Efektivitas dan Penerapan Kuasa dalam Akta Pengikatan/Perjanjian Jual Beli Atas Objek Tanah serta Keterkaitannya dengan Akta Kuasa Jual

(1)

TESIS

Oleh

HERRY SANTOSO

017011025/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

HERRY SANTOSO

017011025/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : HERRY SANTOSO

Nomor Pokok : 017011025

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) (Dr. T. Keizerina Devi A. SH, CN, M.Hum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN

Anggota : 1. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


(5)

Nama : HERRY SANTOSO

Nim : 017011025

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : EFEKTIFITAS DAN PENERAPAN KUASA DALAM AKTA PERIKATAN / PERJANJIAN JUAL BELI ATAS TANAH SERTA KETERKAITANNYA DENGAN AKTA KUASA JUAL

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :HERRY SANTOSO


(6)

antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta perikatan/perjanjian jual beli dengan akta kuasa jual? dan 3. Apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa?.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis sosiologis, analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa: 1. Kuasa yang terdapat dalam akta perikatan jual beli tersebut sangat efektif karena berdasarkan kuasa yang terdapat dalam akte perikatan jual beli tersebut maka pihak pembeli dapat menghadap dan menandatangani Akta Jual Beli (AJB) secara sendiri di hadapan PPAT baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli; 2. Keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta perikatan jual beli dengan akta kuasa jual ialah bahwa kuasa yang terdapat dalam akta perikatan jual beli adalah merupakan kuasa mutlak yang dibenarkan oleh undang-undang dan hanya dapat dijalankan oleh pembeli (penerima kuasa) tanpa dapat dipindahkan kepada pihak lain. Surat Kuasa Jual baru ada setelah terlebih dahulu diadakan perjanjian pokoknya yaitu perikatan jual beli tersebut yang aktanya terpisah dari akta perikatan jual beli; dan 3. Kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa tidak selalu demi kepentingan pemberi kuasa. Hal tersebut terjadi apabila kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga tanah telah dilakukan. Maksudnya di sini pihak pembeli telah membayar harga yang disepakati dengan cara lunas. Apabila pembayaran harga tanah tersebut belum semuanya dipenuhi oleh pihak pembeli (belum lunas), maka sebaiknya dibuatkan akta perjanjian jual beli tanpa disertai dengan surat kuasa jual. Karena apabila dibuatkan akta perjanjian jual beli dengan kuasa jual, maka hal ini dapat merugikan pihak penjual karena jual beli belum lunas dibayar oleh pihak pembeli.

Kata kunci: Efektivitas dan penerapan kuasa, Akta perikatan, Jual beli atas tanah, Akta kuasa jual.


(7)

the effectiveness of giving an authority found in a deed of sales agreement); 2 how far is the correlation between giving an authority in the deed of sales agreement and the deed of giving the authority to sell; and, 3 whether the authority given to perform legal action to endorsee is always for the sake of the endorser.

The research is descriptive analytic with judicial sociological approach. The data are analyzed by using qualitative method. The results of the research show that 1. The authority found in the deed of sales agreement is very effective because, based on the authority found in the deed of sales agreement, the buyer can come to PPATK (official empowered to draw up land deeds) and sign an AJB (Sales Agreement), either as the seller or as the buyer; 2. The correlation between giving the authority found in the deed of sales agreement and the deed of giving the authority to sell is that the authority in the deed of sales agreement is an absolute authority justified by law, can be used only by the buyer (endorsee), and cannot be transferred to another party; a new Power of Attorney to Sell will be issued after the principal agreement has been made; that is, the deed will be separated from the deed of sales agreement; and 3. The authority given to do legal action to the endorsee is not always for the sake of the endorser. This can occur when the buyer’s responsibility to pay the land has been settled. In this case, the buyer has paid off the land. If he does not pay off the land, the deed of sales agreement will be made without the Power of Attorney to Sell; if this occurred, the seller will suffer losses since the buyer does not pay off the land.

Keywords : Effectiveness and Use of Authority, Deed of Agreement, Sales and Purchase of Land, Deed of Giving the Authority to Sell


(8)

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Efektivitas dan Penerapan Kuasa dalam Akta Pengikatan/Perjanjian Jual Beli Atas Objek Tanah serta Keterkaitannya dengan Akta Kuasa Jual”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., M.S., C.N., Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., CN, M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) dan Ibu Dr. Keizerina Devi A., SH., CN., MHum. selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) berserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(9)

Kenotariatan (MKn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan Ilmu Hukum, khususnya dalam bidang Ilmu Kenotariatan.

Medan, Desember 2012 Penulis,


(10)

Nama : HERRY SANTOSO

Tempat/Tgl. Lahir : Rembang/11-Nopember1967 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Menikah

Alamat : Jl. Pelepah Indah II Blok LA 24/10, Kelapa Gading, Jakarta Utara

Jl. Pukat VII No. 48 Medan

II. KELUARGA

Ayah : Alm. Adianto

Ibu : Erlien Santoso

Isteri : Calista Audrey, SH

Anak : 1. Neysa Tania Santoso (19-02-2000) 2. Nydia Gisela Santoso (13-11-2005) 3. Nathaniel Hansel Santoso (10-04-2010)

III. PENDIDIKAN

SD Nasional Rembang : Lulus Tahun 1980 SMP Katholik Ov Slamet Riyadi : Lulus Tahun 1983 SMA Negeri 2 Rembang : Lulus Tahun 1986 S1 Universitas Katholik Parahyangan Bandung : Lulus Tahun 1997 S2 Program Studi Magister Kenotariatan FH-USU : Lulus Tahun 2012


(11)

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 11

E. Keaslian Penelitian ... 12

F. Landasan Teori dan Konsepsi ... 14

1. Landasan Teori ... 14

2. Konsepsi ... 38

G. Metode Penelitian ... 40

BAB II EFEKTIFITAS PENERAPAN KUASA DALAM AKTA PERIKATAN JUAL BELI TANAH... 45

A. Perikatan Jual Beli Tanah ... 45

B. Faktor-faktor yang Menyebabkan Dilaksanakannya Perikatan/Perjanjian Jual Beli... 50

C. Kuasa sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan . 56 BAB III KETERKAITAN PEMBERIAN KUASA DALAM AKTA PERIKATAN ATAU PERJANJIAN JUAL BELI DENGAN AKTA KUASA JUAL... 76


(12)

BAB IV KEPENTINGAN PEMBERI KUASA TERHADAP KUASA

YANG DIBERIKAN KEPADA PENERIMA KUASA ... 93

A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli... 93

B. Penggunaan Akta Notaris ... 101

C. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Yang Telah Melakukan Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Memakai Kuasa 106 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 111

A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 113


(13)

antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta perikatan/perjanjian jual beli dengan akta kuasa jual? dan 3. Apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa?.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis sosiologis, analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menerangkan bahwa: 1. Kuasa yang terdapat dalam akta perikatan jual beli tersebut sangat efektif karena berdasarkan kuasa yang terdapat dalam akte perikatan jual beli tersebut maka pihak pembeli dapat menghadap dan menandatangani Akta Jual Beli (AJB) secara sendiri di hadapan PPAT baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli; 2. Keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta perikatan jual beli dengan akta kuasa jual ialah bahwa kuasa yang terdapat dalam akta perikatan jual beli adalah merupakan kuasa mutlak yang dibenarkan oleh undang-undang dan hanya dapat dijalankan oleh pembeli (penerima kuasa) tanpa dapat dipindahkan kepada pihak lain. Surat Kuasa Jual baru ada setelah terlebih dahulu diadakan perjanjian pokoknya yaitu perikatan jual beli tersebut yang aktanya terpisah dari akta perikatan jual beli; dan 3. Kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa tidak selalu demi kepentingan pemberi kuasa. Hal tersebut terjadi apabila kewajiban pihak pembeli untuk membayar harga tanah telah dilakukan. Maksudnya di sini pihak pembeli telah membayar harga yang disepakati dengan cara lunas. Apabila pembayaran harga tanah tersebut belum semuanya dipenuhi oleh pihak pembeli (belum lunas), maka sebaiknya dibuatkan akta perjanjian jual beli tanpa disertai dengan surat kuasa jual. Karena apabila dibuatkan akta perjanjian jual beli dengan kuasa jual, maka hal ini dapat merugikan pihak penjual karena jual beli belum lunas dibayar oleh pihak pembeli.

Kata kunci: Efektivitas dan penerapan kuasa, Akta perikatan, Jual beli atas tanah, Akta kuasa jual.


(14)

the effectiveness of giving an authority found in a deed of sales agreement); 2 how far is the correlation between giving an authority in the deed of sales agreement and the deed of giving the authority to sell; and, 3 whether the authority given to perform legal action to endorsee is always for the sake of the endorser.

The research is descriptive analytic with judicial sociological approach. The data are analyzed by using qualitative method. The results of the research show that 1. The authority found in the deed of sales agreement is very effective because, based on the authority found in the deed of sales agreement, the buyer can come to PPATK (official empowered to draw up land deeds) and sign an AJB (Sales Agreement), either as the seller or as the buyer; 2. The correlation between giving the authority found in the deed of sales agreement and the deed of giving the authority to sell is that the authority in the deed of sales agreement is an absolute authority justified by law, can be used only by the buyer (endorsee), and cannot be transferred to another party; a new Power of Attorney to Sell will be issued after the principal agreement has been made; that is, the deed will be separated from the deed of sales agreement; and 3. The authority given to do legal action to the endorsee is not always for the sake of the endorser. This can occur when the buyer’s responsibility to pay the land has been settled. In this case, the buyer has paid off the land. If he does not pay off the land, the deed of sales agreement will be made without the Power of Attorney to Sell; if this occurred, the seller will suffer losses since the buyer does not pay off the land.

Keywords : Effectiveness and Use of Authority, Deed of Agreement, Sales and Purchase of Land, Deed of Giving the Authority to Sell


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan hukum diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kita yang sedang membangun, mengarahkan dan mengantisipasi perubahan sosial, dan guna mewujudkan cita-cita masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai salah satu komponen pembangunan nasional, hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat dan kegunaan bagi masyarakat .1

Hukum perdata material dalam bentuk tertulis dan dikodifikasi, ketentuan-ketentuannya terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel/WvK).2 Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terhadap semua perjanjian dapat ditemui pada Pasal 1319 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa :

“Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum, yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu”.


(16)

Bab ini adalah bab kedua tentang perikatan yang timbul dari perjanjian, sedangkan yang dimaksud dengan bab yang lalu adalah bab kesatu tentang perikatan pada umumnya. Keduanya terdapat dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan atau“Verbintenis”.3

Jual beli menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dapat disebutkan dalam pasal-pasalnya sebagai berikut :

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”

Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”

Pasal 1459 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616.”

3Soedjono Dirdjosisworo, 1997, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan


(17)

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa secara konsensual suatu perjanjian telah terjadi secara sah menurut hukum, jika penawaran dari satu pihak telah diterima (akseptasi) oleh pihak yang lainnya, dan pada saat adanya akseptasi tersebut adalah merupakan terjadinya perjanjian, walaupun barang belum beralih dan uang belum dibayar (menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, salah satu syarat tertentu adalah konsensus dari pihak yang bersangkutan yang merupakan suatu pernyataan kehendak).

Perbuatan hukum pemindahan/pengalihan hak bertujuan untuk memindahkan/ mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak. Jual beli adalah merupakan salah satu cara perbuatan hukum pemindahan/pengalihan hak. Jual beli hak atas tanah menurut pasal-pasal tersebut di atas adalah merupakan suatu perjanjianobligatoir(Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang bersifatkonsensuil(Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Disebut perjanjian obligatoir karena jual beli tersebut baru menimbulkan kewajiban pada pihak penjual untuk menyerahkan hak atas tanah tersebut kepada pihak pembeli dan pihak pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada pihak penjual harga yang telah disepakati.

Dengan dilakukannya Jual beli hak atas tanah tersebut, yang dijual itu belum berpindah kepada pihak pembeli, melainkan masih harus dilakukan perbuatan hukum lain berupa penyerahan hak atas tanah tersebut oleh pihak penjual kepada pihak pembeli dan penerimaan penyerahan hak tersebut oleh pihak pembeli dari pihak


(18)

disebut penyerahan yuridis (juridische levering), yang dilakukan dengan pembuatan akta transpor, dan penyerahan yuridisnya wajib dilakukan dihadapan Pejabat Balik Nama (overschrijvings ambtenaar) berdasarkan Overschrijvings Ordonantie (Stbl. 1834 No. 27), namun setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA) yang berlandaskan pada hukum adat dan berdasarkan pada ketentuan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa : ”Suatu akta di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”, serta dengan diterbitkan dan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, ketentuan Overschrijvings Ordonantie (Stbl. 1834 No. 27) tidak diberlakukan lagi dan hal-hal yang menyangkut jual beli hak atas tanah tersebut dilakukan oleh dan/atau dihadapan Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Jual beli mempunyai sifat konsensuil, di mana jual beli hak atas tanah tersebut dianggap telah terjadi dengan dicapainya kata sepakat antara pihak penjual dan pihak pembeli, walaupun haknya belum diserahkan dan harganya belum dibayar.

Jual beli tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Agraria) adalah suatu perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya, dimana pihak penjual memindahkan hak atas tanah kepada pihak pembeli dan pada saat yang bersamaan pihak pembeli membayar harganya (seluruh atau sebagian) kepada pihak penjual, oleh karena itu meskipun tidak diberikan penjelasannya oleh Undang-Undang Pokok Agraria, ditafsirkan bahwa pengertian


(19)

jual beli tanah dalam hukum yang berlaku sekarang ini adalah jual beli tanah menurut pengertian hukum adat yang bersifat tunai dan riil serta harus dilakukan secara terang. Dalam jual beli, pemindahan/pengalihan hak atas tanah terjadi pada saat dibuatnya akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sedangkan balik nama sertipikat hak atas tanah mempunyai nilai sebagai bukti kepemilikan, dengan demikian akta jual beli Pejabat Pembuat Akta Tanah berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli tersebut.

Perikatan/perjanjian jual beli hak atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak (penjual dan pembeli) dalam mana pihak penjual berkehendak menjual tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya miliknya tersebut kepada pihak pembeli dan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya milik pihak penjual tersebut, akan tetapi jual beli resminya (secara definitif) belum dapat dilaksanakan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam hal ini akta perikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris tersebut adalah merupakan perjanjian pendahuluan sambil menunggu syarat-syarat untuk melangsungkan jual beli resminya (secara definitif) dihadapan Pejabat Pembuat akta Tanah terpenuhi.

Contoh 1 :

A (Penjual) dan B (Pembeli) hendak melakukan transaksi jual beli bangunan rumah tinggal (sertipikat hak milik tertulis atas nama A) yang didirikan di atas sebidang tanah sertipikat hak milik, antara A dan B telah setuju dan sepakat mengenai harga,


(20)

akan tetapi 5 % Pajak Penghasilan (PPh) belum disetor oleh A (Pihak Penjual) kepada pemerintah dan 5 % Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) belum disetor oleh B (Pihak Pembeli) kepada pemerintah, dan dikarenakan faktor kebutuhan dan keadaan yang mengharuskan untuk dilakukan jual beli, maka dapat dilakukan dengan cara dibuat akta Perikatan Jual Beli atau akta Pengikatan Jual Beli dengan disertai pembuatan akta Kuasa Jual di hadapan Notaris dan pada umumnya demi kelancaran dan efisiensi biasanya dalam akta Perikatan Jual Beli atau akta Pengikatan Jual Beli-nya dalam salah satu pasalnya dicantumkan klausula bahwa 5 % Pajak Penghasilan (PPh) ditanggung oleh A (pihak penjual) dan 5 % Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) wajib ditanggung dan dibayar oleh B (Pihak Pembeli), oleh karenanya dalam pembayaran jual beli yang diterima oleh A (Pihak Penjual) dipotong atau dikurangi dengan besarnya setoran Pajak (5 % PPh) yang semestinya harus disetor oleh A (Pihak Penjual) kepada pemerintah.

Contoh 2 :

A (Penjual) dan B (Pembeli) hendak melakukan transaksi jual beli bangunan rumah tinggal (sertipikat hak milik tertulis atas nama A) yang didirikan di atas sebidang tanah sertipikat hak milik. Antara A dan B telah setuju dan sepakat mengenai harga, akan tetapi B tidak punya cukup uang untuk membayar harga tersebut, sehingga A dan B setuju dan sepakat untuk melakukan transaksi jual beli tersebut dengan memakai cara pembayaran yang akan dilakukan dengan menggunakan angsuran.


(21)

Oleh karena jual beli dilakukan tidak dengan pembayaran lunas, maka jual beli resminya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah tidak dapat dilaksanakan. Oleh karenanya cara untuk mewujudkan transaksi jual beli antara A dan B tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan akta Perjanjian Jual Beli Notariil. Dalam hal ini demi kelancaran dan efisiensitas biasanya dalam akta Perjanjian Jual Beli tersebut dalam salah satu pasalnya dicantumkan klausul kuasa yang diberikan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak pembeli, tetapi akta Kuasa Jual tidak dapat dibuat karena harga belum/tidak dibayar lunas.

Sebagaimana telah diuraikan dalam Contoh 1 tersebut di atas, dalam praktek seringkali dilakukan pembuatan akta Perikatan Jual Beli atau akta Pengikatan Jual Beli yang disertai dengan pembuatan akta Kuasa Jual, hal mana pada umumnya dilakukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan adalah untuk menunda kewajiban untuk menyetor 5 % Pajak Penghasilan (PPh) dan 5 % Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) kepada pemerintah. Ini sering dilakukan oleh para developer yaitu untuk menghemat kewajiban menyetor 5 % Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) kepada pemerintah yaitu dengan menggunakan akta Kuasa Jual pada transaksi berikutnya. Selain itu juga karena tanah yang telah dibelinya tersebut nantinya akan dijual kembali kepada pihak lain dengan keuntungan yang sudah diperhitungkannya terlebih dahulu.

Akan tetapi, kalau sekiranya para pihak terus menerus melakukan Perikatan Jual Beli atau Pengikatan Jual Beli atau Perjanjian Jual Beli yang disertai dengan


(22)

pembuatan akta Kuasa Jual tanpa melakukan jual beli resminya (secara definitif) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, maka bagi pembeli terakhir yang hendak melakukan proses balik nama di Kantor Pertanahan akan dirugikan dalam hal pembayaran pajak, yang mana kewajiban dalam penyetoran pajak harus dilakukan oleh pembeli terakhir, yaitu 5 % pajak penghasilan (PPh) dan 5 % Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan, karena untuk dapat dilaksanakan balik nama pada Kantor Pertanahan diwajibkan untuk melaksanakan Jual Beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang mana salah satu syarat formalitasnya adalah 5 % Pajak Penghasilan (PPh) dan 5 % Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) harus sudah disetor kepada pemerintah.4

Setiap perjanjian yang dibuat dimaksudkan untuk mengikat para pihak yang membuat perjanjian tersebut, hal mana dapat dilihat dengan jelas dalam ketentuan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut : “Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya”. Namun demikian masih ada kemungkinan bagi seorang pihak untuk mengikat pihak lain dalam perjanjian yang dibuatnya, yaitu apabila pihak tersebut tidak bertindak untuk dirinya sendiri, melainkan ia bertindak untuk pihak lain, yang tentunya antara pihak tersebut dengan pihak yang diikatkannya dalam perjanjian maka terlebih dahulu harus dibuat perjanjian yang disebut dengan Surat Kuasa. Untuk lebih

4Chairani Bustami, 2002, Bahan Kuliah Teknik Pembuatan Akta II,Program Pasca Sarjana


(23)

jelasnya dapat kita lihat pada ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1317 junto Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang bunyinya sebagai berikut :

Pasal 1317 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

(i) “Lagipun diperbolehkan juga untuk untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat seseorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seseorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.

(ii) Siapa yang telah memperjanjikan suatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.

Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Dari segi pembuatannya, akta dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :5 1. Akta Otentik (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) ;

2. Akta di bawah Tangan (Pasal 1864 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dengan melihat jenis-jenis akta tersebut di atas, pemberian kuasa yang dilakukan oleh seseorang atau selaku badan (badan usaha atau badan hukum) kepada 5 M.U. Sembiring, 1997, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat


(24)

seseorang lain, baik selaku perorangan maupun selaku badan (badan usaha atau badan hukum) dilakukan dengan menggunakan atau membuat akta Otentik dan/atau akta di bawah tangan.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas, maka terdapat beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Sejauh manakah efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli ?

2. Bagaimanakah keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dengan akta Kuasa Jual ?

3. Apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa ?

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan pada permasalahan yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui secara jelas teori maupun praktik terhadap klausula dan/atau isi dari suatu perjanjian (dalam hal ini perikatan jual beli hak atas tanah dan kuasa jual) yang telah ditetapkan dalam suatu akta ; dan untuk mengetahui secara mendalam dari segi positif maupun negatif terhadap efektivitas dari pemberian


(25)

kuasa atau kuasa jual dalam suatu akta perikatan/perjanjian jual beli hak atas tanah.

2. Untuk mengetahui secara jelas dampak dan akibat dari dibuatnya kuasa atau kuasa jual dalam akta perikatan/perjanjian jual beli hak atas tanah.

3. Untuk mengetahui teknik-teknik dari pembuatan akta Notaris yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat : 1. Secara teoritis :

Diharapkan dapat menambah wawasan dan manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan hukum perdata, khususnya hukum perikatan/perjanjian, terutama mengenai pemberian kuasa dan/atau kuasa jual dalam akta Perikatan/Perjanjian jual beli hak atas tanah.

2. Secara Praktis :

Diharapkan dapat memberikan suatu manfaat khususnya bagi para calon Notaris dan/atau para Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam hal pembuatan akta tersebut dan juga diharapkan dapat memberikan suatu masukan bagi masyarakat pada umumnya agar mengetahui tata cara pelaksanaan jual beli dan pemberian kuasa tersebut.


(26)

E. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan informasi yang tersedia dan penelusuran kepustakaan terutama di lingkungan Program Pasca Sarjana Ilmu Hukum dan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul: “Efektivitas Dan Penerapan

Kuasa Dalam Akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli Atas Tanah Serta

Keterkaitannya Dengan Akta Kuasa Jual”,belum pernah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya.

Namun pada tahun 2002 dan 2004 terdapat penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, yaitu :

A. Notaris CHAIRANI BUSTAMI, SH, MKn., Program Pasca Sarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2002, yang berjudul“Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan”, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Alasan hukum apa yang menjadi dasar pembuatan akta Perikatan Jual Beli yang menyimpang dari Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 ?

2. Apakah alasan-alasan hukum yang mendorong para pihak untuk melaksanakan akta Perikatan Jual Beli ?


(27)

3. Bagaimanakah fungsi akta Perikatan Jual Beli yang dikaitkan dengan pembuatan akta Surat Kuasa tersendiri tersebut sehingga nama pembeli terakhir tertera di sertipikat ?

4. Apakah pemberian Surat Kuasa ini tidak bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah ?

B. ZULFAHMI, SH, MKn.,Program Pasca Sarjana, Studi Magister Kenotariatan,

Universitas Sumatera Utara, Medan, Tahun 2002, yang berjudul“Kekuatan Dan Kelemahan Akta Perjanjian Jual Beli Yang Dibuat Notaris”, dengan perumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kesiapan Notaris dalam melayani permintaan para pihak dalam pembuatan perjanjian jual beli yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak ?

2. Hal-hal apa saja yang menyebabkan dilaksanakannya perjanjian jual beli dan kendala-kendala apa yang mungkin timbul dari pe4rjanjian jual beli tersebut ? 3. Bagaimana kekuatan hukum dan kelemahan suatu akta perjanjian jual beli yang dibuat di hadapan Notaris yang dikaitkan dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah ?

Akan tetapi materi, substansi, perumusan masalah dan pengkajian serta penelitiannya berbeda sama sekali dengan tesis ini. Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli.


(28)

F. LANDASAN TEORI DAN KONSEPSI

1. LANDASAN TEORI

1. 1. Pengertian Umum Perikatan Dan Perjanjian

Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan rumus/definisi/arti tentang perikatan, menurut pengetahuan hukum perdata : perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi diantara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.6

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sebagaimana ternyata dalam pasal-pasalnya disebutkan sebagai berikut :

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, baik karena Undang-Undang”.

Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuar sesuatu”.

Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

6Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman


(29)

“Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang, timbul dari undang-undang sahaja, atau dari undang-undang-undang-undang akibat perbuatan orang”.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu perikatan bersumber dari :

1. Perjanjian (Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) ;

2. Perundang-undangan (Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Dan oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa perjanjian merupakan salah satu sebab dari lahirnya suatu perikatan (di samping Undang-Undang). Oleh karenanya “Hukum Perjanjian” merupakan bagian dari “Hukum Perikatan” dan diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang Perikatan.

Sedangkan hakikat yang terkandung dalam perikatan itu sendiri adalah : (Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) :

- Untuk memberikan sesuatu ; - Untuk berbuat sesuatu ; dan - Untuk tidak berbuat sesuatu.

H.F. Vollmar, di dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgerlijk Recht”(1) mengatakan sebagai berikut :

“Ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitur) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditur kalau perlu dengan bantuan hakim.”7


(30)

Istilah “Perjanjian” dalam “Hukum Perjanjian” merupakan kesepadanan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau “Agreement “ dalam bahasa Inggris.

Menurut R. Subekti :

- “Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu”.8

- “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena kedua pihak setuju untuk melakukan sesuatu”.9 Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa perjanjian identik dengan persetujuan.

Menurut M. Yahya Harahap :

Istilah kontrak sama pengertiannya dengan persetujuan.10 Maka dapat disimpulkan bahwa persetujuan yang terdapat dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah sama pengertiannya dengan perjanjian.

1.2. Keabsahan Suatu Perikatan/Perjanjian

Pada umumnya Perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan ataupun secara tulisan. Perjanjian yang dibuat secara tertulis dapat digunakan sebagai alat bukti apabila terjadi suatu perselisihan, dan dapat dibuat dengan melalui 2 (dua) cara, yaitu :

8R. Subekti, 1996,Hukum Perjanjian. Internusa, Jakarta. Hal.1. 9Ibid, Hal. 1.

10


(31)

1. Secara dibawah tangan ; dan 2. Secara otentik.

Sedangkan perjanjian yang dibuat secara lisan bukan berarti tidak dapat digunakan sebagai alat bukti, akan tetapi susah dalam hal pembuktiannya.

Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Dari ketentuan pasal tersebut di atas yang lebih dikenal sebagai asas kebebasan berkontrak dapat disimpulkan bahwa setiap orang dapat membuat suatu perjanjian, dan perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dengan pembatasan sebagai mana ternyata dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat : 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya ;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ;


(32)

Syarat pertama dan kedua disebut sebagai syarat subyektif, hal mana dikarenakan syarat-syarat tersebut langsung mengenai orang atau subyek yang membuat perjanjian. Dan apabila salah satu dari syarat subyektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan oleh hakim atas permohonan pihak yang bersangkutan (para pihak yang menjadi subyek dari perjanjian tersebut), dan selama perjanjian tersebut belum dibatalkan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya.

Syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif, hal mana apabila salah satu dari ketentuan syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum, jadi dianggap bahwa perjanjian yang dibuat tersebut tidak pernah ada, dan oleh karenanya para pihak tidak terikat untuk memenuhi perjanjian yang dibuat tersebut dan para pihak dikembalikan dalam keadaan semula sebelum perjanjian tersebut dibuat.

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Tidak ada sepakat yang sah, apabila sepakat tersebut diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.

Yang dimaksud sepakat dalam hal ini adalah bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus sepakat atas hal-hal pokok dari perjanjian yang dibuatnya tersebut, dan segala kehendak dari isi perjanjian tersebut juga harus dikehendaki oleh para pihak yang membuat perjanjian secara timbal balik dan kata sepakat


(33)

tersebut harus diberikan secara bebas atau sukarela, dalam arti kata sepakat yang diberikan tersebut akan menjadi tidak sah apabila kata sepakat diberikan karena : a. Kekhilafan atau salah pengertian ; (Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata)11

b. Paksaan ; atau (Pasal 1323 sampai dengan Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)12

c. Penipuan. (Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)13

Pihak yang telah memberikan kata sepakat dalam perjanjian tersebut karena kekhilafan atau salah pengertian, paksaan atau penipuan, dapat melakukan upaya

11R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 1989, Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 305.

Pasal 1322 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan selainnya apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan.

Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu persetujuan, kecuali jika persetujuan itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.

12Ibid. Hal. 305-306.

Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :

Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang membuat suatu persetujuan, merupakan alasan untuk batalnya persetujuan, juga apabila paksaan itu dilakukan oleh seorang pihak ketiga, untuk kepentingan siapa persetujuan tersebut tidak telah dibuat.

Pasal 1324 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :

Paksaan telah terjadi, apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.

Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan.

Pasal 1325 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :

Paksaan mengakibatkan batalnya suatu persetujuan tidak saja apabila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, tetapi juga apabila paksaan itu dilakukan terhadap suami atau isteri atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah.

Pasal 1326 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :

Ketakutan sahaja karena hormat kepada ayah, ibu atau lain sanak keluarga dalam garis ke atas tanpa disertai kekerasan, tidaklah cukup untuk pembatalan persetujuan.

Pasal 1327 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :

Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tak lagi dapat dituntutnya, apabila setelah paksaan berhenti, persetujuan tersebut dikuatkan, baik secara dinyatakan dengan tegas, maupun secara diam-diam atau apabila seoarang melampaukan waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dipuluhkan seluruhnya.

13

Ibid. Hal. 306.

Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum perdata :

Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika


(34)

hukum dengan mengajukan gugatan pembatalan perjanjian yang disepakati tersebut kepada Pengadilan Negeri, dengan ketentuan bahwa pihak yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa kata sepakatnya dikarenakan paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka hakim akan membatalkan perjanjian yang telah dibuat dan disepakati tersebut.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Tak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa ;

2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan ; Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin.

Apabila perkawinan tersebut dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana diatur dalam bagian ketiga, kelima dan keenam bab ini.

Dalam ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, telah dinyatakan dengan jelas bahwa yang termasuk dalam golongan orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang termasuk dalam kategori Pasal 330 Kitab


(35)

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut. Menyimpang dari ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa kecakapan dalam membuat perjanjian khususnya bagi seorang perempuan bersuami harus memerlukan bantuan atau ijin dari suaminya, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan sebagai berikut :

Pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindah-tangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari suaminya.

Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima suatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa ijin yang tegas dari suaminya.”

Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Seorang isteri, biar ia kawin di luar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha


(36)

sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka hakim tanpa bantuan suaminya.

Menyikapi hal tersebut, Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi telah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, tanggal 4 Agustus 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, yang isinya adalah bagi para hakim hendaklah menyampingkan ketentuan Pasal 108 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.14 Di samping ketentuan-ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, terdapat peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang batas usia dewasa (pluralisme hukum), yaitu :

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan :

(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

3. Suatu hal tertentu.

Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Suatu persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.


(37)

Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Yang diperjanjikan atau obyek dalam suatu perjanjian haruslah suatu hak atau barang yang cukup jelas dan dapat ditentukan jenisnya, dan dapat pula berupa barang yang baru akan ada di kemudian hari.

4. Suatu sebab yang halal.

Pasal 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Suatu persetujuan tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan”.

Yang dimaksud dengan sebab adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat berdasarkan sebab yang palsu atau sebab yang terlarang adalah batal demi hukum, yang berarti bahwa para pihak tidak terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut dan oleh karenanya perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada.

Sebab yang palsu adalah sebab yang dibuat oleh para pihak untuk menutupi sebab yang sebenarnya dari perjanjian itu.

Sebab yang terlarang adalah sebab yang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum atau kesusilan.


(38)

yang sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya harus memenuhi keempat unsur sahnya suatu perjanjian tersebut diatas. Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, maka semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan bunyi pasal tersebut adalah sah dan mengikat demi hukum, dikatakan sah dan mengikat demi hukum, maka isi dari perjanjian yang dibuat tersebut harus sesuai dengan isi dari ketentuan pasal tersebut di atas, sehingga perjanjian itu dapat dilaksanakan sesuai dengan maksud dan tujuan dari dibuatnya perjanjian itu, sehingga dengan demikian suatu kepastian hukum yang menjadi harapan bagi semua lapisan masyarakat secara keseluruhan dapat tercipta. 1.3. Subyek Hukum Perikatan/Perjanjian

Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Dalam ketentuan pasal tersebut, dinyatakan dengan jelas bahwa suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dengan demikian dapat diketahui bahwa subyek hukum dari perikatan/ perjanjian adalah merupakan orang atau manusia.

Orang atau manusia tersebut, agar dapat melakukan suatu perbuatan hukum secara sah sebagaimana ternyata dalam ketentuan pasal tersebut di atas harus memenuhi kriteria atau syarat-syarat sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang telah diuraikan diatas. Sebagai


(39)

orang atau manusia untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah haruslah mereka yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum dimaksud.

Orang atau manusia sebagai subyek hukum, dalam melakukan perbuatan hukum dapat bertindak selaku pribadi/perorangan (Natural Person atau Natuurlijke Persoon) dan/atau selaku badan (Artificial Person atau Rechts Persoon). Menurut SOEDJONO DIRDJOSISWORO, dalam bukunya menyebutkan bahwa subyek hukum yang bukan orang atau selaku badan dibagi menjadi “Badan Hukum” dan “Bukan Badan Hukum”.15

Badan hukum adalah suatu badan (entity) yang keberadaannya terjadi karena hukum atau Undang-Undang . Suatu badan hukum atau legal entity lahir karena diciptakan oleh Undang-Undang, karena badan ini diperlukan oleh masyarakat dan pemerintah.16

Jadi yang bukan tergolong suatu badan (badan hukum) adalah merupakan Badan Usaha (Bukan Badan Hukum). Sebagai contoh Badan Hukum (Rechts Persoon) adalah Perseron Terbatas (Naamloze Venootschap) yang diatur dalam Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas juncto Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan contoh bukan Badan Hukum atau Badan Usaha adalah Perseroan (Maatschap), Firma (Venootschap Onder Firma), Perseroan Komanditer (Commanditaire Venootschap).


(40)

1.4. Perikatan/Perjanjian Jual Beli

Perikatan/Perjanjian jual beli adalah merupakan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih (pihak penjual dan pihak pembeli) dalam mana pihak penjual berkehendak menjual barang bergerak atau tidak bergerak dan/ atau jasa miliknya tersebut kepada pihak pembeli dan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli barang bergerak atau tidak bergerak dan/atau jasa milik pihak penjual tersebut. Perikatan/Perjanjian Jual Beli tersebut adalah merupakan suatu perjanjian pendahuluan antara pihak penjual dan pihak pembeli menunggu syarat-syarat untuk melakukan jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah terpenuhi.

Sebagaimana telah disebutkan di atas, dari segi pembuatannya, akta dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu Akta Otentik (Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan Akta di bawah Tangan (Pasal 1864 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Akta yang dibuat secara otentik, dalam Perikatan/Perjanjian jual beli dilaksanakan di hadapan Notaris selaku Pejabat Umum yang berwenang untuk itu, sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang isinya sebagai berikut :

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”.17

17

Himpunan Peraturan Dan Perundang-Undangan Di Bidang Kenotariatan, 2011, Ikatan Notaris Indonesia. Jakarta. Hal. 4.


(41)

Dalam pembuatan akta Perikatan/perjanjian jual beli, judul akta yang dibuat oleh Notaris bervariasi dan bermacam-macam, misalnya : Perikatan Jual Beli, Pengikatan Jual Beli, Perjanjian Jual Beli, Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual Beli dan lain sebagainya. Tidak terdapat suatu peraturan hukum yang mewajibkan kepada seorang Notaris dalam membuat akta perikatan/perjanjian jual beli harus menggunakan atau memakai nama tertentu dalam judul aktanya, kecuali terhadap akta-akta yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya : pembuatan akta pendirian perseroan terbatas (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, tentang Perseroan Terbatas juncto Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas), judul, bentuk dan isinya telah ditentukan (baku) dan harus sesuai dengan isi dan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apabila tidak sesuai maka pengesahan anggaran dasar perseroan terbatas agar status dari perseroan terbatas tersebut menjadi badan hukum akan ditolak oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Pada umumnya Perikatan/Perjanjian Jual Beli yang dibuat dihadapan Notaris dikarenakan :

1. Atas permintaan para pihak yang membuat perjanjian ; dan

2. Adanya persyaratan yang belum dipenuhi untuk dapat dilangsungkannya jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sehingga hanya bisa dilakukan dengan pembuatan akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli.


(42)

Banyak Notaris, atas permintaan para pihak yang ingin melakukan transaksi jual beli, membuat Perikatan/Perjanjian Jual Beli dan Kuasa Jual walaupun syarat-syarat untuk dapat dilangsungkannya jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (yang pada dasarnya pejabatnya sama, selaku Notaris dan selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah) telah terpenuhi, misalnya obyek dalam jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya, status tanahnya telah bersertipikat dan jual beli dilaksanakan dengan lunas, akan tetapi tetap saja dibuat akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dan akta Kuasa Jual, dengan alasan 5 % pajak penghasilan (PPh) belum disetor oleh pihak penjual dan 5 % pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) belum disetor oleh pembeli, yang mana perhitungan pajak-pajak tersebut (PPh dan BPHTB) dihitung berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir pada tahun pelaksanaan jual beli tersebut. Dan jika dilihat dari isi dan peruntukkannya sebenarnya pembuatan akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dan Kuasa Jual tersebut menyimpang dari ketentuan 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa,” dan walaupun tidak terdapat suatu peraturan yang melarang untuk dibuatnya perjanjian tersebut, namun keberadaan atau pembuatan akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dan Kuasa Jual yang dimaksud banyak sekali dipergunakan oleh pengusaha/property untuk melakukan jual beli berikutnya dengan menggunakan Kuasa Jual, yang mana


(43)

dalam hal ini terdapat kewajiban pembayaran/setoran pajak (PPh dan BPHTB) yang semestinya disetor kepada pemerintah menjadi tertunda.

Mengenai persyaratan dalam pelaksanaan jual beli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah belum terpenuhi, Notaris tidak diperkenankan untuk membuat akta Jual Beli secara resmi (definitif) yang dalam hal ini merupakan tugas dan kewenangan dari Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan oleh karenanya Notaris dalam hal ini dalam menjalankan tugasnya membuat akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dan biasanya disertai dengan Kuasa Jual.

Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah sebelum melakukan pembuatan akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dan/atau akta Jual Beli mempunyai kewajiban untuk :

1. Pengecekan bersih terhadap sertipikat yang akan dialihkan atau diperjual belikan tersebut di Kantor Pertanahan ;

2. Untuk melaksanakan kewajiban pembayaran pajak-pajak yang menyangkut obyek jual beli yang akan dialihkan atau diperjual belikan tersebut terlebih dahulu.18

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum yang ditunjuk, Notaris dalam melaksanakan kewajiban pembuatan akta pengikatan/perjanjian jual beli harus berpegang teguh pada Undang-Undang Jabatan Notaris (walaupun dalam prakteknya,

18 Chairani Bustami, 2002, “Aspek-Aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual


(44)

demi efisiensi dan profesionalisme serta servise kepada klien kadang kala menyimpang dari ketentuan-ketentuan tersebut).

Di dalam isi salah satu pasal akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli, yang pada umumnya terletak pada Pasal 5 atau pasal 6 terdapat klausul kuasa blanko (blanco volmacht), yang menyatakan Pihak Pertama dengan ini memberi kuasa kepada Pihak Kedua, baik bersama-sama maupun masing-masing dengan hak untuk memindahkan kepada orang lain (subtitutie) dan kuasa ini adalah merupakan bagian yang terpenting serta tidak terlepas dari pada akta ini, yang mana akta ini tidak akan diperbuat apabila kuasa itu tidak diberikan, yaitu :

1. Untuk mengurus dan menyelesaikan permohonan perolehan surat tanda bukti pendaftaran sesuai yang dimaksud dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ;

2. Untuk memenuhi segala persyaratan yang di perlukan guna melaksanakan jual beli tersebut ;

3. Setelah syarat-syarat yang diperlukan untuk melaksanakan jual beli itu dipenuhi, melakukan jual beli yang dimaksud di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang ;

4. Selanjutnya melakukan segala sesuatu yang dianggap perlu dan berguna oleh Pihak Kedua untuk menyelesaikan hal-hal tersebut, terutama untuk memenuhi


(45)

peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain menurut Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.19

Untuk keperluan tersebut di atas, membuat, suruh membuat, suruh membuat dan menandatangani serta mengajukan surat permohonan dan lain-lain surat yang diperlukan, menghadap di mana perlu dan menghubungi instansi-instansi yang berkepentingan, menandatangani akta-akta/surat-surat jual belinya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pejabat lainnya yang berwenang untuk itu, melakukan pendaftaran sertipikat atas tanah tersebut sehingga terdaftar atas nama Pihak Kedua atau pihak lain atau orang lain yang ditunjukkannya dan selanjutnya melakukan segala perbuatan apa saja yang diperlukan untuk itu tanpa ada yang dikecualikan.

1.5. Kuasa (Volmacht)

Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”

Kuasa dalam Perikatan/Perjanjian Jual Beli oleh masyarakat luas dianggap sebagai suatu hal yang sangat praktis, yang mana seseorang baik selaku Natural Person atau Natuurlijke Persoon dan/atau selaku Artificial Person atau Rechts Persoon apabila berhalangan karena suatu sebab untuk melaksanakan perbuatan hukum dapat diwakilkan, untuk dan atas namanya oleh seorang lainnya yang menerimanya untuk melakukan suatu perbuatan hukum dimaksud, dan keberadaan


(46)

(eksistensi) kuasa ini telah diakui oleh instansi-instansi yang berkepentingan dan diatur dalam Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Tentang Perikatan.

Pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat dibedakan adanya 2 (dua) jenis kuasa :

1. Kuasa Khusus ; dan 2. Kuasa Umum.

Surat Kuasa khusus adalah pemberian kuasa yang dilakukan hanya untuk satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam Surat Kuasa Khusus, didalamnya dijelaskan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang boleh dilakukan oleh penerima kuasa. Jadi karena ada tindakan-tindakan yang dirinci dalam Surat Kuasa tersebut, maka Surat Kuasa itu menjadi Surat Kuasa Khusus. Misalnya : kuasa untuk menjual (kuasa jual) tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya, kuasa untuk memberikan hak tanggungan (SKMHT) dan lain sebagainya.

Mengenai unsur tidak dapat dipindahkan kepada pihak lain, adalah merupakan salah satu hak yang dapat dimasukkan dalam pemberian kuasa yaitu hak substitusi sebagaimana diatur dalam pasal 1803 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hak substitusi tersebut memberikan hak bagi penerima kuasa untuk mensubstitusikan


(47)

kewenangannya sebagai penerima kuasa kepada pihak lain untuk bertindak sebagai penggantinya. Kata-kata “Kuasa ini diberikan tanpa hak untuk memindahkannya kepada pihak lain, baik sebagian maupun seluruhnya” bukan menunjukkan bahwa surat kuasa tersebut tidak dapat ditarik kembali, namun menunjukkan bahwa penerima kuasa tidak boleh menunjuk pihak lain untuk menggantikannya melaksanakan kuasa tersebut.

Sedangkan surat kuasa umum sebagaimana ternyata dalam ketentuan Pasal 1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan bahwa pemberian kuasa yang dirumuskan dengan kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan. Sehingga surat kuasa umum hanya boleh berlaku untuk perbuatan-perbuatan pengurusan saja. Sedangkan untuk memindah tangankan benda-benda atau sesuatu perbuatan lain yang hanya boleh dilakukan oleh pemilik tidak diperkenankan pemberian kuasa dengan surat kuasa umum melainkan harus dengan surat kuasa khusus.

Pemberian kuasa tersebut di atas, dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada seseorang yang diberi kuasa (penerima kuasa) untuk dan guna kepentingan yang memberi kuasa (pemberi kuasa) dalam melakukan perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan mengenai pengurusan, meliputi segala macam kepentingan dari pemberi kuasa, tidak termasuk perbuatan-perbuatan atau tindakan-tindakan yang mengenai kepemilikan (Pasal 1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa perkataan “umum” yaitu


(48)

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut hanya merupakan suatu perbuatan-perbuatan dan/atau tindakan-tindakan demi atau untuk kepentingan pemberi kuasa belaka.

Berbeda halnya dengan perkataan umum sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1795 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menitik beratkan untuk kepentingan pemberi kuasa, dalam perkataan umum (Pasal 1796 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) untuk menguraikan kewenangan (perbuatan-perbuatan dan/atau tindakan-tindakan) penerima kuasa harus dinyatakan dengan jelas dan tegas agar tidak memberikan penafsiran yang berbeda-beda.

Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata :

“Pemberian kuasa berakhir : dengan ditariknya kembali kekuasaannya si kuasa, dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.”

Pasal tersebut di atas adalah merupakan salah satu pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang cara berakhirnya suatu kuasa, dan pasal ini selalu dapat dijumpai pada pemberian kuasa yang terdapat dalam akta perikatan/perjanjian jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya yang dibuat di hadapan Notaris.

Bertolak belakang dengan apa yang tercantum dalam ketentuan Pasal 1795 dan Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dalam praktek sejalan dengan perkembangan hukum dan kepentingan atau kebutuhan masyarakat dikenal adanya


(49)

suatu kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, yang mana kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan perjanjian pokoknya dan merupakan salah satu syarat penting yang harus diadakan bagi terjaminnya pemenuhan syarat-syarat lain yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut, oleh karenanya kuasa tersebut harus tetap berlaku dan tidak dapat dicabut kembali selama perjanjian pokoknya masih berlaku dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Kuasa yang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian pokok yang dimaksud. Sifat dari kuasa tersebut menyimpang dari kuasa-kuasa pada umumnya, yang mana kuasa tersebut dibuat atau diberikan bukan untuk dan atas nama pemberi kuasa, namun akibat hukum yang timbul dari penggunaan kuasa tersebut adalah semata-mata demi kepentingan dari penerima kuasa itu sendiri.

Di samping jenis-jenis kuasa sebagaimana tersebut di atas, dewasa ini sering dijumpai adanya suatu kuasa yang dikenal dengan istilah “Kuasa Mutlak”, yang pada hakekatnya istilah tersebut bukanlah merupakan suatu istilah hukum, dan oleh karenanya untuk dapat memahami pengertian yang sebenarnya harus ditafsirkan secara etimologis. Menurut G.H.S. Lumban Tobing, secara etimologis pengertian pemberian kuasa mutlak adalah pemberian suatu kuasa kepada seseorang disertai dengan hak dan kewenangan serta kekuasaan yang sangat luas mengenai suatu obyek tertentu, kuasa mana oleh pemberi kuasa tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan batal atau berakhir karena alasan-alasan apapun, termasuk alasan-alasan dan/atau sebab-sebab yang mengakhiri pemberian suatu kuasa yang dimaksud dalam Pasal


(50)

dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan pertanggungan jawab selaku kuasa kepada pemberi kuasa.20

Menurut Bregstein dan Van Dergriten, dalam kuasa mutlak harus terdapat

causale handeling (perbuatan atau perbuatan yang ada dasar hukumnya) dan harus berdasarkan pada titel yang sah (dasar hukum yang sah), yaitu perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum atau melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.21

Dampak dari sebuah surat kuasa mutlak adalah bahwa pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasa yang telah diberikannya kepada penerima kuasa. Biasanya suatu kuasa dianggap sebagai kuasa mutlak apabila di dalam kuasa tersebut dicantumkan klausula bahwa pemberian kuasa tersebut diberikan dengan mengesampingkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata tentang cara berakhirnya suatu kuasa. Dengan demikian maka pemberi kuasa menjaditidak dapat lagi menarik kembali kuasa yang telah diberikannya tanpa adanya kesepakatan dari pihak penerima kuasa.

Surat kuasa mutlak ini dilarang digunakan dalam proses pemindahan hak atas tanah/jual beli tanah. Hal ini diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 yang bertujuan untuk mengatur ketertiban umum dalam bertransaksi jual beli tanah. Dalam huruf c konsideran Instruksi tersebut menyebutkan bahwa “Maksud dari larangan tersebut, untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung

20Media Notariat, Nomor 8-9, Tahun III, Oktober, 1988, Ikatan Notaris Indonesia. Hal. 16. 21 Djoko Supadmo, 1995, Ketentuan-ketentuan dan Komentar Mengenai Jual Beli, Tukar


(51)

dengan menggunakan bentuk “kuasa mutlak.” Tindakan demikian adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah.”

Peralihan hak atas tanah harus dilakukan melalui jual beli sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Jual beli kalau dilakukan melalui surat kuasa, hanya bisa dilakukan dengan menggunakan surat kuasa khusus yang di dalamnya harus khusus pula obyeknya karena surat kuasa tersebut nantinya akan dilekatkan pada minuta akta jual belinya berikut dengan fotocopy obyek yang disebut di dalam surat kuasa tersebut.

Sehubungan dengan apa yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil suatu pertanyaan : apakah suatu perjanjian (sah dan mengikat demi hukum) yang isinya selalu dapat dilaksanakan (khususnya mengenai kuasa yang tercantum dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli), apakah efektivitas pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli, serta apa keterkaitan antara pemberian kuasa yang terdapat dalam akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli dengan akta Kuasa Jual, dan apakah kuasa yang diberikan/dibuat untuk melakukan perbuatan hukum kepada penerima kuasa selalu demi kepentingan pemberi kuasa dan Apakah diperkenankan pembuatan akta Perikatan/Perjanjian Jual Beli disertai dengan pembuatan akta Kuasa Jual ? Hal inilah yang akan diketengahkan dalam pokok permasalahan.


(52)

2. KONSEPSI

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi dan antara abstraksi dan realitas.22

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus di definisikan beberapa konsep dasar agar tidak terjadi perbedaan pengertian. Untuk itu maka perlu diuraikan pengertian-pengertian dari konsep yang dipakai, yaitu :

Kuasa adalah pernyataan dengan mana seseorang memberikan wewenang kepada orang lain atau badan hukum untuk dan atas namanya melakukan sesuatu perbuatan hukum, yang mana perkataan “atas nama” dimaksudkan sebagai suatu peryataan bahwa yang diberi kuasa itu diberi kewenangan untuk mengikat ‘Pemberi Kuasa’ secara langsung dengan pihak lain, sehingga dalam hal ini perbuatan hukum yang dilakukan oleh ‘Penerima Kuasa’ berlaku secara sah sebagai perbuatan hukum yang dilakukan oleh ‘Pemberi Kuasa’ sendiri atau dapat dikatakan bahwa ‘Penerima Kuasa’ dapat bertindak atau berbuat seolah-olah ia adalah si pemberi kuasa.

Jual beli tanah adalah suatu perjanjian dengan mana penjual mengikat dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disetujui.23

22Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, Hal.4. 23Ibid, Hal. 21.


(53)

Perikatan/Perjanjian jual beli adalah merupakan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum yang dilakukan antara pihak penjual dan pihak pembeli, dalam mana pihak penjual berkehendak menjual barang atau benda miliknya kepada pihak pembeli dan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli barang atau benda milik pihak penjual tersebut yang dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris.

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang dimaksud Notaris adalah Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

Dalam pelaksanaan jual beli tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tegas dinyatakan, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, oleh karenanya para pihak bebas menuangkan isi perjanjian dalam suatu perjanjian dengan berpegang pada keabsahan suatu perjanjian (Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).

Berdasarkan pada ketentuan pasal tersebut di atas, maka sebagaimana halnya dengan Undang-undang, perjanjian yang dibuat secara sah antara para pihak harus ditaati dan dipenuhi oleh para pihak yang bersangkutan, termasuk jika terdapat klausula kuasa atau klasula kuasa yang tidak dapat dicabut kembali (kuasa mutlak) yang merupakan salah satu syarat dalam perjanjian tersebut.


(54)

Demikian apabila perjanjian pemberian kuasa tersebut dimasukkan sebagai klausula dalam suatu perjanjian pokok, misalnya dalam masalah ini, yaitu Perjanjian jual beli yang dikenal dengan Perikatan jual beli, maka hal ini tergantung dari pada sah atau tidaknya perjanjian pokok tersebut. Artinya apabila perjanjian pokoknya tidak sah atau batal demi hukum, maka klausula pemberian kuasa menjadi tidak berkekuatan hukum. Sebaliknya apabila perjanjian pokoknya sah, maka klausul pemberian kuasa menjadi berkekuatan hukum, dengan syarat klausul pemberian kuasa tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi dalam hal ini jika klausul pemberian kuasa tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan, maka perjanjian pokoknya tetap sah, hanya klausul kuasanya yang tidak berkekuatan hukum.

G. METODE PENELITIAN

1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci, menelaah dan menganalisa peraturan perundang-undangan, khususnya Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam kaitannya dengan pemberian kuasa dan/atau kuasa jual dalam Perikatan/perjanjian jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis sosiologis,24 yaitu sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi

24

Roni Hanitijo Soemitro, 1998, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Semarang, Ghalia Indonesia. Hal. 34.


(55)

peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan dengan kenyataan secara langsung yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai efektivitas pemberian kuasa dan/atau kuasa jual dalam Perikatan/perjanjian jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya serta proses balik namanya pada Kantor Pertanahan Medan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di wilayah Kota Medan, dengan pertimbangan bahwa kota Medan merupakan Ibukota propinsi Sumatera Utara, pusat kegiatan bisnis terbesar di wilayah Indonesia bagian barat, dan termasuk salah satu wilayah yang cukup strategis serta banyak instansi-instansi pemerintah sebagai pendukung. Adapun penelitian ini dilakukan yaitu di Kantor Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berdomisili dan berkedudukan di wilayah kota Medan dan Kantor Pertanahan Medan.

3. Sumber Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara mengumpulkan data sekunder dan data primer.

1. Data Sekunder.

Sebagai data sekunder dalam penelitian ini adalah bahan kepustakaan hukum dan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan pemberian kuasa dan/atau kuasa jual dalam perikatan/perjanjian jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya, juga dokumen-dokumen, bahan-bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dari instansi-instansi atau lembaga yang diteliti.


(56)

2. Data Primer.

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan, yaitu pemberi kuasa, penerima kuasa, penjual dan pembeli, dan kemudian untuk melengkapi dan mendukung data agar penelitian ini menjadi lebih sempurna, diperlukan juga data pendukung yang didapatkan dari nara sumber, yang terdiri dari :

1. Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berdomisili dan berkedudukan di wilayah kota Medan, sebanyak 3 (tiga) orang ;

2. Kepala/Pejabat Kantor Pertanahan Medan, sebanyak 1 (satu) orang ;

3. Kepala Bagian Hukum Kantor Pertanahan Medan, sebanyak 1 (satu) orang ; 4. Kepala/Pejabat Kantor Pelayanan Pajak Medan, sebanyak 1 (satu) orang ; dan 5. Kepala Panitera Pengadilan Negeri Medan, sebanyak 1 (satu) orang.

4. Metode Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang obyektif ilmiah dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat pula dipertanggungjawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui metode pengumpulan data, dengan menggunakan :

1. Penelitian Perpustakaan (Library Research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data sekunder berupa bahan hukum baik primer, sekunder maupun tertier yang berhubungan dengan materi penelitian.

2. Penelitian Lapangan (Field research), yaitu dilakukan untuk memperoleh data primer dari para Notaris dan/atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berdomisili


(57)

dan berkedudukan di wilayah kota Medan, Kantor Pertanahan Medan dan instansi terkait lainnya, sehingga dapat diperoleh data yang lebih komprehensif.

5. Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut:

1. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan menganalisa bahan pustaka. 2. Wawancara, langsung melalui nara sumber yang dapat dipercaya.

6. Analisis Data

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian dianalisis dengan cara kualitatif, sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata berbentuk tertulis maupun lisan dari orang-orang yang terkait dalam penelitian ini. Data peraturan perundang-undangan di bidang perikatan dan perjanjian khususnya mengenai pemberian kuasa dan/atau kuasa jual dalam perikatan/perjanjian jual beli tanah beserta segala benda-benda yang berada di atasnya pada Kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta proses balik namanya pada Kantor Pertanahan Medan, disusun secarasistematis.

Data primer sebagai data yang didapat langsung dari dari orang-orang yang terkait dalam penelitian ini dan nara sumber yang diperoleh melalui wawancara, dianalisis dengan menggunakan metode kualitatf yaitu tanpa menggunakan rumus-rumus statika, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai pemberian kuasa dan/atau kuasa jual dalam perikatan/perjanjian jual beli tanah


(58)

beserta segala benda-benda yang berada di atasnya pada Kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah serta proses balik namanya pada Kantor Pertanahan Medan.

Sebelum tahap analisis akhir, dilakukan terlebih dahulu pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang ada untuk mengetahui validitasnya. Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan editing data, pengolahan data, penelitian data dan pengkajian data, dan selanjutnya dianalisis secara logis dan sistematis dengan menggunakan metodeinduktifdandeduktif.


(59)

BAB II

EFEKTIFITAS PENERAPAN KUASA DALAM AKTA PERIKATAN JUAL BELI TANAH

A. Perikatan Jual Beli Tanah

UUPA yang diundangkan untuk mengakhiri dualisme hak atas tanah dilakukan konversi terhadap tanah-tanah barat menjadi tanah-tanah menurut ketentuan UUPA. Misalnya; hak eigendom kepunyaan orang asing dikonversi menjadi hak guna bangunan, hak eigendom kepunyaan warga negara Indonesia dikonversi menjadi hak milik, hak milik adat kepunyaan orang asing dikonversi menjadi hak guna bangunan atau hak guna usaha.

Diantara berbagai perbuatan hukum yang menyangkut hak atas tanah, maka jual beli menduduki peringkat utama dari segi frekuensinya.

Sejak tanggal 24 September 1960 unifikasi dalam bidang hukum tanah telah tercapai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang berarti bahwa untuk hal-hal yang berkenaan dengan tanah, dualisme hukum telah berakhir.25

Konversi dari hak-hak bekas hak barat (KUH Perdata) telah berakhir semenjak tanggal 24 September 1980, maka dengan demikian seluruh tanah-tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai kembali oleh negara. Tanah-tanah tersebut harus diselesaikan menurut ketentuan Keppres nomor 32 tahun 1979 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.


(60)

UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli tanah, tetapi biarpun demikian mengingat bahwa hukum agraria kita sekarang ini memakai sistem dan asas-asas hukum adat, maka pengertian jual beli tanah sekarang harus pula diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat.26

Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan).27

Disamping itu dapat dilihat pendapat dari Subekti tentang jual beli yang menyatakan bahwa : “Jual Beli adalah suatu perjanjian dan dengan perjanjian itu pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”.28

Dari pengertian jual beli tersebut di atas dapat diambil beberapa unsur dalam suatu perjanjian jual beli yaitu :

1. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang 2. Adanya persetujuan pihak-pihak

3. Penyerahan hak milik atas suatu barang dan 4. Pembayaran harga yang diperjanjikan.

26Ibid.Hal. 13

27Effendi Perangin-angin,Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Pers,

Jakarta, 1986, Hal. 1


(1)

B. SARAN

1. Kepada masyarakat disarankan agar sebelum membuat suatu perjanjian agar terlebih dahulu berkonsultasi dengan Notaris/PPAT sehingga nantinya di dalam akta yang akan dibuat tersebut kepentingan para pihak dapat dituangkan secara obyektif, berimbang dan tidak berpihak yang dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai akta otentik.

2. Khususnya kepada masyarakat pelaku bisnis property hendaknya memperhatikan etika dalam menjalankan usahanya, jangan dikarenakan demi meraup keuntungan semata meniadakan kewajiban-kewajiban yang memang seharusnya dijalankan (seorang wajib pajak yang baik tentunya akan melakukan kewajibannya untuk membayar pajak, bukannya sebaliknya menghindar pajak), dengan demikian tentunya akan mempermudah dan tidak akan selalu memojokkan Notaris untuk menjalankan tugas dan wewenangnya.

3. Sebagai seorang calon Notaris yang yang nantinya akan diangkat dan telah mendapatkan pendidikan formal serta telah lulus pendidikan program Magister Kenotariatan, namun ilmu yang didapatkan dari dunia pendidikan formal sering tidak memadai dengan cakupan persoalan aktual di lapangan, oleh karena itu perlu banyak berkonsulstasi dan bertanya kepada senior, banyak membaca buku dan mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh Pemerintah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Adiwinata, Saleh,Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Cet. 2 Bandung, Alumni, 1980.

Abdoel Djamali, R, Pengantar Hukum Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993.

Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, 1988.

Badrulzaman Darus, Mariam,Aneka Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, 1981.

Boediarto, Ali, Putusan Badan Peradilan, Majalah Varia Peradilan, Edisi Oktober, 1990.

Budiono, Herlien, Larangan Kuasa Mutlak, Majalah Projustitia, Nomor 17 Maret 1982.

Bustami, Chairani,Aspek-aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis pada Program Pasca Sarjana USU Medan, 2002.

_____________, Bahan Kuliah Teknik Pembuatan Akta II, Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, 2002.

Dirdjosisworo, Soedjono, Hukum Perusahaan Mengenai Bentuk-Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) Di Indonesia. Mandar Maju, Bandung. 1997.

Darus Badrulzaman, Mariam dan Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan. Citra Aditya Bakti, Bandung. Hal. 1.

Ediwarman, Victimologi (Kaitannya Dengan Pelaksanaan Ganti Rugi), Mandar Madju-Bandung, 1999.

Harahap Yahya M,Segi-segi Hukum Perjanjian,Bandung, Alumni, 1986. Harsono, Boedi,Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1999.


(3)

H.S. Salim,Hukum Kontrak,Sinar Grafika, 2003.

Husein, Ali Sofyan, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan PPs-USU, 2002.

Khairandy, Ridwan,Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI Pasca Sarjana, 2003.

Lumban, Tobing. G.H.S., Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga Ciracas, Jakarta, 1983.

Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis,Alumni, Bandung, 1994.

________________, dan Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001.

Meliala, Djaja S., Pemberian Kuasa Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,Tarsito, Bandung, 1982.

Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1980.

_______________, dan A. Pitlo,Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002.

Murad, Rusmadi, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Alumni Bandung, 1991.

Mhd.Yamin Lubis dan Abd.Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung, Mandar Maju, 2008.

Nico, Tanggung Jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Center for Documentation Studies of Business Law (CDSBL), Yogyakarta, 2003.

Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Edisi I, Jakarta, Rajawali, 1982.


(4)

Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandang Praktis Hukum,Rajawali Pers, Jakarta, 1986.

______________, Praktek Jual Beli Tanah, Manajemen PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

______________, 401 Pertanyaan dan Jawaban Tentang Hukum Agraria, Cet. 3, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1994.

Prodjodikoro, Wirjono,Asas-asas Hukum Perjanjian,Sumur Bandung, 1973.

Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ira,Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001.

Saleh, K. Wantjik,Hak Anda Atas Tanah,Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977.

Sembiring, MU, Tehnik Pembuatan Akta, Program Pendidikan Spesialis Notariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 1997.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989.

Sjahdeini, Remy Sutan, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993.

Soedharyo, Soimin,Status Hak dan Pembebasan Tanah,Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Soedjendro, J. Kartini, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, 2001.

Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, Cet. 2 , Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1983.

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.


(5)

Subekti. R. dan Tjitrosudibio. R., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet-XIV, Tahun 1981.

Subekti R.,Perbandingan Hukum Perdata,Pradnya Paramita, Jakarta, 1985. ___________,Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Internusa, 1985.

___________,Aneka Perjanjian,Cet. 10, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 1995. ___________,Hukum Perjanjian,Jakarta, Penerbit PT. Internusa, 1996.

Soemitro, Hanitijo Roni, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Semarang, Ghalia Indonesia. 1998.

Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama:Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia,( Bandana, Alumni, 1999).

Sunggono, Bambang,Metodologi Penelitian Hukum,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Supadmo, Djoko, Seri-B Bagian Pertama Ketentuan-ketentuan dan Komentar Mengenai Jual Beli, Tukar Menukar, Sewa Menyewa, Dalam Praktek Teknik Pembuatan Akta,Bina Ilmu, Surabaya, 1995.

Tirtaamidjaja,Pokok-pokok Hukum Perniagaan,Djambatan, Jakarta, 1970. Wantjik Saleh, K,Hak Anda Atas Tanah,Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977.

Widjaja, Gunawan dan Muljadi, Kartini, Jual Beli, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Widjaya, Rai I.G.,Merancang Suatu Kontrak,Megapoin, Jakarta, 2003.

__________,Seri Hukum Perikatan Jual Beli,PT. Radja Grafindo, Jakarta, 2003. Wiryono, Prodjodikoro R., Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan

Tertentu,Sumur, Bandung, 1974. B. ARTIKEL, MAJALAH DAN DIKTAT

Adjie, Habib,Penegakan Etika Profesi Notaris dari Perspektif Pendekatan Sistem”, Media Notariat, Edisi April – Juni, INI, Jakarta, 2002.


(6)

Asshiddigie, Jimly,“Independensi Dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah,” Renvoi 3 Juni 2003.

Sumardjono Maria S., Aspek Teoritis Peralihan Hak Atas Tanah Menurut UUPA, disampaikan pada pelatihan Teknik Yustisial Peningkatan Pengetahuan Hukum Pada Wakil Ketua/Hakim Tinggi Peradilan Umum 21 Juli 1995 di Semarang.

Sutjipto, “Kemandirian PPAT Selaku Pejabat Umum Dalam Pembuatan Akta-Akta Yang Berkaitan Dengan Tanah,” (Makalah Program Pengenalan Kampus Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 29 Agustus 2003).

Tumpa, Harifin A., Surat Kuasa Mutlak, Varia Peradilan Nomor 142, Juli, 1997, Tahun XII.

Media Notariat, Nomor 26-27, Tahun VIII, Januari-April, 1993, Ikatan Notaris Indonesia, 1993.

Himpunan Peraturan Dan Perundang-Undangan Di Bidang Kenotariatan, 2011, Ikatan Notaris Indonesia. Jakarta, 2011.

Media Notariat, Nomor 8-9, Tahun III, Oktober, Ikatan Notaris Indonesia, 1988. C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-undang Tentang Rumah Susun, UU No. 16, LN No. 75 tahun 1985, TLN No. 3317, Pasal 10 ayat (2).

Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang UUJN, Bp. Pustaka Candra, Jakarta, 2004.

Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No.24 Tahun 1997, LN No. 59 Tahun 1997, TLN No.3696, Ps. 1 ayat 1.

Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN 3746, Ps 1 ayat 1.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lihat juga Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA.