BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun - Optimasi Konsentrasi Kitosan Molekul Tinggi dalam Sabun Transparan Antibakteri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sabun

  Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani. Sabun mandi merupakan sabun natrium yang pada umumnya ditambah zat pewangi atau antiseptik, digunakan untuk membersihkan tubuh manusia dan tidak berbahaya bagi kesehatan (SNI, 1994).

  Terdapat 2 jenis sabun, yakni:

  1. Sabun keras atau sabun cuci dibuat dari minyak dengan NaOH, misalnya Na-palmitat dan Na-stearat

  2. Sabun lunak atau sabun mandi dibuat dari minyak dengan KOH, misalnya K-palmitat dan K-stearat.

  Sabun dibedakan atas tiga macam, yaitu sabun tidak transparan(opaque), sabun transparan, dan sabun agak transparan(translucent). Ketiga jenis sabun ini dapat dibedakan dengan mudah dari penampakannya.Sabun opaque adalah jenis sabun yang biasa digunakan sehari-hari.Sabun transparan adalah sabun yang penampakannya lebih berkilau dan lebih bening, sehingga sisi belakang sabunterlihat dari sisi depannya.Sabun translucent dan sabun transparan hampir sama, hanya penampakannya berbeda. Sabun translucent tampak cerah dan tembus cahaya, tetapi tidak terlalu bening dan agak berkabut (Hambali dkk, 2005).

  Tujuan sediaan kosmetik sabun mandi antara lain untuk membersihkan tubuh, membantu melunakkan air sadah, memberi keharuman dan rasa segar seperti aroma terapi atau bahan perlindungan dari bakteri serta menghaluskan dan melembutkan kulit (Hambali dkk, 2005).

  2.1.1Reaksi Saponifikasi pada Pembuatan Sabun

  Kata saponifikasi atau saponify berarti membuat sabun, dimana (sapon=sabun dan

  fy =membuat). Sabun dibuat dari proses saponifikasi lemak hewan (tallow) dan

  dari minyak, reaksi saponifikasi tidak lain adalah hidrolisis basa suatu ester dengan alkali (NaOH, KOH) (Poedjiadi, 2006).

  Proses saponifikasi terjadi karena proses reaksi trigliserida dengan alkali yang terjadi pada suhu 80 C. Saponifikasi suatu trigliseraldehida menghasilkan suatu garam dari asam lemak ke rantai panjang yang merupakan sabun (Spitz,

  1996). Reaksi saponifikasi lemak atau minyak ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Reaksi Saponifikasi (Spitz, 1996)

  2.1.2 Metode Pembuatan Sabun

  Metode pembuatan sabun ada beberapa cara, antara lain:

  a. Metode Panas ( full boiled)

  Secara umum proses ini melibatkan reaksi saponifikasi dengan menggunakan panas yang menghasilkan sabun dan membebaskan gliserol. Tahap selanjutnya dilakukan pemisahan dengan penambahan garam (salting out), kemudian akan terbentuk 2 lapisan yaitu bagian atas merupakan lapisan sabun yang tidak larut didalam air garam dan lapisan bawah mengandung gliserol, sedikit alkali dan pengotor-pengotor dalam fase air.

  b. Metode Semi-Panas (semi boiled) Teknik ini merupakan modifikasi dari cara dingin. Perbedaannya hanya terletak pada pengggunaan panas pada temperatur 70 -80

  C. Cara ini memungkinkan pembuatan sabun dengan menggunakan lemak bertitik leleh lebih tinggi (Mabrouk, 2005).

  c. Metode Dingin Cara ini merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan dan tanpa disertai pemanasan. Namun cara ini hanya dapat dilakukan terhadap minyak yang pada suhu kamar memang sudah berbentuk cair. Minyak dicampurkan dengan larutan alkali disertai pengandukan terus menerus hingga reaksi saponifikasi selesai. Larutan akan menjadi sangat menebal dan kental.

  Berbeda dengan full boiled process, gliserol yang terbentuk tidak dipisahkan. Ini menjadi suatu nilai tambah tersendiri kerena gliserol merupakan humektan yang dapat memberikan kelembaban. Lapisan gliserol akan tertinggal pada kulit sehingga melembabkan kulit (Shrivastava, 1982).

  Sabun dapat dibuat melalui proses batch atau kontinu. Pada proses batch minyak dipanaskan dengan alkali NaOH berlebih, jika penyabunan telah selesai maka garam ditambahkan untuk mengendapkan sabun. Pada proses kontinu yaitu minyak dihidrolisis dengan air pada suhu dan tekanan yang tinggi dibantu dengan katalis (Hart, 1990).

2.1.3 Sabun Transparan

  Sabun transparan merupakan sabun yang memiliki tingkat transparansi paling tinggi sehingga memiliki penampilan lebih menarik. Ia memancarkan cahaya yang menyebar dalam bentuk partikel-partikel yang kecil, sehingga obyek yang berada di luar sabun akan kelihatan jelas. Obyek dapat terlihat hingga berjarak sampai panjang 6 cm. Sabun transparan mempunyai nilai tambah yang jadi pemikat karena memiiliki permukaan yang halus, penampilan yang bewarna dan ketransparanannya dapat membuat kulit menjadi lembut karena didalamnya mengandung gliserin dan sukrosa yang berfungsi sebagai humektan dan sebagai komponen pembentuk tranparan (Wasitaatmadja, 1997).

  Keuntungan dari pembuatan sabun transparan adalah selain penampilan transparan yang menawan, mempunyai fungsi pelembab, daya bersih yang efektif tanpa meninggalkan busa sabun dan lebih terasa lunak. Sabun transparan menjadi bening karena dalam proses pembuatannya dilarutkan dalam alkohol. Alkohol ini ditambahkan juga untuk mencegah pengkristalan. Sabun transparan juga sering disebut sabun gliserin karena untuk memperoleh sifat transparan juga perlu dilakukan penambahan gliserin pada sabun (Hambali dkk, 2005).

  Metode produksi sabun transparan melibatkan pelelehan fase lemak dan persiapan air untuk melarutkan sukrosa, gliserin dan pengawet. Kedua fase ini bereaksi dengan larutan beralkohol dari kaustik soda dibawah pemanasan terkontrol. Setelah reaksi selesai, sabun ini kemudian siap untuk diberi warna dan wewangian. Setelah pewarna dan pewangian, sabun akhir dituangkan ke dalam cetakan dan dibiarkan mengeras sebelum dikemas.

  Berikut penjelasan mengenai bahan baku yang dapat digunakan pada pembuatan sabun transparan:

  1. Minyak Minyak merupakan ester dari asam lemak dan gliserol. Pada umumnya asam lemak yang ditemukan di alam merupakan monokarboksilat dengan rantai tidak bercabang dan memiliki jumlah atom genap (Winarno, 1997).

  Jenis asam lemak sangat menentukan mutu dan konsistensi sabun yang dihasilkan. Sabun yang dihasilkan dari asam lemak dengan berat molekul kecil (misalnya asam laurat) lebih lunak daripada sabun yang dibuat dari asam lemak dengan berat molekul yang lebih berat (misalnya asam lemak stearat). Minyak umumnya berasal dari tetumbuhan, contohnya minyak jagung, minyak zaitun, kacang, dan lain-lain (Fessenden dan Fessenden, 1990).

  Minyak yang berlebihan dalam sabun transparan akan menyebabkan sabun seperti berkabut. Untuk mendapatkan sabun yang transparan, dibuat sabun gliserin dahulu, yaitu sabun yang perhitungan saponifikasinya tepat, sehingga tidak ada minyak atau kaustik yang berlebihan.

  2. Asam Stearat Asam stearat adalah asam tidak jenuh, tidak ada ikatan rangkap antara atom karbonnya. Asam lemak jenis ini dapat ditemukan pada minyak/lemak nabati dan hewani. Asam stearat sering digunakan sebagai bahan dasar pembuatan

  

cream dan sabun. Pada proses pembuatan sabun transparan, jenis asam stearat

  yang digunakan adalah yang berbentuk kristal putih dan mencair pada suhu 56 C. Fungsi asam stearat pada proses pembuatan sabun adalah untuk mengeraskan dan menstabilkan busa (Hambali dkk, 2005).

  3. Alkali Industri sabun menggunakan sejumlah besar bahan kimia berupa natrium hidroksida (NaOH) atau dikenal dengan nama kaustik soda. Natrium hidroksida adalah senyawa alkali yang sangat mudah larut dalam air dan dalam etanol (95%) (Hambali dkk, 2005).

  Pada proses pembuatan sabun, penambahan NaOH harus dilakukan dengan jumlah yang tepat. Apabila NaOH yang ditambahkan terlalu pekat atau jumlahnya berlebih, maka alkali bebas yang tidak berikatan dengan trigliserida atau asam lemak akan terlalu tinggi memberikan pengaruh negatif yaitu iritasi pada kulit. Sebaliknya, apabila NaOH yang ditambahkan terlalu encer atau jumlahnya terlalu sedikit, maka sabun yang dihasilkan akan mengandung asam lemak yang tinggi. Asam lemak bebas pada sabun mengganggu proses emulsi sabun dan kotoran pada saat sabun digunakan (Kamikaze, 2002).

  4. Gliserin Gliserin merupakan produk samping dari pemecahan minyak atau lemak untuk menghasilkan asam lemak. Gliserin tidak berwarna, higroskopis, dapat bercampur dengan air maupun etanol (95%). Digunakan sebagai humektan, sehingga dapat berfungsi sebagai pelembab pada kulit selain itu sebagai pelarut. Pada pembuatan sabun transparan, gliserin bersama dengan sukrosa dan alkohol berfungsi dalam pembentukan struktur transparan (Hambali dkk, 2005).

  5. Alkohol Dalam hal ini alkohol cenderung berfungsi sebagai preservative (bahan pengawet) yang dapat menghambat timbulnya ketengikan pada berbagai produk berbahan baku minyak atau lemak, tetapi dalam pembuatan sabun transparan, alkohol adalah bahan yang paling penting untuk membentuk tekstur transparan sabun. Di sisi lain, penggabungan etanol dengan asam lemak akan menghasilkan sabun dengan kelarutan yang tinggi (Shrivastava, 1982).

  6. Gula Gula merupakan senyawa organik murni yang terbanyak diproduksikan orang. Gula berupa kristal yang sangat mudah larut dalam air, terlebih lagi air mendidih. Dapat digunakan sebagai humektan, perawatan kulit, dan yang utama adalah membantu terbentuknya transparansi sabun (Purnamawati, 2006).

  7. Surfaktan Surfaktan memiliki fungsi penting lain dalam membersihkan, seperti menghilangkan dan membentuk emulsi, serta mengangkat kotoran dalam bentuk suspensi sehingga kotoran tersebut dapat dibuang. Surfaktan dapat juga mengandung alkali yang berfungsi untuk membuang kotoran yang bersifat asam.

  Untuk menghindari rasa kering pada kulit diperlukan bahan yang tidak saja meminyaki kulit tetapi juga berfungsi membentuk sabun yang lunak, misalnya: gliserol, cocoa butter, dietanol amida, natrium lauril sulfat, dan minyak almond. Bahan-bahan tersebut selain sebagai pembersih dan meminyaki kulit juga dapat menstabilkan busa dan berfungsi sebagai pelunak (Purnamawati, 2006).

  8. Garam (NaCl) Garam dapur (NaCl) digunakan untuk memisahkan gliserol dari larutan sabun. Garam yang digunakan dapat dalam bentuk kristal atau larutan garam pekat. NaCl merupakan bahan bersifat higroskopik rendah yang memiliki peran dalam pembusaan sabun. Penambahan NaCl bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi elektrolit sesuai dengan penurunan jumlah alkali pada akhir reaksi, sehingga bahan-bahan pembuat sabun tetap seimbang selama proses pemanasan. (Cognis, 2003).

  9. Asam Sitrat Penambahan asam lemak yang lemah, seperti asam sitrat, dapat menurunkan pH sabun. Asam sitrat dalam sabun kemampuannya sebagai penyapu logam-logam berat dalam air sadah, asam sitrat berfungsi sebagai chelating agent, yaitu senyawa yang dapat mengikat logam Mg dan Fe, asam sitrat juga dapat berfungsi sebagai antioksidan (Wasitaatmadja, 1997).

  10. Pewangi Sabun tidak lengkap bila tidak ditambahkan parfum sebagai pewangi.

  Pewangi ini harus berada dalam pH dan warna yang berbeda. Biasanya dibutuhkan wangi parfum yang tidak sama untuk membedakan produk masing- masing.

  Terdapat beberapa spesifikasi standar mutu sabun yang harus dipenuhi agar sabun dapat layak digunakan dan dipasarkan. Spesifikasi standar mutu yang harus dipenuhi pada produk sabun menurut SNI 06-3532-1994 dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Standar Mutu Sabun Mandi berdasarkan SNI 06-3532-1994

  No Uraian (%) Tipe I Tipe II Superfat

  1 Kadar air Maks 15 Maks 15 Maks 15

  2 Jumlah asam lemak >70 64-70 >70

  3 Alkali bebas

  • dihitung sebagai NaOH Maks 0,1 Maks 0,1 Maks 0,1
  • dihitung sebagai KOH Maks 0,14 Maks 0,14 Maks 0,14

  4 Asam lemak bebas dan atau lemak <2,5 <2,5 2,5-7,5 netral

  5 Minyak Mineral negatif Negative negatif Sumber: SNI (1994).

2.1.4 Kegunaan Sabun

  Fungsi utama sabun mandi yaitu untuk mengangkat kotoran, sel-sel kulit mati, mikroorganisme dan menghilangkan bau badan. Sabun dapat mengangkat kotoran dari kulit karena memiliki dua gugus yang berbeda kepolarannya, yaitu gugus nonpolar dan gugus polar. Gugus non polar adalah gugus yang tidak suka air (hidrofobik), sehingga dapat mengikat kotoran pada kulit. Gugus polar adalah gugus yang suka air (hidrofilik) yang ketika dibilas maka kotoran akan terikat dengan air bilasan (Hart, 1990).

  Mekanisme bagaimana molekul sabun dalam pelarut air dapat membersihkan kotoran/noda berlemak adalah makin panjang bagian molekul sabun yang bersifat nonpolar, makin kuat daya pembersihnya terhadap kotoran/noda berlemak.

  Proses pembersihan kotoran dengan menggunakan sabun tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan air didalamnya. Air merupakan cairan yang umumnya digunakan untuk membersihkan sesuatu yang memiliki tegangan permukaan. Setiap molekul dalam struktur model air, dikelilingi dan ditarik oleh molekul air yang lainnya. Tegangan permukaan tersebut terbentuk pada saat molekul air yang terdapat pada permukaan air ditarik ke tubuh air. Tegangan ini mengakibatkan air membentuk butiran-butiran pada permukaan yang lambat laun akan membasahi bagian permukaan dan menghambat proses pembersihan. Tegangan permukaan dalam proses pembersihan harus dikurangi sehingga air dapat menyebar dan membasahi seluruh permukaan. Bahan yang dapat menurunkan tegangan permukaan pada air secara efektif disebut surfaktan. Sabun merupakan surfaktan anionik (James dkk, 2002).

2.2Kulit

  Kulit merupakan ”selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar.

  Kulit mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:

  a. Sebagai penghalang terhadap serangan mikroorganisme dan benda asing b. Sebagai pelindung terhadap rangsang mekanis, termis dan osmotik

  c. Sebagai pengatur suhu tubuh dan keseimbangan cairan

  d. Sebagai tempat ekskresi dan absorbsi

  e. Sebagai tempat mengubah provitamin D menjadi bentuk yang lebih aktif secara fisiologi melalui radiasi sinar ultraviolet f. Sebagai organ perasa yang luas dan sebagai tanda emosional dalam bentuk ekspresi dan refleks vascular (Putri, 2009).

  Sabun yang digunakan untuk membersihkan kotoran pada kulit baik berupa kotoran yang larut dalam air maupun yang larut dalam lemak. Namun dengan penggunaan sabun kita akan mendapatkan efek lain pada kulit, yaitu:

  1. Daya alkalinisasi kulit Daya alkalinisasi sabun dianggap sebagai faktor terpenting dari efek samping sabun reaksi basa yang terjadi pada sabun konvensional yang melepas

  • ion OH sehingga pH larutan sabun ini berada antara 9-12 dianggap sebagai penyebab dari iritasi kulit. Bila kulit terkena cairan sabun, pH kulit akan naik beberapa menit setelah pemakaian, meskipun kulit telah dibilas dengan air.
Alkalinisasi dapat menimbulkan kerusakan kulit bila kontak berlangsung lama, misalnya pembilasan tidak sempurna atau pH sabun yang sangat tinggi.Pengasaman akan terjadi setelah 5-10 menit, dan setelah 30 menit pH kulit akan normal kembali.

  2. Daya pembengkakan dan pengeringan kulit Kontak air (pH 7) pada kulit yang lama akan menyebabkan lapisan tanduk kulit mengembang akibat kenaikan permeabilitas kulit terhadap air. Cairan yang mengandung sabun dengan pH alkalis akan mempercepat hilangnya mantel asam pada lemak kulit permukaan sehingga pengembangan kulit akan menjadi lebih cepat.

  3. Daya antimikrobial Sabun yang mengandung surfaktan, terutama kation, mempunyai daya antimikroba, apalagi ditambah bahan antimikroba. Daya antimikroba ini terjadi pula akibat kekeringan kulit, pembersih kulit, oksidasi didalam sel karotin, daya pemisah surfaktan dan kerja mekanis air(Wasitaatmaja, 1997).

2.3 Kitosan

  Kitosan pertama kali ditemukan oleh C. Rouget pada tahun 1859 dengan cara merefluks kitin dengan kalium hidroksida pekat. Dalam tahun 1934, dua paten didapatkan oleh Rigby yaitu penemuan mengenai pengubahan kitin menjadi kitosan dan pembuatan film dari serat kitosan. Perkembangan penggunaan kitosan meningkat pada tahun 1970-an seiring dengan diperlukannya bahan alami dalam berbagai bidang industri (Kaban, 2009).

  Kitosan adalah senyawa biopolimer yang diturunkan dari senyawa kitin yaitu senyawa dengan struktur homopolimer P-(1-4) N-acetyl-D-Glucosamine dengan rumus molekul (C

6 H

  11 NO 4 )n. Kitin terdapat secara luas pada hewan-

  hewan invertebrata di laut, serangga, jamur dan juga ragi. Umumnya cangkang dari hewan laut mengandung 30-40% protein, 30-50% kalsium karbonat dan kalsium fosfat, dan 20-30% kitin. Kitosan diperoleh melalui pemutusan gugus asetil (CH

  3 -CO). Proses pemutusan ini disebut dengan deasetilasi (Shahidi, 1999).

  Kebanyakan modifikasi kimia dari kitosan ditunjukkan dari gugus amino bebas pada unit glukosaminnya. Modifikasi dari kitosan tersebut dapat mengontrol interaksi antara polimer kitosan dengan senyawa lain yang bersifat racun untuk meningkatkan control racun dan melepaskannya dari matriks senyawa. Ciri-ciri hidrofobik dari kitosan mampu meningkatkan kestabilan dari substitusi kitosan untuk mendegradasi suatu senyawa enzim yang bersifat racun. Gugus asam karboksilat dari kitosan membuat pH kitosan menjadi sensitif. Di bawah kondisi asam, gugus karboksilat tetap tidak terionisasi sehingga kurang bersifat hidrofilik. Sebaliknya dalam kondisi basa, polimer kitosan terionisasi dan bersifat lebih hidrofilik (Jayakumar et al. 2011).

  Kitosan merupakan polimer reaktif yang mudah dimodifikasi. Fungsi potensial dari kitosan dan aplikasinya pada bidang biokimia, obat-obatan, farmakologi, enzimologi, mikrobiologi, agrikultur, nutrisi, dan industri pengolahan. Struktur kitosan dapat dilihat pada gambar 2.2 dibawah ini: CH OH 2 OH

  O O NH 2 n

Gambar 2.2 Struktur Kitosan (Zirkakis, 1963)

2.3.1 Sifat Antibakteri Kitosan

  Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH diatas 6,5. Kitosan bersifat polikationik yang dapat mengikat lemak dan logam berat pencemar. Kitosan mempunyai gugus amina yaitu adanya unsur N bersifat sangat reaktif dan bersifat basa (Inoue et al. 1994).

  Kitosan mempunyai sifat spesifik yaitu adanya sifat bioaktif, biokompatibel, pengkelat, antibakteri dan dapat terbiodegradasi. Kualitas kitosan dapat dilihat dari sifat intrinsiknya, yaitu kemurniannya, massa molekul, dan derajat deasetilasi. Umumnya kitosan mempunyai derajat deasetilasi 75-98% (Ramadhan dkk,2010).

  Proses deasetilasi merupakan proses pengubahan gugus asetamida menjadi gugus amina sebagian ataupun seluruhnya. Gugus amina dalam larutan akan

  • terprotonasi menjadi NH

  3 , dimana kelarutan akan meningkat saat derajat deasetilasi tinggi.

  Semakin banyak gugus amina pada kitosan maka muatan positif semakin banyak. Muatan positif tersebut akan berinteraksi dengan muatan negatif bakteri, yaitu dapat menarik molekul lipopolisakarida protein dalam membran sel bakteri sehingga menyebabkan kebocoran membran intrasel. Gugus amina juga memiliki

  2+ 2+

  pasangan elektron bebas, sehingga dapat menarik Mg (ribosom) dan Ca (dinding sel) yang terdapat pada bakteri dengan membentuk kovalen koordinasi sehingga mengakibatkan timbulnya kebocoran konstituen intraseluler. Keberadaan kitosan yang mampu mengikat air menyebabkan pertumbuhan bakteri terhambat, molekul air ditahan secara kuat dalam kitosan sehingga terjadi proses penggelembungan sehingga bakteri akan mati (Hongpattarakere and Riyaphan, 2008).

  Parameter penting yang mempengaruhi aktivitas antibakteri kitosan adalah berat molekul dan konsentrasi kitosan, dan jenis mikroorganisme. Aktivitas antibakteri kitosan meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi. Kitosan dengan berat molekul tinggi (>500 kDa) aktivitas antibakterinya kurang efektif dibanding dengan berat molekul rendah. Hal ini berhubungan dengan viskositas sehingga sulit berdifusi, karena berat molekul rendah memiliki sisi kationik yang lebih banyak dan memiliki panjang rantai lebih banyak sehingga lebih aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri (Tsai and Su, 1999).

2.3.2 Kegunaan Kitosan

  Kitosan dikenal sebagai senyawa yang memiliki aktivitas antibakteri dan antijamur yang dapat melawan mikroorganisme, termasuk mikroorganisme patogen pada manusia. Kitosan dapat mencegah pertumbuhan Candida albicans, mempunyai daya antibakteri terhadap Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,

  

Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis, selain itu kitosan juga menunjukkan

  aktivitas antibakteri terhadap Corynebacterium michigenenses, Micrococcus

  

luteus, Staphylococcus aureus, Erwinia sp. dan Kliebsiella pneumonia (Ibrahim

dkk, 2010).

  Aplikasinya berhubungan dengan aktivitas antibakteri pada bidang industri makanan (pengawetan makanan), pertanian (perlindungan hasil panen), kosmetik, dan hidrologi (pengolahan air buangan). Dalam bidang yang spesifik seperti biomedikal, kitosan memiliki antibakteri yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan dalam proses terapi. Biasanya berat molekul yang lebih rendah dan derajat deasetilasi yang lebih tinggi merupakan perbandingan yang memberikan aktivitas antibakteri yang menguntungkan dari kitosan (Sarmento, 2012).

  Pada bidang pertanian dan pangan, kitosan digunakan untuk pencampur ransum pakan ternak, penstabil, pembawa zat aditif makanan, zat gizi, pestisida, herbisida, virusida tanaman, dan deasedifikasi buah-buahan, sayuran dan penjernih sari buah. Selain itu, biopolimer tersebut juga berguna sebagai antikoagulan, antitumor, antivirus, penambahan dalam obat pembuluh darah-kulit dan ginjal sintetik, bahan pembuat lensa kontak, bahan shampoo dan kondisioner rambut, penstabil liposom, bahan ortopedik, pembalut luka dan benang bedah yang mudah diserap, serta mempertinggi daya kekebalan, dan antiinfeksi. Kitosan juga dapat dimanfaatkan diberbagai bidang biokimia, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, dan lain sebagainya (Sugita dkk,2009).

2.4 Bakteri

  Nama bakteri berasal dari kata ”bakterion” (bahasa Yunani) yang berarti tongkat atau batang. Sekarang nama itu dipakai untuk menyebut sekelompok mikroorganisme yang bersel satu, tidak berklorofil, berbiak dengan pembelahan diri, serta demikian kecilnya sehingga hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Berdasarkan perbedaannya didalam menyerap zat warna gram bakteri dibagi atas dua golongan yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif menyerap zat warna pertama yaitu kristal violet yang menyebabkan berwarna ungu, sedangkan bakteri gram negatif menyerap zat warna kedua yaitu safranin dan menyebabkannya berwarna merah (Dwidjoseputro, 1994).

  Sel bakteri memiliki struktur eksternal dan internal sel. Salah satu struktur eksternal sel bakteri adalah dinding sel dan struktur internal sel bakteri adalah membran plasma atau membran sitoplasma. Dinding sel bakteri merupakan struktur kompleks dan berfungsi sebagai penentu bentuk sel, pelindung dari kemungkinan pecahnya sel. Dinding sel terdiri atas peptidoglikan atau murein yang menyebabkan kakunya dinding sel.

  Dinding sel bakteri gram positif memiliki kandungan peptidoglikan yang tinggi (dapat mencapai 50%) serta mengandung asam teikoat yang terdiri dari alkohol dan gliserol fosfat sehingga sel bakteri cenderung bermuatan negatif dan memiliki gugus hidrofilik. Dinding sel bakteri gram negatif tidak mengandung asam teikoat dan hanya mengandung sejumlah kecil peptidoglikan (sekitar 10%) sehingga relatif tidak kaku dan relatif lebih tahan terhadap kerusakan mekanis (Lay, 1994).

  Bakteri Escherichia coli

  2.4.1 Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri enterik yaitu bakteri berbentuk batang pendek dengan ukuran 0,5 μm x 3,0 μm, memiliki warna merah, tahan hidup dalam media yang kekurangan zat gizi. Merupakan bakteri gram negatif yang tidak berspora,

dan memiliki gerak positif. Mempunyai kapsul atau selubung tipis ada juga yang

tidak berkapsul sama sekali (Krieg and Holt, 1984).

  Escherichia coli adalah bakteri yang banyak ditemukan didalam usus besar

manusia sebagai flora normal. Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi primer pada

usus misalnya diare pada anak dan juga dapat menimbulkan infeksi pada jaringan

tubuh lain diluar usus. Bakteri Escherichia coli memiliki habitat dilingkungan

akuatik, tanah, makanan, air seni, dan tinja. Dinding selnya mengandung

peptidoglikan, selalu berpasangan membentuk rantai pendek atau seperti anggur,

biasanya ada dikulit dan bersifat patogen ( Dwidjoseputro, 1994 ).

  2.4.2 Bakteri Staphylococcus aureus

  Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang bersifat aerob atau anaerob fakultatif, tes katalase positif dan tahan hidup dalam lingkungan yang mengandung garam dengan konsentrasi tinggi (halofilik), misalnya NaCl 10%. Hasil pewarnaan yang berasal dari pembenihan padat akan memperlihatkan susunan bakteri yang bergerombol seperti buah anggur yang berwarna ungu. Untuk membiakkan bakteri Staphylococcus aureus diperlukan suhu optimal sekitar 35 C dan pH optimal untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus adalah 7,4 (Dwidjoseputro, 1994).

  Bakteri ini terdapat pada kulit, selaput lendir, bisul, dan luka. Dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuannya berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler seperti enzim dan toksin (Jawetz et al. 1995).

2.4.3 Pengukuran Aktivitas Antibakteri

  Pengukuran aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan 3 metode:

  a. Metode Dilusi Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat. Kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Tahap akhir dilarutkan antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan. Uji kepekaan cara dilusi agar memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Jawetz et al. 1995).

  b. Metode Difusi Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar. Metode difusi agar dapat dilakukan dengan metode cakram atau metode sumur. Metode cakram merupakan cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram dipergunakan mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik dan kimia, selain faktor antara obat dan organisme (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekular dan stabilitas obat). Meskipun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut memungkinkan melakukan uji kepekaan dengan baik. Sedangkan metode sumur didasarkan pada kemampuan senyawa antibakteri yang diuji untuk menghasilkan diameter zona penghambatan disekeliling sumur uji terhadap bakteri yang digunakan sebagai penguji. Metode ini lebih sederhana dibandingkan dengan metode cakram kertas. (Jawetz et al. 1995).

  c. Metode Turbidimetri Pada cara ini digunakan media cair, yaitu dilakukan penuangan media kedalam tabung reaksi, ditambahkan suspensi bakteri, kemudian dilakukan pemipetan larutan uji, dan inkubasi. Selanjutnya dilakukan pengukuran kekeruhan, kekeruhan yang disebabkan oleh pertumbuhan bakteri diukur dengan menggunakan alat instrumentasi yang cocok, misalnya nephelometer dan spektrofotometer setelah itu dilakukan perhitungan potensi antimikroba (Wattimena, 1991).

  Kriteria daya hambat bakteri berdasarkan kekuatan daya antibakteri pada daerah hambatan 20 mm atau lebih termasuk sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm kategori kuat (efektif), daerah hambatan 5-10 mm kategori sedang, dan daerah hambatan 5 mm atau kurang termasuk kategori lemah (Davis and Stout, 1971).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUMDALAM PENDAFTARANTANAH A. SejarahPendaftaranTanahdi Indonesia - Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang - Peran Kantor Pertanahan Kabupaten Simalungun Terhadap Masyarakat Dikecamatan Sidamanik Dalam Rangka Pendaftaran Tanah Serta Pelaksanaannya Berdasarkan Uu Pa Dan Peraturan Pemerintah Nomor24 Tahun 1997

0 0 21

BAB II KONSEP, TINJAUAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI - Gaya Bahasa Pada Beberapa Puisi Karya Du Fu

0 5 18

BAB I PENDAHULUAN - Gaya Bahasa Pada Beberapa Puisi Karya Du Fu

0 3 9

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAIHAKCIPTA A. SejarahHakCipta - Penerapan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Terhadap Produksi Karya Seni Berupa Rekaman Musik Daerah ( Studi Pada Elta Record Kota Bukittinggi )

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN - Pertanggungjawaban Pidana Anak Terhadap Penyalahgunaan Internet Sebagai Media Bullying Menurut Undang Undang No 11 Tahun 2008

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Perilaku Konsumen - Pengetahuan Konsumen Mengenai Perbankan Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Menjadi Nasabah pada Bank Syariah Muamalat Cabang Rantau Prapat

0 0 23

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengetahuan Konsumen Mengenai Perbankan Syariah dan Pengaruhnya Terhadap Keputusan Menjadi Nasabah pada Bank Syariah Muamalat Cabang Rantau Prapat

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka - Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

0 0 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Analisis Pengaruh Volume Produksi Kedelai, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar Terhadap Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

0 0 7