BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Makna Hidup Pasien Ulkus Diabetikum di RSUD dr. Djasamen Saragih Pematangsiantar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Diabetes Melitus

  1.1 Definisi Diabetes Melitus adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas tidak dapat lagi memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup atau dapat juga disebabkan oleh berkurangnya kemampuan tubuh untuk merespon kerja insulin secara efektif (WHO, 2013).

  1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus American Diabetes Assosiation (2009 dalam Sudoyo, Setiyohadi,

  Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009) mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi : 1)

  Diabetes melitus tipe 1 Dibagi dalam 2 subtipe yaitu autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta dan idiopatik tanpa bukti autoimun dan tidak diketahui sumbernya. 2)

  Diabetes melitus tipe 2 Bervariasi mulai yang predominan resisten insulin disertai defisinsi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resisten insulin. 3)

Diabetes melitus Gestasional

  Diabetes melitus yang muncul pada masa kehamilan umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

  8

  4) Diabetes melitus tipe lain:

  a) Defek genetik fungsi sel beta

  b) Defek genetik kerja insulin: resisten insulin tipe A, I eprechaunism, sindrom rabson mandenhall, diabetes loproatrofik dan lainnya.

  c) Penyakit eksokrin pankreas: pankreastitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus dan lainnya.

  d) Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma dan lainnya.

  e) Karena obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxic, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa dan lainnya.

  f) Infeksi: rubella konginetal, dan lainnya.

  g) Immunologi (jarang) : sindrom “Stiff-man” , antibody antireseptor insulin dan lainnya.

  h) Sindroma genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefilter, sindrom Turner, sindrom

Wolfram’s, ataksia Friedriech’s, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik, porfiria, sindrom Prader

  Willi dan lainnya.

  1.3 Diagnosis Diabetes Melitus Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien diabetes.

  Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Apabila ditemukan keluhan klasik DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan keluhan klasik DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal (PERKENI, 2011). Diagnosis DM juga dapat ditegakkan melalui cara pada tabel 1. Tabel 1 Kriteria diagnosis DM 1.

  Gejala klasik DM+glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/ dL (11,1mmol/ L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

  Atau 2. Gejala klasik DM+glukosa plasma puasa ≥126 mg/ dL (7.0 mmol/ L). Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

  Atau 3.

Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200 mg/ dL (11,1 mmol/ L). TTGO yang dilakukan dengan standar WHO

  menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan kedalam air. Sumber: Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus tipe 2, PERKENI 2011

  1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Disamping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh dapat berfungsi dengan baik. Sumber energi bagi tubuh berasal dari bahan makanan yang kita makan sehari-hari, terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak.

  Pengolahan bahan makanan dimulai dari mulut kemudian kelambung dan selanjutnya usus. Di dalam saluran pencernaan makanan diolah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak.

  Ketiga zat makanan itu, akan diserap oleh usus kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh organ-organ di dalam tubuh sebagai sumber energi. Supaya dapat berfungsi sebagai bahan energi, zat makanan itu harus masuk terlebih dahulu kedalam sel supaya dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi, proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber energi. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas.

  Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak ada sumber energi didalam sel (Suyono, 2004).

  Pada diabetes melitus tipe I tidak ditemukan insulin karena pada jenis ini timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta insulitis. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Insulitas bisa disebabkan macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain. Umumnya yang diserang pada insulitas itu adalah sel beta, dan biasanya sel alfa dan delta tetap utuh (Suyono, 2004).

  1.5 Komplikasi Diabetes Melitus Kondisi kadar gula darah yang tetap tinggi akan menimbulkan berbagai komplikasi. Komplikasi pada Diabetes Melitus dibagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan komplikasi kronis. Komplikasi akut adalah komplikasi yang muncul secara mendadak yang bisa fatal jika tidak segera ditangani. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetik, hiperosmolar non ketotik dan hipoglikemia.

  Komplikasi kronis adalah komplikasi yang terjadi karena glukosa darah berada di atas batas normal yang berlangsung selama bertahun- tahun. Komplikasi ini timbul secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi berangsur semakin berat dan membahayakan. Komplikasi kronik meliputi makroangiopati, mikroangiopati dan neuropati (Waspadji dalam Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009). Makroangiopati terjadi pada pembuluh darah besar (makrovaskular) seperti jantung, darah tepi dan otak. Mikroangiopati terjadi pada pembuluh darah kecil (mikrovaskular) seperti kapiler retina mata, dan kapiler ginjal.

  2.1 Definisi Ulkus diabetikum adalah salah satu bentuk komplikasi kronik diabetes melitus berupa luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan setempat. Ulkus diabetikum merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun anaerob (Tambunan, 2006).

  2.2 Klasifikasi Klasifikasi Ulkus diabetikum pada penderita Diabetes melitus menurut Wagner (Sudoyo, Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, & Setiati, 2009) ada 6 tingkatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi wagner

  Tingkat Lesi Tidak ada luka terbuka, kulit utuh.

  1 Ulkus Superfisialis, terbatas pada kulit.

  2 Ulkus menyebar ke ligament, tendon, sendi, fascia dalam tanpa adanya abses atau osteomyelitis

  3 Ulkus disertai abses, osteomyelitis atau sepsis sendi

  4 Gangrene yang terlokalisir pada ibu jari, bagian depan kaki atau tumit

  5 Gangrene yang membesar meliputi kematian semua jaringan kaki

  2.3 Diagnosis Ulkus Diabetikum Diagnosis ulkus diabetikum meliputi :

  1) Pemeriksaan Fisik :

  Inspeksi kaki untuk mengamati terdapat luka/ulkus pada kulit atau jaringan tubuh pada kaki, pemeriksaan sensasi vibrasi/rasa berkurang atau hilang, palpasi denyut nadi arteri dorsalis pedis menurun atau hilang. 2)

Pemeriksaan Penunjang :

  X-ray, EMG (Electromyographi) dan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui apakah ulkus kaki diabetes menjadi infeksi dan menentukan kuman penyebabnya (Waspadji, 2006).

  2.4 Tanda dan gejala Tanda dan gejala ulkus diabetikum yaitu sering kesemutan, nyeri kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal, serta kulit kering (Misnadiarly, 2006 ; Subekti, 2006).

  2.5 Etiologi Ulkus Diabetikum Ulkus diabetikum disebabkan oleh tiga faktor yang sering disebut Trias, yaitu : neuropati, iskemik dan infeksi.

  1) Neuropati (kerusakan saraf)

  Komponen saraf yang terlibat adalah saraf sensori dan autonomik dan sistem pergerakan. Kerusakan pada saraf sensori akan menyebabkan klien akan kehilangan sensasi nyeri dapat sebagian atau keseluruhan pada kaki yang terlibat.

  2)

Iskemik

  Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen.

  Hal ini disebabkan adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.

  Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus diabetikum.

  Proses angiopati pada pasien diabetes melitus berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang kemudian timbul ulkus diabetikum.

  3)

Infeksi

  Pada pasien DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan abnormalitas leukosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu, demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan.

  Pada pasien ulkus diabetikum, 50% akan mengalami infeksi akibat adanya glukosa darah yang tinggi, yang merupakan media pertumbuhan bakteri. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetikum yaitu kuman aerobik Staphylokokus atau Streptokokus serta kuman anaerob yaitu Clostridium perfringens, Clostridium novy dan Clostridium septikum.

  2.6 Patofisiologi Ulkus Diabetikum Ulkus Diabetikum diawali dengan adanya hiperglikemia pada pasien dengan diabetes melitus yang menyebabkan kelainan pada saraf dikaki atau disebut dengan neuropati perifer. Kelainan yang terjadi diantaranya adalah neuropati sensorik, motorik dan autonomik.

  Saraf autonomik adalah saraf yang mengontrol fungsi otot-otot halus, kelenjar dan organ viseral. Dengan adanya gangguan pada saraf autonomi maka terjadilah perubahan tonus otot yang menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen maupun pemberian antibiotik tidak dapat tercukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer. Inilah yang menimbulkan kulit menjadi kering, anhidrosis; yang memudahkan kulit menjadi rusak dan luka yang sukar sembuh, dan dapat menimbulkan kerentanan terhadap infeksi serta mengkontribusi terjadinya ganggren. Dampak lain yang terjadi pada saraf sensorik dan motorik adalah hilangnya sensasi rasa nyeri, tekanan dan perubahan temperatur (Suriadi, 2004).

  2.7 Faktor Risiko Ulkus Diabetikum Faktor risiko terjadinya ulkus diabetikum terdiri atas faktor-faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor-faktor risiko yang dapat diubah

  (Tambunan & Waspadji, 2006). 1) Faktor - faktor risiko yang tidak dapat diubah

  a. Umur Pada usia tua fungsi tubuh secara fisiologis menurun, hal ini terkait dengan proses penuaan yang menyebabkan terjadinya penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal. Penelitian di Swiss yang dikutip oleh Soewondo (2006) menyatakan bahwa penderita ulkus diabetikum 6% pada usia < 55 tahun dan 74% pada usia ≥ 60 tahun.

  b. Lama Menderita Diabetes Mel itus ≥ 10 tahun Ulkus diabetikum terjadi pada pasien diabetes melitus yang telah menderita 10 tahun atau lebih. Apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga mengalami makroangiopati dan mikroangiopati yang mengakibatkan terjadinya vaskulopati dan neuropati, sehingga terjadi penurunan sirkulasi darah dan adanya robekan/luka pada kaki penderita diabetes melitus yang sering tidak dirasakan karena terjadinya gangguan neuropati perifer (Tambunan, 2006; Waspadji, 2006).

  2) Faktor-faktor risiko yang dapat diubah :

  a. Neuropati (sensorik, motorik, perifer) Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan mikrosirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut saraf yang mengakibatkan degenerasi pada serabut saraf yang lebih lanjut akan terjadi neuropati. Saraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak dengan baik, sehingga pasien dapat kehilangan indra perasa. Selain itu, kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek. Neuropati perifer berupa hilangnya sensasi rasa berisiko tinggi terjadi ulkus diabetikum.

  b. Obesitas Pada obesitas dengan index massa tubuh ≥ 23 kg/m2 (wanita) dan

  IMT (index massa tubuh) ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan ideal yang berlebih akan sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10 μU/ml, keadaan ini menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan sirkulasi darah sedang/besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan mudah terjadi ulkus/ganggren sebagai bentuk dari kaki diabetes. c. Hipertensi Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada pasien diabetes melitus karena adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat pada menurunnya aliran darah sehingga terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darahnya lebih dari 130/80 mmHg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus.

  d. Kadar Glukosa Darah Tidak Terkontrol.

  Pada pasien diabetes melitus sering dijumpai adanya peningkatan kadar trigliserida dan kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL (highdensity - lipoprotein

  ) sebagai pembersih plak biasanya rendah (≤ 45 mg/dl). Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl, kolesterol total ≥ 200 mg/dl dan HDL ≤ 45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan dan menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan terjadinya aterosklerosis.

  e. Kebiasaan Merokok

Pada pasien diabetes melitus yang merokok ≥ 12 batang per hari

  mempunyai resiko 3x untuk menjadi ulkus diabetikum dibandingkan dengan pasien diabetes melitus yang tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung di dalam rokok akan dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein lipase akan memperlambat clearance lemak darah dan mempermudah timbulnya aterosklerosis. Aterosklerosis berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran darah ke arteri dorsalis pedis, poplitea dan tibialis juga akan menurun.

  f. Ketidakpatuhan Diet Diabetes Melitus Kepatuhan diet pasien diabetes melitus mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan berat badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem koagulasi darah.

  g. Kurangnya Aktivitas Fisik Aktivitas fisik (olahraga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Olahraga rutin (lebih 3 kali dalam seminggu selama 30 menit) akan memperbaiki metabolisme karbohidrat, berpengaruh positif terhadap metabolisme lipid dan sumbangan terhadap penurunan berat badan. Aktivitas fisik yang dilakukan termasuk senam kaki. Senam kaki dapat membantu memperbaiki sirkulasi darah dan memperkuat otot-otot kecil kaki dan mencegah terjadinya kelainan bentuk kaki (deformitas), selain itu dapat meningkatkan kekuatan otot betis dan otot paha (Gastrocnemeus,

  Hamsring, Quadriceps ) dan juga mengatasi keterbatasan gerak sendi. h.

Pengobatan Tidak Teratur

  Pengobatan rutin dan pengobatan intensif akan dapat mencegah dan menghambat timbulnya komplikasi kronik, seperti ulkus diabetikum.

  Sampai pada saat ini belum ada obat yang dapat dianjurkan secara tepat untuk memperbaiki vaskularisasi perifer pada pasien Diabetes Melitus. i. Perawatan Kaki Tidak Teratur

  Perawatan kaki yang teratur akan mencegah atau mengurangi terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Acuan dalam perawatan kaki pada pasien diabetes melitus yaitu selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna serta hati-hati terutama diantara jari-jari kaki, memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retak-retak, supaya kulit tetap mulus dan jangan menggosok antara jari-jari kaki (contoh: krem sorbolene), tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan retak-retak, memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula, luka dan lecet dan menghindari penggunaan air panas atau bantal panas. j. Penggunaan Alas Kaki Tidak Tepat

  Pasien diabetes melitus tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena dapat memudahkan terjadi trauma yang mengakibatkan ulkus diabetikum yang diawali dari timbulnya lesi pada tungkai kaki, terutama apabila terjadi neuropati yang mengakibatkan sensasi rasa berkurang atau hilang. Pencegahan dalam faktor mekanik dengan memberikan alas kaki yang pas dan nyaman untuk pasien diabetes melitus (Tambunan & Waspadji, 2006).

  2.8 Penatalaksanaan Ulkus Diabetikum Frykberg (2006) menyatakan bahwa tujuan dari penatalaksanaan ulkus diabetikum adalah untuk mencapai penutupan luka secepat mungkin sehingga dapat menurunkan angka amputasi pada ekstremitas bagian bawah pasien. Penatalaksanaan ulkus diabetikum meliputi evaluasi status vaskuler dan tindakan yang tepat seperti pengkajian gaya hidup/faktor psikologi, pentalaksanaan dasar luka dan penurunan tekanan.

  1) Evaluasi status vaskuler Perfusi arteri memegang peranan penting dalam penyembuhan luka dan harus dikaji pada pasien ulkus, selama sirkulasi terganggu luka akan mengalami kegagalan penyembuhan dan beresiko amputasi. Adanya insufisiensi vaskuler dapat berupa edema, karakteristik kulit yang terganggu, penyembuhan lambat dan ekstremitas dingin (Frykberg, 2006). 2) Pengkajian gaya hidup

  Gaya hidup dan faktor psikologi dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Contohnya antara lain: alkohol, merokok, penyalahgunaan obat, kebiasaan makan, obesitas, malnutrisi dan tingkat mobilisasi (Delmas, 2006).

  3) Penatalaksanaan dasar luka Tujuan dilakukannya debridement adalah membuang jaringan mati atau jaringan yang tidak penting (Delmas, 2006). Debridement menjadi salah satu tindakan yang terpenting dalam perawatan luka. Debridement adalah suatu tindakan untuk membuang jaringan nekrosis, callus dan jaringan fibrotik. Jaringan mati yang dibuang sekitar 2-3 mm dari tepi luka ke jaringan sehat. Debridement meningkatkan pengeluaran faktor pertumbuhan yang membantu proses penyembuhan luka.

  Kelembaban juga akan mempercepat proses reepitelisasi pada ulkus. Keseimbangan kelembaban ulkus meningkatkan proses autolysis dan granulasi. Untuk itu diperlukan pemilihan balutan untuk menjaga kelembapan luka. Dalam pemilihan balutan, sangat penting diketahui bahwa tidak ada balutan yang paling tepat terhadap semua ulkus diabetikum.

  4) Penurunan tekanan (Off Loading) Menurunkan tekanan pada ulkus diabetikum merupakan tindakan yang sangat penting. Off loading mencegah trauma lebih lanjut dan membantu meningkatkan penyembuhan. Ulserasi biasanya terjadi pada area telapak kaki yang mendapat tekanan tinggi. Bed rest merupakan satu cara yang ideal untuk mengurangi tekanan tetapi sulit untuk dilakukan.

  Total Contact Casting (TCC) merupakan metode offloading yang

  paling efektif. TCC dibuat dari gips yang dibentuk secara khusus untuk menyebarkan beban pasien keluar dari area ulkus. Metode ini memungkinkan penderita untuk berjalan selama perawatan dan bermanfaat untuk mengontrol adanya edema yang dapat mengganggu penyembuhan luka. Meskipun sukar dan lama, TCC dapat mengurangi tekanan pada luka dan itu ditunjukkan oleh penyembuhan 73-100%. Kerugian TCC antara lain membutuhkan ketrampilan dan waktu, iritasi dari gips dapat menimbulkan luka baru, kesulitan untuk menilai luka setiap harinya.

  Ulkus diabetikum memungkinkan masuknya bakteri, serta menimbulkan infeksi pada luka. Pada infeksi yang tidak membahayakan (non-limb threatening) biasanya disebabkan oleh staphylokokus dan streptokokus. Infeksi ringan dan sedang dapat dirawat poliklinis dengan pemberian antibiotika oral, misalnya cephalexin, amoxilin-clavulanic, moxifloxin atau clindamycin.

  Pada infeksi berat biasanya karena infeksi polimikroba, seperti staphylokokus, streptokokus, enterobacteriaceae, pseudomonas, enterokokus dan bakteri anaerob misalnya bacteriodes, peptokokus, peptostreptokokus. Pada infeksi berat harus dirawat dirumah sakit, dengan pemberian antibiotika yang mencakup gram posistif dan gram negatif, serta aerobik dan anaerobik (Jones, 2006).

  3.1 Definisi Istilah makna hidup dikemukakan oleh Victor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa, dalam teorinya yang di sebut logoterapi. Logoterapi berasal dari bahasa Yunani “logos” yang berarti makna (meaning) atau rohani (spirituality

  ) dan “terapi” yang berarti penyembuhan atau pengobatan, sehingga logoterapi merujuk pada upaya penyembuhan melalui penemuan makna hidup. Konsep spirituality dalam logoterapi tidak mengandung konotasi agamis, tetapi lebih merupakan sumber dari kualitas-kualitas luhur manusia.

  Bastaman (2007) menyatakan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the

  purpose in life) . Dalam makna hidup terkandung juga tujuan hidup

  sehingga makna hidup dan tujuan hidup tidak dapat dipisahkan. Tujuan hidup yakni hal-hal yang perlu dicapai dan dipenuhi. Makna hidup bermula dari sebuah visi kehidupan, harapan dan merupakan alasan kenapa individu harus tetap hidup.

  3.2 Karakteristik Makna Hidup Pertama, makna hidup itu sifatnya unik, pribadi dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya biasanya sifatnya khusus, berbeda dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta mungkin pula berubah dari waktu ke waktu. Mengingat keunikan dan kekhususannya itu, makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapa pun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri.

  Kedua, sifatnya spesifik dan nyata, artinya makna hidup benar- benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak harus dikaitkan dengan tujuan-tujuan idealistis, atauupun dengan hal- hal yang serba abstrak-filosofis.

  Ketiga, sifat dari makna hidup adalah memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, sehingga makna hidup itu seakan-akan menantang individu untuk memenuhinya. Dalam hal ini saat makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, individu tersebut seakan-akan terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan pun menjadi lebih terarah.

  3.3 Sumber-sumber Makna Hidup Makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruknya kehidupan tersebut. Frankl menyebutkan bahwa hidup bisa dibuat bermakna melalui tiga cara yaitu creative values, experiential values , dan attitudinal values.

  Creative values (nilai-nilai kreatif): kegiatan berkarya, bekerja,

  mencipta serta melaksanakan tugas dan kewajiban sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Menekuni suatu pekerjaan dan meningkatkan keterlibatan pribadi terhadap tugas serta berusaha untuk mengerjakannya dengan sebaik-baiknya merupakan salah satu contoh dari kegiatan berkarya. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup; makna hidup tidak terletak pada pekerjaan, tetapi lebih bergantung pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya.

  Eksperiential Values (nilai-nilai penghayatan): yaitu keyakinan

  dan penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai dapat menjadikan seseorang hidupnya berarti. Cinta kasih dapat pula menjadikan seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya.

  Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan.

  Mencintai seseorang berarti menerima sepenuhya keadaan orang itu seperti apa adanya serta benar-benar dapat memahami sedalam-dalamnya kepribadiannya dengan penuh pengertian. Cinta kasih senantiasa menunjukkan kesediaan untuk berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya kepada orang yang dikasihi, serta ingin menampilkan diri sebaik mungkin di hadapannya. Erich Form (1964 dalam Bastaman, 2007) seorang pakar psikoanalisis modern, menyebutkan empat unsur dari cinta kasih yang murni, yakni perhatian (care), tanggung jawab (responsibility), rasa hormat (respect), dan pengertian (understanding).

  Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap), yaitu menerima dengan

  penuh ketabahan, kesabaran, dan keberanian segala bentuk penderitaan yang tidak mungkin dielakkan lagi, seperti sakit yang tidak dapat disembuhkan, kematian dan menjelang kematian, setelah segala upaya dan ikhtiar dilakukan secara maksimal. Hal yang diubah bukan keadaannya, melainkan sikap (attitude) yang diambil dalam menghadapi keadaan itu. Ini berarti apabila menghadapi keadaan yang tak mungkin diubah atau dihindari, sikap yang tepatlah yang masih dapat dikembangkan. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah terhadap hal-hal tragis yang tak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan kita dari yang semula diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu. Penderitaan memang dapat memberikan makna dan guna apabila dapat mengubah sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik lagi.

  Bastaman (2007) mengungkapkan bahwa selain tiga ragam nilai yang dikemukakan oleh Frankl, ada nilai lain yang menjadikan hidup ini bermakna, yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di kemudian hari. Harapan yang merupakan sesuatu yang belum menjadi kenyataan akan memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Pengharapan mengandung makna hidup karena adanya keyakinan akan terjadinya perubahan yang lebih baik, ketabahan menghadapi keadaan buruk saat ini dan sikap optimis menyongsong masa depan. Nilai kehidupan ini disebut dengan nilai-nilai pengharapan (hopeful values).

  3.4 Komponen-Komponen Yang Menentukan Keberhasilan Dalam Pencarian Makna Hidup

  Setiap manusia akan selalu berusaha mencari makna dalam hidupnya. Bastaman (1996 dalam Sidabutar, 2008) mengemukakan komponen-komponen yang menentukan berhasilnya seseorang dalam merubah hidup dari penghayatan hidup yang tidak bermakna menjadi lebih bermakna, yaitu: a. Pemahaman diri (Self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.

  b. Makna hidup (Meaning of life), yaitu nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah-pengarah kegiatannya.

  c. Pengubahan sikap (Changing attitude), yaitu dari yang semula tidak tepat menjadi tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan musibah yang tidak bisa dihindari.

  d. Komitmen diri (Self comitment), yaitu komitmen pada makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan.

  e. Kegiatan terarah (Directed activities), yaitu upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi, bakat, kemampuan, keterampilan yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang makna dan tujuan hidup.

  f. Dukungan sosial (Social support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia memberi bantuan saat diperlukan.

  3.5 Metode Penemuan Makna Hidup Sekalipun makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, tetapi dalam kenyataan tidak selalu mudah untuk ditemukan.

  Makna hidup biasanya tersirat dan tersembunyi dalam kehidupan, sehingga perlu dipahami metode untuk menemukannya. Bastaman (2007) menyatakan bahwa ada beberapa metode yang digunakan untuk menemukan makna hidup, yaitu : a.

  Pemahaman Diri Metode ini dilakukan dengan cara mengenali keunggulan- keunggulan dan kelemahan-kelemahan pribadi (penampilan, fisik, bakat, pemikiran) dan kondisi lingkungan (keluarga, tetangga, teman). Menyadari keinginan-keinginan masa kecil, masa muda, dan keinginan-keinginan sekarang, serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang mendasari keinginan-keinginan itu.

  b.

  Bertindak Positif Metode ini dilakukan dengan cara menerapkan hal-hal yang baik ataupun tindakan positif dalam perilaku dan tindakan nyata sehari-hari.

  Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa dengan cara membiasakan diri melakukan tindakan-tindakan positif maka akan memberikan dampak positif terhadap perkembangan pribadi dan kehidupan sosial seseorang.

  c.

Pengakraban Hubungan

  Metode ini menganjurkan agar seseorang membina hubungan akrab dengan orang tertentu (misalnya anggota keluarga, teman,pacar) sebab dalam hubungan pribadi yang akrab, seseorang benar-benar merasa diperlukan dan memerlukan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain. Dalam hal ini seseorang akan merasa dirinya berharga dan bermakna bagi orang lain.

  d.

  Pendalaman Catur Nilai Merupakan usaha-usaha yang dilakukan untuk memahami benar- benar nilai-nilai berkarya, nilai-nilai penghayatan, nilai-nilai bersikap dan nilai-nilai pengharapan yang dapat menjadi sumber makna hidup seseorang.

  e.

Ibadah

  Ibadah merupakan pengertian yang lebih khusus, ibadah adalah ritual untuk mendekatkan diri pada Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan dalam agama. Ibadah yang dilakukan secara hikmat sering menimbulkan perasaan tentram, mantap dan tabah, serta tidak jarang pula menimbulkan perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan. Salah satu bentuk ibadah yang dapat memberikan makna khusus bagi seseorang adalah melalui doa.

  3.6 Proses Pencarian Makna Hidup Perjalanan hidup adalah suatu proses yang berkepanjangan.

  Kesulitan dan masalah yang dihadapi dalam menjalani kehidupan ini dapat menjadikan hidup tidak bermakna yang berproses panjang atau pendek, lama atau sebentar tergantung pada upaya yang dilakukan untuk mengubah hidup menjadi hidup yang bermakna. Adapun proses hidup ini berlangsung dalam lima tahapan (Bastaman, 2007), yaitu:

  1) Tahap Derita (peristiwa tragis dan penghayatan tanpa makna)

  Individu berada dalam kondisi hidup tidak bermakna, yang berkaitan dengan adanya peristiwa tragis atau kondisi hidup yang tidak menyenangkan. 2)

  Tahap Penerimaan Diri (pemahaman diri dan pengubahan sikap) Muncul kesadaran diri untuk mengubah kondisi diri menjadi lebih baik lagi, bisa saja dilatar-belakangi oleh banyak hal, seperti adanya perenungan diri, konsultasi dengan para ahli, mendapat pendangan dari seseorang, hasil doa dan ibadah, belajar dari pengalaman orang lain, atau mengalami peristiwa-peristiwa tertentu yang secara dramatis mengubah hidupnya selama ini.

  3)

Tahap Penemuan Makna Hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup):

  Menyadari adanya nilai-nilai berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup, yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup.

  Hal-hal yang dianggap berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilai- nilai kreatif, seperti bekerja dan berkarya, nilai-nilai penghayatan seperti penghayatan keindahan, keimanan, keyakinan dan nilai-nilai bersikap yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan tersebut.

  4) Tahap Realisasi Makna (komitmen diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup)

  Semangat hidup dan gairah untuk menjalani kehidupan ini menjadi meningkat, kemudian secara sadar membuat komitmen untuk melakukan berbagai kegiatan nyata yang lebih terarah. Kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan dan ketrampilan.

  5)

Tahap Kehidupan Bermakna (penghayatan bermakna dan kebahagiaan)

  Pada tahap ini timbul perubahan kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna dengan penuh kebahagiaan, apapun realita yang harus dihadapi atau dijalaninya.

  3.7 Penghayatan Hidup

  3.7.1 Penghayatan Hidup Tanpa Makna Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tidak berarti, bosan dan apatis.

  Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Walaupun penghayatan hidup tanpa makna ini bukan merupakan penyakit, tetapi dalam keadaan intensif dan berlarut- larut tidak diatasi dapat mengakibatkan neurosis noogenik, karakter totaliter dan karakter konformis.

  Neurosis noogenik merupakan suatu gangguan perasaan yang

  cukup menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan- gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan yang serba bosan, hampa, penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak artinya sama sekali. Kehidupan sehari-hari sangat rutin tanpa ada perubahan, bahkan tugas sehari-hari ditanggapi sebagai hal-hal yang menjemukan dan menyakitkan hati.

  Karakter totaliter adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Karakter konformis adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia untuk mengabaikan keinginan dan kepentingannya sendiri (Bastaman, 2007).

  3.7.2 Penghayatan Hidup Bermakna Berbeda dengan penghayatan hidup yang tidak bermakna, individu yang menghayati hidup bermakna menunjukkan corak kehidupan penuh semangat dan gairah hidup serta jauh dari perasaan hampa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

  Tugas-tugas dan pekerjaan sehari-hari bagi mereka merupakan sumber kepuasan dan kesenangan tersendiri sehingga dalam mengerjakannya mereka melakukan dengan bersemangat dan bertanggung jawab. Hari demi hari mereka temukan aneka ragam pengalaman baru dan hal-hal menarik yang semuanya akan menambah kekayaan pengalaman mereka. Mereka mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari pembatasan-pembatasan lingkungan, tetapi dalam keterbatasan itu mereka tetap dapat menetukan sendiri apa yang paling baik mereka lakukan serta menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri. Jika pada suatu saat mereka berada pada situasi yang tak menyenangkan atau mengalami penderitaan, mereka akan menghadapinya dengan sikap tabah dan sadar bahwa ada hikmah dibalik penderitaan tersebut dan tidak pernah terlintas dalam pikiran mereka untuk melakukan tindakan bunuh diri.

  Individu dengan penghayatan hidup bermakna memiliki dan menentukan tujuan-tujuan pribadi dan menemukan makna hidup merupakan hal yang sangat berharga dan tinggi nilainya serta merupakan tantangan untuk memenuhinya secara bertanggung jawab. Individu dengan penghayatan hidup bermakna mampu untuk mencintai dan menerima cinta kasih orang lain, serta menyadari bahwa cinta kasih merupakan salah satu yang menjadikan hidup ini bermakna (Bastaman, 2007)

  Pasien ulkus diabetikum bisa saja dapat menemukan makna dari penderitaannya dan memenuhinya sehingga individu tersebut memiliki penghayatan hidup yang bermakna (meaningful) namun pasien ulkus diabetikum juga bisa saja tidak dapat menemukan makna hidupnya sehingga mengalami penghayatan hidup yang tidak bermakna (meaningless).

  • Marah -
  • Depresi:

  Proses penemuan Makna hidup Ulkus Diabetikum

  Penderitaan Penderitaan

  Gejala Psikologis

  Takut

   Sedih  Sulit tidur  Murung  Merasa hidup tidak berguna  Putus asa  Ada keinginan bunuh diri Gejala fisik

   Sering kesemutan  Nyeri saat istirahat  Sensasi rasa berkurang  Penurunan denyut nadi  Kaki atrofi, dingin, kuku menebal  Kulit kering

  Pemahaman/Penerimaan diri Penemuan makna

  Kegiatan terarah dan komitmen diri dalam pemenuhan makna hidup

  Sumber-sumber makna hidup  Nilai kreatif  Nilai bersikap  Nilai penghayatan

   Metode penemuan makna hidup  Pemahaman diri  Bertindak positif  Pengakraban hubungan  Pendalaman catur nilai  ibadah Komponen-komponen penemuan makna hidup

  Bermakna Tanpa Makna Keterangan: Menyebabkan Saling mempengaruhi Mempengaruhi secara tidak langsung 5.

Studi Fenomenologi

  Edmund Husserl (1938 dalam Moleong, 2012) menyatakan bahwa fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi- interpretasi dunia. Hal ini senada dengan pernyataan Polit & Beck (2012) fenomenologi berfokus pada apa yang dialami oleh manusia pada beberapa fenomena dan bagaimana mereka menafsirkan pengalaman tersebut. Tujuan penelitian fenomenologi adalah untuk menggambarkan pengalaman hidup dan persepsi yang muncul.

  Dalam studi fenomenologi, jumlah partisipan yang terlibat tidak banyak. Jumlah partisipan adalah 10 orang atau lebih sedikit. Partisipan yang terlibat dalam penelitian akan dipilih dengan menggunakan teknik purposive

  sampling sehingga harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditentukan oleh peneliti (Polit & Beck, 2012).

  Colaizzi (1978 dalam Polit & Beck, 2012) menyatakan bahwa ada tujuh langkah untuk menganalisa data, yaitu meliputi: (1) membaca semua transkrip wawancara untuk mendapatkan perasaan partisipan, (2) meninjau setiap transkrip dan menarik pernyataan yang signifikan, (3) menguraikan arti dari setiap pernyataan yang signifikan, (4) mengelompokkan makna-makna tersebut kedalam kelompok-kelompok tema, (5) mengintegrasikan hasil kedalam bentuk deskripsi, (6) memformulasikan deskripsi lengkap dari fenomena yang diteliti sebagai identifikasi pernyataan setegas mungkin, (7) memvalidasi apa yang telah ditemukan kepada partisipan sebagai tahap validasi akhir.

  Menurut Lincoln & Guba (1985 dalam Polit & Beck, 2012) untuk memperoleh hasil penelitian yang dapat dipercaya maka data divalidasi dengan beberapa kriteria, yaitu :

  1) Credibility merupakan kriteria untuk memenuhi nilai kebenaran dari data dan informasi yang dikumpulkan. Uji kredibilitas dapat dilakukan dengan perpanjangan pengamatan (prolong engagement), peningkatan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, member

  checking .

  2) Transferability adalah kriteria yang mengacu pada sejauh mana hasil penelitian dapat diterapkan dalam situasi atau kelompok yang lain. Kriteria ini digunakan untuk melihat bahwa hasil penelitian yang dilakukan dalam konteks (setting) tertentu dapat ditransfer ke subjek lain yang memiliki karakteristik yang sama.

  Cara terbaik adalah audit trail, yaitu meminta auditor yang independen atau pembimbing untuk mengaudit keseluruhan aktivitas peneliti dalam melakukan penelitian.

  4) Confirmability memfokuskan apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan yang dikaitkan dengan proses yang dilakukan.