Implementasi Augmented Reality di Museum

IMPLEMENTASI AUGMENTED REALITY DI MUSEUM:
STUDI AWAL PERANCANGAN APLIKASI EDUKASI UNTUK
PENGUNJUNG MUSEUM
Aditya Rizki Yudiantika1

Eko Suripto Pasinggi2

aditya_rizki@mail.ugm.ac.id

ekosuripto_s2te12@mail.ugm.ac.id

Irma Permata Sari3

Bimo Sunarfri Hantono4

irma_s2te_12@mail.ugm.ac.id

bhe@ugm.ac.id

Abstract


Augmented Reality (AR) dikenal sebagai teknologi interaktif yang mampu
memproyeksikan objek maya ke dalam objek nyata secara real time.
Perkembangan teknologi AR dewasa ini telah memberikan banyak kontribusi
ke dalam berbagai bidang. Salah satu implementasi AR di bidang edukasi dan
hiburan yaitu pemanfaatan AR dalam museum. Aplikasi AR yang diujicobakan
dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis, yaitu AR Desktop dan AR Mobile.
Pengujian dilakukan dengan melakukan studi aplikasi dan studi pengguna.
Pengunjung diminta untuk menggunakan beberapa aplikasi AR yang
disediakan. Kemudian reaksi pengunjung diamati untuk menentukan
kebutuhan pengguna. Beberapa pertimbangan dihasilkan dari penelitian ini.
Metode pelacakan objek dengan jumlah marker yang terlalu banyak dinilai
mengganggu tampilan ruang pamer museum. Aplikasi AR Desktop lebih tepat
digunakan untuk menampilkan konten informasi secara detail. Sedangkan
aplikasi AR Mobile mempunyai keunggulan karena sifatnya yang mudah
berpindah. Penelitian ini juga membahas studi lain mengenai jenis konten,
pengaruh pencahayaan, dan kesan pengunjung saat menggunakan aplikasi
AR.

Keywords : augmented reality, museum, studi pengguna, edukasi.


1. Pendahuluan

Augmented reality (AR) atau dikenal sebagai ‘realitas tertambah’ merupakan salah
satu teknologi baru di bidang multimedia. AR didefinisikan sebagai teknologi yang dapat
menggabungkan dunia nyata dengan dunia maya, bersifat interaktif menurut waktu nyata
(real time), serta berbentuk animasi 3D (Azuma, 1997). Dengan kata lain, AR merupakan
teknologi yang mampu menggabungkan objek maya dalam dua dimensi (2D) atau tiga
dimensi (3D) ke dalam sebuah lingkungan nyata, kemudian memproyeksikan objek-objek
tersebut secara real time.
1

e-Systems Lab, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, FakultasTeknik, Universitas Gadjah Mada
e-Systems Lab, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, FakultasTeknik, Universitas Gadjah Mada
3
e-Systems Lab, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, FakultasTeknik, Universitas Gadjah Mada
4 e-Systems Lab, Jurusan Teknik Elektro dan Teknologi Informasi, FakultasTeknik, Universitas Gadjah Mada

2

Perkembangan teknologi AR saat ini telah memberikan banyak kontribusi ke dalam

berbagai bidang. Bidang-bidang tersebut meliputi periklanan dan pemasaran, arsitektur dan
konstruksi, hiburan, medis, militer, dan perjalanan wisata. Dalam bidang pendidikan, AR
juga telah dikembangkan ke dalam beberapa bentuk aplikasi seperti AR Books, AR Gaming,
Discovery-based Learning, Objects Modelling, dan Skills Training (S. C.-Y. Yuen, 2011).
Salah satu implementasi AR di bidang edukasi dan hiburan yaitu pemanfaatan AR dalam
museum.
Museum diartikan sebagai sebuah gedung yang digunakan sebagai tempat untuk
memamerkan benda-benda yang patut mendapat perhatian umum, seperti peninggalan
sejarah, seni, dan ilmu. Di Indonesia, wisata museum memiliki jumlah pengunjung rata-rata
per bulan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan wisata alam, misalnya pantai. Salah
satu faktor yang menyebabkan rendahnya kunjungan tersebut adalah stigma masyarakat
yang masih menganggap bahwa museum merupakan sebuah ruang pamer yang hanya
digunakan untuk menyimpan benda-benda bersejarah dan kuno. Aktivitas pengunjung
dalam museum cenderung pasif, yaitu melihat benda-benda dalam museum.
Apabila museum dieksplorasi secara lebih mendalam, informasi tentang bendabenda bersejarah dalam museum dapat disampaikan secara lengkap. Namun, selama ini
pengunjung museum hanya memperoleh informasi melalui tulisan atau penjelasan yang
diperoleh di sekitar objek, misalnya dari papan informasi, pemandu museum, buku, dan
selebaran (brosur).
AR dalam konsep e-museum dapat dipahami sebagai istilah untuk menjelaskan
pemanfaatan teknologi beserta perangkatnya di dalam museum, yaitu menyediakan

informasi dalam bentuk digital dan multimedia. Beberapa museum yang ada saat ini masih
menggunakan teknologi populer di beberapa ruang koleksinya, misalnya ketersediaan
komputer multimedia dan backsound yang bersifat digital.
Pemanfaatan AR dalam museum atau pameran museum dapat dijadikan momen
yang tepat untuk meningkatkan ketertarikan pengunjung dalam mengeksplorasi bendabenda museum, karena sifat AR yang interaktif. Pada acara Festival Museum Goes To
Campus 2013, teknologi AR mulai diperkenalkan kepada pengunjung pameran dan
masyarakat pada umumnya. Studi penggunaan aplikasi AR terhadap pengunjung telah
dilakukan pada kesempatan tersebut. Studi ini merupakan langkah awal untuk mengamati
pengalaman dan kebutuhan pengguna saat mencoba teknologi AR.

2. Kajian Pustaka
Penelitian mengenai AR dalam museum telah banyak dilakukan oleh para peneliti.
Studi pengalaman pengguna saat menggunakan panduan museum berbasis AR (AR museum
guide) pernah dilakukan. Metode dan perangkat yang digunakan adalah markerless
tracking, hybrid tracking, serta menggunakan sebuah PC Ultra Mobile (Miyashita, 2008).
Sistem AR tersebut dapat disajikan ke dalam lingkungan museum dengan baik dan
pengunjung sepakat dengan penggunaan AR dalam museum.
Sebuah sistem pemandu museum berbasis AR untuk pemilihan lukisan juga pernah
dikembangkan. Sistem yang dibuat memberikan informasi lokasi pameran selanjutnya
melalui informasi multimedia. Sistem tersebut sangat bermanfaat dan mengakibatkan

pengguna dapat belajar lebih banyak tentang seni lukisan (Lee, 2007).
Museum merupakan tempat yang menarik untuk memperkenalkan AR kepada
pengunjung atau masyarakat umum. Pengamatan interaksi antara pengunjung museum dan
perangkat yang digunakan bermanfaat untuk mengidentifikasi situasi ketika aplikasi AR
berguna dan relevan. Tantangan aplikasi AR adalah untuk memperkaya aktivitas manusia,
bukan hanya realitas. AR lebih berguna ketika teknologi tersebut dapat mengurangi realitas
yang terlalu kompleks untuk ditampilkan (Tillon, 2011). Studi lain tentang kunjungan
museum menyatakan bahwa kebergunaan (usefulness) dan kenikmatan (fun) adalah faktor
penting saat menggunakan aplikasi AR mobile (Haugstvedt, 2012).
Teknologi AR sangat potensial sebagai sarana edukasi. Salah satu keuntungan yang
dapat diperoleh dari aplikasi AR untuk tujuan edukasi yaitu meningkatkan pemahaman
objek yang sedang dipelajari. AR lebih efektif sebagai media pembelajaran lainnya

dibandingkan dengan media yang lain seperti buku, video, maupun penggunaan komputer
biasa (Radu, 2012). Selain itu, pembelajaran bergerak (mobile learning) dengan AR
termasuk pembelajaran berbasis konteks. Dalam hal ini, ketika seorang pengunjung masuk
ke dalam sebuah museum, maka ia dapat dengan mudah mendapatkan informasi tambahan
mengenai karya seni museum yang sedang diamati. Aplikasi AR tersebut terpasang dan
dapat digunakan melalui ponsel cerdasnya (smartphone) dengan mudah.
Untuk memproyeksikan sebuah objek maya ke dalam objek nyata dalam aplikasi

AR diperlukan suatu metode pelacakan. Augmented reality dapat diklasifikasikan menjadi
dua berdasarkan ada tidaknya penggunaan marker yaitu: marker dan markerless
(Geroimenko, 2012). Marker dapat berupa foto sebuah objek nyata atau gambar buatan
dengan pola unik. Marker AR erat kaitannya dengan pengenalan pola yang
mengkalkulasikan posisi, orientasi, dan skala dari objek AR. Sedangkan metode markerless
yaitu metode pelacakan AR yang menggunakan objek di dunia nyata sebagai marker atau
tanpa menggunakan marker buatan.
Sebuah marker yang baik adalah marker yang mudah dikenali dan bersifat
reliable dalam kondisi apapun (Siltanen, 2012). Misalnya dalam kondisi cahaya yang
kurang dan posisi kamera yang berpindah-pindah, maka marker yang baik akan tetap
terbaca oleh system AR. Oleh karena itu, marker yang baik memiliki tekstur yang
rumit.
Prinsip kerja marker sangatlah mudah, yaitu ketika sebuah aplikasi AR
menemukan kecocokan dengan hasil identifikasi marker , baik melalui pelacakan
marker-based maupun markerless. Dengan demikian, aplikasi dapat melakukan aksi
tertentu. Sebagai contoh, jika aplikasi mengenali sebuah marker tertentu, maka aplikasi
AR akan menampilkan informasi berlapis (overlay) di atas citra marker yang
diidentifikasi. Selanjutnya, aplikasi AR tersebut dapat menampilkan berbagai macam
jenis informasi, seperti memainkan klip audio atau video yang berhubungan dengan
marker , menampilkan teks informasi, fakta-fakta historis yang terkait dengan lokasi,

model 3D, dan sebagainya.

3. Kebutuhan Sistem
3.1. Perangkat Keras dan Perangkat Lunak
Perangkat keras yang digunakan pada pengujian ini yaitu laptop dan ponsel cerdas.
Laptop yang digunakan dalam pengujian dilengkapi dengan sebuah webcam yang berfungsi
untuk mengenali citra marker . Ponsel cerdas dengan sistem operasi Android OS digunakan
untuk pengujian AR Mobile. Kamera belakang ponsel belakang dibutuhkan untuk
menangkap citra marker .
Perangkat lunak yang digunakan untuk mengembangkan aplikasi AR ini yaitu
Metaio Creator, Unity, dan Vuforia SDK. Metaio Creator merupakan perangkat yang
digunakan untuk membangun skenario AR (drag and drop) berdasarkan teknik pelacakan
gambar. Pengembang cukup mempersiapkan beberapa marker dan jenis konten yang akan
ditampilkan untuk membuat sebuah aplikasi AR. Unity merupakan sebuah game engine
yang digunakan untuk membangun visualisasi game, skenario, dan berbagai macam
pemodelan multimedia interaktif lainnya. Sedangkan Vuforia dikenal sebagai platform
pengenalan gambar berbasis visi komputer dengan berbagai fitur. Vuforia mendukung
berbagai macam platform seperti iOS, Android, dan Unity 3D untuk beragam aplikasi
native pada perangkat ponsel cerdas maupun tablet.
Vuforia SDK menyatakan penilaian (rating) pada tiap gambar berdasarkan tingkat

kemudahan gambar tersebut dikenali. Rating suatu objek dipengaruhi oleh corak/ciri
(feature) yang dimiliki. Feature merupakan ciri yang berupa sudut-sudut berbentuk sharp,
spiked, dan chiseled detail (Gambar 1).

Gambar 1. Beberapa contoh pengenalan feature.

Alur kerja aplikasi AR (Gambar 2) secara umum dimulai dari pengambilan gambar
marker dengan kamera atau webcam. Marker tersebut dikenali berdasarkan feature yang
dimiliki, kemudian masuk ke dalam object tracker yang disediakan oleh Software
Development Kit (SDK). Di sisi lain, marker tersebut telah didaftarkan dan disimpan ke
dalam database. Object tracker selanjutnya akan melacak dan mencocokkan marker
tersebut agar dapat menampilkan informasi yang sesuai. Hasil keluaran pelacakan marker
segera ditampilkan ke dalam layar komputer dan layar ponsel cerdas. Informasi yang
ditampilkan melekat pada marker bersangkutan secara real time.

Gambar 2. Alur kerja aplikasi AR.

3.3. Konten
Implementasi teknologi AR diujikan kepada pengunjung di acara Festival Museum
Goes to Campus 2013, sebuah acara festival museum yang terdiri dari stan museummuseum yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengujian aplikasi AR ini bekerja sama

dengan Museum Sonobudoyo. Dalam festival tersebut, Museum Sonobudoyo mengangkat
tema alat transportasi air. Benda museum yang dipamerkan berupa beberapa jenis model
perahu kuno. Untuk itu, konten yang dimuat pada aplikasi AR dalam pengujian ini
berhubungan dengan perahu dan Museum Sonobudoyo.
Bentuk konten yang ditampilkan pada aplikasi AR meliputi teks, video, dan model
3D (Gambar 3). Model 3D yang digunakan merupakan sampel yang diambil dari pustaka
Sketchup 3D Warehouse, kemudian di-import ke dalam aplikasi menggunakan perangkat
lunak Unity.

(a)

(b)
Gambar 3. Jenis perangkat, marker, dan konten yang digunakan pada
(a) AR Desktop dan (b) AR Mobile.
Marker atau reference image yang digunakan dalam pengujian menggunakan
marker khusus dan marker image (Gambar 4). Brosur pameran Museum Sonobudoyo juga
digunakan sebagai salah satu bentuk marker image. Untuk aplikasi AR yang dikembangkan
dengan perangkat lunak Unity dan Vuforia SDK, marker yang digunakan harus didaftarkan
terlebih dahulu.


(a)

(b)

(c)

Gambar 4. Bentuk marker yang digunakan:
(a) marker image (brosur), (b) marker image (brosur), dan (c) marker khusus.

3.4. Metode
Pengujian dilakukan dengan melakukan studi aplikasi dan studi pengguna.
Pengunjung diminta untuk menggunakan beberapa aplikasi AR yang disediakan. Kemudian
reaksi pengunjung diamati untuk melakukan studi pengguna. Saran dan umpan balik dari
pengunjung ditampung sebagai kebutuhan pengguna.
Pengunjung festival terdiri dari masyarakat umum. Dalam paper ini, pengunjung
festival dikategorikan menjadi dua yaitu pengunjung usia muda dan dewasa. Pengunjung
usia muda terdiri dari pengunjung yang masih duduk di jenjang sekolah SD hingga SMA.
Sedangkan pengunjung usia dewasa terdiri dari selain pengunjung usia muda.
Cara penggunaan aplikasi AR cukup sederhana. Untuk AR Desktop, sebuah laptop
diletakkan di atas meja yang tingginya sekitar satu meter. Meja diletakkan di depan stan

Museum Sonobudoyo sehingga mudah dijangkau dan terlihat oleh beberapa pengunjung.
Posisi dan bentuk meja yang tidak terlalu tinggi dan rendah akan memudahkan pengunjung
saat mencoba menggunakan aplikasi AR Desktop. Pengguna diminta untuk mengarahkan
marker tersebut ke arah webcam laptop. Kemudian marker dan objek maya AR yang
bersesuaian akan tertampil ke dalam layar laptop. Sedangkan untuk penggunaan AR
Mobile, pengunjung dapat menggunakan aplikasi AR Mobile yang telah disediakan sambil
berkeliling di sekitar stan.

4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Pengujian AR Desktop
Pengujian AR Desktop yang pertama (Gambar 5a) adalah menggunakan brosur
pameran sebagai marker . Marker yang digunakan adalah marker 2D yang merupakan dua
sisi brosur. Kedua marker tersebut masing-masing bergambar perahu (Gambar 4a) dan peta
lokasi museum (Gambar 4b).
Ketika marker perahu diarahkan, muncul sebuah gambar yang berisi informasi
tentang perahu tersebut. Informasi tersebut disampaikan dalam bentuk gambar yang berisi
tulisan berlatar belakang (background) transparan. Latar belakang transparan berfungsi
sebagai overlay, yang berfungsi agar objek nyata yang ada dibelakangnya masih tampak
oleh pandangan mata manusia.
Ketika marker bergambar peta diarahkan, informasi yang muncul berupa video
singkat tentang Museum Sonobudoyo yang berdurasi 30 detik. Apabila pembacaan marker
oleh webcam kurang sempurna, maka video akan tampak patah-patah. Namun, saat
pembacaan gagal, video tidak dimulai dari awal lagi, tetapi melanjutkan video dari waktu
terakhir saat video berhenti.
Aplikasi AR Desktop hanya dapat melacak satu marker ketika marker diarahkan ke
arah webcam. Jarak optimal antara marker dan webcam agar dapat saling mengenali yaitu
sekitar 30 cm. Faktor pencahayaan dan kemiringan marker di sekitar webcam juga
mempengaruhi pengenalan marker .
Pencahayaan yang kurang (gelap), terlalu terang (sangat terang), dan adanya
pantulan cahaya yang berlebihan terhadap marker menyebabkan webcam tidak dapat
mengenali marker , sehingga objek maya tidak tertampil. Posisi marker yang terlalu miring
atau terlalu dekat juga mengakibatkan pelacakan marker sulit dijangkau oleh penglihatan
webcam. Dengan demikian, ketika pelacakan marker gagal, maka layar komputer tidak
akan menampilkan informasi atau objek tertambah.
Pengujian AR Desktop yang kedua (Gambar 5b) yaitu menggunakan marker
khusus. Pembuatan marker tersebut dihasilkan oleh marker generator . Terdapat enam buah
marker yang digunakan untuk pengujian. Marker-marker tersebut jika diarahkan ke
webcam akan menghasilkan objek model perahu 3D.

(a)

(b)

Gambar 5. Pengujian aplikasi AR Desktop dengan
(a) marker brosur (menampilkan konten video) dan
(b) marker khusus (menampilkan konten model 3D perahu)

Aplikasi AR pada desktop lebih tepat untuk menyampaikan informasi detail objek
maya yang besar. Misalnya ketika mengamati objek model perahu 3D. Tekstur dan bentuk
detail model perahu 3D memerlukan layar besar agar tampak oleh pandangan mata.
Spesifikasi komputer desktop maupun laptop saat ini yang dilengkapi webcam
sudah sangat ideal untuk menjalankan aplikasi AR. Namun demikian, aplikasi AR berbasis
desktop mempunyai kelemahan yaitu tidak portabel seperti smartphone ataupun tablet.
4.2. AR Mobile
Pada umumnya, aplikasi AR menggunakan sebuah objek referensi berupa marker .
Marker berupa gambar yang dicetak pada permukaan datar (2D). Ide awal aplikasi ini
adalah menggunakan marker yang tidak berupa permukaan datar (2D), melainkan berupa
benda nyata 3D yang dipajang. Agar dapat dijadikan sebagai objek referensi, benda tersebut
harus diambil gambarnya dari beberapa sudut pandang menurut beberapa kemungkinan
arah pengguna ketika menggunakan aplikasi. Dengan demikian, aplikasi ini seolah-olah
tampak tanpa memanfaatkan marker .
Hasil yang diperoleh dari percobaan menunjukkan bahwa metode tersebut kurang
efektif. Dari 20 objek yang diinputkan, hanya 4 yang dapat dikenali oleh aplikasi. Hal
tersebut dipengaruhi oleh kualitas foto yang diambil, feature gambar, dan perubahan
pencahayaan. Kualitas foto yang digunakan dipengaruhi oleh kualitas kamera serta cara
pengambilan gambar. Gambar yang buram akan menurunkan feature gambar. Perubahan
pencahayaan (siang dan malam) juga dapat menyebabkan suatu gambar tidak terdeteksi.
Faktor bentuk dan tekstur permukaan benda juga secara langsung mempengaruhi feature
foto yang diambil. Untuk menghindari kekurangan tersebut, penggunaan referensi objek 3D
diganti dengan referensi 2D (marker) pada percobaan selanjutnya.
Aplikasi pertama (Gambar 6a) AR Mobile memunculkan video pada permukaan
marker . Aplikasi ini dapat mengenali beberapa marker secara bergantian dan memutar
video sesuai dengan bentuk marker yang dilacak. Sama seperti aplikasi sebelumnya, faktor
spesifikasi perangkat ponsel cerdas cukup berpengaruh. Perangkat yang tidak mendukung
pemutaran video pada permukaan marker hanya dapat memutar video pada moda layar
penuh (tidak tampak melekat di atas marker ).
Video-video yang terdaftar ke dalam aplikasi akan tersimpan ke dalam RAM
perangkat sehingga semakin banyak video dimuat akan menurunkan performa perangkat
saat menjalankan aplikasi tersebut. Ditinjau dari sisi pengembangan aplikasi, banyaknya
muatan video ke dalam aplikasi juga akan membuat ukuran aplikasi menjadi sangat besar,
serta tidak mendukung banyak format video. Format video yang dapat digunakan adalah

.mp4 dan .m4v. Sedangkan format lain seperti .vlc, .avi, dan .mkv belum mendukung
secara penuh.
Aplikasi kedua (Gambar 6b) berupa sebuah aplikasi AR Mobile yang dapat
menampilkan teks informasi tertambah mengenai suatu objek pameran (dalam hal ini objek
perahu). Marker diletakkan di sekitar objek nyata agar bersesuaian dengan ruang pamer.
Teks ditampilkan dengan latar belakang yang mempunyai tingkat transparansi 70%. Hal
tersebut dimaksudkan agar tulisan mudah terbaca serta objek yang disorot juga tetap
tampak. Aplikasi ini dapat mengenali marker dengan baik. Namun, kekurangan aplikasi ini
adalah waktu yang dibutuhkan untuk memuat teks pada perangkat dengan spesifikasi
menengah (mid-end) ke bawah (low-end) mencapai lebih dari 1 detik.
Aplikasi ketiga (Gambar 7) berupa aplikasi yang digunakan untuk menampilkan
model 3D berbentuk bangunan-bangunan museum. Model 3D tersebut dimunculkan ke
dalam sebuah peta Yogyakarta berukuran 2m x 2m untuk merepresentasikan titik lokasi
masing-masing museum. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, ditemukan beberapa
hal yang menjadi pertimbangan untuk pengembangan aplikasi sejenis lebih lanjut. Dari sisi
perangkat, ukuran layar ponsel cerdas yang cenderung kecil (rata-rata tidak lebih dari 7
inci) mengurangi kenyamanan untuk melihat objek 3D yang tampak kecil dan jauh.
Spesifikasi perangkat juga berpengaruh pada kemampuan untuk memuat objek 3D terutama
untuk memuat banyak model 3D. Sedangkan dari sisi SDK, marker harus termuat
seluruhnya pada layar agar dapat dikenali.

(a)

(b)

Gambar 6. Pengujian aplikasi AR Mobile menggunakan marker khusus dengan
konten (a) video dan (b) teks.

Gambar 7. Pengujian aplikasi AR Mobile dengan marker peta dan menampilkan
konten objek 3D sesuai dengan titik lokasi museum.

4.3. Studi Pengguna
Sebagian besar pengunjung baru pertama kali mengalami pengalaman
menggunakan aplikasi AR. Secara umum pengunjung tampak terkesan dengan pengalaman
menggunakan AR. Salah satu hal yang mengesankan bagi pengunjung adalah objek maya
AR yang terus menempel di atas marker saat digerakkan. Beberapa pengunjung mencoba
untuk menggerakkan marker atau perangkat mobile tersebut ke berbagai arah.
Ketika sebuah video dan teks informasi tiba-tiba muncul di atas marker , beberapa
pengunjung terkejut. Video dan teks informasi tersebut seolah-olah berasal dari marker .
Tingkat ketertarikan pengunjung pada berbagai aplikasi tersebut berbeda-beda. Pengunjung
paling tertarik dengan konten berupa video, dan kurang tertarik dengan informasi yang
hanya berupa teks.
Pengunjung usia muda terkesan dengan teknologi AR yang disampaikan, tetapi
tidak terlalu berfokus pada konten yang disampaikan. Hal ini berbeda dengan pengamatan
terhadap pengunjung usia dewasa. Selain terkesan dengan bagaimana aplikasi AR tersebut
menampilkan informasi, pengunjung juga ingin mengetahui konten atau informasi yang
disematkan di atas marker . Misalnya ketika marker menampilkan video, pengunjung
dewasa cenderung menyaksikan video tersebut dari awal sampai akhir. Beberapa
pengunjung juga mencoba mengarahkan dua marker lebih ke webcam. Akan tetapi, aplikasi
tetap mengenali salah satu marker dan hanya menampilkan satu objek maya AR.
Metode pelacakan objek dengan marker dinilai mengganggu tampilan ruang pamer
museum. Selain itu, hal tersebut juga akan mengganggu fokus pengunjung saat mengamati
benda-benda dalam museum. Jika setiap objek dalam museum mempunyai satu marker ,
maka akan sangat tidak efektif. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah
menggunakan benda-benda yang sudah tersedia di sekitar museum sebagai marker atau
penggunaan brosur sebagai reference image.
Pengunjung museum lebih tertarik menggunakan AR sebagai media edukasi
sekaligus hiburan. Pemanfaatan AR sebagai sarana edukasi untuk berbagai jenjang usia
maupun kategori pengunjung juga perlu mendapat perhatian. Eksplorasi berbagai macam
objek-objek dalam museum tidak hanya dapat dilakukan secara interaktif melalui komputer,
tetapi juga dapat diakses melalui ponsel cerdas yang dimiliki pengguna dengan performa
yang baik.

5. Kesimpulan
Studi ini merupakan studi awal untuk merancang aplikasi AR yang dapat
dimanfaatkan pengunjung saat mengunjungi museum. Berbagai macam pertimbangan telah
dipaparkan dalam paper ini untuk menghasilkan aplikasi AR yang dapat diterima oleh
pengguna. Selain itu, aplikasi AR museum juga diharapkan dapat menambah pengetahuan
pengguna tentang benda-benda yang dipamerkan di museum secara lebih mendalam melalui
penyediaan konten-konten yang menarik.
Penelitian selanjutnya akan berfokus pada bagaimana aplikasi AR tersebut dapat
menggunakan metode pelacakan tanpa marker (markerless) untuk menghasilkan aplikasi
hiburan dan edukasi (edutainment) dalam museum. Kondisi pencahayaan di museum yang
cenderung stabil akan mempengaruhi pelacakan fitur tanpa marker . Aplikasi AR yang
dikembangkan tidak hanya sebatas sebagai bentuk apresiasi benda seni dan budaya yang
kaya informasi, tetapi juga dapat digunakan sebagai aplikasi pemandu ruang museum
berbasis lokasi.

Daftar Pustaka
Azuma, R. T. (1997). A survey of augmented reality. Presence, 355-385.
Geroimenko, V. (2012). Augmented Reality Technology and Art: The Analysis and Visualization of Evolving
Conceptual Models. Information Visualisation (IV), 2012 16th International Conference (pp. 445453). IEEE.
Haugstvedt, A. C. (2012). Mobile augmented reality for cultural heritage: A technology acceptance study. Mixed
and Augmented Reality (ISMAR), 2012 IEEE International Symposium (pp. 247-255). IEEE.
Lee, D. H. (2007). Augmented reality based museum guidance system for selective viewings. Digital Media and
its Application in Museum & Heritages (pp. 379-382). IEEE.
Miyashita, T. M. (2008). An augmented reality museum guide. In . Proceedings of the 7th IEEE/ACM
International Symposium on Mixed and Augmented Reality (pp. 103-106). IEEE.
Radu, I. (2012). Why should my students use AR? A comparative review of the educational impacts of
augmented-reality. Mixed and Augmented Reality (ISMAR), 2012 IEEE International Symposium (pp.
313-314). IEEE.
S. C.-Y. Yuen, G. Y. (2011). Augmented Reality: An Overview and Five Directions for AR in Education.
Journal of Educational Technology Development and Exchange, 119-140.
Siltanen, S. (2012). Theory and applications of marker-based augmented reality. Finland.
Tillon, A. B. (2011). Mobile augmented reality in the museum: Can a lace-like technology take you closer to
works of art? Mixed and Augmented Reality-Arts, Media, and Humanities (ISMAR-AMH), 2011 IEEE
International Symposium (pp. 41-47). IEEE.
Yin, C. D. (2009). Use your mobile computing devices to learn-Contextual mobile learning system design and
case studies. Computer Science and Information Technology, 2009. ICCSIT 2009. . IEEE.
Yuen, S. C.-Y., Yaoyuneyong, G., & Johnson, E. (2011). Augmented Reality: An Overview and Five Directions
for AR in Education. Journal of Educational Technology Development and Exchange , 119-140.