BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak 2.1.1 Definisi Anak - Peranan Yayasan Pusaka Indonesia Dalam Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pendampingan Korban Eksploitasi Seksual Pada Anak

  2.1.1 Definisi Anak

  Anak dalam visi Konvensi Hak Anak PBB merupakan sebagai suatu subjek, anak yang diposisikan sebagai manusia dan anak diakui sebagai mahluk otonom dan merdeka. Terdapat berbagai definisi mengenai anak. Bagaimanapun juga, anak-anak adalah sesosok mahluk yang harus tetap dihormati, dilindungi dan dapat ditumbuh kembangkan karena mereka merupakan amanat Tuhan yang Maha Esa. Sedangkan menurut UU Republik Indonesia No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

  Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kemudian dalam Konvensi Hak Anak Pasal 1 menyatakan bahwa setiap orang yang berusia dibawah umur 18 tahun, kecuali berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal. (Save The

  Childern, 2010: 19).

  Konvensi Hak-Hak Anak menyatakan bahwa ”seorang anak adalah setiap anak yang berusia di bawah 18 tahun kecuali di bawah undang-undang yang berlaku bagi anak, usia dewasa dicapai lebih awal. Lepas dari pasal 1 tersebut, memperbolehkan usia dewasa yang lebih rendah, ada beberapa hal dalam Konvensi yang terus berlaku bagi anak 18 tahun, tanpa memandang usia dewasa (Save The Children, 2010: 18).

  2.1.2 Hak-Hak Anak Sebagai Korban

  Hak Anak pada dasarnya adalah hak azasi manusia. Dalam Konvensi Hak Anak memuat dua pasal mengenai hak-hak anak sebagai korban. Pasal 39 menjelaskan hak-hak anak korban, khususnya korban pelanggaran serius. Pasal ini menetapkan: Negara-negara anggota harus mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu untuk mendorong pemulihan fisik dan psikologi dan integrasi sosial anak korban dari: segala bentuk pengabaian, eksploitasi atau abuse, penyiksaan atau bentuk- bentuk lain kekejaman, perlakuan yang tidak berprikemanusiaan dan menistakan atau konflik bersenjata. Pemulihan dan reintegrasi hendaknya terjadi di lingkungan yang menunjang kesehatan, harga diri dan martabat anak. Ada beberapa instrumen hukum lainnya yang mengandung hak-hak anak sebagai korban disampaikan lebih rinci sebagai berikut, yaitu: a.

  Hak Atas Kerahasiaan Hak korban atas kerahasian untuk melindungi privasi, kehormatan dan reputasi mereka, mungkin terpengaruh dengan dua cara berikut, yang pertama, media mungkin menerbitkan atau menyiarkan gambar, nama atau informasi mengenai korban yang memungkinkan masyarakat dapat mengidentifikasi korban. Kedua, korban dapat diberi stigma oleh masyarakat, lepas dari apakah insiden atau kejadian itu telah diinput media atau tidak. Ini umum terjadi, khususnya pada anak yang menjadi korban eksploitasi dan kekerasan seksual dalam masyarakat dimana norma-norma sosialnya kuat menentang hubungan di luar pernikahan.

  b.

  Hak Atas Perlakuan Yang Berprikemanusiaan Selama Proses Persidangan Hanya sebagian kecil dari korban kekerasan dan abuse yang mencari bantuan.

  Salah satu alasan yang utama mereka tidak datang melapor adalah adanya rasa takut atau rasa ketakutan yang mendalam akan perlakuan yang “tidak peka” dari instansi penegak hukum, penyelidikan medis dan sosial begitu juga pada saat dipengadilan. c.

  Hak Atas Repatriasi Dan Reintegrasi Sosial Kebutuhan rehabilitasi dari anak-anak yang diperdagangkan sering rumit dan berjangka panjang. Anak yang dikembalikan itu mungkin memerlukan dukungan medis dan psikososial jangka panjang dan untuk diintegrasikan ke dalam sekolah atau kehiduan kerja serta ke keluarga dan komunitasnya.

  Mereka mungkin memerlukan dukungan material dan finansial, setidaknya untuk menghindari agar tidak diperdagangkan lagi. Bila keluarga anak tersebut merupakan bagian dari masalah, ia mungkin memerlukan perawatan alternative. Anak itu perlu dibuat aman dan mampu bertahan hidup.

  d.

  Hak Untuk Mengajukan Ganti Rugi (Santunan) Hak dari korban anak untuk mengajukan ganti rugi karena cedera yang dideritanya adalah penting karena beberapa alasan. Pertama, sebagaimana korban lainnya, anak memiliki hak untuk mendapatkan konpensasi atas cedera psikologis, fisik dan moral yang diakibatkan oleh pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Kedua, menuntut pelaku bertanggungjawab secara ekonomi dapat menjadi faktor penjerat yang efektif, khusunya dimana istitusi

  public , swasta atau perusahaan terlibat dalam pelanggaran tersebut. Ketiga,

  konpensasi bagi korban dapat membantu untuk memfasilitasi reintegrasi sosial (Riyanto, 2006 :135).

2.1.3 Ekspolitasi Seksual pada Anak

2.1.3.1 Definisi Eksploitasi Seksual

  Eksploitasi menurut bahasa adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri, pengisapan, pemerasan tenaga orang lain (Idris, 1988:30) sedangkan makna eksploitasi menurut terminologi adalah kecenderungan yang ada pada seseorang untuk menggunakan pribadi lain demi pemuasan kebutuhan orang pertama tanpa memperhatikan kebutuhan pribadi pihak kedua (Kartono, 2001:180). Sedangkan menurut UU perlindungan anak bahwa eksploitasi adalah tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh kepentingan pribadi, keluarga atau golongan (Umbara, 2003: 50).

  Seksual secara bahasa adalah proses penggabungan dua sel gamet yang dihasilkan induk jantan dan betina, sehingga menghasilkan zigot yang akan tumbuh dan berdiferensi menjadi individu baru. Seksual menurut terminologi adalah menyinggung hal reproduksi atau perkembangbiakan lewat penyatuan dua individu yang berbeda yang masing-masing menghasilkan sebutir telur dan sperma atau secara umum,menyinggung tingkah laku, perasaan, atau emosi ynag berasosiasi dengan perangsangan alat-alat kelamin, daerah-daerah erogenus atau proses perkembangbiakan (Kartono, 2001: 459).

  Jadi, Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan dan bentuk penghisapan atau penggunaan serta pemanfaatan anak semaksimal mungkin oleh orang lain dalam bentuk kenikmatan seksual yang dapat ditukarkan dengan benda- benda, materi dan uang atau sejenisnya yang mempunyai nilai jual. Dengan demikian eksploitasi seksual merupakan suatu perbuatan kejahatan. Selain itu, Ekspoitasi seksual adalah setiap penyalahgunaan posisi rentan, kekuasaan yang berbeda, atau kepercayaan untuk tujuan-tujuan seksual, ini termasuk mengambil keuntungan secara finansial, sosial atau politis dari eksploitasi seksual terhadap oarang lain (Kebijakan dan prosedur perlindungan anak, PKPA).

  Faktor-faktor yang mendorong terjadinya eksploitasi seksual terhadap anak adalah: a.

  Ketidaksetaraan Genjer dan Diskriminasi Jender Adanya ketidaksetaraan ekonomi, sosial dan hukum mendarah daging yang dihadapi oleh perempuan dewasa dan anak-anak perempuan meningkatkan kerentanan mereka terhadap eksploitasi seks komersial. Interseksi antara diskriminasi gender dan ras dengan diskriminasi etnis memperparah kerentanan ini, sebagai mana tampak jelas dalam representasi yang tidak seimbnag dari minoritas etnis dan ras dalam perdagangan seks komersial.

  Stigma yang dicapkan kepada korban eksploitasi dan kekerasan seksual dapat menyebabkan sang korban menjadi termarginalisasi dan viktimisasi lebih lanjut.

  b.

  Kemiskinan Kemiskinan bukanla satu-satunya alasan eksploitasi seks komersial anak- anak, namun hal itu merupakan katalitas utama. Misalnya, agen penyalur/pengadaan tumbuh subur didaerah-daerah kumuh perkotaan dan pedesaan miskin, dimana hanya ada sedikit kesempatan kerja atau pendidikan. Kemiskinan bisa mendorong keluarga untuk melakukan tindakan nekat untuk bertahan hidu.

  c.

  Permintaan Terhadap Pelayanan Seks Pelaku pelanggaran seks dengan anak dapat ditemukan di profesi apapun, di bangsa yang kaya maupun miskin, mungkin sudah menikah atau masih lajang, orang asing ataupun penduduk setempat, heterokseksual maupun homoseksual. Mereka sering memberikan pembenaran terhadap prilaku yang abusif berdasarkan alasan bahwa anak telah dipilih untuk terlibat dalam perdagangan seks komersial atau datang dari budaya di mana anak-anak lebih terbuka dan berpengalaman seksual pada usia yang lebih dini, dan bahwa mereka membantu anak-anak tersebut dengan memberi uang.

  d.

  Penyalahgunaan Internet Pornografi anak, informasi mengenai wisata seks dan mempelai yang dapat dipesan melalui surat secara terbuka tersedia di internet. Forum-forum seperti

  chat rooms memfasilitasi geng dan jaringan perdagangan dan telah mejadi

  ajang pertemuan bagi para mucikari dan para pemangsa (predator) yang membuntuti anak-anak.

  e.

  Pecahnya atau Tidak Berfungsinya Keluarga Banyak keluarga berada dalam keadaan yang sangat sulit. Orang tua yang mungkin menderita penyakit mental atau fisik, ketagihan obat-obatan terlarang, atau alkohol, menyebabkan anak-anak meninggalkan rumah pada usia yang sangat bersinggungan dengan resiko eksploitasi seksual. Juga, bagi banyak anak, kekerasan seksual terjadi di rumah dan diberlakukan oleh saudara atau teman (Riyanto, 2006: 61).

2.1.3.2 Bentuk-Bentuk Eksploitasi Seksual pada Anak

   5 bentuk Eksploitasi seksual yang dapat di uraikan yaitu: 1.

  Prostitusi Anak Merupakan tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seorang anak untu melakukan tindakan seksual demi mendapatkan uang atau imbalan lain. Bukan anak-anak yang memilih untuk terlibat dalam pelacuran agar dapat bertahan hidup atau untuk membeli barang-barang konsumtif, tetapi mereka didorong oleh keadaan, struktur sosial dan pelaku-pelaku individual kedalam situasi-situasi dimana orang-orang dewasa memanfaatkan kerentanan mereka serta mengeksploitasi dan melakukan kekerasan seksual kepada mereka.

  2. Pornografi Anak Merupakan pertunjukan apapun atau dengan cara apa saja yang melibatkan anak di dalam aktivitas seksual yang nyata atau yang menampilkan bagian tubuh anak demi tujuan-tujuan seksual. Pornografi anak termasuk foto-foto, pertunjukan visual dan audio, tulisan yang dapat disebarkan melalui majalah, buku, gambar, film, dan lain sebagainya.

  Pornografi anak mengeksploitasi anak dalam berbagai cara. Anak-anak dapat ditipu atau dipaksa untuk melakukan tindakan seksual untuk pembuatan bahan-bahan pornografi atau mungkin gambar-gambar tersebut dibuat dalam proses pengeksploitasian seseorang anak secara seksual tanpa sepengetahuan anak tersebut.

  Penyebaran global pornografi anak melalui internet tanpa adanya payung hukum untuk melindungi anak-anak membuat para penegak hukum nasional kesulitan untuk menghukum para pelaku lokal. Internet juga dibatasi oleh batas-batas negara maka harmonisasi perundang-undangan, kerjasama polisi internasional dan tanggung jawab industri IT (Teknologi Informasi) diutuhkan untuk menangani masalah tersebut.

  3. Perdagangan Anak Untuk Tujuan Seksual Merupakan proses perekrutan, pemindah-tanganan atau penampungan dan penerimaan anak untuk tujuan eksploitasi seksual. Perdagangan anak bisa terjadi tanpa atau dengan menggunakan paksaan, kekerasan atau pemalsuan karena anak-anak tidak mampu memberikan ijin atas eksploitasi terhadap diri mereka. Anak-anak diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual atau perburuhan, tetapi tidak semua anak korban trafficking telah dibuat sangat rentan terhadap kekerasan dan eksploitasi seksual karena mereka dipindahkan dari struktur-struktur pendukung yang sudah dikenal seperti keluarga dan masyarakat mereka. Aksi untuk memerangi perdagangan anak harus menangani kondisi-kondisi yang membuat anak-anak rentan dan menghukum para pelaku bukan korban.

  4. Wisata Seks Anak Merupakan eksploitasi seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, dan di tempat tersebut mereka berhubungan seks dengan anak-anak. Mereka seringkali melakukan perjalanan dari sebuah negara kaya ke negara yang berkembang. Para wisatawan seks anak berasal dari semua alur kehidupan. Mereka bisa saja orang yang telah menikah atau bujangan, laki-laki atau perempuan, para wisatawan kaya atau pelancong yang psa-pasan.

  5. Perkawinan Anak atau Pernikahan Dini Merupakan pernikahan degan anak, yakni dibawah umur 18 tahun yang memungkinkan anak menjadi korban eksploitasi sebab tujuan menikahi anak tersebut untuk menjadikan anak sebagai objek seks untuk menghasilkan uang atau imbalan lainnya.

  Sebagian anak dipaksa untuk menikah oleh orang tua atau keluarga mereka, sedangkan anak-anak masih terlalu muda untuk membuat keputusan yang benar dan izin diberikan oleh orang lain atas nama anak tersebut tidak memiliki kesempatan untuk menggunakan haknya untuk memilih. Banyak anak perempuan yang dipaksa menilah mengalami kekerasan dalam rumah tangga mereka. Pernikahan dini juga sering terkait dengan penelantaran istri dan menjerumuskan anak perempuan muda kedalam kemiskinan yang luar biasa dan meningkatkan resiko untuk memasuki industri perdagangan seks untuk dapat bertahan hidup (PKPA Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat Manado, 2008: 6).

2.1.4 Definisi Proses Pendampingan Korban

  Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau didesain, dapat menggunakan waktu, ruang, keahlian atau sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu hasil. Suatu proses mungkin dikenali oleh perubahan yang diciptakan terhadap sifat-sifat dari satu atau lebih objek yang di bawah pengaruhnya, serta adanya perubahan berdasarkan mengalirnya waktu dan kegiatan yang saling berkaitan (Sumber: http://id.wikipedia. org/wiki/Proses. Diakses pada tanggal 16 November 2013, Pukul 11.07 WIB).

  Pendampingan adalah suatu proses pemberian kemudahan (fasilitas) yang diberikan pendamping kepada klien dalam mengidentifikasi kebutuhan dan memecahkan masalah serta mendorong tumbuhnya inisiatif dalam proses pengambilan keputusan, sehingga kemandirian klien secara berkelanjutan dapat diwujudkan (Sumber: i akses pada tanggal 22 Oktober 2013.

  Pukul 13.30 WIB).

  Korban adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan orang lain yang mencuri pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat atau juga badan hukum (Sumber: i akses pada tanggal 28 Oktober 2013, Pukul 01.12 WIB).

  Jadi, proses pendampingan korban adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau didesain, dapat menggunakan waktu, ruang, keahlian atau sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu hasil utuk memberikan kemudahan (fasilitas) agar korban dapat memecahkan masalahnya dan kemandirian korba atau klien secara berkelanjutan dapat terwujud.

  Menurut Pasal 3 menyatakan bahawa Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Sedangkan pada pasal (4) menyatakan, korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang (Sumber: Di akses pada tanggal 28 Oktober 2013, Pukul 01.12 WIB).

  Pendampingan atau penanganan korban eksploitasi seksual pada anak perlu dilandasi prinsip-prinsip yang mengedepankan atas kemanusian, keadilan dan kepentingan terbaik pada korban dan Masyarakat. Prinsip-prinsip tersebut merupakan pengakuan, anak adalah manusia dengan hak-haknya merupakan kodrat hidup dan bahwa anak adalah korban, sehingga perlu dilindungi, dilayani, dan didukung dalam memperoleh hak-haknya sebagai korban (Manik, Tariga, Murniaty, Rosmalinda, 2002 : 13).

  Prinsip-prinsip pendampingan secara umum meliputi: 1. Prinsip Manusiawi

  Anak adalah manusia yang memilki hak azasi dan secara fisik dan mental belum matang, maka perlu perindungan dan pengamanan khusus. Mereka harus diperlakukan sebagai manusia dengan hak-haknya, bukan dari sudut pandang apa yang telah terjadi kepadanya. Walaupun anak tersebut sebagai korban Eksploitasi seksual tidak berarti dia kehilangan status kemanusiaan dan hak-haknya sebagai anak. Dia adalah korban secara etika, moral dan nilai sosial yang wajib dilindungi, dihargai dan memperoleh perlakuan yang baik dan benar.

  2. Mengutamakan Kepentingan Terbaik Korban Konvensi Hak Anak pasal 3 menyatakan bahwa, “ dalam semua tindakan menyagkut anak yag dilakukan oleh lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga pengadilan, lembaga pemerintah atau badan legislatif, kepentingan terbaik anak merupakan pertimbangan utama. Dengan kata lain, lembaga-lembaga tersebut harus memberikan pelayanan yang terbaik agar anak memperoleh perlakuan dan pelayanan khusus demi kepentingan terbaiknya.

  3. Prinsip Non-Diskriminasi Setiap anak yang menjadi korban eksploitasi seksual wajib memperoleh pelayanan, perlindungan dan bantuan yang layak dan semestinya tanpa memandang ras, bahasa, agama, pandangan politikm keturunan social, harta, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Kepada pihak yang berwenang selalu diharuskan tidak berlaku diskriminatif baik atas kemauannya sendiri atau karena ada faktor dari luar.

  4. Prisip Efektifitas dan Efisiensi Keprofesionalismean yaitu efektifitas dan efisiensi disetiap proses penanganan yang dilakukan bertujuan untuk: a.

  Rasa percaya diri anak tumbuh dengan kepastian penanganan masalahnya.

  b.

  Anak tidak jenuh atau bosan, yang dapat berakibat anak menolak untuk melanjutkan proses yang sedang berlangsung.

  c.

  Anak segera dapat direhabilitasi fisik, mental dan sosialnya untuk kelangsungan jidup dan masa depan terbaiknya.

  5. Prinsip Menghargai Pendapat dan Pandangan Korban atau Keluarga.

  Walaupun status mereka anak-anak dan korban yang secara psikologis mengalami masalah, tetapi tetap dianjurkan meminta dan mempertimbangkan pendapat anak sesuai usinya. Hal yang terpenting, bahwa kita harus tetap wajib menawarkan pilihan kepada korban ataupun keluarganya sendiri (Manik, Tariga, Murniaty, Rosmalinda, 2002 : 13). Selain itu, adanya prinsip dasar yang harus dimiliki oleh seorang pendamping yang dibagi dalam 5 bagian yaitu:

  1. Bersikap Empati Empati berarti berusaha memahami perasaan orang lain dengan cara melihat situasi dari sudut pandang orang tersebut. Empati berbeda dengan simpati, jika simpati berarti memberikan tanggapan tentang perasan, dan biasanya ungkapan perasaan kasihan dan simpati tidak terlalu membantu perasaan orang yang akan di bantu. Seorang pendamping tidak cukup hanya memiliki rasa empati tetapi penting untuk memperlihatkan rasa empati tersebut kepada korban. Untuk membangun sikap empati, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a.

  Menghargai klien atau korban tanpa membedakan suku, keyakinan dan nilai-nilai serta tingkatan sosial yang berbeda.

  b.

  Berpenampilan sederhana.

  c.

  Meminta izin kepada korban untuk mewawancarainya, mengambil gambar, ataupun merekam pembicaraannya.

  d.

  Apabila klien atau korban berbeda jenis kelamin dengan pendamping, maka pendamping tidak boleh melakukan sentuhan fisik.

  e. tidak boleh meminta uang kepada korban.

  2. Mampu Menjadi Pendengar Aktif Mendengar adalah proses fisiologis dimana sensor menerima rangsangan yang berkaitab dengan pendengaran, sedangkan mendengarkan adalah proses psikologis dimana terdapat proses menginterprestasikan dan memahami apa yang sedang di dengar seseorang. Proses ini membutuhkan perhatian penuh dari pendengar sehinga dapat memahami orang yang di dengar tersebut. Dalam hal ini, pendamping harus mampu menyakinkan korban agar ia mau untuk bercerita. Ketika klien atau korban sudah mulai bercerita, maka pendamping harus mampu menjadi pendengar yang aktif. Seorang pendamping harus mampu memberikan saran atau solusi atas masalah yang di hadapi oleh klien atau korban.

  3. Terampil Menghadapi Seorang pendamping tidak hanya di tuntut bisa menjadi pendengar yang aktif, tetapi juga harus terampil menanggapi apa yang disampaikan oleh korban, baik secara respon verbal maupun nonverbal. Menanggapi klien atau korban bisa dilakukan dengan cara merefleksikan apa yang mereka rasakan, merefleksikan apa yang mereka katakana, merefleksikan apa yang mereka makasudkan dan merangkum apa yang mereka rasakan dan katakan.

  4. Menjaga Kerahasian Keharasian adalah prinsip yang penting dalam proses berkomunikasi dan menolong korban. Merusak kerahasian dan kepercayaan bisa menyakiti hati korban. Kerahasian adalah prinsip yang ditujukan untuk melindungi keleluasaan pribadi korban. Tidak membahayakan keamanan korban dan membantu pengungkapan pengalaman yang sulit. Hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kerahasian informasi klien atau korban adalah dalam melakukan wawancara, ajukan pertanyaan yang relevan saja, data-data korban hanya bisa diakses oleh orang-orang yang berkepentingan saja, mewawancarainya diruangana yang tertutup dan jangan membiarkan wartawan untuk mewawancarai korban tanpa seizinnya.

  5. Mendokumentasikan Kasus Mendokumentasikan berarti menyimpan data kasus klien atau korban yang dilayani. Pendokumentasian kasus sama pentingnya dengan menjaga kerahasian dari data-data yang diberikan klien. Sebagai seorang pendamping, maka harus memperhatikan etika saat mencari informasi kasus dengan cara- cara tidak mengintrogasi serta harus lebih mengutamakan pendampingan dari pada pendataan (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 1-4).

  Proses pendampingan pada korban Eksploitasi Seksual pada anak penanganannya selalu saling berkaitan dan mempengaruhi dalam mencapai tujuannya. Adanya kerjasama yang baik antara beberapa lembaga yang berwenang dimaksudkan agar anak tidak tertekan, anak dapat jujur, tidak terjadi pengulangan pertanyaan sama yang membuat korban jenuh, ataupun bosan, proses pendampingan dan penanganan berlangsung secara efektif dan efisien agar tidak memberatkan korban atau keluarga baik secara psikologis, ekonomi, dan sosial serta korban dapat segera memperoleh kepastian hukum dan masa depannya (Manik, et.al, 2002 : 17).

2.2 Peranan Yayasan Pusaka Indonesia

2.2.1 Pengertian Peranan

  Peranan berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu seperangkat tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di masyarakat. Usman mengemukakan “peranan adalah terciptanya serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam suatu situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku (Sumber:i Akses pada Tanggal 28 Oktober 2013, Pukul 12.22 WIB).

  Horton dan Hunt mengemukakan bahwa peran adalah perilaku yang di harapkan dari seseorang yang mempunyai status. Bahkan dalam suatu status tunggal pun orang dihadapkan dengan sekelompok peran yang disebut sebagai perangkat peran. Istilah seperangkat peran (role set) digunakan untuk menunjukkan bahwa satu status tidak hanya mempunyai satu peran tunggal, akan tetapi sejumlah peran yang saling berhubungan dan cocok (Sumber:, Di Akses pada Tanggal 28 Oktober 2013, Pukul 12.22 WIB).

  Terwujudnya kebijakan (isi, struktur dan kultur) publik yang berpihak pada anak dan perempuan di Indonesia adalah jalan panjang yang membutuhkan beberapa dekade lagi untuk pencapaiannya. Hal ini adalah akibat dari berbagai persoalan struktural yang belum terpecahkan oleh negara. Satu dari beberapa aspek struktural tersebut adalah mis management penyelengaraan negara yang ujung-ujungnya menimbulkan, korupsi, pembusukan hukum, pemiskinan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar dari warga negara, termasuk anak dan perempuan.

  Sisi lain secara gradual adanya sejumlah progres dalam upaya penghormatan terhadap hak-hak anak. Hal Ini terlihat dari lahir dan dibentuknya sejumlah perangkat hukum bagi perlindungan anak di tingkat nasional dan lokal. Lahirnya sejumlah UU (UU perlindungan Anak, UU penghapusan perdagangan orang, dll) dan Gugus tugas Nasional dan Daerah bagi traffiking anak dan perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Daerah dan berbagai program penguatan kapasitas Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk perlindungan anak merupakan beberapa contoh untuk menunjukkan adanya keperdulian negara dalam perlindungan anak di Indonesia.

  Berbagai peluang atau faktor pendukung dalam upaya perlindungan anak, selalu kalah cepat dalam berbagai praktek mismanagement negara melalui korupsi dan pemiskinan rakyat. Strategi yang mungkin lebih baik kedepan adalah melakukan berbagai prevensi terhadap kemungkinan jatuhnya korban anak di tengah masyarakat melalui berbagai pendidikan, pelatihan dan kampanye media perlindungan anak di kalangan komunitas, masih di perlukannya penguatan di sektor ekonomi keluarga, sehingga muncul pertahanan yang kuat dalam keluarga untuk menghadapi berbagai tantangan dari luar terhadap komunitas.

  Pengalaman Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal berkoalisi dan berjejaring untuk melakukan gerakan advokasi dalam perlindungan anak selalu melakukan tindakan koordinasi. Dalam hal ini, koordinasi merupakan kata yang sangat sulit untuk tetap dijaga kualitasnya pada suatu lembaga. Namun, cara yang selalu ditempuh oleh Yayasan Pusaka Indonesia untuk tetap menjaga momentum dalam koordinasi adalah dengan tidak memusatkan perwakilan pusaka dalam jaringan atau koalisi itu pada satu orang saja. Biasanya ada pelapis atau kerjasama dengan beberapa pihak pemerintah maupun swasta agar tanggungjawab berjaringan ini bisa lebih ringan dan tidak menimbulkan rasa bosan. Selain itu, Pusaka Indonesia menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran akan keterbatasan yang dimiliki.

  Penanganan kasus oleh Yayasan Pusaka Indonesia selalu berkerjasama dan merujuk lembaga lain untuk melakukan penanganan apabila Pusaka tidak mempunyai kapasitas terhadap kasus yang di tangani. Hal tersebut bertujuan untuk mempertahankan kordinasi dengan lembaga lain sehingga Pusaka Indonesia tetap mendapatkan data dan informasi mengenai isu anak. Selain itu, Pusaka Indonesia tetap menjalin hubungan dengan pihak swasta dalam hal advokasi. Misalnya dalam melakukan advokasi pekerja anak dan kasus-kasus trafficking yang melibatkan Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia. Untuk mengnetralisirkan jatuhnya korban dalam kasus pekerja anak dan trafficking, Pusaka Indonesia melakukan pelatihan- pelatihan dan melakukan tekanan kepada sektor swasta tersebut agar lebih memperhatikan aspek-aspek perlindungan hak azasi manusia (anak dan perempuan) dalam bekerja.

  Yayasan Pusaka Indonesia merasa telah memberikan dampak positif bagi peningkatan kapasitas sumber daya manusia di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

  Ke depannya, Pusaka Indonesia berharap ada peningkatan kapasitas dalam perencanaan program, pengorganisasian masyarakat (community organizing) dan dari para staf-stafnya. Ketiga aspek yang telah di uraikan

  community development

  tersebut sangat penting untuk memastikan positioning Pusaka Indonesia ditengah- tengah komunitas dan memastikan pengaruhnya bagi upaya terwujudnya pemahaman yang lebih utuh dari masyarakat tentang pentingya perlindungan terhadap hak-hak anak (Ikhsan, 2009 : 10).

2.2.2 Upaya Litigasi

  Upaya litigasi dalam bantuan hukum yang diberikan oleh setiap lembaga kepada seseorang adalah berdasarkan surat kuasa dengan pemberian kuasa kepada seorang advokat. Dalam pasal 1792 kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya (wewenang) kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Dalam praktiknya, untuk mewakili atau mendampingi kepentingan para pihak (penggugat, tergugat, tersangka atau korban) dalam proses pengadilan haruslah dibuat dengan surat kuasa khusus. Dalam pratik pengadilan, terdapat suatu upaya Litigasi. Upaya litigasi adalah cara penyelesaian sengketa atau konflik yang diselesaikan melalui pengadilan (Imran, Prasetyo, Nasir, Muyassarotussolichah, 2000: 39-40).

  Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam menangani kasus-kasusnya yaitu melakukan upaya Litigasi yang meliputi:

1. Pendampingan Korban di Kepolisian

  Seorang pendamping dalam menjalankan tugasnya biasanya, melakukan tugas penyusunan kronologis peristiwa yang akan dijadikan acuan dalam melaporkan kasus yang tengah dihadapi oleh korban. Mendampingi korban saat melapor ke pihak yang berwenang. Meghadirkan saksi-saksi dan alat bukti lainnya juga di perlukan karena dengan adanya saksi-saksi maka akan dapat mempermudah pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan. Sebagai seorang pendamping, melakukan pendampingan di kepolisian merupakan suatu keharusan karena hal itu untuk menjaga keamanan korban. Pada proses awal penyidikan, maka anak korban harus menjalani pemeriksaan di rumah sakit untuk memperoleh Visum et Repertum (VER) yang akan menjadi bukti laporan korban di kepolisian. Oleh karena VER biasanya di buat di Rumah Sakit Umum dan harus melewati administrasi rumah sakit maka pendamping sangat berperan untuk menjadi pendamping anak di rumah sakit. Selama proses pembuatan surat BAP, anak korban harus tetap dijaga keamanannya agar ia mau untuk melanjutkan pelaporan yang telah dibuatnya. Selanjutnya, pendamping melakukan monitoring terhadap proses penanganan perkara korban di kepolisian untuk dilimpahkan ke proses penuntutan di kejaksaan.

2. Pendampingan Korban di Pengadilan Mendampingi korban saat di pengadilan merupakan kewajiban dari pendamping.

  Di pengadilan, pendamping biasanya mempertemukan korban dengan saksi. Pendamping memberikan penjelasan secara ringkas tentang prosesi persidangan yang akan di hadapi oleh anak korban. Di sini, peran pendamping sangat dibutuhkan.

  Pendamping harus mampu meyakinkan korban untuk berani memberikan kesaksian di depan persidangan. Hal yang juga harus diperhatikan pendamping adalah untuk menjauhkan korban dan saksi dari incaran pers atau media massa yang biasanya ada di pengadilan. Apabila korban telah selesai menjalani persidangan, pendamping berhak memberitajukan beberapa prosedur hukum yang akan dijalani oleh korban hingga putusan pengadilan. Apabila korban berhalangan untuk menghadiri sidang selanjutnya, pendamping dari pihak Yayasan Pusaka Indonesia dapat melakukan monitoring terhadap persidangan selanjutnya hingga jatuhnya putusan hakim (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 39).

2.2.3 Upaya Non Litigasi

  Persengketaan atau perselisihan yang timbul di tengah-tengah masyarakat disamping dapat diselesaikan secara litigasi, juga dapat diselesaikan melalui mekanisme lain yang bersifat Non Litigasi. Upaya Non Litigasi merupakan Penyelesaian sengketa atau konflik tanpa melalui pengadilan. Biasanya, cara penyelesaian ini dilakukan dengan menyertakan pihak ketiga sebagai penengah.

  Keterlibatan pihak ketiga dalam menyelesaikan sengketa mengandung asumsi bahwa pihak ketiga yang netral mampu mempengaruhi atau menyakinkan para pihak yang bersengketa dengan memberikan informasi atau pengetahuan dan memfasilitasi proses perundingan agar lebih efektif (Imran, etl, 2000: 28).

  Di Indonesia, penyelesaian sengketa diluar pengadilan di atur dalam UU No.

  30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian ahli. Uraian mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah sebagai berikut:

1. Konsultasi

  Proses konsultasi merupakan sebuah upaya untuk memberikan saran yang memungkinkan semua pihak yang bersengketa memperoleh peluang atau keuntungan yang relatif seimbang. Bentuk konsultasi ini biasanya merupakan saran-saran prosedural mengenai bagaimana melakukan gerakan-gerakan yang menunjukan maksud damai, meningkatkan komunikasi, memulai negoisasi, mengidentifikasi minat dan kepentingan, membuat tawaran, mengendurkan posisi garis keras yang dipertahankan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa (Moore, 1995:20-21 dalam Imran, etl, 2000: 31).

  2. Negoisasi Merupakan penyelesaian sengketa melalui perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa. Negoisasi bersifat informal dan tidak terstruktur serta tidak mempunyai batas waktu, sehingga efektifitas dan efisiensi dari proses tersebut sangat bergantung kepada para pihak (Susskind & Madigen dalam Imran, etl, 2000: 33) 3. Mediasi

  Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (Mediator) guna mencari bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. Peran Mediator adalah memberikan bantuan yang bersifat substantive dan prosedural kepada pihak yang bersengketa (terbatas pada pemberian saran). Seorang mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan atau menetapkan suatu bentuk penyelesaian (Wijoyo, 1999:99 dalam Imran, etl, 2000: 34).

  4. Konsiliasi Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan melibatkan pihak ketiga netral (Konsiliator) untuk membantu para pihak yang bersengketa dalam menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak (Wijoyo, 1999:104 dalam Imran, etl, 2000: 35).

  5. Penilaian Ahli Merupakan upaya para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka dengan menunjuk seorang ahli yang bersifat independen, yang diserahi untuk: a.

  Menyelidiki dan menganalisis persengketaan.

  b.

  Untuk menjernihkan masalah yang disengketakan.

  c.

  Dari hasil penelitiannya, ahli dapat menyampaikan pendapatnya (Opini) (Harahap, 1996:78-79 dalam Imran, etl, 2000: 37).

  Peranan Yayasan Pusaka Indonesia dalam menangani kasus-kasusnya yaitu melakukan upaya Non Litigasi yang meliputi:

  1. Pelayanan Rehabilitasi Psikososial Bagi Korban

  Mengakui bahwa peran dari para penyedia pelayanan medis dan psikososial dalam upaya pencegahan eksploitasi seksual dan sexual abuse, dan pemulihan korban dan reintegrasinya ke masyarakat sangat penting. Bagian pengembangan sumber daya manusia Komisi Sosial Ekonomi Asia Pasifik (HRD-ESCAP) mengembangkan dan melaksanakan program pelatihan bagi penyedia pelayanan psikososial dan medis. Proses pemulihan Psiko-sosial dan penyedia pelayanan terhadap aak-anak yang menjadi korban Eksploitasi Seksual memerlukan waktu yang panjang dan dana yang besar. Hal ini mengingat ketika anak menjadi korban, ada berbagai pengaruh dan dampak terhadap kondisi fisik, mental dan sosial anak. Diperlukan konseling psikologis, medis dan sosial serta pemberian dukungan lain yang dibutuhkan oleh anak. Perlu dilakukan pula penghapusan stigmatisasi terhadap anak untuk mempercepat proses pemulihan. Pihak-pihak yang terlibat didalam proses pemulihan harus melakukan pendekatan yang tidak menghukum anak ( PKPA Medan, Yayasan Setara, Kakak, YKAI, LA , Badan Pemberdayaan Masyarakat Manado, 2008: 36 ).

  Pelayanan psikososial yang berupa rehabilitasi dimaksudkan agar anak yang menjadi korban eksploitasi seksual kembali pulih baik secara fisik, medis dan psikis.

  Menumbuhkan kembali rasa percaya diri akan sangat bermanfaat bagi korban dalam melanjudkan hidup dan kehidupannya dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

  Selain itu, adanya rumah perlindungan yang sering disebut juga shelter dapat diartikan sebagai tempat menyingkir sementara waktu, guna memberikan kesempatan kepada anak korban eksploitasi seksual untuk dapat memikirkan masalanya dengan tenang dan jauh dari intervensi orang lain. Keberadaan shelter sangat di butuhkan apalagi jika anak korban merasa terancam jiwa dan keselamatannya, emosi labil dan perlu ketenangan untuk memikirkan masalahnya.

  Pemenuhan kebutuhan korban di dalam shelter di penuhi secara layak dan korban mendapatkan konseling yang akan membantu korban merencanakan langkah- langkah dalam menyelesaikan masalahnya sendiri. Shelter yang ideal harus mampu menjamin keamanan penghinya dan juga memiliki aturan tat tertib bagi penghuni

  

shelter, konselor,staf dan relawan lain yang beraktifitas di shelter (Juniarti, Marjoko,

  Amri, 2010: 30). Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga melakukan pelayanan medis yang merupakan rehabilitasi fisik yang harus sesegera mungkin dilakukan apabila korban anak eksploitasi seksual yang menderita sakit ataupun luka sehingga fisiknya pulih kembali. Dalam hal ini, anak yang menjadi korban eksploitasi seksual perlu perlakuan lebih khusus lagi menyangkut pemeriksaan kesehatan fungsi organ reproduksi, termasuk guna pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 33 ).

  Rehabilitasi Psikologis juga penting dilakukan sebagai pelayanan untuk membantu korban anak eksploitasi dalam mengatasi ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, dan rasa tidak berdaya anak akibat tindak eksploitasi seksual tersebut. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat kompleksnya kasus eksploitasi yang dialami anak mulai saat perekrutan, transit, setelah sampai di daerah tujuan ataupun setelah bebas dari daerah lokalisasi. Dampak psikologis korban terkait langsung dengan pengalaman korban selama proses perdagangan seperti kecemasan, ketergantungan pada zat adiktif, ganguan stress paska trauma, depresi (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 35).

2. Reintegrasi

  Reintegrasi sosial adalah penyatuan kembali Korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Anak-anak yang disalahgunakan melalui eksploitasi seksual sangat dirugikan dan memerlukan pelayanan yang menyeluruh, mudah diakses dan berjangka panjang. Program-program pemulihan dan reintegrasi harus membantu mengembalikan martabat anak, kesehatan jasmani dan rohaninya.

  Selain itu, program-program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi lingkungan anak sebelumnya melalui kesejahteraan lahiriah, peningkatan harga diri, dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 44).

  Langkah-langkah dalam proses reintegrasi sosial korban adalah: 1.

  Penilaian Resiko Penilaian Resiko dimaksudkan untuk melihat apakah daerah asal korba merupakan pilihan yang tepat untuk pemulangan korban.

  2. Membangun Motivasi Korban Setiap anak dan perempuan korban eksploitasi seksual, harus diperlakukan sebagai suatu individu dan bukan anggota sebuah kelompok. Perlakuan secara benar dan tepat yang dilandasi penghormatan terhadap martabat korban merupakan unsur yang terpenting untuk membangun motivasi korban. Motivasi korban mengenai rehabilitasi psikologis.

  3. Menyusun Proses Reintegrasi Proses reintegrasi atau pemulangan harus dilakukan secara sukarela dan penuh kesadaran dari korban. Oleh karena itu, korban harus di libatkan dalam menyusun rencana proses reintegrasinya.

  4. Monitoring Memulangkan korban ke kampung halamannya saja tidaklah cukup.

  Korban membutuhkan pendampingan sampai korban bisa ber-integrasi dengan baik ke masyarakat. Untuk mengetahui suksesnya proses rehabilitasi dan reintegrasi yang dilakukan, maka pendamping perlu melakukan monitoring terhadap korban. Dalam upaya reingrasi sosial ini, faktor terpenting adalah adanya dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar korban. Bantuan ekonomi dan konseling dapat mencegah korban untuk diperdagangkan kembali untuk tujuan eksploitasi seksual (Juniarti, Marjoko, Amri, 2010: 44-47).

2.3 Kesejahteraan Sosial

2.3.1 Defenisi Kesejahteraan Sosial

  Pengertian kesejahteraan sosial secara yuridis konsepsional termuat dalam UU No. 11 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejateraan sosial, pada pasal

  1 ayat 1 mengartikan kesejateraan sosial sebagai “kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”. Menurut James Midgley (dalam Isbandi Rukminto Adi, 2004 hal: 7) mendefenisikan kesejateraan sosial sebagai “Suatu keasaan atau Kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelolah dengan baik, ketika kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan.

  Elizabeth Wickenden (dalam Wibhawa, 2010:23) mendefenisikan kesejateraan sosial sebagai suatu sistem perundang-undangan, kebijakan, program, pelayanan dan bantuan untuk menjamin pemehunan kebutuhan sosial yang dikenal sebagai kebutuhan dasar bagi kesehteraan manusia dan bagi berfungsinya ketertiban sosial secara baik. Pengertian lain juga dapat dikembangkan dari hasil Pre-Conference

  

Working for the 15’th International Conference of Social Walfare

  yakni,”Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan rekreasi budaya dan lain sebagainya (Huda, 2009: 73). Dari definisi tersebut dapat dipahami 4 hal, yaitu sebagai berikut: 1.

  Konsep pelayanan sosial (bidang praktik pekerjaan sosial) mencakup aktivitas yang sangat luas, mulai dari perundang-undangan sosial sampai kepada tindak langsung pemberian bantuan.

  2. Konsep “Kesejateraan Sosial” dapat menciptakan kondisi masyarkat dimana masalah sosial dapat diatasi dan dapat memaksimalkan kesempatan sosial, misalnya didalam kesempatan bekerja dan berpartisipasi dalam pembangunan.

  3. Konsep “Kesehateraan Sosial” berbeda dengan “Kesejahteraan”. Yaitu suatu kondisi tepenuhinya kebutuhan sosial (Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar bagi terciptanya “Kesejateraan” (sebagai keadaan yang baik dalam semua aspek kehidupan manusia).

4. Pada tingkat masyarakat, Kesejateraan Sosial berarti terdapatnya ketertiban sosial (social order) yang lebih baik.

2.3.2 Peran Pekerja Sosial terhadap Pelayanan Kesejateraan Sosial Anak

  Pekerja sosial adalah profesi pertolongan kemanusian, yang tujuannya adalah untuk meningkatan keberfungsian sosial individu, kelompok, keluarga dan masyarakat. Sementara itu, pengertian pekerjaan sosial yang diadopsi oleh IFSW (

  

International Federation Of Social Workers), General Meeting, 26 juli 2000,

  Montreal, Canada adalah profesi untuk meningkatkan perubahan sosial, pemecahan masalah dalam hubungan kemanusian serta pemberdayaan serta kebebesan masyarakat untuk meningkatkan kesejateraan. Dengan menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial, pekerja sosial mengintervensi pada titik-titik dimana masyarakat berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hal asasi kemanusian dan keadilan sosial adlah hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial.

  Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktek di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial (Kepmensos, 2007). O’Connor menyebutkan bahwa pekerjaan sosial dan praktek pekerjaan sosial mencoba meningkatkan taraf hidup manusia dan menyeimbangkan kembali ketidakadilan dan penderitaan yang dialami warga masyarakat. Praktisi kesejahteraan sosial mencoba untuk memobilisasi berbagai daya yang terdapat pada individu, komunitas dan Negara bagian yang ditujukan untuk memperbaiki proses dimana individu dan kelompok termarjinalisasikan dan kehilangan kemampuan untuk berpartisipasi (Adi, 2004: 9).

  Praktisi kesejahteraan dan praktisi komunitas adalah seseorang yang melalui pelatihan profesional maupun lembaga pendidikan, telah menyerap nilai, sikap, pengetahuan dan keterampilan agar dapat bekerja secara mandiri, berkelompok dan dalam lembaga kesejahteraan atau program yang ditujukan untuk mempromosikan, menyembuhkan atau memperbaiki keberfungsian sosial individu, keluarga, kelompok sosial atau komunitas yang lebih luas. Selain itu, Pekerja sosial harus mendedikasikan layanannya untuk kesejahteraan dan pengembangan diri dari manusia dan juga masyarakat di mana mereka tinggal. Pencapaian keadilan sosial haruslah sejalan dengan pencapaian pemenuhan kebutuhan individu . Profesi pekerjaan sosial mengambil kliennya dari individu, keluarga, kelompok, organisasi, komunitas ataupun masyarakat yang lebih luas untuk memberikan pelayanan (Adi, 2004 :10).

  Skidmore Thackeray dan Farley menggambarkan proses casework dalam proses pendampian korban eksploitasi seksual pada anak menjadikan empat tahapan, yaitu:

  1. Tahapan Penelitian Pada tahapan ini korban/klien menjalin relasi dengan caseworker. Tahapan ini caseworker mencoba untuk memilah-milah mengenai informasi atau data yang mengenai kasus eksploitasi seksual yang terjadi pada anak.

  2. Tahapan Pengkajian Pada tahapan ini, caseworker diharapkan melakukan berbagai macam bentuk terapi ataupun treatment tergantung pada kebutuhan dan keunikan masing- masing klien. Dengan bekerja sama dengan pihak-pihak lain atauapun dari profesi lainnya, seperti polisi, dokter, ahli hukum yang dapat dijadikan masukan pada tahapan ini. Dengan mengunakan prinsip-prisip partisipasi agar hubungan klien dengan pihak-pihak terkait dalam terjalin dengan baik.

  3. Tahapan Intervensi Pada tahapan ini, caseworker dalam melakukan proses terapi yang dikembangkan melakukan proses diskusi dengan melakukan alternative pemecahan masalah bersama klien. Adanya dorongan ataupun pemberian terapi kepada korban anak dapat berupa terapi konkrit, terapi penunjang atau penyembuhan.

  4. Tahapan Terminasi Pemutusan hubungan dengan klien atau korban eksploitasi seksual pad anak.

  Dengan pencapaian tujuan terapi ataupun treatment yang telah dilakukan.

2.4 Kerangka Pemikiran

  Terwujudnya kebijakan (isi, struktur dan kultur) publik yang berpihak pada anak dan perempuan di Indonesia adalah jalan panjang yang membutuhkan beberapa dekade lagi untuk pencapaiannya. Hal ini adalah akibat dari berbagai persoalan struktural yang belum terpecahkan oleh negara. satu dari beberapa aspek struktural tersebut adalah mismanagement penyelengaraan negara yang ujung-ujungnya menimbulkan, korupsi, pembusukan hukum, pemiskinan dan pengabaian terhadap hak-hak dasar dari warga negara, termasuk anak dan perempuan.

Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Anak Terhadap Penyalahgunaan Internet Sebagai Media Bullying Menurut Undang Undang No 11 Tahun 2008

0 0 48

BAB I PENDAHULUAN - Pertanggungjawaban Pidana Anak Terhadap Penyalahgunaan Internet Sebagai Media Bullying Menurut Undang Undang No 11 Tahun 2008

0 0 27

Tinjauan Yuridis Terhadap Open Sky Asean 2015 Dan Regulasinya Terhadap Penerbangan Di Indonesia

0 0 22

Tinjauan Yuridis Terhadap Open Sky Asean 2015 Dan Regulasinya Terhadap Penerbangan Di Indonesia

0 0 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Perilaku Konsumen - Pengetahuan Konsumen Mengenai Perbankan Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Menjadi Nasabah pada Bank Syariah Muamalat Cabang Rantau Prapat

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengetahuan Konsumen Mengenai Perbankan Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Menjadi Nasabah pada Bank Syariah Muamalat Cabang Rantau Prapat

0 0 10

Pengaruh Price Earning Ratio, Price To Book Value, Dividend Yield, Dan Tingkat Bunga Deposito Terhadap Perubahan Harga Saham Pada Perusahaan Perbankan Di Bursa Efek Indonesia

0 0 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka - Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

0 0 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun - Optimasi Konsentrasi Kitosan Molekul Tinggi dalam Sabun Transparan Antibakteri

0 0 18