BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekositem Danau Toba - Studi Komparasi Keanekaragaman Makrozoobentos Diperairan Haranggaol, Danau Toba, Sumatera Utara

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekositem Danau Toba

  Ekosistem perairan pesisir di Indonesia merupakan kawasan yang akhir- akhir ini mendapat perhatian cukup besar dalam berbagai kebijakasanaan dan perencanaan pembangunan di Indonesia. Wilayah ini kaya dan memiliki beragam sumber daya alam yang telah dimanfaatkan sebagai sumber bahan makanan utama, khususnya protein hewani (Rachmawaty, 2011).

  Ekosistem air tawar merupakan sumber daya air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan industri. Selain ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan berbagai jenis limbah yang memadai dan paling murah yang sering disalahgunakan manusia dengan membuang segala limbah ke sistem perairan alami tersebut (Barus, 2004).

  Secara empiris wilayah pesisir merupakan tempat aktivitas ekonomi yang mencakup perikanan laut dan pesisir, transportasi dan pelabuhan, pertambangan, kawasan industri, agrobisnis dan agroindustri, rekreasi dan pariwisata serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah. Selain memiliki potensi yang besar, beragamnya aktivitas manusia di wilayah pesisir menyebabkan daerah ini merupakan wilayah yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan pesisir, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah (Dahuri, 2002).

  Danau Toba merupakan suatu ekosistem air telah banyak mengalami perubahan terutama akibat dari berbagai aktivitas manusia yang terdapat disekitarnya. Danau Toba yang mempunyai luas permukaan lebih kurang1.100 kilometer persegi, dengan total volume air sekitar 1.258 kilometer kubik, merupakan danau yang paling luas di Indonesia. Danau ini merupakan sumber daya air yang mempunyai nilai yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, hidrologi serta fungsi ekonomi. Hal ini berkaitan dengan fungsi Danau Toba sebagai habitat berbagai jenis organisme air, sebagai sumber air minum bagi masyarakat sekitarnya, sebagai sumber air untuk kegiatan pertanian dan budidaya perikanan serta untuk menunjang berbagai jenis industri, seperti kebutuhan air untuk industri pembangkit listrik Sigura-gura dan Asahan. Tidak kalah pentingnya adalah fungsi Danau Toba sebagai kawasan wisata yang sudah terkenal kemancanegara dan sangat potensial untuk pengembangan kepariwisataan di Provinsi Sumatera Utara (Barus, 2007).

2.2 Bentos

  Lingkungan perairan sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup manusia yang semakin membutuhkan peningkatan hasil sumber daya perairan sehingga upaya penyelamatan perairan. Kualitas lingkungan perairan sangat ditentukan oleh kehidupan organisme aquatik di perairan. Gangguan pada suatu perairan akibat dari tekanan lingkungan oleh kegiatan manusia maupun proses alamiah. Saat ini perkembangan industri yang paling pesat terletak di sepanjang daerah pesisir yang menyebabkan beban yang ditanggung wilayah ini semakin berat bahkan dapat mengakibatkan sekaratnya lingkungan perairan (Noortiningsih et,al., 2008).

  Menurut Barus (2004), semua organisme air yang hidunya terdapat pada substrat dasar suatu perairan, air yang bersifat sesil (melekat) maupun vogil (bergerak bebas) termasuk dalam kategori bentos. Berdasarkan sifat hidupnya dibedakan antara fitobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat tumbuhan dan zoobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat hewan. Kelompok ini masih dibedakan menjadi efifauna, yaitu bentos yang hidupnya diatas substrat dasar perairan dan infauna, yaitu bentos yang hidupnya terbenam di dalam substrat dasar perairan. Selanjutnya berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat dibagi menjadi holobentos yaitu kelompok bentos yang bersifat bentos pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya. Berdasarkan ukuran tubuhnya, bentos dapat dibagi menjadi makrobentos (>2mm), meiobentos (0,2-2mm) dan mikrobentos (,0,2mm)

  Berdasarkan ukurannya, bentos dapat digolongkan ke dalam kelompok bentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan makrozoobentos. Diantara bentos yang relatif mudah diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis yang termasuk dalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos. Ukuran tubuh makrozoobentos dapat mencapai sekurang-kurangnya 3 hingga 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum (Nugroho, 2006).

  Keberadaan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi bentos dan interaksi spesies serta pola siklus hidup dari masing-masing spesies dalam komunitas. Adapun faktor abiotik adalah fisika-kimia air yang diantaranya: suhu, arus, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimia (COD), serta kandungan nitrogen (N), kedalaman air, dan substrat dasar (Syamsurisal, 2011).

  Sebagai organisme dasar perairan, bentos mempunyai habitat yang relatif menetap. Dengan sifatnya yang demikian, perubahan kualitas air dan substrat tempat hidup bentos tersebut sangat mempengaruhi komposisi maupun kelimpahannya. Komposisi maupun kelimpahan makrozoobentos bergantung pada toleransi atau sensitifitasnya terhadap perubahan lingkungan. Pentingnya peran bentos dalam lingkungan perairan cukup membantu terutama dalam mengetahui kualitas lingkungan perairan, membantu proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik di perairan. Kelebihan lain makrozoobentos di perairan adalah dapat dijadikan sebagai bahan indikator pencemaran organik, dan memberi respon terhadap bahan organik (Fajriansyahet, al., 2011).

2.3 Makrozoobentos Sebagai Bioindikator

  Bentos sering digunakan sebagai indikator atau petunujuk kualitas air. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme makrozoobentos karena makrozoobentos merupakan biota air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1993).

  Penurunan kualitas perairan dapat menyebabkan terjadinya perubahan komposisi organisme yang menghuni suatu perairan tersebut. Komunitas organisme yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menduga kualitas perairan tempat organisme itu berada umumnya ialah makrozoobentos. Hal ini dikarenakan hewan ini hidupnya bersifat relatif menetap, pergerakan yang rendah, serta kemampuannya untuk mengakumulasi bahan pencemar di dalam tubuhnya. Pendekatan kualitas perairan sungai dengan melihat struktur organisme dalam hal ini makrozoobentos yang ada di sungai dikenal sebagai pendekatan secara biologi (Anzani, 2012).

  Makrozoobentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap serta memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran makrozoobentos dalam keseimbangan suatu ekosistem perairan termasuk lahan budidaya dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada suatu kawasan tertentu ( Pong- masak, 2006).

  Menurut (Barus, 2004) ada beberapa alasan dalam pemilihan bentos sebagai bioindikator kualitas suatu perairan yaitu: a. pergerakannya yang sangat terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel b. ukuran tubuh relatif besar sehingga relatif mudah diidentifikasi.

  c. hidup di dasar perairan serta relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah oleh kondisi air disekitarnya.

  d. peledahan yang terus menerus mengakibatkan bentos sangat terpengaruh oleh berbagai perubahan lingkungan yang mempengaruhi kondisi air tersebut.

  e. perubahan faktor-faktor lingkungan ini akan mempengaruhi keanekaragaman komunitas bentos. Setiap takson dari bentos mempunyai toleransi yang berbeda terhadap perubahan faktor lingkungan. Ada jenis bentos tertentu yang toleran terhadap faktor lingkungan abiotik yang besar, sementara jenis lainnya sangat sensitif.

  Menurut Nugroho (2006), beberapa kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemar organik yaitu: a. mudah ditemukan di habitat perairan.

  b. jumlahnya sangat banyak, pada lingkungan yang berbeda jenis bentos yang hidup berbeda pula.

  c. kali yang kecil kadang-kadang tidak dapat menjadi tempat hidup ikan, tetapi dapat menjadi tempat hidup bentos.

  d. Perpindahan atau mobilitasnya sangat terbatas (immobil), sehingga mudah diawasi.

  e. Ukurannya kecil tetapi mudah dikumpulkan, dikoleksi dan diidentifikasi.

  f. Pengamatan dapat dilakukan lebih cepat dengan peralatan sederhana. g. Bentos adalah konsumsi sebagian besar ikan, sehingga perubahan pada komunitas bentos dapat mempengaruhi jaring-jaring makanan di perairan tersebut. Adapun kelemahan penggunaan bentos sebagai indikator adalah: a. Bentos tidak selalu bereaksi terhadap seluruh perubahan lingkungan.

  b. Sebagian jenis bentos hidup musiman.

  c. Karena ukurannya kecil, bentos mudah terbawa arus.

2.4 Faktor Fisik-Kimia Perairan

  2.4.1 Suhu

  Kenaikan suhu air tesebut akan mengakibatkan menurunnya oksigen terlarut di dalam air, meningkatnya kecepatan reaksi kimia, terganggunya kehidupan ikan dan hewan air lainnya. Naiknya suhu air yang relatif tinggi seringkali di tandai dengan munculnya hewan air lainnya ke permukaan air untuk mencari oksigen. Jika suhu tersebut tidak juga kembali pada suhu normal, lama kelamaan dapat menyebabkan kematian hewan lainnya (Nugroho, 2006).

  Berdasarkan suhunya, suatu badan air dapat di bagi atas epilimnion dan hipolimnion. Bagian epilimnion merupakan lapisan air bagian atas yang mendapat panas dari sinar matahari sehingga air bagian atas lebih panas dan ringan dari hipolimnion yaitu lapisan bawah yang tidak terkena cahaya matahari. Batas antara epilimnion dan hipolimnion disebut termoklin. Karena berbedanya suhu perairan berdasarkan kedalamannya maka pengukuran suhu badan air selalu diukur berdasarkan kedalaman yang berbeda (Suin, 2002).

  2.4.2 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)

Dissolved Oxygen (DO) merupakan oksigen terlarut dalam suatu perairan.

  Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme-organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur. Kelarutan oksigen di dalam air terdapat 0⁰C, yaitu sebesar m/l O

2. Dengan terjadinya peningkatan temperatur akan menyebabkan konsentrasi

  oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan meningkat konsentrasi oksigen terlarut. Oksigen terlarut di dalam air bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik. Kisaran toleransi- toleransi makrozoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda ( Barus, 2004).

  Naik turunnya kadar oksigen terlarut dalam air itu disebut fluktuasi oksigen (oxygen pulse). Besarnya fluktuasi oksigen dalam suatu badan air sangat menentukan kehidupan hewan air. Hewan air yang kurang tahan pada air yang kadar oksigennya rendah, titik kritis baginya adalah pada saat kadar oksigen di malam hari. Karena itu fluktuasi kadar oksigen terlarut sangat penting diukur dalam studi ekologi perairan ( Suin, 2002).

  2.4.3 pH ( Derajat Keasaman)

  Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan, didefenisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara

  • matematis dinyatakan sebagai pH = log I/H, Dimana H adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah larutan tersebut bersifat asam atau basa. Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 samapi 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat terutama ion Aluminium yang bersifat toksik, semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme air. Sedangkan pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu (Barus, 2004).

  2.4.4 Biochemical Oxygen Demand(BOD)

  Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses pengurain senyawa organik yang diukur pada temperatur 20⁰C. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimiawi. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD ). Disamping itu bisa juga dilakukan pengukuran selama 1

  5

  hari, 2 hari dan seterusnya, sesuai dengan kebutuhan dan faktor waktu yang tersedia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD adalah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses penguraian (Barus, 2004).

  2.4.5 Substrat Dasar

  Keadaan substrat dasar badan air juga penting diketahui. Kehidupan organisme air ada juga ketergantungannya dengan bahan dan ukuran partikel dasar badan air. Dengan mengetahuinya bahan dasar dan ukuran partikel dasar perairan akan di dapat informasi yang mungkin dapat menunjukkan tipe fauna yang terdapat di substrat badan air itu (Suin,2002).

  Organisme air yang hidup pada substrat dasar suatu ekosistem air sangat tergantung kepada tipe substrat dan kandungan bahan nutrisi/ organik yang terdapat di dalam suatu substrat tersebut. Oleh karena itu analisis terhadap substrat baik tipe maupun terhadap kandungan bahan organiknya (Barus,2004).

Dokumen yang terkait

BAB II PROFIL PT. PLN (Persero) - Sistem Informasi Penagihan Tunggakan dan Pelunasan Rekening Listrik di PT. PLN (Persero) Rayon Johor

1 2 14

BAB II GAMBARAN UMUM KPP PRATAMA MEDAN BELAWAN - Mekanisme Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Belawan

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Mekanisme Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Belawan

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

BAB II PELAKSANAAN SERTIFIKASI HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI AJUDIKASI PASCA BENCANA TSUNAMI A. Pengertian dan Dasar Hukum Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Band

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Banda Aceh

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Gliserol Tribenzoat Dengan Proses Esterifikasi Menggunakan Katalis H-Zeolit Teraktivasi Oleh Asam Sulfat

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Cedera Otak - Peran Inhibitor HMG-CoA Reduktase Dalam Penurunan Interleukin-6 Terhadap Hasil Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri

0 0 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Corporate Governance - Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris dan Komite Audit Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba - Kepadatan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) dan Pola Pertumbuhannya di Perairan Haranggaol Danau Toba

0 1 11