Menggugat Kuasa atas Hutan Jawa

  SUARA PEMBARUAN AGRARIA hal ... 7 hal ... 14 hal ... 20 hal ... 24 Edisi : XXIII / Juli - Sept 2017

  KPA Serahkan Lokasi Prioritas RA Region Sumatra Memetakan Potensi

  Wilayah Menuju Desa Maju dan Mandiri Mempercepat Reforma Agaria di Rejang Lebong HTN 2017: Momentum

  Bersatunya Gerakan Tani Menggugat Kuasa atas Hutan Jawa Contents Laporan Utama Perusahan Milik Negara Melakukan Usaha di Lahan Ilegal

  2 KPA dan KSP Bahas Global Land Forum dan Terhambatnya Reforma Agraria

  5 KPA Serahkan Lokasi Prioritas RA Region Sumatra

  7 Opini Menggugat Kuasa Atas Hutan Jawa

  11 Dunia Dalam Memetakan Potensi Wilayah Menuju Desa Maju dan Mandiri

  14 Menuju Desa Maju yang Mandiri Melalui Produk Lokal Unggulan

  16 Halal Bihalal KPA Jatim

  17 SPP Pangandaran-Ciamis Selenggarakan Pelatihan

  18 Halal Bihalal, KPA dan API Kunjungi FPRS Sukamulya dan SPM

  19 Dinamika Mempercepat Reforma Agaria di Rejang Lebong

  20 KPA Dorong Skema Pelepasan Kawasan Hutan

  22 HTN 2017: Momentum Bersatunya Gerakan Tani

  24 Profil Penghargaan atas Kegigihan Perjuangan Darsita

  28 Buletin Suara Pembaruan Agraria diterbitkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

  atas dukungan dari Ford Fondation (FF). Namun demikian buletin ini bukanlah merupakan gambaran sikap FF terhadap perwujudan Pembaruan Agraria di Indonesia. Redaksi menerima tulisan berupa liputan, opini, resensi buku. Redaksi berhak mengedit tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna tulisan. Tulisan yang dimuat menjadi milik redaksi. Tulisan dapat dikirim via email ke alamat kpa@kpa.or.id atau dikirim via pos ke alamat redaksi.

  SUARA PEMBARUAN AGRARIA Tiada Demokrasi Tanpa REFORMA AGRARIA Sejati Edisi : XVIII / Juli - September 2017

  Salam Agraria

  Penanggung Jawab:

  XXII

  Pada edisi ini SPA menyuguhkan bermacam Dewi Kartika dinamika agraria diantaranya laporan mengenai salah satu perusahaan milik negara yang melakukan usaha di Pemimpin Redaksi: tanah ilegal di Sulawesi Selatan, kemudian KPA dan KSP

  Benni Wijaya bertemu untuk membahas hajat besar dunia pertanahan

  Dewan Redaksi:

  di tahun 2018 nanti dalam agenda Global Land Forum, Yahya Zakaria, Syamsudin, dan KPA menyerahkan LPRA region Sumatera ke

  Roni Septian, Ferri Widodo Kementrian terkait. Tiga berita tersebut kami sajikan

  Layout: dalam laporan utama.

  Ayubi Dominasi Perhutani di kawasan hutan membuat rakyat

  Alamat Redaksi:

  di sekitarnya menjadi tersisih dan tidak bisa mengakses hutan, termasuk bagi mereka yang menggantungkan Kompleks Liga Mas Indah kehidupannya di kawasan hutan. Hal ini menyebabkan Jl Pancoran Indah 1, konflik agraria di sektor kehutanan, khususnya Hutan Blok E3 No. 1, Pancoran, Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani sangat tinggi. Jakarta Selatan 12760 SPA mengangkat persoalan ini dalam rubrik opini. Telp 021-7984540

  Fax 021-7993834 Untuk rubrik dunia dalam SPA mengetengahkan

  Email: kpa@kpa.or.id mengenai agenda-agenda angggota KPA diantara

  Website:

  pelatihan pemetaan partisipatif di Konawe Selatan, lalu ada praktek tata produksi Damara di Desa Piondo dan www. kpa.or.id Desa Bukit Jaya, Halal bi Halal KPA Jatim dan pelatihan di Pangandaran dan Ciamis.

  Pada rubrik Dinamika SPA mengangkat peringatan Hari

SUARA PEMBARUAN AGRARIA

  Tani Nasional sebagai media konsolidasi gerakan tani dan Edisi : XXIII / Juli - Sept 2017 masyarakat sipil untuk bersatu dan memadukan gagasan KPA Serahkan Lokasi Memetakan Potensi Mempercepat Reforma HTN 2017: Momentum Sumatra Maju dan Mandiri Lebong akan Tani Prioritas RA Region Wilayah Menuju Desa Agaria di Rejang Bersatunya Ger- hal ... 7 hal ... 14 hal ... 20 hal ... 24 mengenai arah gerakan reforma agaria ke depan. Pada rubrik profil kami angkat Darsita, sang pejuang tani dari Indramayu.

  Selamat membaca! Jalankan Reforma Agraria Sejati!!!

  Menggugat Kuasa atas Hutan Jawa Laporan Utama

Perusahan Milik Negara Melakukan Usaha di Lahan Ilegal

  erusahaan perkebunan milik negara yaitu PTPN ditenggarai melakukan usaha secara illegal di dua kabupaten di Sulawesi

P

  Selatan. Adapun PTPN XIV melakukan usaha di Kecamatan Maiwa Kabupaten Enrekang seluas 5.230 Ha dan di Kecamatan Gilireng dan kecamatan Keera Kabupaten Wajo seluas 12.170 Ha dengan total luasan 17.500 Ha. PTPN XIV yang merupakan salah satu perusahaan negara dengan usaha utamanya adalah kelapa sawit, telah melakukan usaha secara illegal, dimana PTPN XIV dalam melakukan usahanya tidak dilengkapi dengan Hak Guna Usaha yang merupakan syarat wajib dalam berusaha sesuai dengan putusan MK no Nomor 138/ PUU-XIII/2015 (hasil Uji Materi UU Perkebunan NO 39 Tahun 2014.

  PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) yang didirikan pada tanggal

  11 Maret 1996 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996 tentang Peleburan PT Perkebunan

  XXVIII (Persero), PT Perkebunan XXXII (Persero), PT Bina Mulya Ternak (Persero) menjadi PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero), termasuk eks Proyek-proyek pengembangan PT Perkebunan XXIII (Persero) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara telah melakukan praktik-praktik perampasan lahan dibeberapa tempat dan illegal.

  Dok : Istimewa Laporan Utama

  Indah Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch menyampaikan bahwa sebagai satu perusahan milik negara, harusnya PTPN XIV malu, karena tidak memberikan contoh kepada perusahan lain dalam hal kepatuhan terhadap hukum yang berlaku. Kalau perusahan negara saja seperti ini, apalagi dengan perusahaan swasta yang ada di Indonesia, harusnya perusahaan yang notabene milik negara menjadi contoh dalam praktek perkebunan yang baik bukan memberikan contoh yang buruk dalam pengelolaan perkebunan. Tindakan yang dilakukan PTPN XIV di dua kabupaten ini telah merugikan negara dari penerimaan pajak. Negara tidak mendapatkan apa pun dari tindakan ilegal yang dilakukan oleh PTPN XIV yang tidak memiliki HGU. Jadi jelas disini ada kerugian negara yang besar dari tindakan illegal yang dilakukan PTPN XIV, jelas Inda.

  Lebih lanjut Inda menyampaikan, untuk mendukung kebijakan Reforma Agraria Presiden Joko Widodo, seharusnya lahan eks HGU BMT yang telah berakhir masa berlakunya dansaa ini dikuasai secara illegal oeh PTPN XIV, dijadikan sebgai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Selain sebagai upaya penyelesaian konflik juga untuk mengatasi ketimpangan agrarian, dan oleh karenanya BUpati bersama Badan Pertahanan harus segera menyiapkan langkah tekhnis, tegas Inda.

  Asmar Eswar, Direktur Eksekutif Walhi Sulsel, menyampaikan bahwa konflik yang terjadi telah berlangsung sejak tahun 2004 dimana saat masyarakat mulai meminta tanah mereka kembali sesuai dengan perjanjian dengan PT. Bina Mulia Ternak (PT. BMT) sejak tahun 1972. Peralihan menjadi PTPN XIV dengan Perkebunan Kelapa Sawit telah melukai hati rakyat di Kabupaten Wajo dan Kabupaten Enrekang.

  Ribuan masyarakat yang berada di dua kabupaten tersebut telah mengakibatkan rakyat kehilangan akses dan wilayah kelola mereka. PTPN XIV selaku BUMN telah merampas sumber-sumber penghidupan masyarakat. Apalagi sejak tahun 2003 Hak Guna Usaha (HGU) PTPN XIV telah habis dan belum ada perpanjangan hingga saat ini.

  Lahan yang mereka peruntukkan untuk bertani, berkebun dan beternak tidak lagi bisa mereka gunakan. Yang ada, selama bertahun-tahun masyarakat berhadapan dengan pihak keamanan/BRIMOB yang tanpa henti melakukan teror dan intimidasi terhadap masyarakat yang terus menolak keberadaan dan aktivitas PTPN XIV. Puluhan petani dikriminalisasi. Pohon- pohon yang berada di kebun milik warga dirusak dan ditebang. Pohon jati, durian, rambutan, coklat, kelapa yang bernilai milyaran habis tak tersisa. Ternak-ternak warga mati diracun tanpa ada proses oleh pihak kepolisian. Praktik ketidakadilan ini harus segera dihentikan dan diselesaikan dalam waktu yang singkat. Negara yang seharusnya hadir melindungi rakyat telah bertahun-tahun telah bertindak represif melalui BUMN, PTPN XIV. Oleh sebab itu, pemerintah selaku penyelenggara negara juga berkewajiban menyelesaikan persoalan ini dengan baik dan berpihak ke rakyat.

  Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Wilayah KPA Sulsel juga meminta agar persoalan yang menyangkut kehidupan ribuan petani ini segera diselesaikan. Selama ini Negara telah melakukan kekerasan terhadap rakyatnya. Ribuan petani di Kabupaten Wajo dan Enrekang telah kehilangan sumber-sumber agraria mereka. Negara melalui BUMN yaitu PTPN

  XIV telah merampas hak penghidupan rakyat. Selama puluhan tahun rakyat menderita tanpa ada penyelesaian oleh Negara melalui Pemerintah Kabupaten, BPN, Kepolisian bahkan Kementerian Laporan Utama

  BUMN. Konflik PTPN XIV di Kabupaten Wajo dan Enrekang diatas total lahan seluas 17.500 Ha telah melanggengkan ketimpangan agraria yang begitu besar.

  Negara melalui PTPN XIV menguasai ribuan Ha tanah sementara ada ribuan petani yang hanya memiliki lahan yang sempit dan bahkan tidak memiliki lahan (landless). Konflik yang bersifat kronik, massif, sistemik dan berdampak luas seharusnya menjadi prioritas penyelesaian oleh Presiden Jokowi tanpa mengulur-ulur waktu. Program Reforma Agraria yang didengung-dengungkan dalam Nawacita Jokowi tidak akan berhasil jika konflik PTPN

  XIV selaku BUMN yang terjadi hampir diseluruh Indonesia hanya sekedar wacana belaka. Konflik yang terjadi di Kabupaten Wajo dan Enrekang hanya mewakili dan memperlihatkan situasi Agraria yang terjadi di Sulawesi Selatan. Penguasaan lahan oleh PTPN XIV juga terjadi di Kabupaten Luwu Timur yaitu PKS

  1 Luwu dengan luas HGU 9.037 ha. Pabrik Gula Bone, di Kabupaten Bone, dengan luas areal HGU 7.771. Pabrik Gula Camming, di Kabupaten Bone, dengan luas areal HGU 9.837. Pabrik Gula Takalar, di Kabupaten Takalar, dengan luas areal HGU 7.970 hektar. Unit Sidrap dengan luas areal HGU 5.090 hektar di Kabupaten Sidrap. Unit Sakkoli dengan luas areal HGU 4.583 hektar di Kabupaten Wajo. Kebun Jeneponto (kapas) dengan luas areal HGU 145 hektar di Kabupaten Jeneponto. Kebun Kalosi (kopi) dengan luas areal HGU 26 hektar di Kabupaten Enrekang. Perkebunan Sawit di Kecamatan Mappideceng Kabupaten Luwu Utara seluas 3.102,75 Ha.

  Total penguasaan lahan di Sulawesi Selatan oleh PTPN XIV adalah 64.912,75 Ha. Jika setengah saja dari total luasan konsesi PTPN XIV dikembalikan ke masyarakat dengan alokasi 2 Ha per KK maka akan

  16.000 KK atau sedikitnya sekitar 64.000 jiwa keluarga petani yang bisa mendapatkan manfaat dari lahan tersebut.

  Pertimbangan ini harus menjadi salah satu langkah dalam penyelesaian konflik yang berkepanjangan ini. Sudah seharusnya UU Pokok Agraria dijalankan demi terwujudnya keadilan agraria sesuai mandat UU Dasar dan Pancasila. Sedangkan Syafruddin dari AMAN Sulawesi Selatan menyatakan bahwa kegiatan usaha yang dijalankan oleh PTPN XIV sangat jelas menyengsarakan masyarakat adat yang ada di sekitar wilayah yang dikuasai. Masyarakat adat di dua wiayah ini sudah lama ditindas oleh pengusaha dengan cara mengambil tanah masyarakat dan bentuk-bentuk intimidasi yang dilakukan. Seharusnya pemerintah setempat jeli dalam melihat persoalan ini, karena ini bukan hal baru yang terjadi tetapi sudah puluhan tahun terjadi. Sudah sangat jelas bahwa PTPN ini berusaha secara ilegal, seharusnya dengan mudah pemerintah mengambil tindakan, bukan dibiarkan begitu saja. Yang mengalami kerugian itu masyarakat, kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun harus hilang karena adanya kegiatan perusahaan diwilayah mereka, jelas Syafruddin.

  Seperti diketahui, PTPN XIV telah melakukan usaha secara illegal selama 17 tahun. Berbagai tindakan intimidasi terhadap masyarakat yang memiliki hak atas tanah di wilayah yang diklaim oleh PTPN XIV kerap terjadi. Dan menurut beberapa warga yang dijumpai, mereka kerap didatangi oknum aparat keamanan dengan tujuan agar tidak mengganggu usaha PTPN XIV di dua kabupaten ini. Kerugian meteril dan trauma mendalam dirasakan masyarakat di dua kabupaten ini sehingga tidak bisa lagi berani untuk menyuarakan fakta yang terjadi.

  Laporan Utama

KPA dan KSP Bahas Global Land Forum dan Terhambatnya Reforma Agraria

  Pertemuan antara Kantor Staf Presiden dengan KPA dan perwakilan dari Rimbawa Muda Indonesia (RMI) dan International Land Coalition (ILC) ini membahas tindak lanjut rencana kerjasama penyelenggaraan Global Land Forum (GLF) tahun 2018. Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi penyelenggaraan forum global pertemuan organisasi masyarakat sipil tingkat nasional dan internasional yang konsen dalam isu hak atas tanah dan pangan.

  “Global Land Forum adalah forum 3 tahunan yang diadakan oleh jaringan pemerhati tanah International Land Coalition”, kata Dewi Kartika. Selain GLF, KPA juga membahas perkembangan agenda reforma agraria yang dinilai terhambat.

  Menuju Global Land Forum 2018 Setelah sebelumnya diselenggarakan di Guatemala (2013) dan Senegal (2015), tahun 2018 nanti Indonesia dipercaya sebagai tuan rumah pelaksanaan GLF. GLF merupakan ruang pembelajaran bagi tiap organisasi yang tergabung dalam ILC, dimana KPA merupakan anggota sekaligus host bagi region Asia. Selain KPA, beberapa

  Dok : KPA Laporan Utama

  organisasi lain di Indonesia yang masuk di dalamnya yakni Sajogyo Institute, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) dan Rimbawa Muda Indonesia (RMI).

  Bagi Indonesia sendiri, kegiatan GLF menjadi momen penting karena akan menarik perhatian nasional dan internasional terhadap kebijakan agraria terutama mengenai kebijakan reforma agraria pemerintah saat ini. Melalui National Engagement Strategy (NES) yang dimulai pada tahun 2014, keanggotaan CSO Indonesia dalam ILC berhasil menarik komitmen Jokowi guna melakukan redistribusi tanah seluas 9 juta hektar dalam kerangka reforma agraria.

  Sebagai langkah selanjutnya, pemerintah perlu memprioritaskan dan menjalankan janji tersebut dengan mempertimbangkan pendekatan reforma agraria dari bawah untuk menyelesaikan persoalan agraria yang dihadapi, baik oleh perempuan dan laki-laki yang hidup dan mengelola tanah di pedesaan.

  “Momentum GLF ini menjadi krusial, terutama sebagai sebuah kesempatan untuk mendorong perubahan positif di Indonesia dan untuk memberikan sumbangsih pemikiran pada dunia”. Ujar Dewi, yang dipilih menjadi Ketua Organizing Committee (OC) dalam panitia bersama nasional / National Organizing Committee (NOC). Sementara itu, Teten Masduki dalam waktu dekat berencana akan memanggil instansi dan lembaga pemerintah terkait dalam rangka mendukung kegiatan GLF, serta membuat ruang pertemuan bersama dengan NOC yang baru terbentuk.

  Rencananya, GLF tahun 2018 nanti akan diselenggarakan di Gedung Merdeka, Bandung. Tempat ini dipilih dengan mengingat keterikatan sejarah anti- kolonialisme yang dulu pernah digelorakan oleh Soekarno ketika menggelar Konferensi Asia-Afrika (KAA) guna membangun rasa solidaritas dan kesamaan di antara negara- negara dunia ke-3 termasuk Indonesia. “Kita pilih Bandung dan memakai Gedung Merdeka untuk mengambil spirit sejarah dalam menyuarakan semangat dekolonialisasi terutama dalam konteks pertanahan.“ Kata Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional KPA. Reforma Agraria yang Terhambat Setelah GLF, sesi kedua pertemuan kemudian difokuskan untuk membahas perkembangan kebijakan reforma agraria yang saat ini nampak berjalan lambat.

  Dalam kesempatan tersebut, KPA melaporkan beberapa hambatan yang terjadi seperti data-data lokasi prioritas reforma agraria yang telah disusun dan diberikan ke Kementrian/Lembaga terkait, belum nampak diproses secara serius. Tidak terintegrasinya kinerja pemerintah pusat dan daerah dianggap menjadi salah satu kendala mandeknya pelaksanaan program tersebut.

  Merespon situasi itu, Teten Masduki, mengatakan bahwa pihaknya (KSP) merasa sudah clear, sehingga menurutnya yang perlu di dorong adalah kementerian dan pemerintah di tingkat daerah. Padahal selama ini, ketika melakukan pendampingan dan advokasi di daerah, KPA justru sering menerima hambatan dari pemerintah daerah karena kurangnya koordinasi dengan pemerintah pusat. Begitu juga hubungan antar kementerian yang masih mengalami masalah akibat tumpang tindih kewenangan serta ego sektoral yang membuat mekanisme pelaksanaan reforma agraria menjadi terganggu.

  Laporan Utama

KPA Serahkan Lokasi Prioritas RA Region Sumatra

  Setelah dua hari melakukan konsolidasi di internal dan verifikasi data konflik anggota organisasi. Rabu, (9/8), secara resmi KPA menyerahkan data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) region Sumatra ke Kementrian LHK dan Kementrian ATR/BPN dengan disaksikan langsung KSP, Kanwil dan Kantah BPN dan organisasi/ serikat anggota KPA se-Sumatra. Luasan lokasi prioritas yang berhasil diidentifikasi KPA bersama organisasi/serikat tani ini sejumlah 366.927 Hektar dan melibatkan 26.640 Kepala Keluarga (KK). Angka tersebut tersebar di 153 titik,

  35 Kabupaten, dan 7 provinisi di Sumatra dintaranya, Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung.

  Bertempat di Saka Hotel, Medan, Sumatra Utara, agenda ini merupakan lanjutan dari putaran konsolidasi lokasi prioritas reforma agrarian Jawa-Bali dan Sulawesi yang telah berlangsung beberapa waktu lalu.

  Dok : KPA Laporan Utama

  Agenda konsolidasi ini dibuka secara langsung oleh Noval Mahyar, Staf Ahli Gubernur Sumatera Utara mewakili gubernur Sumatra Utara yang berhalangan hadir. kemudian dilanjutkan oleh Sekjend KPA, Dewi Kartika.

  Hadir dalam kesempatan ini sebagai pembicara Usep Setiawan, Kantor Staf Presiden (KSP), Budi Suryanto (Kemen. ATR/BPN), dan Muhammad Sa’id (KLHK) sebagai pembicara serta Abdon Nababan (AMAN) dan Dewi Kartika (KPA) Sementara hadir juga beberapa jajaran Kanwil dan Kantah BPN dan seluruh organisasi/ serikat tani anggota KPA di Sumatra seperti BPRPI, PPSS, STT, PPJ, Walhi Sumsel, GTM, KSPPM, STaB, GRI, YRBI dan organisasi tani lainnya.

  Setalah resmi dibuka, acara dilanjutkan dengan pemaparan yang dilakukan oleh para pembicara secara bergantian yang diawali oleh Usep Setiawan, Budi Suryanto, Muhammad Sa’id, Abdon Nababan, dan diakhiri oleh Dewi Kartika.

  Budi Suryanto Direktur Land Reform ATR/ BPN menekankan mengenai peran negara dalam program reforma agraria. “Intinya adalah negara hadir untuk berbagai persoalan rakyat lewat reforma agraria. Ini tidak hanya pemberian sertifikat tetapi juga aset dan akses. Itu kurang lebih gambaran soal reforma agraria” Ujar Budi Suryanto Budi menambahkan “Kita dari awal sudah mendorong kepada Kanwil dan Kantah di daerah agar segara menjemput bola ke masyarakat guna mengindentifikasi TORA”.

  KPA mencatat sejak era pemerintahan SBY, konflik agraria di Sumatera paling tinggi. Tahun 2016 ada 450 konflik dengan luas 1,2 juta hektar,” Dewi mengawali.

  Belum adanya kanalisasi penyelesaian konflik agrarian menjadi penyebab mengapa konflik agraria masih tinggi dari tahun ke tahun. Beberapa konflik tersebut bukan hanya terjadi di perkebunan seperti yang marak terjadi di Sumatra. Namun konflik juga terjadi di sektor tambang, perkebunan, properti, pesisir kelautan, kehutanan.

  Dari monitoring konflik yang dilakukan KPA setiap tahunnya, beberapa provinsi di Sumatra setiap tahun tercatat sebagai provinsi penyumbang angka konflik tertinggi yang utamanya terjadi di sektor perkebunan. Tahun 2016, provinsi Riau menjadi penyumbang terbanyak konflik agraria.

  Ketimpangan struk- tur agrarian telah melahirkan krisis sosial-ekologis di pedesaan. Kemiskinan pun semakin tidak terhindarkan dan menyebar ke kota. Mereka yang kehilangan sumber dan akses agraria di desa akhirnya memilih pergi ke kota dengan kondisi keterbatasan skill dan pengetahuan sehingga menimbulkan masalah baru,” lanjut Dewi. Mempercepat dan Meluruskan Pelaksanaan Reforma Agraria Dalam kesempatannya, Usep Setiawan mengatakan bahwa ini disebut percepatan karena waktu terus berjalan usia

  

Ketimpangan struktur agrarian

telah melahirkan krisis sosial-

ekologis di pedesaan. Kemiskinan

pun semakin tidak terhindarkan

dan menyebar ke kota. Mereka

yang kehilangan sumber dan

akses agraria di desa akhirnya

memilih pergi ke kota dengan

kondisi keterbatasan skill

dan pengetahuan sehingga

menimbulkan masalah baru,

  Laporan Utama

  pemerintahan pemerintah pusat sudah mau selesai. Waktu tersisa mau kita dorong soal reforma agraria ini agar bisa dicapai pertama 9 juta ha diredistribusi dan 12,7 juta ha lewat Perhutanan Sosial. Walaupun Jokowi dalam kesempatannya telah berulangkali menyebutkan bahwa reforma agraria menjadi salah satu prioritas pemerintahannya. Namun sejauh ini belum tampak pelaksanaannya di lapangan.

  Memasuki tiga tahun pemerintahan Nawacita, tugas untuk menuntaskan janji reforma agraria melalui skema redistribusi dan sertifikasi 9 juta hektar lahan terlihat semakin berat.

  Kondisi ini yang membuat pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain terus mempercepat pelaksanaan reforma agrarian,” ujar Usep.

  Terbaru, Jokowi membentuk tim Reforma Agraria yang dikomandoi oleh Kemenko Perekonomian yang terdiri dari tiga pokja yakni, 1) Pokja pelepasan kawasan hutan dan perhutanan sosial yang diketuai oleh Mentri LHK; 2) Pokja legalisasi dan redistribusi TORA yang diketuai Mentri ATR/BPN; dan 3) Pokja pemberdayaan ekonomi masyarakat yang diketuai Mentri Desa.

  Namun demikian, mempercepat pelaksanaan reforma agraria tentu bukanlah jaminan bagi terlaksananya reforma agrarian yang sejati. Tidak ada jaminan bahwa dengan percepatan pelaksanaan TORA akan mencapai tujuan dari reforma agraria. Perlu ketelitian dalam menentukan subjek dan objek TORA agar menjadi tepat sasaran. Akhir-akhir ini, Jokowi semakin sering melakukan seremonial pemberian sertifikasi kepada rakyat. Pertanyaannya, apakah pemberian sertifikat tersebut sudah tepat sasaran di mana pemerintah tidak bisa memastikan apakah sudah dilakukan penataan ulang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang timpang pada titik-titik sertfikasi tersebut. Reforma agraria bukan semata bagi-bagi tanah, apalagi hanya sertifikasi tanah. Sertifikasi atau legalisasi aset hanya satu

  Dok : Istimewa Dunia Dalam

  bagian kecil dari keseluruhan proses Reforma Agraria yang utuh. Tentu percepatan tanpa berinisiatif meluruskan kembali reforma agraria yang sudah berjalan ini merupakan sebuah langkah gegabah. Cepat dibutuhkan, namun ketepatan dengan melibatkan masyarakat juga menjadi bagian penting,” tegas Dewi. Kalau dilihat secara mendasar, banyak bagian dari kebijakan TORA saat ini yang sudah keluar dari spirit reforma agraria sejati,” lanjut Dewi. Mendorong Pelibatan Rakyat dalam Pelaksanaan Reforma Agraria Salah satu syarat dari pelaksanaan reforma agraria yang sejati ialah pelibatan aktif masyarakat sipil dan kaum tani dalam menentukan penerima manfaat (subjek) dan tanah (objek) agar tujuan untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan lahan. Tanpa hal tersebut, mustahil tujuan pokok dari reforma agraria di atas dapat tercapai. Pelibatan masyarakat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring/evaluasi menjadi sangat penting. Pelibatan masyarakat menjadi kunci dari keberhasilan reforma agrarian. Sebab masalah-masalah yang muncul dikemudian hari dan kampanye anti-land reforma muncul dari tidak dilibatkannya masyarakat. Pembelajaran bahwa tanah yang sudah diredistribusi dijual dan tidak digarap dengan baik disebabkan tanah tidak diberikan kepada mereka yang benar- benar membutuhkan lahan garapan (salah subjek) dan salah objek seperti tanah tidak subur, ukuran/luasan yang tidak sesuai dengan skala ekonomi. Pengalaman di berbagai Negara bahwa keberhasilan reforma agraria ditentukan oleh kemauan politik (political will) dari pemerintah dan keterlibatan langsung masyarakat. Kehendak politik dari pemerintah akan melahirkan terobosan politik, peraturan- peraturan yang mempercepat dan memperkuat pelaksanaan reforma agraria sehingga tidak melenceng dari tujuannya, yakni mencapai keadilan, kesejahteraan, penyelesaian konflik, termasuk memastikan anggaran pelaksanaan. Sementara pelibatan masyarakat akan menghasilkan data agraria yang akurat, ketepatan subjek dan objek, melahirkan model-model penguasaan, penggunaan dan pengusahaan tanah di lapangan agrarian yang sesuai dengan ekonomi yang berkerakyatan dan berkeadilan. Tentu ditambah dengan keberlanjutan manfaat-manfaat dari reforma agraria dan dukungan politik masyarakat terhadap pemerintah. Kita sudah lakukan konsolidasi lokasi prioritas di Jawa-Bali, Sulawesi dan sekarang Sumatra sebagai usaha dalam mendorong pelibatan aktif masyarakat dalam kebijakan reforma agraria,” tutur Dewi. Sedang landasan hukum sudah banyak tersedia misalnya UUPA, TAP MPR/2001, UU Desa, SK Pokja RA, SK Menteri LHK, Perpres. No. 45/2016 ttg RKP 2017, Putusan MK 34 atas pengakuan Hutan Adat, SK Menteri KLHK terkait pemutakhiran Data TORA. Tahun 2018-2019 sudah tidak mungkin lagi reforma agrarian dijalankan secara efektif karena merupakan tahun sibuk politik. Jadi ini saatnya untuk mempercepat dan tentunya perlu kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat sipil.

  Opini

Menggugat Kuasa Atas Hutan Jawa

  elaksanaan reforma agraria di kawasan hutan sejauh ini masih menemui jalan buntu. Situasi ini menambah preseden buruk di

P

  tengah kemandekan pelaksanaan reforma agraria rezim pemerintah Jokowi-JK melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Menyoal reforma agraria di kawasan hutan, sejauh ini pemerintah hanya mau melepaskan kawasan hutan di wilayah yang luasan hutannya di atas 30% dengan dalih menaati peraturan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Artinya Jawa, Lampung, dan Bali tidak masuk ke dalam kriteria yang ditetapkan pemerintah untuk skema pelepasan kawasan hutan. Hal tersebut dikarenakan menurut klaim mereka sendiri, cakupan luasan tiga wilayah dan provinsi ini hutannya kurang dari 30%. Hal ini tentu merupakan langkah mundur bagi penyelesaian konflik di kawasan hutan, khususnya Jawa. Pasalnya banyak dari lokasi garapan, pemukiman, bahkan desa definitif di pulau Jawa saat ini tumpang-tindih dengan klaim kawasan hutan dan mendesak untuk segera diselesaikan. Hal ini berimbas kepada terbatasnya akses rakyat terutama petani hutan memanfaatkan hasil hutan yang selama ini menjadi tempat mereka menggantungkan hidup. Hasil overlay peta digital yang dilakukan oleh Kementrian Kehutanan menyatakan bahwa sebanyak 34.977 desa yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan hutan. Jika kondisi ini tidak segera dirombak, kemiskinan akan semakin para, terutama di Pulau Jawa. Sebab, langgengnya situasi ini akan melahirkan kemiskinan- kemiskinan baru dikarenakan rakyat yang tinggal di wilayah tersebut sangatlah rentan menjadi korban perampasan tanah, terekslusi dari kampung dan sumber penghidupannya sebagai akibat ketiadaan jaminan hak penguasaan dan pengelolaan tanah, sekaligus rentan dikriminalisasi oleh aparat. Menurut BPS, dari 27,77 juta penduduk miskin di Indonesia, 14,79 juta penduduk miskin terdapat di pulau Jawa. Angka ini merupakan yang tertinggi dari semua wilayah di Indonesia. Opini

  Diantara kronisnya gambaran situasi di atas, pemerintah justru menutup mata. Bukannya beritikad menyelesaikan persoalan yang semakin berkelindan tersebut. Pemerintah malahmenutup rapat-rapat peta jalan penyelesaian konflik di wilayah hutan Jawa dan mengeluarkan kebijakan yang disinyalir akan semakin memperkeruh situasi. Pertama, pemerintah melalui Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Permen P.39/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 tentang Perhutanan Sosial Di Wilayah Kerja Perum Perhutani sebagai pembaruan dari Permen P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10.2016 tentang Perhutanan Sosial (PS). PS menjadi satu-satunya solusi yang ditawarkan pemerintah yang dikerjasamakan dengan Perhutani di tengah tumpang tindih klaim antara rakyat dengan Perhutani maupun izin-izin konsesi lainnya. Menilik skema sebelumnya, yakni Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) faktanya tidak banyak merubah nasib petani untuk lebih sejahtera. Justru yang terjadi para penggarap dan petani yang bekerjasama dengan Perhutani tersebut sering diintimidasi dan dimintai pungutan liar (pungli) oleh oknum Perhutani di Lapangan. Padahal secara substansi, antara PS dan PHBM tidak berubah, hanya berubah dalam kemasannya saja. Kedua, pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan yang semakin memperparah benang kusut penyelesaian konflik kawasan hutan melaui Perpres No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang jauh dari harapan petani. Peraturan ini sejatinya dibuat guna memperkuat Perber 4 Menteri yang tumpul sebelumnya. Akan tetapi, dalam implementasinya, jauh panggang dari pada api. Perpres 88 justru mundur sangat jauh dari Perber 4 Menteri tersebut.

  Menyelamatkan Hutan Jawa atau Penguasa atas Hutan Jawa Berdasarkan luasan indikator yang didapat melalui penafsiran citra satelit yang dilakukan oleh BPKH Wilayah XI Jawa dan Madura, potensi karbon pada tahun 2009 adalah sebesar 40.724.689,17 ton atau 15,75 ton/ha. Potensi ini tentu memberikan yang peran luar biasa dalam konteks mitigasi perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca. (BPKH Wilayah XI Jawa dan Madura, 2009) Lalu apa yang sebenarnya menyebabkan rusaknya hutan sehingga mengakibatkan hutan kehilangan tutupannya? Salah satu faktor terbesar ialah deforestasi. Deforestasi disebabkan oleh aktivitas perushaan bisnis yang selama ini meraup keuntungan dari pengelolaan hasil hutan. Aktivitas tersebut didukung oleh perselingkuhan dengan kekuasaan yang cenderung korup sehingga melanggengkan usaha-usaha mereka. Di Jawa, dengan luasan sekitar 2.4 juta hektar, sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya pada Perum Perhutani. Penguasaan hutan dalam skala masif oleh Perhutani ini pada sisi lain kemudian diiringi dengan meningkatnya krisis ekologis di pulau Jawa. Gejala telah terjadinya krisis ekologis ini terlihat dari terus berkurangnya luas tutupan hutan Jawa tiap tahunnya. Di tengah kemelut dan carut marut tentang kebijakan pengelolaan hutan tersebut, rakyat justru terus direpresif oleh oknum Negara dengan terus membatasi rakyat guna mengolah hasil hutan tersebut. Akhirnya semakin lama rakyat semakin terpinggirkan dan tidak mendapatkan manfaat dari kekayaan yang dimiliki oleh hutan. Akibatnya masyarakat yang

  Opini

  tinggal di pedesaan semakin larut dalam situasi kemiskinan. Sementara di sisi lain, perusakan hutan terus terjadi. Monopoli dan Peminggiran Rakyat Masalah utama dari tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan yang terjadi di Jawa adalah tingginya kebutuhan akibat kepadatan penduduk dan keterbatasan sumber daya hutan yang terjadi di pulau ini, utamanya di desa-desa yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari 98 juta hektar kawasan hutan di seluruh Indonesia, hanya sekitar 3.38% saja yang berada di Pulau Jawa. Dengan luasan sekitar 2.4 juta ha sebanyak 85,37% hutan di Jawa diserahkan pengelolaannya pada Perum Perhutani. Pada tahun 2000 luas tutupan hutan di Jawa diperkirakan sekitar 2,2 juta hektar. Namun pada tahun 2009 luas tutupan hutan hanya tinggal 800an ribu hektar. (BPKH Wilayah XI Jawa- Madura, 2012).

  Kondisi ditambah dengan banyaknya bertumbuh izin-izin konsesi di hutan Jawa. Laporan penelitian Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) hingga 2013, izin tambang karst di Pulau Jawa ada 76 izin. Izin di 23 kabupaten, 42 kecamatan, dan 52 desa dengan total konsesi tambang karst 34.944,90 hektar. Segala monopoli yang dilakukan Negara melalui Perhutani dan izin-izin konsesi tersebut sebagian besar tumpang tindih dengan lahan garapan rakyat. Mereka harus bertahan dengan keterbatasan tersebut di tengah intimidasi korporasi dan Negara. Rakyat semakin tereklusi dari tanah mereka sendiri. Akibatnya, Kemiskinan terutama di desa terus meningkat naik sampai pada level yang sangat mengkhawatirkan. jutaan petani dan petani hutan di Jawa hidup dalam garis kemiskinan. Hak mereka untuk terus memanfaatkan tanah dan kekayaan hutan demi melanjutkan hidup semakin dibatasi oleh pemerintah. Mereka dituduh sebagai pihak yang akan merusak kelestarian hutan jika diberi keleluasan dalam memanfaatkan hasil hutan. Sikap yang sangat bertiolak belakang ketika Negara akomodartif ketika menghadapi para cukong dan korporasi yang selama ini mengeksploitasi kekayaan hutan nasional. Demi menutupi kebobrokan tersebut, Negara mengkambinghitamkan rakyat sebagai pihak yang selama ini menjadi pihak yang berkontribusi dalam merusak hutan Negara. Peraturan Perhutanan Sosial (PS) merupakan cara Negara melegitimasi tuduhan mereka tersebut. Negara mengkondisikan bahwa PS merupakan satu-satunya solusi supaya hutan Negara tetap terjaga dari tangan-tangan yang akan merusaknya.

  Artinya, rakyat harus selalu dikontrol oleh Negara dengan cara hanya memberikan hak pakai untuk pengelolaan hutan.

  Persoalannya, sejarah penunjukkan kawasan hutan oleh pemerintah pun tidak dilakukan oleh pemerintah secara transparan dan sepihak. Banyak kesalahan- kesalahan dalam penetapannya. Kawasan hutan yang telah diklaim tadi kebanyakan merupakan pemukiman rakyat dan bahkan sebagian besarnya telah menjadi definitif.

  Rakyat yang telah bertahun-tahun mengelolah dipaksa harus bekerjasama dengan salah satu badan usaha Negara yang korup, yakni Perhutani melalui skema PS di Jawa. Padahal skema PS tidak berubah dari skema PHBM yang selama ini menjadi jalan bagi oknum-oknum Perhutani untuk meminggirkan rakyat dari lahan garapannya sehingga para petani semakin tercerabut dari tanah-tanah mereka. Dunia Dalam

Memetakan Potensi Wilayah Menuju

Desa Maju dan Mandiri

  erikat Tani Konawe Selatan (STKS) menyelenggarakan pelatihan pemetaan partisipatif pada dari tanggal 12 hingga 16 September

S

  2017 lalu. Pelatihan ini dilaksanakan di salah satu basis tani Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), yakni UPT Arongo, Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto Barat, Konawe Selatan.

  Tidak kurang dari 35 orang peserta yang terdiri atas delegasi perwakilan organisasi tani ranting STKS dan NGO yang berasal dari luar Konawe Selatan, yakni FORSDA. Dari hari pertama, para peserta diberikan materi oleh Syofyan Ubaidi Anom, salah satu Dewan Nasional KPA yang berasal dari Mojokerto, Jawa Timur. Ia juga dibantu oleh Torop Rudendi yang merupakan Korwil KPA Sultra.

  Setelah selesai melakukan pemetaan, peserta juga langsung melakukan praktek pemetaan di dua desa, yakni Desa Laikandonga, Kecamatan Ranomeeto yang dimulai 19 September 2017 dan

  Dok : KPA Dunia Dalam

  dilanjutkan di Desa Margacinta, Kecamatan Moramo pada tanggal 23 September 2017. Dua lokasi ditunjuk dikarenakan juga menjadi lokasi percontohan pelaksanaan Desa Maju Reforma Agraria (DAMARA).

  Secara konsep, DAMARA merupakan gerakan menuju penguasaan teritorial yang dirumuskan melalui pengalaman- pengalaman KPA selama ini dan kemudian diinisiasi oleh rakyat secara masif dan terorganisir. Dalam hal ini adalah petani yang berjuang untuk mendapatkan kepastian alas hak atas tanah beserta akses reformnya dalam bentuk kedaulatan atas benih, ketersediaan pupuk, pengetahuan ketrampilan teknologi pertanian alami, akses permodalan dan jaminan harga serta akses pasar hasil komoditas produksi pertanian.

  Desa Mandiri yang Berdaulat atas Wilayah Pemetan partisipatif menjadi bagian dari salah satu alat strategis gerakan petani dalam rangka perjaungan hak atas tanah. Dalam tujuan yang lebih jauh pemetaan partisipatif merupakan langkah dalam mempertahankan wilayah (tenurial) petani yang ada di desa dan guna menganalisa potensi kekayaan agraria yang ada di sekitar ruang hidup petani berdasarkan data sosial (masyarakat dan sumber agrarian) dan data spasial (cakupan wilayah),” tutur Ubed.

  Pemetaan partisipatif juga ditujukan agar petani mampu merencanakan sistem distribusi dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan peruntukkannya. Misalnya, alokasi tanah dalam suatu kawasan untuk pemukiman, tanah garapan individu petani dan tanah garapan untuk kolektif organisasi. Bahkan tanah yang diperuntukkan guna kepentingan umum dalam bentuk fasilitas umum dan fasilitas sosial. Selain itu pula menjadikan rujukan pola tata distribusi terkait dengan ketersediaan komoditas hasil pertanian, kemudian diseleraskan dengan akses pasar hasil produksi pertanian pangan yang berkelanjutan dan berkeadilan,” Sambungnya. STKS menyadari betul bahwa pemetaan partisipatif menjadi sebuah kebutuhan organisasi. Pelatihan pemetaan partisipatif ini juga disinergikan dengan pelatihan kader reforma agraria. Mengingat potensi konflik agraria yang masih bergejolak dan belum ada upaya penyelesaian dari pemerintah, pemetaan wilayah menjadi alat tawar bagi petani. Belum lagi dengan bagi potensi kekayaan agrarian yang dimiliki oleh desa. Hal ini saling bersahutan dengan kemauan yang sangat kuat oleh masyarakat dalam rangka mewujudkan desa yang berdaulat sesuai dengan Undang-Undang No. 06 tahun 2014 Tentang Desa. Pemetaan ini sebagai jalan kita dalam rangka meyelesaikan konflik agraria yang masih terjadi hingga saat ini. Dengan adanya pemetaan ini, para petani diharapkan mampu membaca dan memaksimalkan potensi agraria yang tersedia dan dikelolah secara bersama-sama guna mewujudkan desa yang berdaulat dan sejahtera,” ucap Torop. Sejauh ini, petani di dua desa di atas sebagian besar membudidayakan padi dan singkong, ditambah beberapa jenis umbi-umbian yang lain. Selain itu, mereka juga memelihara kambing dan sapi yang masih memakai sistem peternakan tradisional dengan cara dilepas ke padang- padang rumput yang tersedia di sekitar pemukiman. Dengan pelatihan yang telah dilakukan, diharapkan petani mampu memaksimalkan potensi-potensi desa yang telah tersedia agar mampu menambah kesejahteraan bagi mereka secara bersama-sama. Dunia Dalam

Menuju Desa Maju yang Mandiri Melalui Produk Lokal Unggulan

  empunyai produk unggulan yang mampu memberi kontribusi yang nyata bagi penduduknya merupakan salah satu faktor

M

  penentu kesejahteraan bagi suatu wilayah dan desa. Tentunya, produk unggulan tersebut tidak serta merta ada dengan sendirinya. Walaupun setiap daerah memilki ciri dan kekhasan masing-masing, namun tanpa manajemen dan sumber daya manusia yang baik, kontribusinya tidak akan dirasakan secara nyata oleh masyarakat Menyadari hal tersebut, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama KPA Wilayah Sulteng dan serikat/organisasi yang berada di dua desa yakni Desa Piondo dan Desa Bukit Jaya, Kecamatan Toili Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah menyelenggarakan pelatihan jahe sebagai upaya memaksimalkan kontribusi dari sumber agraria yang ada di desa untuk kesejahteraan. KPA yang diwakili Staf Departemen Penguatan Organisasi, Ferry Widodo pada kesempatan ini coba menggandeng Zainal Monoarfa dari Terminal Benih Gorontalo dan Syam Asinar Radjam dari Institut Agroekologi Indonesia (INAgri) sebagai pemberi materi untuk pelatihan ini berdasarkan pengalaman mereka masing-masing.

  Dok : KPA Dunia Dalam

  Berlangsung selama tujuh hari dari tanggal 20-27 Juli 2017. Pelatihan tersebut berlangsung di dua tempat yakni Desa Piondo selama 4 hari dan 3 hari di Desa Bukit Jaya Menariknya, semua peserta yang hadir dari dua desa ini ialah para perempuan yang merupakan anggota dari Serikat Petani Piondo (SPP) dan Serikat Petani Bukit Jaya (SPBJ) yang tergabung dalam koperasi perempuan organisasi masing-masing. Selain mendirikan organisasi, dua serikat ini juga mendirikan koperasi perempuan. SPP memiliki Koperasi Perempuan Harapan Piondo, sedangkan SPJB mendirikan Koperasi Wanita Jaya.

  Setiap hari tak kurang 25 peserta pelatihan baik di desa Piondo dan di desa Bukit Jaya dengan semangat mengikuti pelatihan tersebut.

  Melalui proses pelatihan ini, para peserta berhasil menghasilkan beragam produk turunan dari rimpang jahe. Sebagian berasal pengetahuan baru yang dibawa oleh para pendamping yang khusus memberikan materi tentang jahe, mulai dari produksi hingga pemasaran. Sebagian lagi diambil dari kebiasaan dan pengalaman tradisi lokal yang sudah berlangsung sejak lama.

  Beberapa produk yang dihasilkan diantaranya, jahe merah bubuk, sabun jahe, minyak urut jahe, biskuit jahe, tingting jahe, dan sagon jahe serta beberapa produk bubuk siap konsumsi seperti kunyit bubuk, temu lawak bubuk dan kencur bubuk.

  Dua produk seperti tingting jahe dan sagon jahe biasa dibuat oleh warga desa Piondo pada saat hari raya Idul Fitri sebagai snack lebaran.

  Sepekan pasca Idul Fitri 1 Syawal 1438 Hijriah, KPA wilayah Jawa Timur langsung bergerak turun ke basis-basis guna melakukan konsolidasi dengan memanfaatkan momentum halal bihalal. Momen ini juga dimanfaatkan guna melakukan penguatan dan soliditas di basis-basis anggota KPA Jawa Timur. Pada kesempatan ini, KPA Jawa Timur mengadakan acara halal bihalal ini di lokasi Paguyuban Petani Kelud Makmur (PPKM), Kamis, (6/7). Acara tersebut diadakan di Gubuk Perjuangan, salah satu tempat yang dibangun oleh PPKM di atas lahan kolektif secara gotong-royong. Acara yang diadakan pada pukul 19.00 WIB tersebut dihadiri oleh segenap jajaran pengurus dan Konsolidasi dan pengutan asis anggota KPA anggota PPKM, Kepala Dusun, perwakilan

  Badan Permusyawaratan Desa (BPD), perwakilan Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB), dan Koordinator Wilayah KPA Jawa Timur.

  Terlihat seluruh warga Kruwuk-Rotorejo sangat antusias dan semangat dalam menyambut perjuangan agraria ke depan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya anggota organisasi yang hadir dan turut memberikan berkat (red: makanan yang dibuat untuk acara syukuran atau selamatan). Dalam rangkaian acara tersebut, masing-masing perwakilan memberikan sambutan yakni, diantaranya Ketua PPKM, Kepala Dusun, BPD, PPAB, dan Koordinator Wilayah KPA Jawa Timur.

  Halal Bihalal KPA Jatim Dunia Dalam

SPP Pangandaran-Ciamis Selenggarakan Pelatihan

  epanjang sejarah penguasaan tanah di Indonesia, selalu “diwarnai” dengan berbagai macam kebijakan yang justru menyengsarakan kaum petani. Kaum tani dalam arti

S

  merupakan pihak yang selalu dikorbankan dalam dinamika penguasaan tanah. Kondisi tersebut menuntut kaum tani maupun organisasi tani harus terus memperkuat barisan dalam melawan semua kebijakan yang meminggirkan mereka. Agar kondisi tersebut bisa tercapai, dibutuhkan proses penguatan dan peningkatan kapasitas kaum tani dalam menelaah peristiwa-peristiwa yang berlangsung, baik peristiwa sosial, ekonomi maupun politik. Mengingat pentingnya mencapai kondisi tersebut, SPP Ciamis-Pangandaran mengadakan pelatihan untuk penguatan kapasitas organisasi dalam rangka perjuangan hak atas tanah dengan tema “Hak Atas Tanah untuk Rakyat”.

  Acara yang berlangsung di Kampung Perjuangan, Desa Penanjung, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat dari Rabu, (19/7) hingga Kamis, (20/7) ini juga dihadiri Sekjend KPA, Dewi Kartika. Selain datang sebagai Sekjend KPA, Dewi juga diundang untuk menjadi salah satu pemateri pada hari ke-2 guna memberikan jabaran perkembangan reforma agraria di tingkat nasional dan daerah.

  Saendi, salah seorang petani yang menjadi koordinator penyelenggara menjelaskan bahwa pelatihan ini dimaksudkan sebagai wadah berorganisasi dalam rangka menambah ilmu para petani yang berada di basis agar mengetahui hak mendasarnya terutama menyangkut hak atas tanah.

  Selain petani, peserta pelatihan juga datang dari nelayan yang selama ini turut mengalami persoalan agraria di daerahnya, sehingga menjadi penting untuk bekal pengetahuan bagi mereka yang masih belum mengerti dasar hukum atas perjuangan yang sedang mereka lakukan.

  Dok : KPA Dunia Dalam