1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut dengan UUK-PKPU) yang

  diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004 memberikan dua cara agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitur telah

  1

  atau akan berada dalam keadaan insolven, yaitu: 1.

  Cara pertama yang dapat ditempuh oleh debitur agar harta kekayaannya terhindar dari likuidasi adalah dengan mengadakan perdamaian antara debitur dengan para krediturnya setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan. Perdamaian ini memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka kepailitan debitur yang telah diputuskan oleh pengadilan itu menjadi berakhir. Atau dengan kata lain debitur dapat menghindarkan diri dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya sekalipun sudah diputuskan oleh pengadilan. Perdamaian tersebut dapat mengakhiri kepailitan debitur hanya apabila dibicarakan bersama dan melibatkan semua kreditur. Apabila perdamaian hanya diajukan dan dirundingkan dengan hanya satu atau beberapa kreditur, tidak dapat mengakhiri kepailitan debitur.

1 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang No.37 Tahun

2. Cara kedua adalah dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran

  Utang (selanjutnya disingkat PKPU) atau Surseance van Betaling menurut istilah Faillisementverordening atau Suspension of Payment menurut istilah dalam bahasa Inggris. UUK-PKPU mengatur PKPU dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UUK-PKPU dimana dalam Pasal 222 ayat (2) tujuan dari pengajuan PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur. Menurut penjelasan Pasal 222 ayat (2) UUK- PKPU yang dimaksud “kreditur” adalah baik kreditur konkuren maupun kreditur yang didahulukan.

  Richard Burton memberikan definisi PKPU adalah suatu keadaan saat debitur tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang kepada kreditur konkuren.

  Seperti halnya permohonan pailit, permohonan PKPU juga harus diajukan oleh debitur kepada pengadilan dengan ditandatangani oleh debitur dan oleh penasehat hukumnya.

2 Ada dua jenis PKPU yang dikenal dalam UUK-PKPU, yaitu PKPU

  sementara dan PKPU tetap. Kedua jenis PKPU tersebut merupakan sebuah tahapan dan memiliki batas waktu. PKPU sementara diatur dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU yang berbunyi:

2 Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis (Jakarta: Rineka Cipta, 2007),

  “Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang

  3

  sementara diucapkan.” Sedangkan PKPU tetap diatur dalam Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU yang berbunyi:

  “Apabila penundaan kewajiban pembayaran utang tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan

  4 penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.

  ” Dilihat dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-putang, UUK-PKPU ini mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan UUK-PKPU sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sedangkan ketentuan yang selama ini berlaku, belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah

  5 utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menyebutkan kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara

  6

  perdata. Hal ini berarti sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUK-PKPU maka hukum acara yang berlaku untuk pengadilan niaga dalam menangani 3 4 Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU 5 Pasal 228 ayat (6) UUK-PKPU Victorianus M.H. Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam

  Penjatuhan Putusan Pailit (Bandung: Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, 2011), hlm. 7. 6 perkara-perkara kepailitan dan PKPU adalah HIR (Het Herziene Indonesich

  

Reglement ) untuk Pengadilan Niaga yang berada di Jawa dan Madura, dan RBg

  7 (Reglement Buiten Gewesten) untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan Madura.

  Pembuktian dalam hukum kepailitan dan PKPU sedikit berbeda dibandingkan dengan pembuktian dalam hukum acara perdata pada umumnya.

  Pemeriksaan perkara kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan UUK-PKPU memberikan batasan waktu proses kepailitan dan PKPU. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut, yaitu asas pembuktian secara sederhana atau pembuktian secara sumir.

  Asas pembuktian secara sederhana termuat pada Pasal 8 ayat (4) UUK- PKPU yang menyebutkan:

  “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

  8

  telah dipenuhi. Dalam kepailitan, Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU di atas tidak ” terlepas dengan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU yang menyebutkan:

  “Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau

  9

  lebih kreditur nya.” Penjelasan asas pembuktian secara sederhana yang telah dipaparkan di atas, muncul pertanyaan apakah asas pembuktian secara sederhana yang diatur 7 8 Ibid hlm. 9 9 Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU

  dalam Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU jo Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU berlaku juga terhadap permohonan PKPU? Dalam Bab III UUK-PKPU tentang PKPU memang terdapat pasal yang menegaskan bahwa ketentuan Bab II UUK-PKPU tentang kepailitan juga berlaku terhadap ketentuan PKPU diantaranya:

  1. Pasal 245 UUK-PKPU tentang pembayaran piutang masing-masing kreditur yang harus tunduk pada Pasal 185 ayat (3) UUK-PKPU,

  2. Pasal 246 UUK-PKPU yang menyatakan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan

  Pasal 58 UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UUK-PKPU,

  3. Pasal 248 ayat (3) UUK-PKPU yang menyatakan Pasal 53 dan Pasal 54 UUK-PKPU berlaku bagi perjumpaan utang pada PKPU, 4.

  Pasal 256 UUK-PKPU yang menyatakan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran PKPU. Namun tidak terdapat ketentuan perihal pembuktian secara sederhana dalam kepailitan pada Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU jo Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU juga

  10 berlaku terhadap PKPU.

  Hakim sebagai salah satu pejabat kekuasaan kehakiman yang melaksanakan proses peradilan tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap lahirnya putusan. Putusan yang dihasilkan oleh hakim di Pengadilan idealnya tidak menimbulkan masalah-masalah baru dikemudian hari di 10 Alfin Sulaiman, “Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No.37 Tahun 2004”,

  (akses tanggal 29 Januari 2015 pukul masyarakat. Hal ini berarti kualitas putusan hakim berpengaruh penting pada lingkungan masyarakat dan berpengaruh pada lingkungan masyarakat dan pada

  11 kredibilitas lembaga pengadilan itu sendiri.

  Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum (system denken) tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara memperhatikan keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan (problem denken). Akibat putusan hakim yang hanya menerapkan pada hukum tanpa menggunakan hati nuraninya akan berakibat pada kegagalan menghadirkan keadilan dan kemanfaatan, meskipun putusan hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan

  12 keadilan.

  Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mengangkat asas pembuktian secara sederhana dalam PKPU menjadi penelitian skripsi dengan melakukan tinjauan yuridis terhadap salah satu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tinjauan yuridis dilakukan untuk mengkaji penerapan asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan PKPU untuk melihat apakah asas pembuktian secara sederhana ini diterapkan dalam pertimbangan hukum hakim yang memutus perkara tersebut. Adapun judul tulisan skripsi ini adalah

11 Tata

  Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya

dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014

(Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada), hlm. 217. 12 HM. Soerya Respationo, “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Refleksif dalam P enegakan Hukum”, Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013,

Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, hlm. 43 seperti dikutip oleh Tata

  Wijayanta, Ibid.

  “Asas Pembuktian Secara Sederhana dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Pada Putusan MA RI No. 586 K/Pdt.Sus- Pailit/2013”.

B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana prosedur pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang kepada Pengadilan Niaga?

  2. Bagaimana pengaturan pembuktian secara sederhana dalam hukum kepailitan dan PKPU?

  3. Bagaimana pertimbangan hakim tentang pembuktian secara sederhana pada Putusan MA RI tentang PKPU dalam perkara No.586 K/Pdt.Sus- Pailit/2013? C.

   Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.

  Tujuan penulisan Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian skripsi ini antara lain: a.

  Mengetahui sistem pembuktian dalam hukum acara perdata.

  b.

  Mengetahui pengaturan pembuktian secara sederhana dalam hukum Kepailitan dan PKPU.

  c.

  Mengetahui pertimbangan hakim tentang pembuktian secara sederhana pada Putusan MA RI tentang PKPU dalam perkara No.586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

2. Manfaat penulisan

  Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini antara lain: a.

  Secara teoritis Dengan kehadiran skripsi ini diharapkan mampu mengisi ruang- ruang kosong dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum yang berkenaan dengan substansi penulisan skripsi ini, sehingga dapat memberikan sumbangsih berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum Kepailitan dan PKPU terutama menyangkut pembuktian dalam hukum acara perdata sebagai hukum acara yang dipakai dalam Pengadilan Niaga dalam menyelesaikan perkara-perkara Kepailitan dan PKPU, asas pembuktian secara sederhana dalam Hukum Kepailitan dan PKPU, dan penerapan asas pembuktian secara sederhana dalam salah satu putusan perkara PKPU.

  b.

  Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakant pada umumnya dan sebagai bahan referensi bagi kalangan praktisi hukum, mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pada khususnya mengenai pembuktian secara sederhana dalam PKPU.

D. Keaslian Penulisan

   Untuk mengetahui keaslian penelitian, sebelumnya telah dilakukan

  penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum

  Universitas Sumatera Utara. Pusat dokumentasi dan informasi hukum/perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal 17 Desember 2014 yang menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama.

  Surat tersebut dijadikan dasar bagi Ibu Windha, S.H., M.Hum dan Bapak Ramli Siregar,S.H.,M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menerima judul yang diajukan karena substansi yang terdapat dalam skripsi ini dinilai berbeda dengan judul-judul skripsi lain yang terdapat dilingkungan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

  Apabila dikemudian hari terdapat judul yang sama atau telah tertulis orang lain dalam berbagai tingkat kesarjanaan sebelum skripsi ini dibuat, maka hal tersebut dapat diminta pertanggungjawaban.

E. Tinjauan Pustaka

   Kebutuhan hidup finansial setiap orang dapat diperoleh dengan berbagai

  cara. Orang-perorangan maupun badan hukum yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya membutuhkan sejumlah uang. Jikalau ia tidak memiliki uang ia dapat meminjam dari orang lain yang biasanya dituangkan dalam suatu perjanjian utang piutang atau perjanjian kredit. Pihak yang meminjamkan uang disebut kreditur, sedangkan yang meminjam uang disebut debitur. Debitur wajib membayar utangnya kepada kreditur sesuai dengan perjanjian. Apabila debitur ingkar janji dan tidak dapat membayar utangnya, kreditur dapat mengajukan permohonan pailit kepada Pengadilan Niaga agar debitur dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya. Sebaliknya debitur juga dapat mengajukan permohonan PKPU kepada Pengadilan Niaga agar debitur dapat diberi waktu untuk membayar utang- utangnya. Prosedur pengajuan perkara kepailitan dan PKPU ini diatur dalam

13 UUK-PKPU.

  Pengadilan Niaga sebagai lembaga peradilan yang memiliki salah satu wewenang untuk memeriksa dan memutuskan apakah suatu permohonan kepailitan dan PKPU yang diajukan dapat diterima atau tidak, menggunakan hukum acara perdata. Dalam UUK-PKPU menyatakan bahwa selain diatur dalam undang-undang ini, maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata. UUK-PKPU mengatur beberapa aturan acara dalam Pengadilan Niaga, salah satunya adalah mengenai pembuktian, yaitu asas pembuktian secara sederhana.

  Adapun beberapa unsur yang termasuk dalam bahan kajian penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan alternatif penyelesaian utang untuk menghindari kepailitan. Menurut Munir Fuady Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ini adalah suatu periode waktu tertentu yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan Pengadilan Niaga, dimana dalam periode waktu tersebut kepada kreditur dan debitur diberikan kesepakatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran utang-utangnya dengan memberikan rencana perdamaian (composition plan) terhadap seluruh atau sebagian utangnya itu, termasuk apabila perlu merestrukturisasi utangnya tersebut. 13 Dengan kata lain PKPU merupakan semacam moratorium dalam hal ini legal

  14 moratorium .

  Berdasarkan Pasal 222 ayat (2) UUK-PKPU permohonan PKPU yang diajukan oleh debitur harus memenuhi empat syarat agar permohonan dikabulkan,

  15

  yaitu: a.

  Adanya utang b.

  Utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih c. Ada dua atau lebih kreditur, dan d.

  Debitur tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utangnya.

  Jika permohonan PKPU diajukan kreditur, maka berdasarkan Pasal 222 ayat (3) UUK-PKPU ada empat syarat yang wajib dipenuhi atau harus terbukti

  16

  agar permohonan dikabulkan, yaitu: a.

  Adanya utang, b.

  Utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, c. Ada satu Kreditur, d.

  Kreditur memperkirakan bahwa Debitur tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya.

  Pihak yang dapat mengajukan permohonan PKPU menurut UUK-PKPU

  17

  adalah: a. 14 Debitur; 15 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 82. 16 Syamsudin M Sinaga, Op.Cit., hlm. 260-261. 17 Ibid., hlm. 261. b.

  Kreditur; c. Bank Indonesia bila debiturnya adalah Bank; d.

  Bapepam, bila debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan penyelesaian; e. Menteri Keuangan, bila debitur Perusahaan Asuransi, Perusahaan

  Rasuransi, Dana Pensiun, dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik (Pasal 233 UU No.37 tahun 2004).

  Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) memiliki dua tahap yaitu PKPU sementara dan PKPU tetap. PKPU sementara diatur dalam Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU yang menyatakan:

  “Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil Debitur dan Kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir, untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama pada hari ke-45 (empat puluh lima) terhitung sejak putusan penundaan

  18

  kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.” Sedangkan PKPU tetap diatur dalam Pasal 228 ayat (6) yang menyatakan:

  “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi, atau jika Kreditur belum dapat memberikan suara mereka mengenai rencana perdamaian, atas permintaan Debitur, Kreditur harus menentukan pemberian atau penolakan penundaan kewajiban pembayaran utang tetap dengan maksud untuk memungkinkan Debitur, pengurus, dan Kreditur untuk mempertimbangkan dan menyetujui

  19

  rencana perdamaian pada rapat atau sidang yang di adakan selanjutnya.” PKPU sementara diberikan terlebih dahulu selama 45 hari sedangkan PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu 270 hari.

  18 19 Pasal 225 ayat (4) UUK-PKPU Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara merupakan tahap pertama dari proses PKPU. Debitur yang mengajukan permohonan PKPU jika syarat-syarat administrasinya sudah dipenuhi maka pengadilan paling lambat 3 hari sejak permohonan didaftarkan harus segera memutus mengabulkan permohonan PKPU sementara. Dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur, pengadilan harus segera mengabulkan PKPU sementara selambat-lambatnya dua puluh hari sejak permohonan PKPU didaftarkan. Setelahnya pengadilan menunjuk hakim pengawas dan mengangkat satu atau lebih pengurus.

  Setelah ditetapkannya PKPU sementara pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur dan kreditur untuk menghadap dalam sidang yang paling lama diadakan pada hari ke empat puluh lima sejak diputuskan PKPU sementara. Dalam sidang tersebut akan diputuskan apakah dapat diberikan PKPU secara tetap dengan tujuan memungkinkan debitur, pengurus dan para kreditur untuk mempertimbangkan dan menyetujui perdamaian.

2. Asas pembuktian secara sederhana

  Menurut Bellefroid, asas hukum secara umum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum posotif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan

  

20

hukum positif dalam suatu masyarakat.

  Asas hukum dibagi menjadi dua, yaitu: asas hukum umum dan asas hukum khusus. Asas hukum umum adalah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas lex posteriori derogat legi priori. Sedangkan asas 20 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu pengantar (Yogyakarta:Liberty,2008) hukum khusus adalah asas yang berfungsi dalam bidang tertentu yang lebih sempit, seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya,

  21 misalnya asas pacta sunt servanda, dan asas legalitas.

  Asas pembuktian secara sederhana merupakan suatu asas hukum khusus dalam hukum Kepailitan dan PKPU. Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan pembuktian secara sederhana tidak dijelaskan dalam UUK-PKPU, namun demikian petunjuk mengenai diterapkannya pembuktian secara sederhana dalam perkara kepailitan terdapat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU yang menyatakan bahwa permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keaadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah

  22 dipenuhi.

  Ketentuan tersebut tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian secara sederhana, dan dalam penjelasannya hanya menjelaskan apa yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana, yaitu fakta dua atau lebih kreditur dan fakta utang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Dari penjelasan ini, secara tersirat dapat diketahui bahwa pada prinsipnya inti dari penerapan pembuktian secara sederhana ini adalah penerapan syarat-syarat kepailitan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) yang dilakukan

  23 secara sederhana.

  21 22 Ibid., hlm. 36. 23 Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU Erma Defiana Putriyanti dan Tata Wijayanta, “Kajian Hukum tentang Penerapan Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan Asuransi”,

F. Metode Penulisan 1.

  Spesifikasi penelitian Penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini bersifat deskriptif yang mengacu kepada penelitian hukum normatif yaitu mengkaji ketentuan-ketentuan tentang asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan PKPU. Adapun metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis.

  Penelitian normatif dapat dikatakan juga dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan mengadakan identifikasi terhadap pengertian- pengertian pokok/dasar dalam hukum, yakni masyarakat hukum, subyek hukum,

  24 hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan obyek hukum.

2. Data penelitian

  25 Sumber data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data

  dapat dari data primer dan data sekunder. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder, dimana data yang diperoleh secara tidak langsung.

  a.

  Bahan hukum primer Diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang

  Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, HIR (Het Herziene Indonesich Reglement), dan

  24 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm.15. 25 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Rineka

  RBg (Reglement Buiten Gewesten) dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor. 586 K/PDT.SUS-PAILIT/2013; b. Bahan hukum sekunder

  Bahan hukum sekunder berupa buku-buku, karya-karya ilmiah, artikel serta jenis tulisan lain yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini; c. Bahan hukum tersier

  Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

3. Teknik pengumpulan data

  Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan penelusuran pustaka (library research) yaitu mengumpulkan data dari informasi dengan bantuan buku, karya ilmiah dan juga perundang-undangan yang berkaitan dengan materi penelitian.

  Menurut M. Nazil dalam bukunya, dikemukakan bahwa studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-literatur, catatan-catatan dan laporanlaporan yang ada

  26 hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.

  26

4. Analisa data

  Penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder menyajikan data

  27

  berikut dengan analisisnya. Metode analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara deduktif.

  Metode penarikan kesimpulan pada dasarnya ada dua, yaitu metode penarikan kesimpulan secara deduktif dan induktif. Metode penarikan kesimpulan secara deduktif adalah suatu proposisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat lebih

  28

  khusus. Metode penarikan kesimpulan secara induktif adalah proses berawal dari proposisi-proposisi khusus (sebagai hasil pengamatan) dan berakhir pada

  29 kesimpulan (pengetahuan baru) berupa asas umum.

G. Sistematika Penulisan

  Sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

  BAB I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, serta sistematika penulisan yang dilakukan penulis untuk melakukan penelitian normatif terhadap 27 asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan Penundaan 28 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 69.

  Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 11. 29

  Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Putusan MA RI No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013.

  BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA Bab ini menguraikan tentang pengertian PKPU, syarat-syarat mengajukan PKPU, prosedur mengajukan PKPU, dan PKPU sementara dan PKPU tetap.

  BAB III ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM UU NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG. Bab ini menguraikan tentang pembuktian dalam hukum acara perdata, pembuktian secara sederhana sebagai suatu asas, dan pembuktian secara sederhana dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

  BAB IV ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) PADA PUTUSAN PUTUSAN MA RI No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013 Bab ini menguraikan tentang mengenai kasus posisi, dan penerapan asas pembuktian secara sederhana dalam permohonan PKPU pada Putusan MA RI No. 586/K/PDT.SUS-PAILIT/2013.

  BAB V PENUTUP Bab ini menguraikan tentang kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan juga disertai dengan saran yang diajukan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.