A. Proses Adaptasi Psikologis pada Wanit
A. Proses Adaptasi Psikologis pada Wanita Dewasa
1. Adolensensi (± 17-19/21 tahun)
Pada masa adolensi remaja mulai menenemukan nilai-nilai hidup
baru, sehingga semakin jelaslah pemahaman tentan keadaan diri sendiri.
Ia mulai bersikap kritis terhadap kritis terhadap obyek-obyek di luar
dirinya; dan ia mampu mengambil sintese antara dunia luar dan dunia
internal. Secara obyektif dan aktif ia melibatkan diri dengan kegiatan dunia
luar, sambil mencoba “mendidik” dirinya sendiri. Pada fase perkembangan
ini dibangun dasar-dasar yang definitif (esensial, menentukan) bagi
pembentukan kepribadiannya.
Pada usia ini yang sangat dibutuhkan oleh remaja ialah: adanya
pendidikan dari orang tua yang berkepribadian sederhana serta jujur, yang
tidak
terlampau
membiarkannya
banyak
tumbuh
menuntut
serta
kepada
berkembang
anak
sesuai
didiknya;
dengan
dan
irama
perkembangan dan kodratnya sendiri. Yang penting saat ini ialah:
membiarkan remaja (anak gadis):
a. Menghayati pengalaman-pengalaman itu sendiri
b. Remaja mampu menemukan arti dan nilai-nilai tertentu untuk
menetapkan sikap dan tujuan hidup sendiri.
Narsistik pada adolensensi sifatnya seringkali “banyak menuntut”.
Narsistik juga anak gadis sangat sensitif terhadap kekecewaankekecewaan, dan mudah menggugah harga diri berlebihan yang pada
umumnya kurang/tidak tahan terhadap kritik-kritik betapapun kecilnya,
khususnya kritik yang dilancarkan oleh orang tua dan saudarasaudaranya.
Disamping itu karena kurang pengalaman, dan remaja terlampau
besar
menilai
penghayatan-penghayatan
~1~
emosional,
maka
mudah
mengorbankan segala sesautunya untukorang yang dicintai. Sedang pada
kenyataannya obyek cinta tersebut tidak amat stabil, dan sangat mudah
berganti-ganti. Makas isfat “mudah jatuh cinta” dan “mudah berganti
pacar” lebih sering terjadi pada anak gadis dari pada laki-laki. Sehingga
keinginan untuk dicintai oleh banyak pemuda dan kecenderungan untuk
mematahkan hati banyak laki-laki merupakan ciri karakteristik gadis
adolensensi.
Observasi Intensif ke dalam diri sendiri, yang juga menjadi ciri khas
pada masa adolensensi pada umumnya lebih kuat dan lebih lama
berlangsung pada anak gadis dari pada anak laki-laki. Oleh karena itu
kegiatan untuk selalu sibuk dengan diri sendiri secara intensif itu akan
berlangsung terus menerus sepanjang kehidupan wanita. Faktor ini
pulalah yang menjadi sebab dan timbulnya dua ciri khas wanita yaitu:
a. Intuisi yang halus dan tajam
b. Subjektifitas yang lebih besar dalam memasak dan menilai semua
proses hidup.( Mapiare,1984)
B. Dewasa Awal
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja
yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal,
identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur
kronologis dan mental age-nya, Berbagai masalah juga muncul dengan
bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa
peralihan dari ketergantungan ke masa mandiri, baik dari segi ekonomi,
kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan
sudah lebih realistis.
Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa dari puncak
perkembangan fisik. Perkembangan fisik sesudah masa ini akan
mengalami degradasi sedikit-demi sedikit, mengikuti umur seseorang
menjadi lebih tua. Segi emosional, pada masa dewasa awal adalah masa
dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung oleh
kekuatan fisik yang prima. Sehingga, ada steriotipe yang mengatakan
2
bahwa masa remaja dan masa dewasa awal adalah masa dimana lebih
mengutamakan
kekuatan
fisik
daripada
kekuatan
rasio
dalam
menyelesaikan suatu masalah. Perkembangan sosial masa dewasa awal
adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa
awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang
empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan
penting.
Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas
perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu
keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak,
memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan
dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.
Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai
menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya.
Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan beberapa
karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa
dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup
baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.
1. Hasil Penelitian Psikologi Dewasa Awal
Hasil penelitian dewasa awal lebih banyak mengarah pada
hubungan
sosial,
dan
perkembangan
intelektual,
pekerjaan
dan
perkawinan di usia dewasa awal, dan pengoptimalan perkembangan
dewasa awal serta perilaku penghayatan keagamaan. Beberapa hasil
penelitian, diantaranya:
2. Persepsi seks maya pada dewasa awal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita
memiliki sikap yang negatif terhadap seks maya. Hal tersebut dipengaruhi
oleh faktor kebudayaan Indonesia yang masih memegang teguh adat dan
istiadat budaya timur, dimana manusia harus memperhatikan aturan dan
nilai budaya di dalam bersikap dan berperilaku. Menurut Ida Ayu dari
Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma) pada jurnal
3
“Perbedaan
Sikap Terhadap Perilaku Seks Maya Berdasarkan Jenis Kelamin pada
Dewasa Awal” Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma) kebudayaan
yang berkembang dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap, tanpa disadari kebudayaan
telah menanamkan pengaruh yang kuat dalam sikap seseorang terhadap
berbagai macam hal.
3. Penundaan usia perkawinan dengan Intensi Penundaan Usia
Perkwaninan
Dari jurnal “Hubungan Sikap Terhadap Penundaan Perkawinan
Dengan Intensi Penundaan Usia Perkawinan” oleh
Elok Halimatus
Sa`diyah, dosen Fakultas Psikologi UIN Malang didapatkan hubungan
yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia
perkawinan dengan intensi penundaan usia. Hal ini berarti mereka
memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan
memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari segi biologis,
psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberikan
waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi
sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan
ekonomi.
4. Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja
Dalam jurnal ”Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Awal yang
Bekerja”oleh Ika Sari Dewi pada tahun 2006, adanya ketakutan
menghadapi krisis pernikahan dan berujung perceraian merupakan hal
atau kondisi yang membuat wanita bekerja ragu tentang kesiapan
menikah mereka. Ditambah lagi maraknya perceraian yang dipublikasikan
di media massa saat ini sehingga dianggap menjadi menjadi fenomena
biasa. Salah satu penyebab wanita yang bekerja memutuskan untuk
menunda pernikahan adalah keraguan dapat berbagi secara mental dan
emosional dengan pasangannya. Ketidaksiapan menikah yang dimiliki
wanita
bekerja
termanifestasi
dengan
adanya
ketakutan
menghadapi krisis perkawinan serta ragu tentang kemampuan mereka
4
berbagi secar mosional dengan pasangannya kelak. Selain kesiapan
psikis juga ketidak siapan fisik. Individu yang merasa memiliki kondisi
kesehatan yang tidak prima (sakit, misal Diabetes Militus) cenderung ragu
melangkah menuju jenjang pernikahan.
Untuk mengetahui apakah seseorang siap menikah atau tidak, ada
beberapa kriteria yang perlu diperhatikan:
1) Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
2) Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang
banyak.
3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan menjadi pasangan dalam
hubungan seksual.
4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
5) Memiliki kelembutan dan kasih saying kepada orang lain.
6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan
dan harapan.
8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.
9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
10) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah
yang berhubungan dengan ekonomi.
11) Bersedia menjadi suami isteri yang bertanggung jawab.
Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki kesiapan
menikah yang lebih baik, artinya mereka mampu mengatasi perubahanperubahan dan beradaptasi setelah memasuki pernikahan.
5. Kemandirian Dewasa Awal
Adapun dalam jurnal yang berjudul “Kemandirian Mahasiswi UIN
Suska Ditinjau dari Kesadaran Gender” Oleh Hirmaningsih, S.Psi. ini,
membuktikan bahwa bahwa perbedaan perlakuan yang diterima anak lakilaki dan perempuan sejak lahir akan mempengaruhi tingkat kemandirian.
Semakin tinggi kesadaran gender maka semakin tinggi kemandirian
manusia tersebut. Dengan makin tingginya kesadaran gender yang dimiliki
5
seorang pria tentang konsep mandiri dibandingkan dengan wanita yang
tidak memiliki kesadaran gender atau memiliki kesadaran gender yang
rendah. Wanita yang memiliki kemandirian tinggi akan lebih mudah
menghadapi kehidupan, tantangan yang dihadapinya, serta menjalin
hubungan yang mantap dalam kehidupan sosialnya.
C. Gangguan Psikologis
1. Gangguan Psikologis pada Masa Reproduksi (Menstruasi)
Menurut Kartini (1995), peristiwa paling penting pada masa pubertas
anak gadis adalah gejala menstruasi atau haid, yang menjadi pertanda
biologis dari kematangan seksual. Timbullah kini bermacam-macam
peristiwa, yaitu: reaksi hormonal, reaksi biologis dan reaksi psikis; prosesproses somatis (jasmaniah lawan rokhaniah) atau psikis yang berlangsung
secara siklis,
dan
terjadi pengulangan secara periodik peristiwa
menstruasi. Semua ini bisa berproses dalam suasana hati yang normal
pada anak gadis. Tetapi kadang kala juga bisa berjalan tidak lancar atau
tidak normal (oleh banyak hambatan), dan bisa menimbulkan macammacam masalh psikosomatis (penyimpangan-penyimangan dan gangguan
psikis yang menimbulkan gangguan pada kesehatan jasmaniah).
Fase tibanya haid ini merupakan satu periode dimana benar-benar
telah siap secara biologis menjalani fungsi kewanitaan. Maka pada saat
adolensensi, peristiwa haid menduduki satu eksistensi psikologis yang
unik yang bisa mempengaruhi sekali cara mereaksinya anak gadis
6
terhadap realitas hidup, baik pada masa adolensensi maupun saat ia
menjadi dewasa. Semua rahasia yang menyelubungi ibunya dan
bersangkutan dengan masalah haid dimasa masa lalu, kini benar-benar
menjadi satu realitas bagi dirinya sendiri. Dan diterimanya masa
kematangan seksual dini dengan rasa senang dan bangga, sebab dia
sudah “dewasa” secara biologis.
Namun semakin muda usia si gadis, dan semakin ia belum siap
menerima peristiwa haid, akan semakin terasa: “kejam mengancam”
pengalaman menstruasi tersebut. Yaitu terasa pahit menyebalkan sebagai
gangguan, atau sebagai reaksi kejutan (shock reaction) dalam anggapan
dan fantasi anak gadis.
Dari perasaan negatif tersebut, mungkin akan timbul pula perasaan
sangat lemah karena merasa kehilangan banyak darah, atau merasa
sakit-sakitan, sehingga tidak berani keluar dari rumah. Semua ini mulamula produk dari gambaran khayal, yang kemudian dikembangkan
menjadi satu mekanisme otosugestif. Untuk selanjutnya, saat-saat
menstruasi
tersebut
senantiasa
dipakai
sebagai
alasan
agar
ia
dibebaskan dari tugas-tugas tertentu, atau dipakai untuk menhindari
kewajiban-kewajiban tertentu.
D. Gangguan Psikologis pada Masa Perkawinan
1. Pola baru dalam tingkah laku seksual antara lain:
a. Term marriage
Term
marriage atau
perkawinan
periodik
yaitu
dengan
merencanakan suatu tahap kontrak pertama selama 3-5 tahun sedang
tahap kedua ditempuh dalam jangka 10 tahun. Perpanjangan kontrak bisa
dilakukan untuk mencapai tahap ketiga yang memberikan hak kepada
kedua partner untuk saling memiliki secara permanen.
b. Trial marriage
Trial marriage atau kawin percobaan dengan ide melandaskan
argumentasinya pada pertimbangan sebagai berikut: jangan hendaknya
dua orang saling melibatkan diri dalam satu relasi sangat intim dan
7
kompleks dalam bentuk ikatan perkawinan itu tidak mencobanya terlebih
dahulu, selama satu periode tertentu umpamanya saja selama beberapa
bulan atau beberapa tahun. Jika dalam periode yang ditentukan kedua
belah pihak saling bersesuaian, barulah dilaksanakan ikatan perkawinan
yang permanen.
c. Companionate marriage
Companionate
marriage,
pola
perkawinan
ini
menganjurkan
dilaksanakan perkawinan tanpa anak, dengan melegalisasi keluarga
berencana atau pengendalian kelahiran juga melegalisasi perceraian atas
dasar persetujuan bersama. (Hirmaningsih. 2010)
2. Kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian perkawinan
a. Persiapan yang terbatas untuk perkawinan
Walaupun dalam kenyataan sekarang, penyesuaian seksual lebih
mudah ketimbang pada masa lalu, karena banyak informasi tentang seks
yang tersedia baik di rumah, di sekolah, di universitas, serta tempattempat yang lain. Kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima
sedikit persiapan dibidang ketrampilan domestik, mengasuk anak, dan
manajemen umum.
b. Peran dalam perkawinan
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi
pria dan wanita, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut
kelas sosial dan sekelompok religius yang berbeda membuat penyesuaian
dalam perkawinan semakin sulit sekarang daripada dimasa lalu ketika
peran masih begitu ketat dianut.
c. Kawin muda
Perkawinan dan kedudukan sebagai orang muda menyelesaikan
pendidikan mereka dan secara ekonomis independent membuat mereka
tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang
dipunyai oleh teman-teman yang tidak kawin atau orang-orang yang telah
mandiri sebelum kawin. Hal ini mengakibatkan sikap iri ahti dan menjadi
halangan penyesuaian perkawinan.
8
d. Konsep yang tidak realistis dalam perkawinan
Orang dewasa ang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi, dengan
sedikit / tanpa pengalaman kerja, cenderung mempunyai konsep yang
tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan,
deprivasi, pembelanjaan uang atau perubahan dalam pola hidup.
Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke arah kesulitan penyesuaian
yang serius yang sering diakhiri dengan perceraian.
e. Perkawinan campur
Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan
para saudara dari pihak istri dab sebaliknya jauh lebih sulit dalam
perkawinan antar agama dari pada bila keduanya berasala dari latar
belakang budaya yang sama.
f. Pacaran yang dipersingkat
Periode atau masa pacaran lebih singkat sekarang ketimbang masa
dulu, dan karena itu pasangan hanya punya sedikit waktu untuk
memecahkan banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka
melangsungkan perkawinan.
g. Konsep perkawinan yang romantis
Banyak orang dewasa yang mempunyai konsep perkawinan yang
romantis yang berkembang pada masa remaja. Harapan yang berlebihan
tentang tujuan dan hasil perkawinan sering membawa kekecewaan yang
menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab
perkawinan.
h. Kurangnya identitas
Apabila seseorang merasa bahwa keluarga, teman dan rekannya
memperlakukannya sebagai “suami Jane” atau apabila wanita merasa
bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah
tangga”, walaupun ia seorang wanita karir yang berhasil, ia bisa saja
kehilangan identitas diri sebagai individu yang sangat dijunjung dan dinilai
tinggi sebelum perkawinan.
9
3. Gangguan Psikologi pada Masa Reproduksi (Kehamilan)
a. Hamil yang tidak dikehendaki/diharapkan
1) Kalangan remaja
Kehamilan yang tidak direncanakan sebelumnya bisa merampas
“kenikmatan” masa remaja yang seharusnya dinikmati oleh setiap remaja
lelaki maupun perempuan. Walaupun kehamilan itu sendiri dirasakan
langsung oleh perempuan, tetapi remaja pria juga akan merasakan
dampaknya karena harus bertanggung jawab. Ada dua hal yang bisa
dilakukan remaja jika mengalami KTD:
2) Mempertahankan Kehamilan
Bila kehamilan dipertahankan resiko psikis yang timbul yaitu ada
kemungkinan pihak perempuan menjadi ibu tunggal karena pasangan
tidak mau menikahinya atau tidak mau bertanggung jawab. Kalau mereka
menikah,hal ini juga bisa mengakibatkan perkawinan bermasalah yang
penuh konflik karena sama-sama belum dewasa dan siap memikul
tanggung jawab sebagai orang tua.
3) Mengakhiri kehamilan (aborsi)
Bila kehamilan diakhiri dengan (aborsi) bisa mengakibatkan dampak
negatif. Secara psikis pelaku aborsi seringkali mengalami perasaanperasaan takut, panik, tertekan atau stress, terutama mengingat proses
aborsi dan kesakitan, kecemasan karena rasa bersalah atau dosa akibat
aborsi.
4) Wanita dewasa/ Ibu yang sudah menikah
Seorang ibu yang tidak menghendaki kehadiran anak disebabkan
karena mereka merasa akan mengganggu karirnya, karena membuatnya
terikat atau karena ia sudah terlampau sibuk merawat anak-anak yang
lain. Selain itu mereka merasa tak dapat membagi waktu antara kesibukan
pekerjaan dengan merawat anak. Penyebab terjadinya KDT pada wanita /
ibu yang telah menikah antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi
yang dipakai.
b. Hamil dengan janin mati
10
Ibu dari bayi yang meninggal pada periode perinatal mengalami
penderitaan. Selama kehamilan mereka telah memulai untuk mengenali
dan merasa dekat dengan janinnya. Ibu yang mengalami proses
kehilangan/kematian janin dalam kandungan akan merasa kehilangan.
Pada proses berduka ibu memperlihatkan perilaku yang khas dan
merasakan emosional tertentu. Hal ini dikelompokan ke dalam berbagai
tahapan, meliputi:
1) Syok dan menyangkal
2) Marah dan bargaining
3) Disorientasi dan depresi
4) Reorganisasi dan penerimaan
c. Hamil dengan ketergantungan obat
Pemakaian obat-obatan oleh wanita hamil dapat menyebabkan
masalah baik pada ibu maupun janinnya. Janin akan mengalami cacat
fisik, dan emosional. Wanita hamil dengan ketergantungan obat umumnya
takut melahirkan bayi cacat dan mencoba sebisa mungkin untuk
menghindari
zat-zat
berbahaya
yang
mungkin
membahayakan
perkembangan bayinya. Banyak kebingungan dan kegelisahan tentang
apa yang menyebabkan bayi cacat karena pengaruh obat-obatan. Kalau
terjadi keguguran dan ketidaknormalan pada bayi ibu merasa takut
berlebihan, panik, gelisah dan sebagainya.
d. Kemandulan
Pengalaman membuktikan bahwa ketakutan serta kecemasan yang
berkaitan dengan fungsi reproduksi akan menimbulkan dampak yang
merintangi tercapainya orgasme pada coitus. Pendapat yang keliru
tentang reproduksi akan diinternalisasikan (dicernakan dalam pribadinya)
oleh wanita yang bersangkutan dan lambat laun akan menjadi pengaruh
psikis. Pengaruh psikisnya adalah:
1) Ketakutan-ketakutan yang tidak disadari (dibawah alam sadar)
2) Ketakutan yang bersifat inflantile (kekanak-kanakan)
11
f. Hamil diluar nikah
Kehamilan diluar nikah biasanya diakibatkan oleh pergaulan bebas
yang diakibatkan oleh didikan keluarga berupa:
1) Kurangnya kasih sayang yang diberikan oleh keluarga terhadap
anak perempuannya akibat orang tua sibuk kerja, perceraian dan
broken home.
2) Keluarga
yang
terlalu
disiplin
sehingga
anak
tersebut
memberontak untuk menunjukan kedewasaannya.
Reaksi wanita yang hamil diluar nikah dapat terjadi:
1) Melarikan dari tanggung jawab, melakukan abortus, membuang
anaknya, menitipkan ke orang lain atau panti asuhan.
2) Berusaha melakukan aborsi dan bunuh duri.
3) Melakukan pekerjaan menjadi seorang ibu walau dengan
keterpaksaan atau sukarela dan akhirnya dapat menerima
anaknya.
g. Pseudosiesis
Pseudosiesis adalah kehamilan imaginer atau palsu. Gejala
kehamilan palsu ini secara psikis lebih berat gangguannya daripada
peristiwa abortus.Pada kehamilan Pseudosiesis secara psikologis ada
sikap yang ambivalen terhadap kehamilannya yaitu ingin sekali menjadi
hamil, sekaligus dibarengi ketakutan untuk mereakisir keinginan punya
anak, sehingga terjadi proses inhibisi.
12
h. Keguguran
Reaksi wanita terhadap keguguran kandungannya itu sangat
tergantung pada konstitusi psikisnya sendiri. Maka tak bisa dipungkiri,
bahwa janin atau bayi yang dikandungnya itu dirasakan sebagai bagian
dari jasmani dan rohaninya sendiri. Dan berkepentingan terhadap ego
wanita yang mengandung embrio tersebut.
1)
Faktor penyebab terletak pada psikis dan jiwa
2)
Wanita hamil yang bersangkutan, mencari bantuan pada faktor
tersebut, melakukan abortus secara tidak sadar. Semua peristiwa
berlangsung di luar kemauan sendiri, didorong oleh harapan yang
tidak disadari.( Kusmiran,2011)
4. Gangguan Psikologi pada Persalinan
Pada saat menjelang proses persalinan seorang wanita akan
mengalami perasaan yang bercampur baur. Perasaan bahagia penuh
harapan diselingi gelisah, takut dan ngeri pada proses persalinan. Ada
perasaan kuat dan berani mengambil resiko tapi disisi lain juga merasa
lemah dan pasrah. Ada keyakinan kuat akan melampaui semuanya
dengan baik tetapi juga ada keraguan. Semua itu akan semakin dirasakan
mendekati kelahiran bayinya. Hal-hal yang menyebabkan seorang wanita
gelisah dan takut menghadapi proses persalinan diantaranya:
a. Trauma
b. Ada perasaan takut mati
c. Rasa bersalah
d. Takut bayi mendapat kelainan misal cacat bawaan
13
e. Takut kehilangan bayi yang sudah ada di kandungannya berbulanbulan.
Untuk mengurangi kegelisahan dan ketakutan diperlukan dukungan
mental dari lingkungan baik dari tenaga kesehatan atau dari keluarga dan
suami.oleh sebab itu banyak wanita merasa lebih trengang ketika ada
keluarga yang mendampingi terutama suami atau ibunya (nenek si bayi).
Peran pendamping akan sangat penting bagi kondisi psikis wanita.
Pendamping persalinan akan sangat mendukung mental ibu sehingga
dapat membantu tenaga kesehatan saat bp;roses persalinan. Tugas
tenaga kesehatan dalam hal dukungan psikis dapat digantikan oleh suami
atau keluarga lain sehingga tenaga kesehatan tinggal mengarahkan saja
apa yang harus dilakukan.
5. Gangguan Psikologis Masa Nifas
Gangguan yang sering terjadi pada masa nifas dapat berupa
gangguan psikologis seperti post partum blues, post partum syndrome
(PPS), depresi post partum dan post partum psikosis.
a. Baby Blue (Post Partum Blues)
Merupakan
kesedihan
atau
kemurungan
setelah
melahirkan.
Biasanya hanya muncul sementara waktu yakni sekitar dua hari hingga
dua minggu sejak kelahiran bayi yang ditandai dengan gejala-gejala
sebagai berikut:
1) Cemas tanpa sebab
2) Menangis tanpa sebab
3) Tidak sabar
4) Tidak percaya diri
5) Sensitif
6) Mudah tersinggung
7) Merasa kurang menyayangi bayinya
14
Daftar pustaka
Hirmaningsih. (2005). Kemandirian Mahasiswa UIN Suska Ditinjau Dari
Kesetaraan Gender. Jurnal. UIN Suska Riau.
Ika sari dewi. 2006. kesiapana menikah pada wanita dewasa awal yang
bekerja :usu reposotory
Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan).
Bandung: Mandar Maju.
Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi remaja dan Wanita.
Bandung : Salemba Medika
Mapiare. 1984. Psikologi Masa Remaja. Surabaya : Usaha Nasional
Muchlis, Hirmaningsih. 2010. Teori-Teori psikologi Perkembangan.
Pekanbaru: Psikologi Press.
15
1. Adolensensi (± 17-19/21 tahun)
Pada masa adolensi remaja mulai menenemukan nilai-nilai hidup
baru, sehingga semakin jelaslah pemahaman tentan keadaan diri sendiri.
Ia mulai bersikap kritis terhadap kritis terhadap obyek-obyek di luar
dirinya; dan ia mampu mengambil sintese antara dunia luar dan dunia
internal. Secara obyektif dan aktif ia melibatkan diri dengan kegiatan dunia
luar, sambil mencoba “mendidik” dirinya sendiri. Pada fase perkembangan
ini dibangun dasar-dasar yang definitif (esensial, menentukan) bagi
pembentukan kepribadiannya.
Pada usia ini yang sangat dibutuhkan oleh remaja ialah: adanya
pendidikan dari orang tua yang berkepribadian sederhana serta jujur, yang
tidak
terlampau
membiarkannya
banyak
tumbuh
menuntut
serta
kepada
berkembang
anak
sesuai
didiknya;
dengan
dan
irama
perkembangan dan kodratnya sendiri. Yang penting saat ini ialah:
membiarkan remaja (anak gadis):
a. Menghayati pengalaman-pengalaman itu sendiri
b. Remaja mampu menemukan arti dan nilai-nilai tertentu untuk
menetapkan sikap dan tujuan hidup sendiri.
Narsistik pada adolensensi sifatnya seringkali “banyak menuntut”.
Narsistik juga anak gadis sangat sensitif terhadap kekecewaankekecewaan, dan mudah menggugah harga diri berlebihan yang pada
umumnya kurang/tidak tahan terhadap kritik-kritik betapapun kecilnya,
khususnya kritik yang dilancarkan oleh orang tua dan saudarasaudaranya.
Disamping itu karena kurang pengalaman, dan remaja terlampau
besar
menilai
penghayatan-penghayatan
~1~
emosional,
maka
mudah
mengorbankan segala sesautunya untukorang yang dicintai. Sedang pada
kenyataannya obyek cinta tersebut tidak amat stabil, dan sangat mudah
berganti-ganti. Makas isfat “mudah jatuh cinta” dan “mudah berganti
pacar” lebih sering terjadi pada anak gadis dari pada laki-laki. Sehingga
keinginan untuk dicintai oleh banyak pemuda dan kecenderungan untuk
mematahkan hati banyak laki-laki merupakan ciri karakteristik gadis
adolensensi.
Observasi Intensif ke dalam diri sendiri, yang juga menjadi ciri khas
pada masa adolensensi pada umumnya lebih kuat dan lebih lama
berlangsung pada anak gadis dari pada anak laki-laki. Oleh karena itu
kegiatan untuk selalu sibuk dengan diri sendiri secara intensif itu akan
berlangsung terus menerus sepanjang kehidupan wanita. Faktor ini
pulalah yang menjadi sebab dan timbulnya dua ciri khas wanita yaitu:
a. Intuisi yang halus dan tajam
b. Subjektifitas yang lebih besar dalam memasak dan menilai semua
proses hidup.( Mapiare,1984)
B. Dewasa Awal
Dewasa awal adalah masa peralihan dari masa remaja. Masa remaja
yang ditandai dengan pencarian identitas diri, pada masa dewasa awal,
identitas diri ini didapat sedikit-demi sedikit sesuai dengan umur
kronologis dan mental age-nya, Berbagai masalah juga muncul dengan
bertambahnya umur pada masa dewasa awal. Dewasa awal adalah masa
peralihan dari ketergantungan ke masa mandiri, baik dari segi ekonomi,
kebebasan menentukan diri sendiri, dan pandangan tentang masa depan
sudah lebih realistis.
Dari segi fisik, masa dewasa awal adalah masa dari puncak
perkembangan fisik. Perkembangan fisik sesudah masa ini akan
mengalami degradasi sedikit-demi sedikit, mengikuti umur seseorang
menjadi lebih tua. Segi emosional, pada masa dewasa awal adalah masa
dimana motivasi untuk meraih sesuatu sangat besar yang didukung oleh
kekuatan fisik yang prima. Sehingga, ada steriotipe yang mengatakan
2
bahwa masa remaja dan masa dewasa awal adalah masa dimana lebih
mengutamakan
kekuatan
fisik
daripada
kekuatan
rasio
dalam
menyelesaikan suatu masalah. Perkembangan sosial masa dewasa awal
adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa
awal adalah masa beralihnya padangan egosentris menjadi sikap yang
empati. Pada masa ini, penentuan relasi sangat memegang peranan
penting.
Menurut Havighurst (dalam Monks, Knoers & Haditono, 2001) tugas
perkembangan dewasa awal adalah menikah atau membangun suatu
keluarga, mengelola rumah tangga, mendidik atau mengasuh anak,
memikul tangung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan
dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.
Dewasa awal merupakan masa permulaan dimana seseorang mulai
menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya.
Hurlock (1993) dalam hal ini telah mengemukakan beberapa
karakteristik dewasa awal dan pada salah satu intinya dikatakan bahwa
dewasa awal merupakan suatu masa penyesuaian diri dengan cara hidup
baru dan memanfaatkan kebebasan yang diperolehnya.
1. Hasil Penelitian Psikologi Dewasa Awal
Hasil penelitian dewasa awal lebih banyak mengarah pada
hubungan
sosial,
dan
perkembangan
intelektual,
pekerjaan
dan
perkawinan di usia dewasa awal, dan pengoptimalan perkembangan
dewasa awal serta perilaku penghayatan keagamaan. Beberapa hasil
penelitian, diantaranya:
2. Persepsi seks maya pada dewasa awal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa baik pria maupun wanita
memiliki sikap yang negatif terhadap seks maya. Hal tersebut dipengaruhi
oleh faktor kebudayaan Indonesia yang masih memegang teguh adat dan
istiadat budaya timur, dimana manusia harus memperhatikan aturan dan
nilai budaya di dalam bersikap dan berperilaku. Menurut Ida Ayu dari
Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma) pada jurnal
3
“Perbedaan
Sikap Terhadap Perilaku Seks Maya Berdasarkan Jenis Kelamin pada
Dewasa Awal” Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma) kebudayaan
yang berkembang dimana seseorang hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap, tanpa disadari kebudayaan
telah menanamkan pengaruh yang kuat dalam sikap seseorang terhadap
berbagai macam hal.
3. Penundaan usia perkawinan dengan Intensi Penundaan Usia
Perkwaninan
Dari jurnal “Hubungan Sikap Terhadap Penundaan Perkawinan
Dengan Intensi Penundaan Usia Perkawinan” oleh
Elok Halimatus
Sa`diyah, dosen Fakultas Psikologi UIN Malang didapatkan hubungan
yang positif dan sangat signifikan antara sikap terhadap penundaan usia
perkawinan dengan intensi penundaan usia. Hal ini berarti mereka
memiliki keyakinan yang tinggi bahwa penundaan usia perkawinan akan
memberikan keuntungan bagi mereka, baik keuntungan dari segi biologis,
psikologis, sosial dan ekonomi. Penundaan perkawinan akan memberikan
waktu lebih banyak bagi mereka untuk membentuk identitas pribadi
sebagai individu yang matang secara biologis, psikologis, sosial dan
ekonomi.
4. Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Awal yang Bekerja
Dalam jurnal ”Kesiapan Menikah pada Wanita Dewasa Awal yang
Bekerja”oleh Ika Sari Dewi pada tahun 2006, adanya ketakutan
menghadapi krisis pernikahan dan berujung perceraian merupakan hal
atau kondisi yang membuat wanita bekerja ragu tentang kesiapan
menikah mereka. Ditambah lagi maraknya perceraian yang dipublikasikan
di media massa saat ini sehingga dianggap menjadi menjadi fenomena
biasa. Salah satu penyebab wanita yang bekerja memutuskan untuk
menunda pernikahan adalah keraguan dapat berbagi secara mental dan
emosional dengan pasangannya. Ketidaksiapan menikah yang dimiliki
wanita
bekerja
termanifestasi
dengan
adanya
ketakutan
menghadapi krisis perkawinan serta ragu tentang kemampuan mereka
4
berbagi secar mosional dengan pasangannya kelak. Selain kesiapan
psikis juga ketidak siapan fisik. Individu yang merasa memiliki kondisi
kesehatan yang tidak prima (sakit, misal Diabetes Militus) cenderung ragu
melangkah menuju jenjang pernikahan.
Untuk mengetahui apakah seseorang siap menikah atau tidak, ada
beberapa kriteria yang perlu diperhatikan:
1) Memiliki kemampuan mengendalikan perasaan diri sendiri.
2) Memiliki kemampuan untuk berhubungan baik dengan orang
banyak.
3) Bersedia dan mampu menjadi pasangan menjadi pasangan dalam
hubungan seksual.
4) Bersedia untuk membina hubungan seksual yang intim.
5) Memiliki kelembutan dan kasih saying kepada orang lain.
6) Sensitif terhadap kebutuhan dan perkembangan orang lain.
7) Dapat berkomunikasi secara bebas mengenai pemikiran, perasaan
dan harapan.
8) Bersedia berbagi rencana dengan orang lain.
9) Bersedia menerima keterbatasan orang lain.
10) Memiliki kapasitas yang baik dalam menghadapi masalah-masalah
yang berhubungan dengan ekonomi.
11) Bersedia menjadi suami isteri yang bertanggung jawab.
Individu yang memiliki kematangan emosi akan memiliki kesiapan
menikah yang lebih baik, artinya mereka mampu mengatasi perubahanperubahan dan beradaptasi setelah memasuki pernikahan.
5. Kemandirian Dewasa Awal
Adapun dalam jurnal yang berjudul “Kemandirian Mahasiswi UIN
Suska Ditinjau dari Kesadaran Gender” Oleh Hirmaningsih, S.Psi. ini,
membuktikan bahwa bahwa perbedaan perlakuan yang diterima anak lakilaki dan perempuan sejak lahir akan mempengaruhi tingkat kemandirian.
Semakin tinggi kesadaran gender maka semakin tinggi kemandirian
manusia tersebut. Dengan makin tingginya kesadaran gender yang dimiliki
5
seorang pria tentang konsep mandiri dibandingkan dengan wanita yang
tidak memiliki kesadaran gender atau memiliki kesadaran gender yang
rendah. Wanita yang memiliki kemandirian tinggi akan lebih mudah
menghadapi kehidupan, tantangan yang dihadapinya, serta menjalin
hubungan yang mantap dalam kehidupan sosialnya.
C. Gangguan Psikologis
1. Gangguan Psikologis pada Masa Reproduksi (Menstruasi)
Menurut Kartini (1995), peristiwa paling penting pada masa pubertas
anak gadis adalah gejala menstruasi atau haid, yang menjadi pertanda
biologis dari kematangan seksual. Timbullah kini bermacam-macam
peristiwa, yaitu: reaksi hormonal, reaksi biologis dan reaksi psikis; prosesproses somatis (jasmaniah lawan rokhaniah) atau psikis yang berlangsung
secara siklis,
dan
terjadi pengulangan secara periodik peristiwa
menstruasi. Semua ini bisa berproses dalam suasana hati yang normal
pada anak gadis. Tetapi kadang kala juga bisa berjalan tidak lancar atau
tidak normal (oleh banyak hambatan), dan bisa menimbulkan macammacam masalh psikosomatis (penyimpangan-penyimangan dan gangguan
psikis yang menimbulkan gangguan pada kesehatan jasmaniah).
Fase tibanya haid ini merupakan satu periode dimana benar-benar
telah siap secara biologis menjalani fungsi kewanitaan. Maka pada saat
adolensensi, peristiwa haid menduduki satu eksistensi psikologis yang
unik yang bisa mempengaruhi sekali cara mereaksinya anak gadis
6
terhadap realitas hidup, baik pada masa adolensensi maupun saat ia
menjadi dewasa. Semua rahasia yang menyelubungi ibunya dan
bersangkutan dengan masalah haid dimasa masa lalu, kini benar-benar
menjadi satu realitas bagi dirinya sendiri. Dan diterimanya masa
kematangan seksual dini dengan rasa senang dan bangga, sebab dia
sudah “dewasa” secara biologis.
Namun semakin muda usia si gadis, dan semakin ia belum siap
menerima peristiwa haid, akan semakin terasa: “kejam mengancam”
pengalaman menstruasi tersebut. Yaitu terasa pahit menyebalkan sebagai
gangguan, atau sebagai reaksi kejutan (shock reaction) dalam anggapan
dan fantasi anak gadis.
Dari perasaan negatif tersebut, mungkin akan timbul pula perasaan
sangat lemah karena merasa kehilangan banyak darah, atau merasa
sakit-sakitan, sehingga tidak berani keluar dari rumah. Semua ini mulamula produk dari gambaran khayal, yang kemudian dikembangkan
menjadi satu mekanisme otosugestif. Untuk selanjutnya, saat-saat
menstruasi
tersebut
senantiasa
dipakai
sebagai
alasan
agar
ia
dibebaskan dari tugas-tugas tertentu, atau dipakai untuk menhindari
kewajiban-kewajiban tertentu.
D. Gangguan Psikologis pada Masa Perkawinan
1. Pola baru dalam tingkah laku seksual antara lain:
a. Term marriage
Term
marriage atau
perkawinan
periodik
yaitu
dengan
merencanakan suatu tahap kontrak pertama selama 3-5 tahun sedang
tahap kedua ditempuh dalam jangka 10 tahun. Perpanjangan kontrak bisa
dilakukan untuk mencapai tahap ketiga yang memberikan hak kepada
kedua partner untuk saling memiliki secara permanen.
b. Trial marriage
Trial marriage atau kawin percobaan dengan ide melandaskan
argumentasinya pada pertimbangan sebagai berikut: jangan hendaknya
dua orang saling melibatkan diri dalam satu relasi sangat intim dan
7
kompleks dalam bentuk ikatan perkawinan itu tidak mencobanya terlebih
dahulu, selama satu periode tertentu umpamanya saja selama beberapa
bulan atau beberapa tahun. Jika dalam periode yang ditentukan kedua
belah pihak saling bersesuaian, barulah dilaksanakan ikatan perkawinan
yang permanen.
c. Companionate marriage
Companionate
marriage,
pola
perkawinan
ini
menganjurkan
dilaksanakan perkawinan tanpa anak, dengan melegalisasi keluarga
berencana atau pengendalian kelahiran juga melegalisasi perceraian atas
dasar persetujuan bersama. (Hirmaningsih. 2010)
2. Kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian perkawinan
a. Persiapan yang terbatas untuk perkawinan
Walaupun dalam kenyataan sekarang, penyesuaian seksual lebih
mudah ketimbang pada masa lalu, karena banyak informasi tentang seks
yang tersedia baik di rumah, di sekolah, di universitas, serta tempattempat yang lain. Kebanyakan pasangan suami istri hanya menerima
sedikit persiapan dibidang ketrampilan domestik, mengasuk anak, dan
manajemen umum.
b. Peran dalam perkawinan
Kecenderungan terhadap perubahan peran dalam perkawinan bagi
pria dan wanita, dan konsep yang berbeda tentang peran ini yang dianut
kelas sosial dan sekelompok religius yang berbeda membuat penyesuaian
dalam perkawinan semakin sulit sekarang daripada dimasa lalu ketika
peran masih begitu ketat dianut.
c. Kawin muda
Perkawinan dan kedudukan sebagai orang muda menyelesaikan
pendidikan mereka dan secara ekonomis independent membuat mereka
tidak mempunyai kesempatan untuk mempunyai pengalaman yang
dipunyai oleh teman-teman yang tidak kawin atau orang-orang yang telah
mandiri sebelum kawin. Hal ini mengakibatkan sikap iri ahti dan menjadi
halangan penyesuaian perkawinan.
8
d. Konsep yang tidak realistis dalam perkawinan
Orang dewasa ang bekerja di sekolah dan perguruan tinggi, dengan
sedikit / tanpa pengalaman kerja, cenderung mempunyai konsep yang
tidak realistis tentang makna perkawinan berkenaan dengan pekerjaan,
deprivasi, pembelanjaan uang atau perubahan dalam pola hidup.
Pendekatan yang tidak realistis ini menuju ke arah kesulitan penyesuaian
yang serius yang sering diakhiri dengan perceraian.
e. Perkawinan campur
Penyesuaian terhadap kedudukan sebagai orang tua dan dengan
para saudara dari pihak istri dab sebaliknya jauh lebih sulit dalam
perkawinan antar agama dari pada bila keduanya berasala dari latar
belakang budaya yang sama.
f. Pacaran yang dipersingkat
Periode atau masa pacaran lebih singkat sekarang ketimbang masa
dulu, dan karena itu pasangan hanya punya sedikit waktu untuk
memecahkan banyak masalah tentang penyesuaian sebelum mereka
melangsungkan perkawinan.
g. Konsep perkawinan yang romantis
Banyak orang dewasa yang mempunyai konsep perkawinan yang
romantis yang berkembang pada masa remaja. Harapan yang berlebihan
tentang tujuan dan hasil perkawinan sering membawa kekecewaan yang
menambah kesulitan penyesuaian terhadap tugas dan tanggung jawab
perkawinan.
h. Kurangnya identitas
Apabila seseorang merasa bahwa keluarga, teman dan rekannya
memperlakukannya sebagai “suami Jane” atau apabila wanita merasa
bahwa kelompok sosial menganggap dirinya hanya sebagai “ibu rumah
tangga”, walaupun ia seorang wanita karir yang berhasil, ia bisa saja
kehilangan identitas diri sebagai individu yang sangat dijunjung dan dinilai
tinggi sebelum perkawinan.
9
3. Gangguan Psikologi pada Masa Reproduksi (Kehamilan)
a. Hamil yang tidak dikehendaki/diharapkan
1) Kalangan remaja
Kehamilan yang tidak direncanakan sebelumnya bisa merampas
“kenikmatan” masa remaja yang seharusnya dinikmati oleh setiap remaja
lelaki maupun perempuan. Walaupun kehamilan itu sendiri dirasakan
langsung oleh perempuan, tetapi remaja pria juga akan merasakan
dampaknya karena harus bertanggung jawab. Ada dua hal yang bisa
dilakukan remaja jika mengalami KTD:
2) Mempertahankan Kehamilan
Bila kehamilan dipertahankan resiko psikis yang timbul yaitu ada
kemungkinan pihak perempuan menjadi ibu tunggal karena pasangan
tidak mau menikahinya atau tidak mau bertanggung jawab. Kalau mereka
menikah,hal ini juga bisa mengakibatkan perkawinan bermasalah yang
penuh konflik karena sama-sama belum dewasa dan siap memikul
tanggung jawab sebagai orang tua.
3) Mengakhiri kehamilan (aborsi)
Bila kehamilan diakhiri dengan (aborsi) bisa mengakibatkan dampak
negatif. Secara psikis pelaku aborsi seringkali mengalami perasaanperasaan takut, panik, tertekan atau stress, terutama mengingat proses
aborsi dan kesakitan, kecemasan karena rasa bersalah atau dosa akibat
aborsi.
4) Wanita dewasa/ Ibu yang sudah menikah
Seorang ibu yang tidak menghendaki kehadiran anak disebabkan
karena mereka merasa akan mengganggu karirnya, karena membuatnya
terikat atau karena ia sudah terlampau sibuk merawat anak-anak yang
lain. Selain itu mereka merasa tak dapat membagi waktu antara kesibukan
pekerjaan dengan merawat anak. Penyebab terjadinya KDT pada wanita /
ibu yang telah menikah antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi
yang dipakai.
b. Hamil dengan janin mati
10
Ibu dari bayi yang meninggal pada periode perinatal mengalami
penderitaan. Selama kehamilan mereka telah memulai untuk mengenali
dan merasa dekat dengan janinnya. Ibu yang mengalami proses
kehilangan/kematian janin dalam kandungan akan merasa kehilangan.
Pada proses berduka ibu memperlihatkan perilaku yang khas dan
merasakan emosional tertentu. Hal ini dikelompokan ke dalam berbagai
tahapan, meliputi:
1) Syok dan menyangkal
2) Marah dan bargaining
3) Disorientasi dan depresi
4) Reorganisasi dan penerimaan
c. Hamil dengan ketergantungan obat
Pemakaian obat-obatan oleh wanita hamil dapat menyebabkan
masalah baik pada ibu maupun janinnya. Janin akan mengalami cacat
fisik, dan emosional. Wanita hamil dengan ketergantungan obat umumnya
takut melahirkan bayi cacat dan mencoba sebisa mungkin untuk
menghindari
zat-zat
berbahaya
yang
mungkin
membahayakan
perkembangan bayinya. Banyak kebingungan dan kegelisahan tentang
apa yang menyebabkan bayi cacat karena pengaruh obat-obatan. Kalau
terjadi keguguran dan ketidaknormalan pada bayi ibu merasa takut
berlebihan, panik, gelisah dan sebagainya.
d. Kemandulan
Pengalaman membuktikan bahwa ketakutan serta kecemasan yang
berkaitan dengan fungsi reproduksi akan menimbulkan dampak yang
merintangi tercapainya orgasme pada coitus. Pendapat yang keliru
tentang reproduksi akan diinternalisasikan (dicernakan dalam pribadinya)
oleh wanita yang bersangkutan dan lambat laun akan menjadi pengaruh
psikis. Pengaruh psikisnya adalah:
1) Ketakutan-ketakutan yang tidak disadari (dibawah alam sadar)
2) Ketakutan yang bersifat inflantile (kekanak-kanakan)
11
f. Hamil diluar nikah
Kehamilan diluar nikah biasanya diakibatkan oleh pergaulan bebas
yang diakibatkan oleh didikan keluarga berupa:
1) Kurangnya kasih sayang yang diberikan oleh keluarga terhadap
anak perempuannya akibat orang tua sibuk kerja, perceraian dan
broken home.
2) Keluarga
yang
terlalu
disiplin
sehingga
anak
tersebut
memberontak untuk menunjukan kedewasaannya.
Reaksi wanita yang hamil diluar nikah dapat terjadi:
1) Melarikan dari tanggung jawab, melakukan abortus, membuang
anaknya, menitipkan ke orang lain atau panti asuhan.
2) Berusaha melakukan aborsi dan bunuh duri.
3) Melakukan pekerjaan menjadi seorang ibu walau dengan
keterpaksaan atau sukarela dan akhirnya dapat menerima
anaknya.
g. Pseudosiesis
Pseudosiesis adalah kehamilan imaginer atau palsu. Gejala
kehamilan palsu ini secara psikis lebih berat gangguannya daripada
peristiwa abortus.Pada kehamilan Pseudosiesis secara psikologis ada
sikap yang ambivalen terhadap kehamilannya yaitu ingin sekali menjadi
hamil, sekaligus dibarengi ketakutan untuk mereakisir keinginan punya
anak, sehingga terjadi proses inhibisi.
12
h. Keguguran
Reaksi wanita terhadap keguguran kandungannya itu sangat
tergantung pada konstitusi psikisnya sendiri. Maka tak bisa dipungkiri,
bahwa janin atau bayi yang dikandungnya itu dirasakan sebagai bagian
dari jasmani dan rohaninya sendiri. Dan berkepentingan terhadap ego
wanita yang mengandung embrio tersebut.
1)
Faktor penyebab terletak pada psikis dan jiwa
2)
Wanita hamil yang bersangkutan, mencari bantuan pada faktor
tersebut, melakukan abortus secara tidak sadar. Semua peristiwa
berlangsung di luar kemauan sendiri, didorong oleh harapan yang
tidak disadari.( Kusmiran,2011)
4. Gangguan Psikologi pada Persalinan
Pada saat menjelang proses persalinan seorang wanita akan
mengalami perasaan yang bercampur baur. Perasaan bahagia penuh
harapan diselingi gelisah, takut dan ngeri pada proses persalinan. Ada
perasaan kuat dan berani mengambil resiko tapi disisi lain juga merasa
lemah dan pasrah. Ada keyakinan kuat akan melampaui semuanya
dengan baik tetapi juga ada keraguan. Semua itu akan semakin dirasakan
mendekati kelahiran bayinya. Hal-hal yang menyebabkan seorang wanita
gelisah dan takut menghadapi proses persalinan diantaranya:
a. Trauma
b. Ada perasaan takut mati
c. Rasa bersalah
d. Takut bayi mendapat kelainan misal cacat bawaan
13
e. Takut kehilangan bayi yang sudah ada di kandungannya berbulanbulan.
Untuk mengurangi kegelisahan dan ketakutan diperlukan dukungan
mental dari lingkungan baik dari tenaga kesehatan atau dari keluarga dan
suami.oleh sebab itu banyak wanita merasa lebih trengang ketika ada
keluarga yang mendampingi terutama suami atau ibunya (nenek si bayi).
Peran pendamping akan sangat penting bagi kondisi psikis wanita.
Pendamping persalinan akan sangat mendukung mental ibu sehingga
dapat membantu tenaga kesehatan saat bp;roses persalinan. Tugas
tenaga kesehatan dalam hal dukungan psikis dapat digantikan oleh suami
atau keluarga lain sehingga tenaga kesehatan tinggal mengarahkan saja
apa yang harus dilakukan.
5. Gangguan Psikologis Masa Nifas
Gangguan yang sering terjadi pada masa nifas dapat berupa
gangguan psikologis seperti post partum blues, post partum syndrome
(PPS), depresi post partum dan post partum psikosis.
a. Baby Blue (Post Partum Blues)
Merupakan
kesedihan
atau
kemurungan
setelah
melahirkan.
Biasanya hanya muncul sementara waktu yakni sekitar dua hari hingga
dua minggu sejak kelahiran bayi yang ditandai dengan gejala-gejala
sebagai berikut:
1) Cemas tanpa sebab
2) Menangis tanpa sebab
3) Tidak sabar
4) Tidak percaya diri
5) Sensitif
6) Mudah tersinggung
7) Merasa kurang menyayangi bayinya
14
Daftar pustaka
Hirmaningsih. (2005). Kemandirian Mahasiswa UIN Suska Ditinjau Dari
Kesetaraan Gender. Jurnal. UIN Suska Riau.
Ika sari dewi. 2006. kesiapana menikah pada wanita dewasa awal yang
bekerja :usu reposotory
Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Anak (Psikologi Perkembangan).
Bandung: Mandar Maju.
Kusmiran, Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi remaja dan Wanita.
Bandung : Salemba Medika
Mapiare. 1984. Psikologi Masa Remaja. Surabaya : Usaha Nasional
Muchlis, Hirmaningsih. 2010. Teori-Teori psikologi Perkembangan.
Pekanbaru: Psikologi Press.
15