rincian pelaksanaan pengaturan kehidupan masyarakat
kepada ummat, kecuali masalah ‘ubudiyah.
Sedangkan menurut Siti Maryam, dkk. (2005: 51-52), beberapa nilai
yang dicerminkan masyarakat pada waktu itu adalah al Ikha (persaudaraan), al
Musawah (persamaan), al Tasamuh (toleransi), al Tasyawur (musayawarah), al
Ta’awun (tolong menolong), dan al Adalah (keadilan).
Secara rinci, dari hasil pendekatan nilai, pendekatan sejarah Islam klasik
dan pendekatan pemikiran ulama, dapat dirumuskan etika bernegara kepala
negara, pejabat negara (birokrat) dan Warga negara sebagai berikut :

21

1. Etika Kepala Negara
Etika Politik kepala negara yang diimplementasikan Nabi saat
memimpin negara Madinah pada dasarnya berprinsip kuat pada factor
keteladanan atau uswatun hasanah. Hal ini dimungkinkan, karena kepribadian
Nabi yang agung, yang dijamin dalam al Quran, yang diantaranya berbunyi :
“dan sesungguhnya engkau Muhammad benarbenar berada dalam akhlak yang
sangat agung” (QS al Quran: 4). Sebagai waliyyul amri was syaukah (pemegang
kekuasaan politik dan agama), rasulullah sebagai seorang kepala negara
menerapkan beberapa etika, antara lain kearifan, keadilan, kebijaksanaan,
tanggung jawab, dan demokratis. Semua etika ini sangat penting dalam meraih
tujuan untuk menyejahterakan Warga negara.
Setali tiga uang dari tujuan dibentuknya negara atau pemerintahan,
kepala negara harus membuat dan merealisasikan kebijakan-kebijakan yang
berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Ini adalah kewajiban kepala negara,
sebagaimana sebuah pernyataan kaidah fiqih:
‫حةة‬
‫تححص ينرنف ا صلةحماةم ح‬
‫علحى ال يحرةعي يحةة حمن نصوطط ةبال صحمصصل ح ح‬
["Kebijakan seorang pemimpin harus berkaitan dengan kemaslahatan rakyat"].
(As-Suyuthi, tt: 113).
Seorang kepala negara juga harus memperkuat legitimasi politik,
termasuk di dalamnya politik pencitraan. Menurut Nurcholis Madjid, kepatuhan
rakyat hanya akan tercipta bila seorang pemimpin mempunyai keabsahan dan
legitimasi yang kuat, termasuk di dalamnya adalah keabsahan peraturan yang
22

dibuatnya. Hal ini karena rakyat cenderung tidak akan taat kepada pemimpin
dan peraturan yang dinilai tidak absah. (Nurcholis Madjid, 2004: 61).
Tapi harus diingat bahwa penciptaan legitimasi dan politik pencitraan
harus dilakukan secara proporsional, bukan hanya pencitraan tanpa bukti.
Legitimasi dan pencitraan ini penting agar pemerintahan dapat berjalan efektif.
Rakyat hanya akan displin dan taat pada pemerintah yang mempunyai legitimasi
kuat, diakui rakyat (absah), dan berwibawa.
Karenanya seorang pemimpin harus menjaga dan menciptakan
legitimasi kekuasaannya di mata rakyat. Secara alamiah, legitimasi dan
kewibawaan akan terbentuk bila disertai kebijakan-kebijakan yang populis
dengan disertai keteladanan dan politik pencitraan. Pendek kata, legitimasi dan
kewibawaan membutuhkan substansi kebijakan populis dengan kemasan yang
menarik dan elegan.
a. Kesadaran Sebagai khalifah Tuhan
Presiden seharusnya menyadari bahwa ia adalah wakil Allah di bumi
sehingga kekuasaan yang dipegang adalah amanah dan karunia Allah SWT
(minnah

rabbabiyah).

Konsekuensi

sebagai

khalifah

adalah

adanya

pertanggungjawaban di hadapan Allah kewajiban untuk bertindak dengan penuh
tanggung jawab merupakan titik mula moralitas sehingga membuatnya menjadi
bermoral. (Nurcholis Madjijd, 2000: 202). Kesadaran bahwa Presiden adalah
khalifah Tuhan sebenarnya telah dilakukan oleh para raja Islam Jawa. Dengan
kesadaran ini para raja Islam Jawa senantiasa berusaha melindungi rakyat dan
23

mengajaknya taat kepada Allah. Namun sayang, kesadaran ini pada konteks itu
justru mengakibatkan otorianisme yang salah satu penyebabnya adalah
pengaruh ajaran wahdatul wujud. Raja adalah wakil Tuhan yang sudah
mendapat ‘wahyu keprabon’. (Muhsin Jamil, 2004: 215).
Kesadaran tersebut akan berimplikasi pada sifat-sifat pemimpin sebagai
berikut: pertama, presiden senantiasa meniru sifat-sifat Allah, misalnya sifat
bijaksana, pemurah, penyantun, pelindung, adil, pemelihara, dan sebagainya.
Dengan meniru sifat Tuhan, Presiden benar-benar menjadi wakil-Nya dalam
lingkup daerah kekuasaannya.
Kedua, Presiden akan memerintah sesuai dengan syari’at Islam dan tidak
akan melanggarnya. Secara mendasar tujuan syari’at Islam (maqashidus
syari’ah) adalah untuk merealisir mashalih al-‘ammah (kemaslahatan umum).
(Imam as-Syatibi, tt: 6). Karenanya, presiden akan senantiasa merealisir
kemaslahatan umum di daerah kekuasaannya agar sejalan dengan maqashisus
syari’ah tersebut.
b. Menerapkan Pola hubungan amanah
Presiden yang menjadi penguasa hendaknya sadar bahwa hubungannya
dengan rakyat bukanlah antara yang menguasai dan yang dikuasai, melainkan
hubungan amanah antara yang diberi amanah (presiden) dan yang memberi
amanah (rakyat). (Ahmad Jalaludin, 2007: 223).
Dengan pola hubungan ini, maka presiden akan memerintah sesuai
dengan amanah rakyat, dalam membuat kebijakan selalu pro rakyat,
24

mengayomi, dan menjamin hak-hak rakyat. Sebaliknya pola hubungan penguasa
dan yang dikuasasi akan cenderung otoriter, sewenangwenang, dzalim, dan
kepentingan rakyat sering diabaikan. Karenanya meskipun presiden adalah
khalifah Allah, ia tidak otoriter karena memahami pola hubungan amanah ini.
c. Memilih Pembantu Yang Baik
Presiden harus memilih para pembantunya dari orang-orang yang baik
dan pilihan, baik dari segi integritas personal, akhlak, kompetensi, ketrampilan,
wawasan dan loyalitasnya. Hal ini penting karena para pembantu presiden
adalah ujung tombak dalam menerjemahkan visi dan misi, program maupun
arahannya.

2. Etika Pejabat negara
Seorang pejabat negara hendaknya bijaksana, arif, bersikap mulia, ahli
kepamongprajaan, dan cakap mengelola pemerintahan (Moh. Ardani, 1998:
239). Karenanya, ia hendaknya mengedepankan sikap profesional. Sikap
profesional ini membutuhkan kinerja positif yang cermat, hati-hati, dan tepat
guna. Rasulullah sangat menganjurkan kehati-hatian dan kecermatan dalam
melaksanakan tugas, sebagaimana sabda beliau:
‫عةمحل ا حححندآ نصم ا حصن ي نتصةقن حنه‬
‫اة يحن اللحه ي نةح ين‬
‫ب اةحذا ح‬
["Sesungguhnya Allah menyukai seorang dari kamu yang apabila melakukan
pekerjaan ia kerjakan dengan cermat"]. (HR. Imam Baihaqi).

25

Agar dapat bekerja sebaik mungkin, maka perlu sikap disiplin yang
tinggi. Pengertian disiplin adalah sikap taat dan patuh terhadap peraturan dan
tata tertib. (Moh. Ardani, 1998: 180). Kedisiplinan adalah kunci dari
keteraturan birokrasi dan profesionalisme. Kedisplinan secara normatif tersirat
dalam Firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 103 yang mengatur waktu
shalat.

(

‫صل ةة ة ة‬
َ‫ت ع ةةلى‬
‫إإ ن‬
‫كاَن ة ت‬
‫ن ال ن‬

( ‫ لن يسساء ا‬: ١٠٣

‫موُتمقوُتاَ ا‬
‫مؤ ت إ‬
‫ن ك إةتاَباَ ا ن‬
‫… ال ت م‬
‫مإنيِ ة‬
["…Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orangorang yang beriman".] (QS. AN-Nisa': 103).
Seorang pejabat negara hendaknya memperbanyak amal bakti sebagai
salah satu bentuk amal shaleh. Amal shaleh dipahami tidak hanya terbatas
pada ibadah ritual seperti shalat dan puasa, akan tetapi segenap pekerjaan
yang baik yang diridhoi Tuhan.( Moh. Ardani, 1998: 183). Oleh karena itu,
bila seorang pejabat negara bekerja secara profesional, berarti ia
memperbanyak amal shaleh sebagai bukti pengabdiannya kepada Allah swt.
Dengan amal bakti secara baik ini, maka seorang birokrat termasuk dalam

26

golongan yang beruntung dan bukannya golongan yang rugi, sebagaimana
firman Allah:

(‫صرإوا‬
‫(إ ﱠ‬٢
‫( ەەل تعة ت‬١) ‫ﻥ ﺍﻼنساﻥ لﻔﻲ ﺨسصر‬
( ‫حق ق‬
‫إباَل ت ة‬

‫ذيِ ة‬
‫وُا‬
‫حاَ إ‬
‫ممنوُا وةع ة إ‬
‫صاَل إ ة‬
‫نآ ة‬
‫وُا ة‬
‫مملوُا ال ن‬
‫ص ت‬
‫ت وةت ة ة‬
‫(إ إنل ال ن إ ة‬٣
‫وُا إباَل ن‬
‫وُا ة‬
‫ص ت‬
‫وةت ة ة‬
‫صب ترإ‬

["Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam
kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh
dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran”]. (QS. Al-Ashr: 1-3).

Seorang pejabat negara hendaknya tidak tergesa-gesa meraih pangkat.
Tidak pada tempatnya seseorang memperoleh pangkat tinggi secara mendadak
tanpa menjalani jenjang kepangkatan. Tidak boleh tergesagesa menjadi
pejabat tinggi bila tidak mempunyai prestasi yang luar biasa. Seorang birokrat
tidak layak menjadi pejabat dengan menelikung. Ia harus menjalani perjalanan
karir secara teratur. (Moh. Ardani, 1998: 185). Dengan demikian tidak ada
perilaku ABS (Asal Bapak Senang), sikut kanan sikut kiri, dan
mengedepankan performen tanpa substansi, memanipulasi kredit (kum), dan
sebagainya. Semua perbuatan ini masuk dalam kategori penipuan, baik pada
diri sendiri, atasan, lebih-lebih rakyat. Nabi dengan tegas memeringatkan
27

seorang penipu yang dinilai tidak termasuk dalam golongan umat Muhammad
yang dirahmati. Sabda Nabi saw:
‫غ يحسحنا حفل حي صحس ةم يحنا‬
‫حمصن ح‬
["Barangsiapa yang menipu bukanlah golongan kami".] (HR. Imam Tirmidzi).

Seorang pejabat negara harus trampil dan kreatif, di mana keduanya.
menjadi sarana penunjang. (Moh. Ardani, 1998: 187). Dalam konteks ini
birokrat tidak hanya terpola pada sistem dan stagnan terhadap apa yang ada
saja, tapi perlu kreatifitas. Kreatifitas ini sangat penting dan perlu diupayakan
dalam kerangka melaksanakan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada
kemaslahatan rakyat. Hanya, perlu diingat seorang birokrat hendaknya tidak
bertindak sendiri dan mengacuhkan pimpinan. Tidak koordinasi dan bersikap
'berani' buta. Kreatifitas dan keberanian harus dalam koridor aturan dan selalu
koordinasi dengan pimpinan. Di samping itu, birokrat hendaknya menjalankan
atau mengamankan kebijakan pimpinan sekaligus menjaga martabatnya.

Apabila seseorang sudah memasuki birokrasi, maka ia terikat dengan
kedinasan dan janji yang pernah diucapkan saat dilantik. Karena itu, ia
hendaknya tidak berkhianat dengan janji dan ikatan dinasnya yang dapat
menjatuhkan nama baik dirinya, bahkan sanksi pemecatan. Karenanya
seorang birokrat hendaklah melakukan tugas dengan sungguh-sungguh dan
rajin. (Moh. Ardani, 1998: 181). Implikasinya, seorang birokrat harus siap
28

memikul tangung jawab untuk melindungi rakyat kecil, menjamin keamanaan
dan ketentraman mereka, mengajak dan membimbing mereka mematuhi
peraturan demi kesejahteraan bersama,dan mengajar mereka cara-cara
mencari nafkah dan memperoleh kesejahteraan yang merupakan hak Warga
negara. (Moh. Ardani, 1998: 197). Mengenai tanggung jawab ini terdapat
landasan normatif yang sangat tegas, yakni sabda Nabi saw:
‫عصن حرةعي يحةتةه‬
‫آ نل ينك نصم حراعع حوآ ن ينل حراعع حمصسئنصوطل ح‬
["Setiap kamu adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawabannya".]
Seorang birokrat yang membimbing masyarakatnya untuk melakukan
kebaikan, maka ia akan senantiasa mendapat pahala kebaikan yang
dilaksanakan oleh rakyatnya tersebut. Hal ini sebagaimana sabda Nabi:
‫علحى حخي صعر حفل حنه ةمثصنل ا حصجةر حفاةعلةةه‬
‫حمصن حد يحل ح‬
["Barangsiapa yang menunjukkan jalan kebaikan, maka iaberpahala sama
dengan pelaku yang ia tunjuki".] (HR. Imam Muslim).

Pejabat negara hendaknya menanamkan rasa kebersamaan dan
kesetiakawanan antaranggota masyarakat demi keamanan ketertiban. Di
samping itu, juga membantu dan mendidik rakyat untuk setia kepada negara
dan meningkatkan pengetahuan tentang hukum. Pendeknya, birokrat harus
menumbuhkan
kewarganegaraan.

nasionalisme
Perlu

dan

upaya
29

melakukan

empowering

agar

pendidikan

politik

kebijakankebijakan

pemerintah dapat diketahui rakyat, serta mau melaksanakan kewajibankewajibannya sebagai Warga negara yang muaranya pada kesejahteraan
rakyat.
Seorang pejabat negara wajib memberantas setiap kejahatan dan
penyakit masyarakat, segala ancaman gangguan terhadap negara, serta rela
berkorban untuk kejayaan negara. (Moh. Ardani, 1998: 186).
Hendaknya
birokrat/pejabat.

bersyukur
Bersyukur

pada

Tuhan

mempunyai

atas

implikasi

ramatnya
transendent

menjadi
untuk

senantiasa memelihara niat awal yang mulia, yakni melindungi rakyat,
menjaga keselamatan, ketentraman, dan ketertiban. (Moh. Ardani, 1998: 197).
Birokrat hendaklah bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada orang
tua atas pangkat dan jabatan yang ia sandang. Di samping itu, seorang birokrat
harus senantiasa berdo'a kepada Allah agar selalu diberi taufik dalam
melaksanakan tugas dan diberi pertolongan untuk menghindari kejahatan
birokrasi dan perilaku negatif (korupsi, penyalahgunaan wewenang [abuse of
power], sogok [risywah], dan sebagainya). Do'a ini sangat penting mengingat
sabda Nabi:
‫عانء نم ينح ال صةعحباحدةة‬
‫حال يند ح‬
["Do'a adalah inti ibadah"’] (HR. Imam Tirmidzi).
Seorang pejabat negara harus ahli strategi sehingga dalam membuat
atau melaksanakan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat terealisir dengan
baik. Dalam konteks ini, birokrat harus melek politik dan selukbeluk di
30

dalamnya. Demi amar ma'ruf nahi munkar, seorang birokrat harus paham
situasi politik dan menggunakannya demi kemaslahatan rakyat. Bahkan dalam
situasi tertentu, birokrat diperkenankan melakukan trik atau tipu daya. Harus
diakui dalam pemerintahan (politik) tidak lepas dari trik dan tipu daya. Tanpa
mengetahui dan melakukan tipu daya, seorang birokrat akan terancam gagal
menegakkan kadilan, kebenaran dan memberantas kejahatan. 'Perang'
melawan kejahatan, penjegal kebijakan, pemerkosa hak, dan pihak-pihak yang
dzalim adalah sebuah kewajiban. Dan semua ini dalam taraf tertentu
membutuhkan trik dan tipu daya. Karenanya Nabi saw bersabda:
‫عطة‬
‫ب ةخصد ح‬
‫ا حل ص ح‬
‫حصر ن‬
["Perang itu tipu daya".] (HR. Imam Bukhari dan Muslim).

3. Etika Warga negara
Dalam negara demokrasi, terutama dalam teori trias politica Montesque,
Warga negara merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Warga Negara
menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin sesuai dengan aspirasi
dan hati nuraninya. Dengan dasar ini, maka seorang kepala negara dan aparat
birokrasi di bawahnya adalah pilihan rakyat, yang telah menerima
pendelegasian kekuasaan dari rakyat untuk mengatur dan memerintah.
Karenanya Warga negara harus mempunyai etika dalam konteks kehidupan
berbangsa dan bernegara. Beberapa etika tersebut di antaranya adalah:

31

a. Ta'at kepada kepala negara dan apparatur state di semua tingkatan Ketaatan
kepada pemimpin adalah sebuah kewajiban. Hal ini karena pemimpin adalah
pemegang kekuasaan yang diberi wewenang rakyat untuk mengurus dan
memerintah mereka. Pada pemimpin yang dipilih secara demokratis,
ketaatan masyarakat warga terhadap pemimpin adalah sebuah keniscayaan.
Dalam konteks ini, ketaatan kepada pemimpin menjadi sebuah kewajiban
keagamaan yang mempunyai posisi ketiga setelah taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. (Nurcholis Madjid, 2004: 62). Allah secara indah mewajibkan
ketaatan rakyat kepada pemimpin dengan menyandingkannya dengan
ketaatan Allah dan rasul-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat
an-Nisa' ayat 59:

(

‫ة‬
‫ممنوُا ت‬
‫ن‬
‫ ةيِاَ أيِ يةهاَ ال إ‬.…
‫نآ ة‬
‫ذيِ ة‬

( ‫ لن يسساء ا‬: ٥٩

‫أ ةطيِعوُا ت الل له وأ ة‬
‫طيِمعوُا ت‬
‫ة ة إ‬
‫إ م‬
‫م‬
‫ة‬
‫م‬
‫سوُ ة‬
‫م‬
‫مر إ إ‬
‫النر م‬
‫منك ت‬
‫ل وةأوتإليِ ال ت‬
32

["Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul ,
dan ulil amri di antara kamu,…".] (Qs. An-Nisa': 59).
Namun demikian, ketaatan ini harus dalam hal-hal yang tidak melanggar
aturan-aturan Allah dan Rasul-Nya. Ketika seorang pemimpin sudah
menyimpang dari ketentuan Allah dan RasulNya (maksiat), maka tidak ada
keharusan rakyat untuk taat kepada pemimpin. Hal ini sebagaimana sabda Nabi:

‫حطاحعحة لةل صحمصﺨل نصوةق ةفى حمصعةصيحةة ال صحﺨالةةق ل‬
["Tidak ada ketaatan kepada (sesama) makhluk dalam bermaksiat
kepada Khaliq (Allah)".]

b. Mencintai Negara dan Kepala Negara.
Masyarakat harus mempunyai rasa cinta terhadap negara (nasionalisme)
dan juga pemerintahannya. Ketika proses demokrasi sudah berjalan, masyarakat
harus mengakui kepemimpinan seorang kepala Negara sebagai simbol negara
dan pemimpin pemeritahan. Harus ada sense of belongingness terhadap negara
dan kepala negara sebagai konsekuensi dari konsep demokrasi. Implikasinya
adalah, setiap Warga negara harus menjaga martabat negara dan kepala negara
serta menerima programprogam pemerintah dengan tulus, selama kebijakan
tersebut membawa kemaslahatan dan tidak melanggar agama. Kebijakan kepala
negara dan aparat di bawahnya adalah bagian dari upaya membangun negara

33

yang berkeadaban dan sejahtera. Karena itu, setiap Warga negara harus
mempunyai sikap khusnudzdzan kepada pemerintah.

c. Berani mengkritik Pemerintah
Sebagai konsekuensi negara demokrasi, dalam rangka kecintaan kepada
negara dan kepala negara, masyarakat harus berani mengkritik dan memberikan
saran kepada pemerintah. Dalam konteks ini para ulama, cendekiawan,
akademisi, praktisi, dan bahkan rakyat biasa harus mampu dan berani
menyuarakan kebenaran. Mereka harus berani memberikan peringatan bila
kepala negara dan aparat birokrasi melanggar rambu-rambu dan aturan agama.
Pembiaran terhadap kedzaliman dan pelanggaran adalah tindakan

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

HUBUNGAN IMPLEMENTASI PERAWAT TENTANG PATIENT SAFETY DENGAN RESIKO CEDERA PADA INFANT DAN TODDLER

38 264 22

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

PENGARUH BIG FIVE PERSONALITY TERHADAP SIKAP TENTANG KORUPSI PADA MAHASISWA

11 131 124

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TENTANG DESAIN KEMASAN PRODUK DENGAN INTENSI MEMBELI

9 123 22

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91