BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba - Kepadatan Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) dan Pola Pertumbuhannya di Perairan Haranggaol Danau Toba

5

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Danau Toba
Ekosistem air yang terdapat di daratan (inland water) secara umum dapat dibagi 2
yaitu perairan lentik (lentic water) yang berarti perairan tenang, misalnya danau,
rawa, waduk, telaga dan sebagainya; dan perairan lotik (lotic water) yang berarti
perairan yang berarus deras, misalnya sungai, kali, parit dan sebagainya.
Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam kecepatan arus air.
Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi
massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004).
Ekosistem Kawasan Danau Toba adalah seluruh wilayah daerah tangkapan
air (DTA) Danau Toba mencakup daerah hulu (Sub DAS Hulu) dari DAS Sungai
Asahan. Danau Toba merupakan hulu dari sungai Asahan dimana sungai tersebut
berasal dari perairan Danau Toba. Ekosistem Kawasan Danaua Toba terletak di
dataran tinggi Bukit Barisan di Provinsi Sumatera Utara, secara geografis terdapat
antara koordinat 2°10’ LU - 3°0’ LU dan 98°20’ BT - 99°50’ BT. Ekosistem
Kawasan Danau Toba mencakup daratan pulau Sumatera (mengelilingi bagian
luar Danau Toba) seluas 190.314 ha; daratan pulau Samosir seluas 69.280 ha dan

luas permukaan air Danau Toba 112.959 ha (Nasution et al, 2010).
Danau Toba merupakan suatu perairan yang banyak dimanfaatkan oleh
beberapa sektor seperti pertanian, perikanan, pariwisata, perhubungan dan juga
merupakan sumber air minum bagi masyarakat di kawasan Danau Toba.
Pemanfaatan danau memberikan imbas terhadap penurunan kualitas air akibat
berbagai aktivitas masyarakat di mana Danau Toba juga digunakan sebagai
tempat membuang berbagai jenis limbah yang dihasilkan dari kegiatan pertanian
di sekitar Danau Toba, limbah domestik dari pemukiman dan perhotelan, limbah
nutrisi dari sisa pakan ikan yang tidak habis dikonsumsi oleh ikan yang
dibudidayakan dalam keramba jaring apung (Barus, 2007).

5

6

2.2 Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.)
Ikan bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) merupakan ikan endemik dan
bernilai ekonomis penting di danau Singkarak, Sumatera Barat (Kottelat, M. et al.
1993). Sebagai ikan endemik, Danau Singkarak merupakan habitat asli dari ikan
bilih (Febriani, 2010). Pada tahun 2002, ± 90% dari hasil tangkapan nelayan di

Danau Singkarak adalah ikan bilih (Kartamihardja & Sarnita, 2008).
Klasifikasi ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) menurut Sa’anin
(1979) adalah sebagai berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Kelas

: Pisces

Sub Kelas

: Teleostei

Ordo


: Ostariophysi

Sub ordo

: Cyprinoidea

Famili

: Cyprinoidea

Genus

: Mystacoleucus

Spesies

: Mystacoleucus padangensis Blkr.
Ikan bilih (M. padangensis) mempunyai kekuatan berkompetisi yang


tinggi dalam memanfaatkan sumberdaya pakan yang ada di perairan tersebut,
karena jenis pakan utama ikan bilih berbeda dengan jenis pakan utama ikan
lainnya. Pakan utama ikan bilih adalah plankton (berupa fitoplankton dan
zooplankton). Sedangkan pakan pelengkapnya berupa detritus dan potongan
tumbuhan. Ada 43 jenis (genus) dari plankton yang dapat dimanfaatkan sebagai
makanan oleh ikan bilih. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi jenis pakan ikan
bilih beragam. Di samping beragam, ikan bilih juga selektif memilih jenis
pakannya. (Azhar, 1993).
Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis Blkr.) merupakan jenis ikan tawar
yang hidup dan bersifat endemik di perairan Danau Singkarak. Panjang ikan Bilih
dewasa berkisar antara 58,00-107,00 mm dengan panjang rata-rata 89,00 mm.
Bobot tubuh berkisar antara 3,00-10,50 gram, dengan rata-rata 6,80 gram. Tinggi
badan rata-rata 18,50 mm dengan ekor bertipe homocercal. Jari-jari pada sirip
punggung, dada, dan perut masing-masing terdiri dari jari-jari keras 1 buah dan

6

7

umlah 8-9 buah. Pada garis sisi (linea laterali

jari-jari lemah berjum
ralis) terdapat sisik
sebanyak 35 buah dan di atas garis sisi sebany
nyak 5 buah. Sisik
yang besifat sikloidd se
pai ekor daerah bawah berwarna putih keperak
daerah perut sampai
rakan. Sedangkan
sisik di atas garis sisi atau bagian punggung berwarna agak gela
elap (kecoklatan).
miliki sungut (Yonwarson, 1996).
Ikan Bilih tidak memi

ambar 1. Mystacoleucus padangensis Blkr..
Gam
penelitian yang telah dilakukan oleh Azharr ((1993) di danau
Berdasarkann pe
umum ikan bilih jantan berukuran lebih kecil
cil dari pada ikan
Singkarak, secara um

kelas panjang 53bilih betina. Ikan bilih jantan pertama kali matang gonad pada ke
panjang 53,00-57,00 mm sampai pada kelas
las panjang 68,0057 mm. Pada kelass pa
kan ukuran panjang ikan jantan yang paling
ng produktif untuk
72,00 mm merupakan
belum bisa atau
reproduksi. Di luarr kkelas panjang tersebut ikan bilih jantann be
puan reproduksinya. Sedangkan pada ikan bilih betina, matang
berkurang kemampua
dicapai pada ukuran panjang 62,00-67,00 mm
m. Kelas panjang
gonad pertama kalii di
oduktif untuk ikan bilih betina melakukan reproduksi
oduksi adalah pada
yang paling produktif
62,00-67,00 mm sampai pada kelas panjang 80,00
80,00-85,00 mm.
kelas panjang 62,00kurang kemampuan
Diluar kelas panjangg iini, ikan bilih betina belum bias atau berkura

lam setahun ikan bilih dapat memijah lebihh da
dari tiga kali dan
reproduksinya. Dalam
da m
musim.
tidak tergantung pada
populasi dan stok ikan tidak hanya terjadi aki
akibat penurunan
Penurunan popul
ntensitas penangkapan, juga diperkirakan seba
ebagai akibat dari
kualitas air, dan inte
roduksi dan perubahan ketersediaan makanan.
an. Dalam konsep
rendahnya laju reproduk
nan ikan menjadi salah satu komponenn penentu bagi
ekosistem, makanan
dup ikan akan mempengaruhi dalam prose
oses pertumbuhan
kelangsungan hidup

(Febriani, 2010).
7

8

2.3 Siklus Hidup Ikan Bilih

Ikan bilih melakukan reproduksi atau pemijahan dengan mengikuti aliran air di
sungai yang bermuara di danau. Induk jantan dan betina beruaya ke arah sungai
dengan kecepatan arus berkisar antara 0,3-0,6 m/detik dan kedalaman antara 1020 cm. Habitat pemijahan adalah perairan sungai yang jernih, dengan suhu air
relatif rendah, berkisar 24,0-26,0°C, dasar sungai yang berbatu kerikil dan atau
pasir (Sinaga, 2011).
Sesudah masa larva berakhir bentuk ikan hampir serupa dengan induk.
Beberapa bagian tubuhnya meneruskan pertumbuhannya. Pada umumnya
perubahan tadi hanya merupakan perubahan kecil saja seperti panjang sirip dan
kemontokan ikan. Selain itu terdapat pula perubahan yang bersifat sementara
misalnya perubahan yang berhubungan dengan kematangan gonad. Perubahanperubahan itu dinamakan pertumbuhan allometrik atau heterogenik. Apabila pada
ikan terdapat perubahan terus menerus secara proporsionil dalam tubuhnya
dinamakan pertumbuhan isometrik atau isogenik (Effendie, 2002).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi pemijahan ikan bilih adalah arus

air dan substrat dasar. Ikan bilih menuju ke daerah pemijahan menggunakan
orientasi visual dan insting. Sesampai di habitat pemijahan, betina melepaskan
telur dan bersamaan jantan melepaskan sperma untuk membuahi telur. Telur yang
telah dibuahi berwarna transparan dan tenggelam di dasar sungai (di kerikil atau
pasir) untuk kemudian hanyut terbawa arus air masuk ke danau. Telur-telur
tersebut akan menetas di danau sekitar 19 jam setelah dibuahi pada suhu air antara
27,0-28,0°C dan larva berkembang di danau menjadi dewasa (Sinaga, 2011).
Populasi ikan bilih memijah setiap hari sepanjang tahun, mulai dari sore
sampai dengan pagi hari. Puncak pemijahan ikan bilih terjadi pada pagi hari mulai
dari jam 5.00 sampai dengan jam 9.00, seperti diperlihatkan dengan banyak telur
yang dilepaskan. Pemijahan ikan bilih bersifat parsial, yakni telur yang telah
matang kelamin tidak dikeluarkan sekaligus tetapi hanya sebagian saja dalam satu
kali periode pemijahan (Kartamihardja & Purnomo, 2006).

8

9

2.4 Hubungan Panjang-Berat
Berat dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjang. Hubungan

panjang dengan berat hampir mengikuti hukum kubik yaitu bahwa berat ikan
sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Tetapi hubungan yang terdapat pada ikan
sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Dengan
melakukan analisa hubungan panjang berat ikan tersebut maka pola pertumbuhan
ikan dapat diketahui. Selanjutnya dapat diketahui bentuk tubuh ikan tersebut
gemuk atau kurus (Effendie, 1997).
Menurut Febriani (2010), ikan bilih jantan yang diperoleh mempunyai
kisaran ukuran panjang yang lebih sempit dibanding ikan betina, namun
mempunyai berat yang lebih besar. Menurut Raharjo et all., (2011), pertumbuhan
dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor intrinsik (dalam) dan faktor ekstrinsik (luar).
Faktor intrinsik adalah faktor yang timbul dari dalam diri ikan itu sendiri, meliputi
antara lain sifat keturunan, umur/ukuran, ketahanan terhadap penyakit dan
kemampuan memanfaatkan makanan. Faktor ekstrinsik meliputi sifat fisik dan
kimiawi perairan serta komponen hayati seperti ketersediaan makanan dan kompetisi.

2.5 Tingkat Kematangan Gonad
Menurut Sjafei dkk. (1992) perkembangan gonad dipengaruhi oleh faktor dalam
(jenis ikan, hormon) dan faktor luar (suhu, pakan, intensitas cahya, pH, nitrogen
dan metabolitnya, alkalinitas, kesadahan dan zat buangan yang berbahaya bagi
kehidupan ikan diperairan). Faktor luar yang sering mendapat perhatian khusus

untuk memacu perkembangan gonad adalah pakan. Menurut Kham (1998), Pada
tahap perkembangan gonad sebagian besar metabolisme tertuju kepada gonad
sehingga gonad akan mengalami perubahan histologik, morfologik, berat dan
volume yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan tingkat
kematangan gonad.
2.6 Perbandingan Jenis Kelamin (Sex Ratio)
Rasio Kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dengan
jumlah ikan betina dalam suatu populasi dimana perbandingan 1:1 yaitu 50%
jantan dan 50% betina merupakan kondisi yang ideal untuk mempertahankan
spesies. Namun pada kenyataannya di alam perbandingan rasio kelamin tidaklah

9

10

mutlak, hal ini dipengaruhi oleh pola distribusi yang disebabkan oleh ketersediaan
makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie,
1997).

2.7 Faktor Fisik Kimia Perairan
2.7.1 Faktor Fisik Perairan
Pengukuran faktor lingkungan abiotik dalam studi ekologi penting dilakukan
untuk mengetahui faktor yang besar pengaruhya terhadap keberadaan dan
kepadatan populasi. Faktor lingkungkungan abiotik secara garis besar dapat dibagi
atas faktor fisik dan kimia. Faktor fisik air yang sering merupakan faktor
pembatas bagi organisme air sehingga faktor fisik tersebut sering diukur di dalam
studi ekologi perairan (Suin, 2002).

2.7.1.1 Suhu
Suhu berpengaruh langsung terhadap tumbuhan dan hewan, yakni pada laju
fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya derajat
metabolisme dan siklus reproduksinya. Selain itu suhu juga berpengaruh tidak
langsung terhadap kelarutan CO2 yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan
O2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut (Sitorus, 2009).
Menurut hukum Vant Hoffs, kenaikan temperatur sebesar 10°C (hanya
pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkat laju metabolisme
dari organisme sebesar 2-3 kali lipat, meningkatnya laju metabolisme akan
menyebabkan konsumsi

oksigen meningkat,

sementara dengan

naiknya

temperatur akan mengakibatkan kelarutan oksigen dalam air menjadi berkurang.
Hal ini menyebabkan organisme air akan mengalami kesulitan untuk melakukan
respirasi (Barus, 2004).
Danau yang mengalami stratifikasi termal. Di musim panas, air di
permukaan danau akan lebih hangat dan karena itu kurang padat daripada air pada
kedalaman lebih besar, dan cenderung untuk membentuk dua lapis yang berbeda.
Lapisan permukaan (epilimnion) umumnya berada antara kedalaman 5 dan 8 m,
dan lapisan yang lebih padat, hypolimnion yang lebih dingin. Lapisan permukaan
dingin di musim dingin dan menjadi lebih padat, sehingga memungkinkan
pencampuran yang lebih besar. Pencampuran dapt dipengaruhi oleh angin, dan
10

11

penting karena dua lapisan memiliki sifat yang berbeda; lapisan bawah berisi DO
lebih rendah dan lebih banyak nutrisi dari pada permukaan. Danau tropis yang
dalam umumnya mengalami pembagian suhu sepanjang tahun (Arnel, 2002).

2.7.1.2 Intensitas Cahaya
Intensitas merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan.
Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang
akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Apabila
intensitas cahay berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga
oksigen dalam air makin berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk
metanolisme (Barus, 1996). Fotosintesis hanya dapat berlangsung bila intensitas
cahaya yang sampai kesatu sel alga lebih besar dari pada suatu intensitas tertentu.
Nilai penetrasi cahaya sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari,
kekeruhan air serta kepadatan plankton suatu perairan (Nybakken, 1992).

2.7.1.3 Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya merupakan besaran untuk mengetahui sampai kedalaman berapa
cahaya matahari dapat menembus lapisan suatu ekosistem perairan. Nilai ini
sangat penting dalam kaitannya dengan laju fotosintesis. Besar nilai penetrasi
cahaya ini dapat diidentifikasikan dengan kedalaman air yang memungkinkan
masih berlangsungnya proses fotosintesis. Nilai penetrasi cahaya sangat
dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, kekeruhan air serta kepadatan
plankton (Barus, 2001).
Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda setiap ekositem air yang
berbeda. Pada batas akhir penetrasi cahaya disebut sebagai titik kompensasi, yaitu
titik pada lapisan air, dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum yang
menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan. Dapat
juga

diartikan

bahwa

pada

titik

kompensasi

cahaya

ini,

konsentrasi

karbondioksida dan oksigen akan berada dalam keadaan relatif konstan (Barus,
2004).

11

12

2.7.1.4 TSS (Total Supended Solid)
Zat padat tersuspensi (Total Supended Solid) adalah semua zat padat (pasir,
lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air dan dapat
berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi,
ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-partikel anorganik.
Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungya reaksi-reaksi kimia yang
heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan
dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan
(Sihombing, 2011).
Total padatan tersuspensi adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter >1
m) yang tertahan pada saringan milipore dengan diameter 0,45 m. Masuknya
padatan tersuspensi ke dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air, hal ini
menyebabkan menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas
primer perairan menurun, yang pada gilirannya menyebabkan terganggunya
keseluruhan rantai makanan. Padatan tersuspensi yang tinggi akan mempengaruhi
biota di perairan, secara langsung TDS yang tinggi dapat menggangu biota
perairan seperti ikan karena tersaring oleh ingsang (Sitorus, 1991).

2.7.1.5 TDS (Total Dissolved Solid)
Total Dissolved Solid merupakan jumlah kandungan zat padat terlarut
dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari masuk ke dalam badan
perairan. Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya akan bekurang, akibatnya
proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya mengurangi tingkat
produktifitas perairan (Sastrawijaya, 2000).

2.7.2 Faktor Kimia Perairan
2.7.2.1 pH (potential of Hydrogen)
Nilai pH menyatakan nilai konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan,
didefenisikan sebagai logaritma dari resiprokal aktivitas ion hidrogen dan secara
matematis dinyatakan sebagai pH = log l/ H+ adalah banyaknya ion hidrogen
dalam mol per liter larutan. Kemampuan air untuk mengikat atau melepaskan
sejumlah ion hidrogen akan menujukkan apakah larutan tersebut bersifat asam
atau basa (Barus, 2004).
12

13

pH merupakan suatu ekspresi dari konsentrasi ion hydrogen (H+) di dalam
air. Biasanya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H, pH sangat
penting sebagai parameter kualitas air, karena ia mengontrol tipe dan laju
kecepatan reaksi beberapa bahan di dalam air. Selain itu ikan makhluk-makhluk
akuatik lainnya hidup pada selang pH tertentu, sehingga dengan diketahui nilai
pH maka kita akan tahu apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang
kehidupan organisme air (Rifai & Nasution, 1993).
Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan
yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah
sampai basa. Nilai pH yang terlalu asam atau basa berbahaya bagi kelangsungan
hidup plankton karena akan menyebabkan berbagai gangguan metabolisme dan
respirasi. Toleransi organisme terhadap pH dibedakan menjadi stenion, yaitu
organisme yang mempunyai toleransi sempit terhadap fluktuasi pH, dan euryion,
yaitu organisme air yang mempunyai toleransi luas terhadap fluktuasi pH.

2.7.2.2 DO (Dissolved oxygen)
Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) dibutuhkan oleh semua jasad hidup
untuk pernapasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian
menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan. Sumber utama oksigen
dalam suatu perairan berasal dari hasil fotosintesis organisme yang hidup dalam
suatu perairan tersebut. Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari
beberapa faktor, seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan
udara seperti arus, gelombang dan pasang surut (Salmin, 2005).
Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu 0°C, yaitu
sebesar 14,16 mg/L O2. Konsentrasi ini akan menurun sejalan dengan
meningkatnya suhu air. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi
oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut (Barus, 2004).
Oksigen diperlukan oleh ikan-ikan untuk menghasil energi yang sangat
penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan
osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen di perairan sangat sedikit
maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang

13

14

hidup di air, karena akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan
(Wardhana, 1995).

2.7.2.3 BOD (Biochemical Oxygen Demand)
Biochemical Oxygen Demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biologis
adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme di dalam memecah
bahan organik. Pengurairan organik melalui proses alamiah yang mudah terjadi
apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Wardhana, 1995).
Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih
lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimiawi. Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang
diuraikan, tersedianya organisme aerob yang mampu menguraikan senyawa
organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutukan dalam proses
penguraian itu (Barus, 2004).

2.7.2.4 COD (Chemical Oxygen Demand)
COD merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia
yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan
diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses
oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara
biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bias diuraikan secara biologis
(Barus, 2004).
Badan air yang memiliki COD > 10 ppm sangat mempengaruhi
keberadaan dan kehidupan organisme perairan yang bersifat aerob, diantaranya
adalah jenis ikan, karena sulitnya akan memenuhi oksigen. COD perairan yang
dianggap baik bagi kehidupan organisme air (ikan) berkisar 1-5 ppm (Fardias,
1992).

2.7.2.5 Amoniak
Amoniak merupakan hasil utama dari penguraian protein. Amoniak dalam jumlah
yang banyak dapat berakibat fatal bagi ikan atau organisme perairan. Oleh karena
itu sebaiknya kandungan amonia diperairan dijaga jangan sampai melebihi 1,5

14

15

ppm (Sylvester, 1958) dalam kham (1998), sedangkan Pescod (1973) dalam kham
(1998) menyatakan kriteria perairan di daerah tropis kandungan amonia tidak
lebih dari satu ppm.
Produk penguraian karbohidrat dianggap tidak mempunyai masalah yang
serius bagi ekosistem periaran, karena berbagai jenis bakteri dan jamur dapat
mengkonsumsinya. Yang dapat menimbulkan masalah adalah produk dari
penguraian zat nutrisi lemak dan tertama protein yang berupa amonium (NH 4+)
atau amoniak (NH3). Dari hasil penelitian diketahui bahwa keseimbangan antara
amonium dan amoniak didalam air sangat dipengaruhi oleh nilai pH air (Baur,
1987; Borneef 1982 dalam Barus, 2004).

2.7.2.6 Fosfat
Fosfat merupakan nutrient yang paling penting dalam menentukan
produktivitas perairan. Fosfat dalam ekositem perairan dapat dalam bentuk
senyawa organik seperti protein ataupun gula, sebagian dalam bentuk kalsium
fosfat (CaPO4) dan besi fosfat (FePO4) anorganik. Fosfat tersedia melimpah dalam
perairan dalam bentuk ortofosfat. Senyawa anorgaik ini dihasilkan oleh bakteri
melalui pemecah fosfat organik dari organisme yang mati.

Unsur fosfat

merupakan salah satu unsur penting dalam metabolisme sel organisme.
Keberadaan phospor dalam perairan terdapat dalam bentuk senyawa anorganik
(ortho-phosphate, meta phosphate, polyphosphate) dan senyawa organik diserap
oleh bakteri, fitoplankton dan makrofita (Suriadarma, 2011).

15

Dokumen yang terkait

4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet

0 0 17

BAB II PROFIL PT. PLN (Persero) - Sistem Informasi Penagihan Tunggakan dan Pelunasan Rekening Listrik di PT. PLN (Persero) Rayon Johor

1 2 14

BAB II GAMBARAN UMUM KPP PRATAMA MEDAN BELAWAN - Mekanisme Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Belawan

0 0 10

BAB I PENDAHULUAN - Mekanisme Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Belawan

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Studi Pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Bpjs) Ketenagakerjaan Kantor Cabang Binjai)

0 0 38

BAB II PELAKSANAAN SERTIFIKASI HAK MILIK ATAS TANAH MELALUI AJUDIKASI PASCA BENCANA TSUNAMI A. Pengertian dan Dasar Hukum Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Band

0 0 69

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Problematika Sertifikasi Hak Milik Atas Tanah Melalui Ajudikasi Pasca Bencana Tsunami Di Kota Banda Aceh

0 0 25

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pembuatan Gliserol Tribenzoat Dengan Proses Esterifikasi Menggunakan Katalis H-Zeolit Teraktivasi Oleh Asam Sulfat

0 1 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Cedera Otak - Peran Inhibitor HMG-CoA Reduktase Dalam Penurunan Interleukin-6 Terhadap Hasil Akhir Klinis Penderita Kontusio Serebri

0 0 40

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Corporate Governance - Pengaruh Komposisi Dewan Komisaris dan Komite Audit Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

0 0 25